Bagaimana Efek dari Lockdown pada Anak dan Remaja?

Di Prancis selama dua bulan diberlakukan masa lockdown. Dari 17 Maret hingga 11 Mei. Sekolahpun salah satunya yang terkena dampak. Anak-anak yang biasanya setiap hari melakukan aktivitas di sekolah harus beradaptasi dengan sistim baru, belajar lewat internet. Anak-anak yang biasa saling berinteraksi dengan teman-teman mereka menjadi terkurung akibat pendemi ini.

Pada awalnya banyak anak-anak yang merasa senang karena bagi mereka corona membuat mereka jadi tidak harus sekolah lagi. Dan orang tua jadi lebih sering di rumah, bahkan di rumah terus. Tidak ada sekolah berarti tidak harus bangun pagi-pagi. Pekerjaan rumah bisa dikerjakan tanpa terburu-buru karena kita memiliki waktu banyak. Belajarpun jadi lebih santai. Bahkan banyak yang menyebutnya pendemi ini menjadi “coronavacancy”

Tapi permasalahan timbul pada akhirnya, yaitu mereka melihat ayah dan ibu ada di rumah tetapi mereka selalu sibuk dengan komputer mereka dan anak-anakpun sama, mereka harus berkutat dengan komputer. Terkadang orang tua sedikit membentak agar anak-anak diam dan tenang karena mereka sedang bekerja. Lalu orang tua mulai tak berhenti melihat telpon mereka secara rutin, bahkan kadang dengan wajah sangat cemas. Orang tua jadi lebih sering berdebat dan anak-anak ikutan berdebat. Lalu semua menjadi tidak menyenangkan lagi. “Corona vacancy” menjadi mimpi buruk rupanya bagi kebanyakan anak-anak. Apalagi ketika adanya kembali pengumumkan untuk lockdown ke dua dan jika mereka harus tetap di rumah atau di dalam apartemen dalam ruangan kecil entah untuk berapa lama.

Banyak kita baca dan dengar banyaknya orang dewasa yang menjadi stres hingga depresi akibat sistim di rumahkan saja. Hal ini dikarenakan gaji yang terpotong, penghasilan yang berukurang, perekonomian yang menjadi merosot tajam dan belum lagi ditambah dengan rasa cemas apakah pekerjaan masih akan mereka miliki usai masa confinement ini karena banyak perusahaan yang terpaksa mengurangi karyawan mereka akibat kerugian besar yang dialami.

Dalam hal ini orang dewasa biasanya bisa terlihat langsung ekspresi dari kekecewaan dengan prilaku, perkataan dan wajah. Tapi bagaimana dengan anak-anak? Padahal mereka juga merupakan faktor yang terkena dampak sangat besar akibat pendemi ini. Akankah masa confinement/ lockdown selama delapan minggu kemarin itu memiliki dampak psikologis pada anak-anak?

Sebuah Rumah Sakit di Toulouse melakukan penelitian yang bertujuan menganalisa gejala stres pada anak usia 8 hingga 15 tahun selama periode confinement. Seorang psikolog Virginie Fauroux menjelaskan dan menerangkan berdasarkan penelitiannya.

Apakah anak-anak yang melihat dampak dari orang tua mereka akibat masa lockdown bisa terkena dampak stres?

“Anak-anak dapat mengalami gejala stres karena masa lockdown dan social physical distancing. Sebagai catatan, mereka melihat rutinitas biasa mereka, kegiatan mereka, hubungan sosial mereka benar-benar berubah. Mereka juga lebih banyak terpapar dengan banyak informasi tentang pandemi melalui media. Untuk mengatasinya, pusat rumah sakit Toulouse baru saja meluncurkan sebuah penelitian, yang disebut E-COCOON, untuk mengetahui apakah anak-anak berusia 8 hingga 15 tahun menunjukkan tanda-tanda awal stres pasca-trauma.”

“Jika secara keseluruhan, situasi dari confinement atau lockdown itu tidak akan menjadi buruk dalam keluarga jika orang tua bisa berfungsi sebagai penyangga terhadap peristiwa eksternal. Dan masa lockdown menjadi tak terlalu berdampak.” “Di sisi lain, jika orang tua sangat cemas dengan situasi tersebut, anak tentu akan merasakannya. Terutama karena pentingnya dukungan yang utama adalah dari orang tuanya, tidak stabil. Anak merasa ia tidak akan menemukan melalui mereka yaitu suatu bentuk ketenangan yang biasanya ia miliki di sisi mereka. Sehingga hal ini akan memicu kecemasan pada anak dan anak tidak semuanya bisa menyalurkan dengan cara ekspresi langsung.”

“Bagi remaja, hal ini sedikit berbeda karena mereka pada masa kurang bergantung pada sikap dan prilaku orang tua. Untuk kelompok umur ini, lebih tepatnya hubungan dengan teman-teman adalah hal yang cenderung esensial.” “Mereka juga mulai memiliki jaringan sosial, boleh dibilang hal ini memainkan peran penting. Tanpa adanya alat komunikasi ini moderen seperti masa kini, tentu akan membuat masalah justru jauh lebih bahaya bagi mereka karena mereka membutuhkan interaksi permanen) dengan dunia luar”. “Tapi di sisi lain, karena remaja sedang dalam masa pencarian jati diri banyak yang sudah memiliki masalah seputar dalam dirinya sendiri. Konteks khusus ini dapat memperkuat kecemasan yang sudah mendominasi sebagian remaja.”

Dapatkah stres pasca-trauma ini dirasakan beberapa bulan atau bahkan bertahun-tahun kemudian?

“Tidak, kecuali anak itu sudah memiliki masalah sebelumnya. Masa confinement dapat memperkuat keadaan ini, terutama jika orang tua tidak merawatnya dengan tepat. Hal itu bisa memungkinkan membawa kembali penyakit kecemasan itu, tetapi untuk mengatakan bahwa hal ini akan memiliki konsekuensi bertahun-tahun kemudian, tentu saja tidak.”

“Yang terpenting dalam minggu-minggu mendatang adalah mengawasi setiap perubahan dalam perilaku anak.”

Sumber lain menegaskan jika kita tetap keadaan waspada meskipun londkwodw sudah tidak ada lagi dan anak-anak harus selalu dalam pengawasan apalagi jika sampai terjadi confinement kedua kalinya.

Hal ini dikarenakan banyaknya media yang memberitakan adanya pengulangan lockdown di beberapa negara. Anak-anak bisa merasa tidak nyaman atau sebaliknya lupa bahwa pendemi masih ada bersama kita. Karena jika kita salah menafsirkannya, dan kurang peka dalam melihat periode PSBB atau kembalinya lokcdown, hal ini dapat menghasilkan keadaan cemas yang dapat meningkat, jika tidak diperhitungkan. Dan ini sangat berbahaya.

Ganguan stres apa saja yang bisa terjadi di anak-anak?

  • Gangguan tidur yang tidak seperti biasanya, terbangun dan mimpi buruk bahkan banyak anak-anak kecil jadi mengompol.
  • Gangguan nafsu makan, kurang nafsu makan atau malah sebaliknya makan lebih banyak.
  • Lebih sering marah, pertengkaran, pertentangan, suasana hati yang tidak stabil.
  • Penarikan dalam pikiran atau dalam kegiatan yang sama hari demi hari.
  • Penolakan terhadap pekerjaan sekolah atau kendala termasuk tindakan penghalang (remaja).
  • Dan tentu saja kesedihan, tangisan yang berlebihan atau tanpa sebab, permintaan pelukan dan kontak yang berlebihan.

Dalam hal ini peran orang tua memang sangat dibutuhkan. Jika orang tua tidak merasa mampu maka orang ke tiga seperti psikolog bisa menjadi salah satu jalan keluarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *