HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (57)

Karya RD. Kedum

Aku duduk di sudut labor mendengarkan petunjuk guru Biologiku tentang lomba karya ilmiah untuk pelajar yang akan team kami ikuti. Kebetulan team kami ada lima orang. Team gabungan ini akan mewakili sekolahku dalam kompetisi menulis karya ilmiah tingkat nasional.

Yang duduk di kelas 2 IPA2 aku dan Budiansyah. Selanjutnya tiga orang lagi duduk di kelas 3 IPA2. Guru Biologiku mengarahkan berbagai alternatif bentuk penelitian sebagai pertimbangan. Bincang-bincang berkembang keinginan untuk menambah koleksi labor. Akhirnya disepakatilah untuk mencari apa saja yang bisa kami sumbangkan ke sekolah. Rencananya, usai menerima raport tengah semester kami akan melakukan ekspedisi ke hutan Bengkulu. Beberapa kakak kelas sudah merekomendasikan wilayah-wilayah yang kira-kira terdapat apa yang hendak kami cari.

Pertama mencari dan mengelompokan species jamur, jenis pakis yang tumbuh di hutan tropis Bengkulu, daun-daunan dari tumbuhan yang menjalar, bunga-bunga hutan, seranga dan lain-lain untuk diawetkan.

Mendengar akan ada rencana ekspedisi itu, aku sangat bersemangat. Sudah lama aku ingin masuk ke hutan di Bengkulu ini. Iklim yang berbeda dengan kampung asalku tentu jenis tumbuhan dan hewannya ada yang berbeda pula. Rasanya tidak sabar menunggu libur semester yang tinggal beberapa hari lagi. Segala aktivitas lain yang bersamaan dengan rencana liburan sudah kupending semuanya. Termasuk kelompok vokal grup yang mengajak pentas mengisi waktu libur di Pantai Panjang. Aku lebih memilih fokus untuk masuk hutan.

Pulang sekolah, salah satu guruku, Bapak Muchlis meminta aku bersama beberapa orang temanku ke rumahnya di Kebun Rose untuk mengecek tenda. Akhirnya aku, Budiansyah, dan kak Atun menuju rumah beliau. Seperti biasa kami jalan kaki. Karena angkot routenya ke rumah beliau tidak ada. Akhirnya kami berjalan mencari jalan pintas dari belakang sekolah. Sepanjang jalan aku mendengarkan Budiansyah dan Atun, bercerita tentang pengalaman mereka di pramuka. Banyak tantangan yang pernah mereka hadapi. Mereka juga hobby berpetualang. Meski aku menilai Budiansyah lebih banyak membualnya. Apalagi kalau sudah berbicara soal bela diri. Menjadi kebanggaannya karena dia sudah punya sabuk merah di ekskul tapak suci. Aku manggut-manggut saja mendengarkan cerita mereka.

Rumah pak Muchlis sepi. Rumah seperti bangunan Belanda ini nampak berbeda dengan bangunan-bangunan yang lainnya. Sepanjang jalan menuju rumah beliau terasa sejuk, karena ditumbuhi pohon-pohon tua, bangunan-bagunan lama sisi jalan nampak sebagian besar tidak terawat. Karena banyak pohon tinggi dan besar, sepanjang jalan jadi rindang. Halaman rumah pak Muchlis juga luas. Ditumbuhi tanaman-tanaman sejenis palem yang tahan panas. Bangunan rumah semi permanen berdiri gagah, dindingnya seperti beton batu bulat-bulat yang sengaja dicat hitam dan putih. Pencahayaan di dalam nampak terang karena jendelanya banyak sekali. Aku jadi ingat rumah-rumah di gunung Dempu, modelnya seperti ini. Bercat putih, gagah, dan khas. Kayu dan papannya pilihan. Ya, warisan Belanda.

Baru saja kami memasuki halaman rumahnya, aku sudah disambut perempuan dan laki-laki bule berpakaian ala putri bangsawan. Sementara Atun dan Budiansyah sudah berdiri di teras mengucapkan salam memanggil Pak Muchlis. aku berhadapa-hadapan dengan bule Belanda. Sayang aku tidak bisa bahasa Belanda ketika dia menyapaku dengan senyum. Bule Belanda itu makhluk asral yang sering berkeliling sekitar rumah Pak Muchlis. Mereka ramah semua. Aku agak malas meminta mereka berbahasa Indonesia. Karena pertemuan juga bakal singkat. Aku kenalkan diri pakai bahasa Inggris. Kemudian dia jawab pakai bahasa Belanda sambil menyebut namanya Rheanna dan teman lelakinya Hans.

Setelah dua bule Belanda itu jauh, aku jadi berpikir, apa hubungannya rumah ini dengan perempuan dan lelaki bule itu tadi ya? Apakah mungkin ini dulu ditempati oleh keluarga Belanda? Mengapa bisa pak Muchlis dan keluarganya? Tapi setelah dipikir, Bapak beliau tokoh Muhammadiyah di Bengkulu ini. Dan aktif sejak muda. Bisa jadi pernah bekerja dengan Belanda, atau membeli rumah ini dengan orang Belanda. Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi. Hal ini dapat dilihat lewat foto dan dokumen yang tetap rapi di sudut ruang tamu. Ada beberapa tokoh Muhammadiyah terpajang di sana. Termasuk juga foto presiden pertama negeri ini Ir. Soekarno. Dalam hati aku memperkirakan pasti ada kaitannya dengan pengasingan bung Karno di Bengkulu tahun 1938-1942 sebelum kemerdekaan. Aku menatap semuanya lekat-lekat. Jejak-jejak sejarah serupa film melintas di benakku.

Seorang perempuan menyuguhkan sirup dingin pada kami. Matanya lekat penatapku tak berkedip sama sekali namun tanpa tegur sapa. Aku balas menatapnya. Dalam hati aku bertanya, mengapa ibu ini memamdangku begitu lekat? Ada yang anehkah?
“Kak, ada yang aneh nggak padaku? Kok ibu tadi menatapku sinis, dan dalam sekali?” Ujarku sambil berdiri setelah ibu itu lenyap di balik pintu.
“Apanya yang aneh? Dari tadi juga kulihat Dedek yang kemarin. Kecil, hitam, cerewet” Ujarnya. Aku balas dengan mencubit pipinya. Kakak kelasku satu ini sangat ayu. Kalau tersenyum lesung pipinya seperti lubang mur. Kecil dan dalam. Rupanya si ibu diam-diam mengintip kami dari balik gorden pintu. Tepatnya menatapku. Akhirnya aku pura-pura membuka dan membaca majalah Suara Muhammadiyah yang terletak di bawah meja sembari menunggu pak Muchlis mandi dan ganti baju. Atun dan Budiansayah juga asyik membuka-buka masajalah dan Koran. Pelan-pelan aku fokus mendekati si ibu. Kuperhatikan tingkahnya. Benar dia sedang mengawasi aku. Dari jauh aku ikut-ikutan menatap jasadku yang sedang duduk memegang majalah. Tidak ada yang aneh menurutku. Kecuali aku yang saat ini berdiri di samping ibu yang membuatku penasaran padanya.

Aku mencolek tangan si ibu. Dia menoleh dan kaget. Aku tampakkan diriku di hadapannya. Dia terbelalak. mungkin dalam pikirannya mengapa ada dua jasad yang sama. Matanya makin tajam melihat wajahku, lalu melihat ke kursi. Tangannya menunjuk-nunjuk tidak jelas tanpa mampu berkata-kata.
“Ibu sedang memperhatikan siapa? Apa yang menarik dengan anak itu sampai ibu rela ngintip di balik tirai?” Ujarku pelan, kembali mencolek tangannya.
“Anak itu tubuhnya ada dua. Selain dirinya ada satu lagi yang mengikutinya. Lalu kamu siapa?” Katanya tergagap. Oh rupanya ibu ini punya panca indera ke enam. Instingnya sangat peka. Dia bisa melihat dan merasakan jika aku berbeda dengan yang lainnya. Makanya beliau mengendap-ngendap, maksudnya ingin menjawab rasa penasarannya.
“Iya, ini aku, bayangan anak itu.” Ujarku. Ekspresi beliau masih tidak percaya. Mungkin beliau anggap aku hantu seperti noni Belanda di luar sana. Akhirnya aku kembali ke jasadku. Lalu menoleh pada ibu yang masih berdiri di balik pintu. Aku lambaikan tangan padanya. Si ibu semakin melotot lalu pergi ke belakang.

Tak begitu lama, Pak Muchlis ke luar sembari membawa dua tenda di bantu ibu yang tadi.
“Bik, tolong langsung bawa ke luar aja. Kami mau bentangkan di halaman.” Ujar pak Muchlis. Perempuan itu bergegas ke luar sambil sekilas memandangku. Aku lemparkan senyum kecil padanya. Rupanya perempuan ini masih saja penasaran padaku. Aku segera menyusulnya ke luar sembari membantunya meletakkan dua tenda yang ada dipelukannya.
“Bu, ibu sering ngobrol dengan Rheanna dan Hans dong?” Tanyaku. Si Ibu menampakkan kekagetannya.
“Kamu kok tahu? Kamu udah bertemu ya. Rheanna dan Hans itu anak salah satu pegawai Keresidinan Hindia Belanda. Mereka tinggal di rumah ini bersama orang tuanya sejak tahun 1920-an. Entah tahun berapa keduanya terkena penyakit malaria, lalu meninggal dan dimakamkan di kota Bengkulu ini. Sementara kedua orang tua mereka pulang ke Belanda. Yang jadi persoalan adalah makam mereka hilang, rata menjadi hunian manusia. Makanya mereka ke mari.” Jelas Si ibu serius. Aku mengangguk-angguk mendengar ceritanya. Lalu kutanyakan apakah beliau bisa komunikasi dengan mereka? Si Ibu menjawab, karena sering sekali ditemani mereka berdua akhirnya lama-lama Si ibu bisa bahasa Belanda. Aku terperangah dibuatnya. Rupanya Si ibu berteman dengan hantu Belanda!

Kami berhenti ngobrol soal Rheanna dan Hans ketika pak Muchlis, kak Atun, dan Budiansyah datang. Obrolan kami alihkan ke tenda. Sebenarnya banyak hal ingin kutanyakan pada ibu ini berkaitan pengalamannya bisa berteman dengan hantu Belanda itu. Akhirnya kami hanya ngobrol seputar diri beliau berapa lama tinggal di sini, asalnya, keluarganya dan lain sebagainya sambil membentang dua tenda meneliti ada yang koyak atau tidak. Beberapa bagian yang kami anggap perlu diperbaiki kami perbaiki bersama. Si Ibu ikut membantu menjahit jendela yang koyak, tali yang hampir putus dan lain sebagainya.

Ketika pulang hari sudah jelang petang. Di barat langit nampak jingga. Aku membanyangkan menunggu sunset cuaca seperti ini pasti menyenangkan. Yang jadi masalah tempat tinggalku dan pantai lumayan jauh. Aku tidak punya kendaraan. Untuk naik angkot juga riskan. Aku hanya menatap kagum dan membayangkan sunset senja ini dari badan jalan A. Yani. Kami bertiga kembali berjalan. Jika tadi kami lewat jalan kecil, gang, lalu tembus menghubungkan jalan utama menuju rumah pak Muchlis, kali ini kami lewat jalan raya, membelok ke kiri terus tembus ke Bajak.

Sebenarnya aku ingin segera sampai ke rumah. Tapi berhubung bertiga, tidak mungkin mereka aku tinggalkan begitu saja. Ketika memasuki Bajak aku merasakan hawa yang berbeda. Suasananya damai dan menentramkan. Hawanya sejuk. Aku mencari-cari mengapa wilayah ini berbeda dengan tempat lainnya yang kadang terasa panas dan gerah.
“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” Sapa seorang lelaki gagah bertubuh kekar menyapaku ramah. Aku segera menjawab salamnya. Melihat pakaiannya, berliau bukan dari Sumatera. Mata batinku mengatakan jika lelaki yang menyapa ramah itu adalah kuda tunggangan seseorang yang hebat.
“Eyang, Eyang tinggal di mana? Bersama siapa?” Tanyaku penasaran. Ada rasa kagum melihat penampilannya. Aku membayangkan lelaki kraton yang karismatik, sopan, dan pembawaannya yang lembut. Lelaki itu menunjuk ke timur di belakangnya sambil tersenyum. Sayang, saking kagumnya aku tidak sempat menanyakan siapa nama beliau. Cahaya yang memancar dari tubuhnya menunjukan jika beliau seorang yang religi. Kira-kira berjalan lima puluh meter ke arah timur, aku melihat cahaya lembut berpendar. Aku menduga-duga asal cahaya. Masya Allah, ternyata cahaya itu berasal dari sebuah makan. Aku bertanya-tanya siapakah orang yang sangat berwibawa tersebut. Cahaya lembut menaungi wilayah jalan yang kami lalui menunjukkan jika pemilikknya bukan orang biasa. Kami terus berjalan. Cahaya lembut itu mencuat dari sebuah makam bercat putih. Makam dikelilingi semak-semak ilalang. Beberapa daun dan kembang kemboja jatuh dan kering di pelataran makam. Nampaknya makan ini tidak terlalu dirawat meski ditata sedemikian rupa, berdiri tegak dan gagah dengan desain mirip bangunan Belanda yang kokoh. Pasti yang dimakamkan di sana seseorang yang memiliki karomah, dan ahli ibadah. Kalau bukan orang soleh, tidak mungkin makamnya bercahaya begitu lembut dan mendamaikan.

Aku segera mengirimkan Al Fatihah tanpa tahu makam siapa. Setelah aku mengangkat kepala, baru antara terbaca dan tidak karana berlumut, tulisan di atas pintu gerbang pemakaman, “Sentot Ali Basya Prawirodirdjo.” Aku baru sadar, nama ini pernah kubaca di dalam buku Pangeran Dipenegoro, seorang panglima perang yang gagah berani.
Aku segera mengajak kedua temanku berhenti sejenak. Aku ingin masuk ke dalam pemakaman umum di tengah-tengah pemukiman masyarakat ini, namun pintunya terkunci. Akhirnya aku mengajak kawan-kawanku untuk duduk sejenak di depan pintu gerbang, lalu mengirimkan doa untuk Sentot dan dan beberapa makam tua yang kulihat tersusun rapi di sini. Sentot Ali Basya Prawirodirdjo, berulang kali kueja nama itu. Pikiranku terasa terang kembali. Baru aku ingat jika beliau salah satu pahlawan nasional yang pernah kubaca dalam buku sejarah, beliau seorang pemuda yang gagah, cakap, cerdas, soleh, panglima kesayangan Pangeran Di Penegoro. Meninggal dan dimakamkan di Bengkulu dalam masa pengasingan. Beliau diasingkan di Bengkulu karena tipu daya dan kelicikkan Belanda. Lalu aku juga melihat yang dimakamkan di sini lelaki sepuh berwajah Arab, bersinar mata teduh.
“Beliau memang berasal dari Arab, nama beliau Sayid Muhammad Zein Al Madani. Beliau menyebarkan agama Islam di Bengkulu ini.” Ujar Eyang menjawab rasa penasaranku. Aku manggut-manggut dengan perasaan yang sulit untuk dilukiskan. Energi positif yang memancar dari makam beliau memberi efek pula pada kehidupan yang lain. Aku yang hanya sekadar lewat saja merasakan sejuk dan damainya. Apalagi mereka yang ikut bernaung di bawah cahaya yang dikeluarkannya.

Aku beruntung melalui jalan ini meski sangat kebetulan. Usai bedoa sejenak, aku berpamitan dengan Eyang kuda tunggangan Sentot Ali Basya. Beliau menunduk dengan hormat. Sebenarnya ingin sekali bisa ngobrol lama-lama dengan beliau. Lagi-lagi senja dan kawanku tak bisa kuabaikan. Mereka tidak boleh tahu jika aku telah berinteraksi dengan makhluk asral di pemakaman. Dari obrolan selintas dengan kak Atun dan Budiansyah, mereka mengaku lahir dan besar di Bengkulu, namun baru kali ini berhenti di pemakaman ini dan baru tahu setelah kujelaskan siapa Sentot Alibasya. Mereka hanya tahu wilayah ini disebut Sentot, tapi tidak pernah mencari tahu mengapa dinamakan Sentot. Aku senyum-senyum sendiri. Ketahuan jika pengetahuan sejarah mereka jeblok.

Di simpang Sentiong, kami terpisah dengan kak Atun. Rumahnya tidak jauh masuk ke Sentiong. Sekarang giliran aku dan Budiansyah masih berjalan menuju simpang kampung Bali. Aku akan menunggu angkot di simpang Bali. Semoga saja masih ada angkot yang lewat menjelang petang ini. Kalau tidak ada, artinya aku akan jalan kaki kurang lebih dua kilo meter lagi agar sampai ke rumahku. Aku dan Budiansyah melalui sisi pemakaman tua di sisi jalan yang tidak terurus. Di sudut pemakaman ada jalan bercabang tiga. Simpang yang bercabang-cabang ini sering kali menyajikan pemandangan aneh, membuat setiap orang yang melintas seringkali merasa tidak nyaman. Di sisi pemakaman ada masjid dengan desain modern bercampur budaya Bengkulu. Dipangkal dan ujung jalan makam-makam tak terurus seperti onggokan bangunan tua yang roboh. Bahkan sebagian nisan dijak-injak menjadi jalan umum oleh penduduk sekitar. Dinding pembatas makan terangkat, miring, bersemak membuat aura daerah ini terasa gerah. Makhluk asral berbagai jenis kumpul di sini. Bahkan dari laut pun ikut naik dan nangkring di makam-makam tua. Ada yang asyik mengunyah tulang belulang dan tengkorak manusia. Ada yang tertidur pulas tanpa busana, ada yang sedang bercanda, bercengkrama seperti manusia. Tapi demi melihat wajah mereka sangar menatapku, aku menghindar. Aku enggan bergesekan dengan mereka. Meski beberapa di antara mereka berusaha mendekat. selalu kutolak dan aku berusaha menjauh. Di simpang ini aku berpisah dengan Budiansayah. Rumahnya tudak jauh dengan ujung kuburan kea rah pantai Jakat.

Aku sudah berdiri di simpang Kampung Bali, menunggu angkot ke arah UNIB. Sudah beberapa menit berdiri belum juga melihat angkot lewat. Sejenak aku berpikir, tetap menunggu atau berjalan, jika ada angkot lewat baru naik? Atau aku kerahkan kemampuanku? Akhirnya aku memilih alternatif ke tiga. Pelan-pelan aku kerahkan tenaga dalamku. Aku ingin cepat sampai rumah sebelum azan magrib tiba. Baru beberapa detik, aku sudah ada di pangkal jembatan Sungai Serut.

Dari jauh aku telah melihat sosok perempuan berdiri di tengah-tengah jembatan. Kiri kanan sungai tumbuh pohon rumbia yang biasa dibuat sagu oleh penduduk lokal. Tapi aku melihatnya lain, di semak rumbia itu berdiri para laskar penjaga istana. Di dasar jembatan berdiri istana megah yang dipimpin seorang perempuan berpakaian serba putih hingga ke muara. Beliau adalah ratu Buaya Putih penghuni Sungai Serut. Penguasa istana bawah jembatan hingga ke muara Kualo. Dalam hati aku bertanya, apa maksud menghadang di tengah jembatan. Sebenarnya aku ingin menghindar agar tidak bertemu dengan makhluk satu ini. Tapi sudah terlanjur, jarak kami hanya beberapa meter. Dan dia sengaja menhadang di tengah-tengah jembatan. Setahuku mereka adalah makhluk iseng yang suka menarik tubuh manusia sebagai tumbal setiap tahun. Tidak hanya laki-laki, perempuan, orang tua, bahkan anak kecil mereka ambil. Yang penting manusia.

Akhirnya aku memilih terus berjalan lurus pura-pura tidak menghiraukannya. Terlalu banyak aura negatif di sini. Belum lagi yang dari laut kerap kali membuat aku lelah. Kali ini Ratu Muara sengaja menghadang.
“Jangan pura-pura tidak melihatku hei anak manusia. Aku hanya ingin tahu seberapa tinggi ilmu yang kamu miliki sehingga bisa berjalan cepat seperti angin? Dari aroma tubuhmu, kamu makhluk dari gunung. Bukan dari laut. Kamu ingin pamer padaku kan?” Sapanya tanpa basa-basi. Akhirnya aku berhenti dengan tetap menjaga jarak.
“Aku hanya lewat, dan tidak punya kepentingan apa-apa dengan makhluk seperti kalian. Meski aku tahu kalian adalah makhluk jahat yang suka memengaruhi hidup bangsaku. Aku tidak punya ilmu seperti yang kau katakan. Tapi aku tidak akan takut melawanmu jika kau menggangguku.” Ujarku mulai gerah dengan kesombongannya. Selebihnya aku melihat dia tertawa memperlihatkan gigi tajamnya seperti gergaji. Kelihatannya saja perempuan ini cantik, aslinya menyeramkan. Perempuan tua dalam bentuk buaya, bermata tajam dan bengis. Selalu menggeluarkan aura negatif dan selalu minta nyawa manusia setiap tahun. Ribuan anak buahnya tersebar hingga ke hulu sungai dan muara. Sebagian mereka menatap tajam padaku. Mungkin dalam pikiran mereka aku adalah mangsa baru mereka.
“Sudahlah, minggirlah! Aku hendak pulang. Dan ini jalan bangsa kami. Jangan coba-coba menghalangi” Ujarku singkat. Tapi disambutnya dengan tawa meremehkan.

Ketika dia masih tertawa dengan kepala terakangkat secepat kilat kutangkap beberapa orang pengawalnya, kugenggam, lalu kusedot energinya, kemudian kulebur. Debu yang berupa asap kulemparkan ke wajahnya. Melihat aku melakukan secepat itu, perempuan buaya itu kaget. Mungkin dia tidak menduga sama sekali kalau aku tidak mau diajak main-main. Matanya terbelalak.
“Bagaimana, masih mau menghalangi jalanku? Apa perlu kuhancurkan pengawal-pengawalmu itu?” Tanyaku. Aku mengembangkan selendangku lalu kuseret ratusan anak buahnya, terikat dalam selendangku. Sang ratu semakin kaget. Kulihat dia agak berubah. Ratusan anak buahnya terancam lebur seperti pengawalnya yang tadi. Rasa lelah membuatku tidak sabar. Apalagi sebentar lagi azan.

Jalanan sudah sepi. Beberapa kendaraan pribadi saja yang lewat. Langit sudah mulai temaram. Hanya dari arah barat laut saja nampak berwarna jingga karena matahari belum sepenuhnya tenggelam. Pucuk-pucuk rumbia diam tak bergeming, pertanda angin dari laut tidak begitu kencang. Suasana seperti ini memang kuharapkan. Sebab jika angin berkesiur, menujukkan keberingasan makhluk asral dan tentu aku akan kehabisan waktu hanya untuk melayani makhluk-mahkluk ini sendirian.

Aku masih menggenggam ujung selendangku dengan erat. Aku tidak main-main. Sekali saja ratu buaya ini bergerak menyerangku maka akan kuhancurkan anak buahnya. Melihat aku serius, ratu buaya agak berpikir nampaknya. Suaranya sedikit lunak.
“Baik, silakan lewat. Lepaskan anak buahku.” Ujarnya sedikit minggir. Melihat kesempatan itu aku melesat sembari melepaskan anak buahnya.
“Terima kasih, suatu saat kita pasti bertemu lagi.” Ujarku sambil berlalu. Aku tidak menoleh-noleh lagi. Aku segera berlalu dari tempat itu. Aku tahu, suatu saat ratu buaya itu pasti mengajakku bertarung. Petang ini dia kalah sebelum bertarung, tapi hawa amarah dan dendamnya terasa olehku. Makhluk itu mana bisa dipercaya sepenuhnya, saat ini dia katakan dia tidak akan melakukan apa-apa, tapi dengan berbagai cara dia bisa melakukan apa saja untuk mencelakakan manusia. Belum lagi anak buahnya yang berasal dari laut, rata-rata mereka adalah makhluk yang haus darah manusia. Seringkali memanfaatkan rasa was-was manusia, lalu menyusupkan kebenaran yang mengarah pada lunturnya keyakinana pada sang khalik.

Akhirnya aku sampai juga di rumah tepat waktu sebelum azan tiba. Aku segera mandi ganti pakaian lalu siap-siap salat berjamaah. Di atas sajadah aku melakukan zikir sejenak sebelum berdoa. Tak lupa kudoakan pemuda gagah, Panglima perang Sentot Ali Basya, ulama Sayid Muhammad Zein Al Madani. Mereka orang baik yang baru kuketahui beberapa saat yang lalu. Tak lupa untuk Eyang kuda tunggangan Sentot Ali Basya. Ada keinginanku untuk kembali ke sana, sendiri menemuinya.

Malam sudah larut. Suara kodok bersahut-sahutan dari parit kecil depan rumahku. Jangkrik mengerik, sesekali terdengar jeritan kelelawar di pohon jambu air. Dari kejauhan suara ombak memecah. Aku membayangkan ombak yang bergulung, menghempasnya ke pantai. Ah! Mata ini terlalu berat untuk diajak melek dan jalan-jalan menikmati angin laut malam hari. Duduk di pasir putih, mengubur kaki hingga batas paha, biarlah jadi pe-er suatu saat harus wujud. Tunggulah.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *