HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (80B)

Karya RD. Kedum

Belum lagi hitungan sepuluh, tiba-tiba instingku mengarahkan kembali agar aku mengulik-ngulik bebatuan gosong yang kena hantamam kakek Njajau tadi. Akhirnya aku berbalik diikuti Mamak Alam.
“Mak, sepertinya ada sesuatu lagi di sini.” Aku menunjuk. Mamak berdoa sejenak, lalu dengan cakarnya yang tajam, beliau gali batu kerikil campur pasir itu.

Baru beberapa centi, ada benda kecil terlihat muncul di sela-sela batu. Tiba-tiba aku merasakan energi luar biasa seperti menarik, kencang sekali. Aku tidak berani langsung mengambilnya. Sejenak kurasakan energinya sembari berdoa. Pelan-pelan kutarik dari bebatuan. Sebuah keris kecil bertulisan asma Allah tanpa gagang. Aku membersihkannya dari kotoran tanah dan pasir. Kuamati lagi. Luar biasa, aku kagum zaman dulu orang sudah bisa membuat keris kecil seperti ini. Logamnya terasa berat walau tidak ada gagangnya. Meski kecil namun energinya sungguh terasa. Bukan keris biasa. Tiba-tiba aku melihat sosok ke luar dari keris ini.
“Jika kau ambil keris itu, maka aku akan ikut denganmu, Selasih. Namaku Sulaiman.” Lelaki seperti jawarah bertongkat pendek berdiri di hadapanku. Beliau penghuni keris itu sengaja menampakkan diri padaku.
“Salam kenal kakek Sulaiman, maafkan aku. Aku sering berpindah-pindah kota, sering pergi kemana-mana. Jika keris ini kuambil, aku khawatir tidak bisa merawatnya dengan baik. Aku tidak melarang diikuti atau sesekali kakek jumpa denganku. Tapi sekali lagi maaf, Kek. Untuk merawat benda-benda pusaka, aku tidak siap.” Ujarku kembali. Memang bukan sekali dua kali aku mendapatkan pemberian yang berwujud seperti ini. Tapi aku selalu menolak atau mengembalikannya ke alam gaib. Kecuali dari orang-orang tertentu, misalnya dari kakek dan puyangku yang memberikan sesuatu langsung menyatu dengan tubuhku. Bisa berupa senjata tajam, pakaian, selendang dan lain-lain namun bentuknya gaib. Hanya orang-orang tertentu saja yang pernah melihatnya. Jika dalam wujud berbentuk benda, sekali lagi kutolak.
“Baiklah kalau begitu. Aku sangat menghargai prinsipmu, Selasih. Terimakasih sudah berkenan mengizinkan aku untuk datang padamu. Aku berjanji siap membantu mu.” Ujar Kakek Sulaiman. Kami bersalaman agak lama saling menanamkan kontak batin. Intinya tanpa kupanggil, dalam waktu-waktu tertentu Kekek Sulaiman akan segera datang.

Kakek Sulaiman berubah seperti asap lalu kembali bertapa di dalam keris. Aku masih memegang keris dan meletakkannya di telapak tangan. Aku kembali minta izin pada Kakek Sulaiman agar kerisnya tidak wujud, kembali ke alam tak kasat mata.

Melihat keris kukembalikan ke alam gaib, lagi-lagi Mamak Alam protes.
“Kenapa kau tolak, Selasih. Beliau bisa menjagamu. Bukankah bangsamu berlomba-lomba ingin memiliki godam pendamping yang bisa mereka andalkan, dan perintah apa saja?” Ujar Mamak Alam heran. Aku tersenyum mendengarnya. Apa yang dikatakan Mamak Alam benar, banyak sekali bangsa manusia yang merasa dirinya hebat karena bisa bersahabat, bahkan menakhlukan makhluk halus sebangsa jin. Ada juga manusia yang dijaga oleh jin nasab, yaitu jin leluhurnya, ada juga sengaja meminta jin untuk mendampinginya. Tidak sedikit bangsa manusia yang mampu berinteraksi dengan makhluk halus ini. Tidak sedikit manusia harus rutin melakukan ritual segala macam untuk memperkuat ataupun memanggil bangsa halus tersebut, agar makhluk halus tersebut betah bersamanya. Meski tidak sedikit pula makhluk asral yang tanpa diminta dan dipelihara seperti Kakek Sulaiman suka menolong golongan manusia tertentu yang dianggapnya patut untuk ditolong.

“Mamak, ketika bangsa manusia meminta bangsa halus menjadi pendamping atau menjaganya, pastilah ada imbalan tertentu yang harus manusia lakukan agar makhluk halus itu betah. Minimal benda-benda pusaka itu harus dirawat, dimandikan air kembang, dipoles minyak wewangian dalam waktu-waktu tertentu dan lain sebagainya. Aku bukan tipe telaten seperti itu. Khawatirnya lama-lama mereka marah, lalu memusuhiku.” Ujarku tertawa. Mamak Alam mengangguk-angguk.
“Iya..iya…masuk akal. Memang karakter setiap orang berbeda. Meski Mamak lihat dirimu banyak memiliki senjata asral.” Lanjut Mamak Alam.
“Iya, senjata yang tidak perlu kurawat. Ini ada cemeti dan pedang dari Kakek Andun. Selendang ini dari Puyang Ulu Bukit Selepah. Permata biru di telapak tangan, dan lain sebagainya semua pemberian yang tidak bisa diwujudkan seperti keris dan permata tadi,” kataku lagi sambil menunjuk beberapa bagian tubuhku. Kembali Mamak Alam mengangguk.
“Aku hanya yakin pada kekuatan asma Allah, zikir, bersyalawat, berdoa, Mak. Aku takut sekali meski hanya terbersit di batin meyakini kekuatan-kekuatan benda tertentu. Tidak ada kekuatan yang mampu menandingi kekuatan Allah, Mak.” Kataku sambil bangkit. Mamak Alam dan kedua kawannya terdiam.

Angin lembab berhembus pelan membuat kepala dan wajahku terasa lembab. Aku dan Mamak Alam berjalan di bibir sungai ke hulu. Dua nenek gunung teman Mamak Alam berjalan lebih dulu.
“Mak, aku ingin sekali masuk ke hutan seberangku,” ujarku menunjuk ke belantara seberang sungai. Entahlah aku tertarik ingin masuk hutan.
“Mari!” Ajak Mamak Alam. Aku mengerahkan sedikit kemampuanku. Dalam waktu singkat, aku dan Mamak Alam sudah berada di sisi hutan. Demikian juga dua teman Mamak Alam.
“Alhamdulilah ternyata hutan ini masih terlihat asli, ya Mak. Pohonnya besar-besar dan tinggi… ” Ujarku mendongak. Semak belukarnya sangat lebat. Berbagai tumbuhan hutan tumbuh subur. Aku tidak mencium hutan ini dilalui oleh manusia. Aku harus mencari sela untuk bisa masuk ke dalam hutan. Akhirnya aku memilih saluran mata air yang mengalir ke sungai. Beberapa kali aku mengucapkan salam dan minta izin kebeberapa penghuni rimba. Mereka makhluk asral dari berbagai jenis dan golongan. Ada yang tinggal di atas pohon, ada yang di tanah, di air, ada yang di dalam pohon, ada yang di goa-goa kecil dan batu.

Aku baru saja melompat dari batu ke akar, tiba-tiba ada suara menegurku.
“Berani sekali kau anak manusia masuk ke mari” Makhluk asral tinggi besar hitam berbulu berdiri di hadapanku. Aku mengucapkan salam namun tidak dijawabnya. Berarti dia tidak seakidah atau memang tidak kenal akidah.
“Aku orang Ulu Endikat ini, Paman. Mengapa tidak berani? Tanah ini kampungku, kampung leluhurku.” Ujarku sambil terus berjalan. Aku tidak peduli dengan tatapan mata merahnya. Mamak Alam dan dua kawannya biasa-biasa saja. Hanya aku yang ditatapnya dengan wajah sinis.
“Apa keperluanmu masuk ke wilayah kami?” Ujarnya mulai meninggi. Mamak Alam mau angkat bicara tapi kularang. Demikian juga ke dua kawannya. Aku menoleh padanya.
“Wilayah Paman? Sejak kapan ini menjadi wilayah Paman?” Pancingku. Sejak ratusan tahun lalu. Sejak manusia belum ada di wilayah ini” Ujarnya sambil menggesek-gesekkan tubuhnya di kayu.
“Jika di alam kasat mata, ini wilayah kami juga, Paman. Tempat kami bercocok tanam, mencari kehidupan. Bangsa kami tidak mengganggu paman bukan? Alam kita berbeda.” Aku berdiri di atas akar yang menonjol. Makhluk asral itu akhirnya diam saja. Aku pamit melanjutkan perjalanan di bawah tatapan mata merahnya.

Kali ini jalan agak menanjak. Batu, akar, dan air terlihat di mana-mana. Ternyata banyak sekali penghuni hutan ini. Tidak hanya satwa. Suara burung, sesiagh, simpai, tupai, semuanya seperti kaget melihatku. Aku terkesima ketika melihat rusa dan anaknya. Tatapannya nanar hendak kabur. Aku segera membaca mantra dan berkomunikasi padanya. Kusampaikan kami hanya sekadar lewat tidak usah takut. Penciumannya sangat tajam. Bau harimau membuatnya hendak melarikan diri. Padahal Mamak Alam dan dua kawannya tidak akan menerkamnya.

Udara hutan ini terasa dingin, tak urung membuat nafasku terasa pendek juga. Hidungku kembang kempis ketika sesekali tercium lembab daun dan tanah. Tempat lembab seperti ini sangat disukai makhluk asral. Pantas saja banyak kerajaan jin di sini. Dari tadi aku belum terlihat golongan manusia harimau kecuali Mamak Alam dan dua kawannya.
“Sampai kapan kau di seberang Endikat ini, Selasih?” Tanya Mamak Alam sambil berjalan. Aku berpikir sejenak. Menghitung sudah berapa hari aku pulang ke sini.
“Insya Allah tiga minggu lagi, Mak.” Jawabku sambil masih menghitung hari. Artinya masih ada waktu aku berpuas diri berjalan masuk hutan seperti ini, sambil melihat seberapa rusaknya hutan di kampungku pasca ditebas oleh pendatang dari Semende itu?

“Mamak, apakah di hutan ini ada nenek gunung?” Tanyaku setelah berjalan cukup jauh namun tidak tercium aroma makhluk itu.
“Hutan ini hanya jadi tempat persinggahan sekali lewat saja. Itu pun malam hari. Mereka menghuni hutan di bukit Utara sana” Ujar Mamak Alam. Kembali aku bertanya apakah hutan itu jauh dari sini. Kata Mamak Alam melalui satu bukit, lalu di balik bukit itulah bangsa nenek gunung berdiam. Hutannya masih perawan, hingga berbatas dengan Lampung.
“Ciri-ciri perbatasannya kita akan bertemu dengan kebun sawit. Baik perbatasan dengan Lampung, mau pun perbatasan dengan Bengkulu. Semuanya kebun sawit. Mendengar kebun sawit hilanglah semangatku. Lagi-lagi kebun sawit. Beruntung aku punya nenek moyang dan penduduk kampung tidak tertarik menanam sawit. Mereka tetap menanam kopi meski transportasi ke kota tidak lancar hingg kini masih banyak yang berjalan kaki.

Sekarang aku merasa berada di puncak bukit. Lebatnya hutan tidak bisa memandang ke timur, ke barat, maupun ke selatan. Saking lebatnya, matahari pun seperti jarum menusuk-nusuk dari sela daun. Beberapa kerajaan makhluk asral yang kutemui memiliki pagar gaib. Mungkin maksudnya agar tidak diganggu oleh makhluk lain. Desir angin yang semula pelan kadang berubah kencang. Aku tahu kadang makhluk-makhluk itu hendak menghadang. Tapi lebih banyak tidak berani mendekat dan hanya memandang dari jauh. Tidak sedikit yang meleparkan sesuatu padaku namun tidak sampai-sampai.

Baru saja aku hendak mengajak Mamak Alam duduk sejenak sambil menikmati lembab hutan. Tiba-tiba sepasang orang tua menghampiri kami.
“Sepertinya kamu orang jauh. Darimana asalmu, Dis” Sapa orang tua yang perempuan dengan sebutan ‘Dis’ singkatan ‘gadis’. Keduanya memegang tongkat dari bambu. Aku Tertarik tongkat bambu yang dipegang si Kakek. Bentuknya unik, meliuk-liuk seperti tali kusut.
“Aku dari hilir, Nek. Aku hanya jalan-jalan melihat hutan bukit ini. Udaranya dingin dan sejuk” Ujarku sadikit membungkuk. Matanya menatap kepada Mamak Alam dan kedua kawannya.
“Nampaknya kawanmu ini dari bukit seberang” Ujar Kakek sedikit mengeryit. Aku mengiyakan ditambah Mamak Alam ikut mengiyakan.
“Nenek dan Kakek dari mana? Hendak kemana?” Aku balik bertanya.
“Kami tinggal di perkampungan hulu bukit ini, Dis. Singgahlah ke dusun kami” Jawab sang Kakek. Aku mengangguk dan berterimakasih karena keramahannya.
“Kamu cucung Relingin, Dis?” Tanya Nenek lagi. Aku heran mengapa beliau tahu jika aku cucu nenek Kam?
“Benar, Nek. Nenek dan Kakek kenal dengan Nenekku?” Tanyaku penasaran.
“Siapa yang tidak kenal beliau. Tidak hanya bangsa manusia, bangsa kami pun sangat mengenalnya” Ujar Nenek kembali. Aku tersenyum mendengarnya. Nenek Kam memang top! Tidak sekali dua kali aku bertemu dengan makhluk asral ataupun nenek gunung jelmaan manusia harimau yang mengenal beliau. Mungkin kalau di alam nyata, nenek Kam itu sebangsa tokoh. Aku memperkirakan.

Usai kepergian sepasang kakek nenek itu, aku dan Mamak Alam duduk sejenak. Aku mendongak ke pohon yang kusandari.
“Oh, maaf. Mohon izin duduk di sini, Kek. Kami sedang jalan-jalan dan ingin istirahat sejenak” Ujarku pada makhluk di atas pohon. Beliau aslinya ular berwarna hitam dan bermahkota. Namun menampakkan diri padaku dalam wujud seperti manusia. Mungkin maksudnya supaya aku tidak takut atau kaget, maka beliau segera mengubah dirinya.
“Silakan, Cung.” Suara beliau terasa berat dan langsung turun.
“Tempat ini dulu adalah talang nenek moyangmu. Di hulu, kampung leluhurmu ratusan tahun yang lalu” Lanjut beliau. Mendengar itu aku jadi tertarik.
“Di mana Kek? Yang mana kampung leluhurku?” Ujarku penasaran.
“Ratusan tahun yang lalu, leluhurmu berdusun di sana. Dusun yang dihuni oleh puyang-puyangmu, yang rata-rata berilmu tinggi. Mereka jawarah semuanya. Sebagian besar mereka turun bukit, merantau ke mana-mana” Ujar Kakek ular lagi. Aku makin tertarik ceritanya.

Pernah juga Kakek Haji Yasir bercerita padaku menurutnya dari kakeknya, pernah bercerita jika dulu di hulu bukit adalah perkampungan baghi. Artinya kampung orang zaman dulu. Cerita kakek Haji Yasir sama dengan cerita kakek jelmaan ular ini. Entah bagaimana, lama-kelamaan kampung itu menghilang dan berubah menjadi belantara.

Aku juga jadi ingat ketika aku hendak diantar ke goa untuk tirakat di masjid yang berpintu gerbang air terjun. Apakah kerajaan dan kampung yang kulihat di lereng bukit dan lembah dekat sungai bercabang dua itu, yang kakek ular maksud?
“Suatu saat kau akan tahu, Puyang-puyangmulah yang akan menceritakan padamu” Sambungnya lagi. Aku berterima kasih sekali Beliu telah memberikan sedikit informasi perihal leluhurku dulu.

Melihat wajahnya, kekek ini menurutku sudah cukup sepuh. Jadi sudah banyak makan asam garam. Iseng-iseng aku ingin tahu pendapatnya tentang hubungan manusia dengan manusia harimau dan nenek gunung.
“Kek, bisa memberitahuku mengapa bangsa kami dekat dengan bangsa nenek gunung?” Tanyaku lagi. Beliau menatapku sambil tertawa kecil.
“Kehidupan manusia zaman dulu sangat dekat dengan alam. Tuntutan hidup, kehidupan alam yang keras, menuntut bangsa manusia harus punya sejata untuk bertahan hidup dan membela diri. Zaman dulu berlaku hukum rimba. Siapa yang kuat maka dialah yang memimpin. Makanya orang zaman dulu rata-rata berilmu tinggi. Tidak sedikit dibantu oleh bangsa kami. Dan tidak sedikit pula bangsa kami takhluk dengan manusia” Lanjut beliau kembali.

“Maaf, Kek. Kalau diizinkan boleh aku tahu nama Kakek? Namaku Putri Selasih, Kek.” Aku bangkit dan setengah sujud padanya.
“Tidak perlu kusebutkan, Cung. Leluhurmu umumnya tahu dengan Kakek” Ujarnya sambil tersenyum. Aku tidak mau memaksanya untuk mengetahui namanya. Aku memahaminya. Tidak semua makhluk asral mau menyebutkan namanya. Sebagian besar makhluk asral enggan memberikan namanya, karena mereka tidak mau ditarik atau dipanggil oleh bangsa manusia untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Aku sangat menghargai itu.
“Kakek sudah lama tinggal di sini? Aku melihat pohon ini pintu gerbang istana Kakek. Kakek raja ya, aku dapat melihat mahkota kakek yang indah” Lanjutku kembali.
“Usia kakek sudah ribuan tahun, Cung. Iya, ini pintu gerbang istana Kakek. Singgahlah ke tempat kakek” Ajak beliau. Aku menolak untuk singgah ke istananya. Alasanku masih ingin jalan-jalan.
“Aku mencium darah Puyang Kedum Tengah Laman di dirimu sebelum kau sampai ke mari. Aku juga mencium darah puyang Pekik Nyaring, penguasa gunung Merapi di Dempu. Makanya kau bisa naik ke bukit ini. Jika bukan cucung Puyang Kedum Tengah Laman, kau tidak akan bisa naik ke mari” Ujarnya. Aku jadi penasaran ingin tahu pernyataannya.

Sebelumnya aku memang sudah mendengar, sejak dulu masyarakat seberang Endikat ini meyakini jika salah satu bukit di kampungku ini disebut bukit betuah dan keramat. Konon ada kaitannya dengan cerita Puyang leluhurku dan Puyang Serunting Sakti. Sekilas aku berpikir, kelak aku akan bertanya dengan Puyang Ulu Bukit Selepah. Beliau pasti tahu semuanya. Termasuk Puyang yang tidak menyebutkan namanya ketika pertama kali mengantar aku ke masjid di perut bukit Marcawang tempo dulu.

Semula aku tidak tahu jika aku telah sampai ke bukit ini. Padahal tadi aku menyeberang sungai Endikat lalu masuk ke belantaranya, mendaki dan mengikuti jalan aliran air. Menikmati lembab hutan yang sedikit gelap karena lebat. Ternyata justru mengarah ke hutan yang bukan jadi tujuan.

Kata kakek Haji Yasir, ketika zaman perang ada bukit wadah paling aman untuk tentara dan penduduk dusun bersembunyi dari kejaran Belanda dan Jepang. Pasalnya, jika yang naik non muslim, atau cucu Puyang Serunting kemari maka pasti akan menemui hal yang aneh-aneh. Pertama, hari panas bisa tiba-tiba hujan lebat. Lalu semua akar dalam pandangan mereka berubah menjadi ular dan lipan. Pohon pun demikian, berubah menjadi hewan-hewan buas. Dan itu nyata hingga kini. Jika masih juga masuk lebih dalam, maka akan berujung dengan kematian. Kalau tidak mati kedinginan, akan digigit oleh binatang-binatang buas dari akar, pohon, dan semak belukar, atau akan mati ketakutan. Hal yang menurutku luar biasa. Hingga kini aku belum tahu apa sebabnya. Mengapa keturunan Puyang Serunting Sakti tidak bisa menginjak bukit ini hingga kini. Padahal, puyang Serunting Sakti adik ipar Puyangku. Orang Besemah menyebutnya ‘lautan’nya. Mamak Alam menatapku. Sepertinya dilepas beliau sama dengan isi kepalaku menyimpan pertanyaan yang belum ada jawabannya.

Akhirnya, setelah berbincang cukup lama akhirnya kami mohon pamit pada Kakek jelmaan ular. Aku berterimakasih pada beliau karena meski singkat, namun telah memberikan cerita yang membuatku kagum pada leluhurku. Muncul keinginan dalam batinku untuk menyisir perkampungan leluhurku yang hilang. Jika benar yang kulihat perkampungan yang berpintu gerbang di sisi kiri kanannya ada guci yang terbuat dari emas itu perkampungan leluhurku yang gaib, artinya leluhurku memang luar biasa. Ada kebanggan tersendiri di batinku karena meski tidak lama namun aku telah menginjakan kaki di sana.

“Hati-hati, Cung. Tetaplah istiqomah dan bergantunglah pada keyakinanmu, pada rasul dan kitabmu” Pesan kakek jelmaan ular hitam lagi. Sekali lagi aku mengangguk hormat. Dalam batin ingin aku bertanya, sejak kapan beliau kenal agama. Apakah nenek moyangku beragama sama denganku? Tapi pertanyaan itu akhirnya kuurungkan. Sebab kulihat beliau sudah siap-siap melangkah menuju pintu gerbang istananya.

“Kemana lagi kita, Mak?” Tanyaku. Rasanya perjalanan singkatku hari ini terasa sangat padat.
“Terserah padamu, Selasih. Jika masih hendak lebih dalam ke hutan kami siap menemani” Ujar Mamak Alam kembali. Aku sangat berterima kasih pada mereka yang sudah menemaniku hari ini. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang saja. Sudah cukup perjalanan hari ini.

Dari kejauhan samar terdengar azan. Pertanda waktu solat zohor telah tiba.
“Mamak, sudah waktunya solat. Aku pamit kembali pulang ke pondok Kakek Haji Yasir” Ujarku. Akhirnya kami berpisah di hutan itu. Mamak Alam dan kedua kawannya kembali ke Ulu Bukit Selepah. Sedangkan aku kembali ke pondok Kakek Haji Yasir. Kami sama-sama memanggil angin untuk sampai ke tempat masing-masing.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *