Usaha WNI Ini Mati Total Karena Dampak Lockdown di Prancis
“Jangankan bisa berjualan, kerugian saya ini boleh dibilang 200 persen! Untuk makan saja saya sampai kesulitan, karena mata pencarian saya kan ya dengan berjualan.” Tutur Agus Kurniawan kepada Surat Dunia.
Agus Kurniawan datang ke Prancis beberapa hari sebelum lockdown, karena ia tahu setelah itu akan sangat sulit untuk bisa kembali ke Prancis, dan memang bulan Maret mereka sekeluarga sudah berada di Prancis untuk persiapan pembukaan toko yang normalnya selalu buka mulai bulan 1 April.
Surat Dunia (SD): Bagaimana hidup saat lockdown mengingat mata pencaharian hanya dari berjualan?
Agus Kurniawan (AK): Kami datang ke Prancis dengan pesawat terakhir saat itu dan kami sangat kesulitan, karena pertama kami sudah bayar sewa untuk bulan Maret karena toko kami buka itu tanggal 1 April. Tapi karena lockdown yang kami tidak bisa berjualan dan sama sekali kami tidak ada pemasukan, mati total usaha kami. Kami hidup susah sekali, untuk makan saja sampai harus pinjam sama anak dan mertua.
SD: Lalu bagaimana anda bisa bertahan selama itu? Apakah anda mendapatkan bantuan seperti layaknya warga prancis di sini?
AK: Nah bulan April saya dapat kabar jika kami sebagai wirausaha ternyata bisa mendapatkan bantuan dari Pemerintah Prancis. Istri saya juga punya usaha yang sama, maka kami mencoba untuk mengurusnya dan ini bagi saya merupakan berkah bahkan kaya muzizat karena tiga hari setelah kami mengurus untuk meminta bantuan, langsung uang sebesar 1500 euros masuk ke rekening kami. Ini sangat membantu kami untuk biaya makan kami sekeluarga. Itulah bagusnya Pemerintah di sini kami bayar pajak memang besar tapi semua pajak yang kami bayarkan memang selalu kembali kepada warganya. Di Indonesia saya juga bayar pajak karena saya punya usaha, tapi sayangnya usaha saya yang tutup di sana terpaksa beberapa modal seperti penyewaan motor saya jual semua saking untuk membayar gaji para karyawan. Dan saya di Indonesia sayangnya tidak mendapatkan bantuan apapun. Jadi ya, kasihan juga kalau karyawan saya jika sampai tidak bisa makan karena hal yang sama. Ya kita para pengusaha memang jadinya harus babak belur, berbeda dengan di sini.
SD: Sekarang lockdown sudah dibuka dan anda sudah mulai bisa berjualan lagi bagaimana apakah penjualan sudah normal? Dan apakah ada syarat tertentu bagi para penjualan di masa pendemi ini?
AK: Betul sekarang sedikit demi sedikit saya sudah bisa berjualan walaupun belum bisa menghasilkan seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun Juni ini sepertinya sudah mulai ramai orang yang berani keluar, mungkin karena jenuh juga setelah 2-3 bulan di karantina. Tapi tetap saja kami diminta untuk selalu waspada. Kami penjual harus tetap pakai masker jika ada klien, biarpun para klien banyak yang sudah tidak pakai masker lagi saat ini. Lalu harus selalu sedia gel sanitizer dan jalan masuk dan keluar itu harus berbeda ada arahnya begitu. Kalau kita membandel seperti toko dekat saya itu ketahuan jualan tidak masker langsung polisi menutup toko mereka.
SD: Harapan ada untuk kedepannya bagaimana? Apakah anda positif atau pesimif dengan kondisi saat ini?
AK: Yah saya hanya bisa bersyukur bahwa lockdown sudah dibuka dan kami bisa mulai usaha lagi. Mungkin tidak bisa normal seperti sebelum adanya pendemi covid-19 ini. Tapi setidaknya saya merasa bersyukur karena kami sekeluarga banyak diberi bantuan oleh Pemerintah Prancis, bahkan dengan bantuan dari Pemerintah Prancis itu saya jadi bisa bantu juga para karyawan saya yang di Indonesia. Saya cuma berharap di Indonesia bisa juga seperti ini karena kasihan banyak sekali yang kehilangan mata pencaharian, jadi susah untuk makan saja. Saya berdoa semoga pendemi ini segera berakhir. Dan oh ya saya sih positif dalam arti dengan barang dagangan saya yang datang dari Indonesia, karena selama 20 tahun saya berjualan, pasar kerajinan asal Indonesia ini selalu saja diminati mungkin karena orang indonesia juga sangat kreatif jadi selalu saja ada inovasi baru. Produk saya itu asli loh 100 persen buatan Indonesia dari Yogyakarta.
Berikut video liputan Surat Dunia bersama Agus Kurniawan
Editor: Dini Kusmana Massabuau