Pertunjukan Wayang Kulit Di Prancis Memukau Penonton

Catatan Sita Phulpin

Magnifique! Indah sekali! Demikian komentar François dan Catherine, sepasang suami istri Prancis yang jauh-jauh datang dari kota anggur Bordeaux untuk menyaksikan pertunjukan wayang kulit yang didalangi Christophe Moure.
Bravo… bravo… !! Begitu teriakan-teriakan kagum para penonton sembari bertepuk tangan tiada henti saat kelompok Gentasari dari asosiasi Pantcha Indera Paris yang terdiri dari dua puluh orang di penghujung acara.

Memang tak berlebihan reaksi para penonton. Pertunjukan wayang kulit berjudul ‘Alas Wanamarto’ yang merupakan salah satu penggalan cerita yang diambil dari epos Mahabarata itu memang sangat mempesona. Para penonton pulang dengan perasaan puas.

Malam itu Christophe Moure, lulusan Institut Seni Indonesia Surakarta, mampu membuktikan kepiawainnya memainkan anak wayang. Selama satu setengah jam dia berhasil menyedot seluruh perhatian penonton yang memenuhi ruangan yang ditata sedemikian rupa hingga wayang bisa disaksikan dari balik kelir (layar dari kain putih) seperti halnya menonton wayang di desa-desa Jawa Tengah maupun Timur.

Bagi penonton Prancis, gaya pertunjukan seperti itu tentu saja sangat tidak biasa. Begitu diumumkan bahwa penonton boleh pindah tempat duduk ke bagian belakang layar, sebagian penonton tak menyia-nyiakan kesempatan unik itu. Publik Prancis pun jadi mengenal cara menonton pertunjukan yang berbeda. Mereka menjumpai suasana puitis yang justru terbangun ketika wayang ditonton dari balik kelir.

Berkat sorotan blencong (lampu yang digunakan pada pertunjukan wayang) dari belakang dalang pada kelir, tatahan ukiran halus nan cantik pada anak-anak wayang membayang dengan apik pada sisi kelir yang lain. Di sinilah pertukaran budaya terjadi. Penggunaan bahasa Prancis saat mendalang menjadikan suasana malam wayangan itu sangat hidup. Selain penonton Prancis bisa memahami cerita yang disajikan, mereka pun tergelak mendengar banyolan-banyolan yang dilemparkan dalang, terutama pada bagian di mana para punakawan muncul.

Dalam pertunjukan wayang, sesi ini memang digunakan oleh dalang untuk menjalin komunikasi dengan publik lewat kelakar-kelakar. Pada saat itu dalang melalui tokoh Semar, Petruk, Gareng dan Bagong berceloteh apa saja secara jenaka tanpa mengganggu kisah utama yang sudah ada pakem alur ceritanya. Demikianlah, pada sesi tersebut,Christophe Moure dengan seloroh-selorohan kocaknya meyenggol hal-hal aktual yang membuat membuat penonton terpingkal-pingkal. Pada sesi punakawan itu pula
dalang bebas menyelipkan kreativitas seninya. Seperti pada malam itu, pertunjukan wayang kulit menjadi semakin semarak saat dalang mengundang Lomnath Sapera, seorang musisi India dari Rajasthan untuk hadir memainkan seruling alghoza dan kendang dholak.

Suasana makin semarak ketika ki dalang menggoda kedua sindhen (penyanyi dalam kelompok gamelan) yang cantik-cantik, Desti Pertiwi dari Bruxelles dan Arie Drean dari Paris. Penguasaan masing-masing sindhen atas teknik menembang dengan cengkok-cengkok khas dalam gamelan Jawa diiperlihatkan oleh dalang pada publik melalui permintaan menembang tunggal oleh para tokoh punakawan.

Suasana menjadi makin meriah saat sindhen Desti Pertiwi didaulat untuk mendendangkan Kouch Kouch Hota Hai, lagu legendaris sinetron Bollywood yang sempat ngetop sekitar akhir tahun 90 an dan awal 2000 an. Suara tabuhan pada dholak memberi sentuhan ringan musik dangdut pada gamelan. Meski hanya sekilas, kolaborasi elok antara gamelan dan instrumen musik India memberi kesegaran tersendiri dan warna yang unik.

Dari pengalaman menyaksikan pertunjukan wayang berbahasa Prancis, nyata terlihat bahwa kemampuan para dalang muda Indonesia untuk bisa mendalang dalam bahasa asing sangat diperlukan apabila mengharapkan pertunjukan wayang, baik kulit, golek maupun yang lainnya bisa lebih dikenal di luar Indonesia.

Pertunjukan wayang kulit bertema “ La Forêt de Wanamarto ” pada tanggal 16 Februari 2022 di Auditorium Iannis Xenakis, malam itu merupakan acara pamungkas acara Hari Gali Ilmu bertema Epos, Musik dan Aktualisasi
(Journée d’Etude : Epopée, Musique et Actualisation) gelaran Université Evry-Paris Saclay. Dalam rangkaian program acara yang bekerja sama dengan KBRI Paris, mahasiswa dan masyarakat umum juga diajak mengenal lebih dalam mengenai wayang kulit melalui sebuah seminar. Catherine Basset, seorang ethnomusikolog spesialis gamelan Jawa dan Bali bertindak sebagai narasumber.

Wanita energik yang juga penabuh gamelan ini berbicara tentang “Holisme awal pada berbagai pertunjukan seni budaya dengan ragam adaptasinya pada dunia wayang Indonesia yang merupakan salah satu dari epos berbahasa sansekerta”.

Untuk menjaring publik yang luas, pertunjukan wayang kulit kemarin malam disiarkan secara langsung melalui akun Instagram dan Facebook KBRI Paris. Banyak tanggapan positif yang dilontarkan para pemirsa yang tidak bisa hadir secara fisik di auditorium konservatori musik Iannis Xenakis yang terletak di kota Evry-Courrones, 26 km di sebelah tenggara Paris. Pertunjukan wayang kulit merupakan media sempurna untuk memamerkan pada masyarakat Prancis sekaligus dua warisan budaya Indonesia bukan benda yang telah diakui oleh UNESCO.

Semoga kedua warisan budaya dunia bukan benda asal Indonesia ini tetap hidup. Masyarakat Indonesia terpacu untuk melestarikannya. Jangan sampai kalah dengan semangat orang Prancis yang giat mempelajari wayang dan gamelan. Yang menarik dari pertunjukan pertunjukan wayang kulit malam itu adalah bahwa sebagian besar para niyaga atau penabuh gamelannya adalah orang-orang asing, termasuk sang dalang sendiri yang bedarah campuran Prancis-Indonesia. Sudah seharusnyalah masyarakat Indonesia menjadi aktor utama dan penggerak inti dalam pelestarian seni tradisi Indonesia. Jika tidak, betapa memprihatinkannya apabila kelak orang Indonesia harus berguru pada orang asing ketika ingin mempelajari seni tradisinya sendiri.

Foto : Sita S. Phulpin

Redaksi meralat judul 19/02/2022

4 tanggapan untuk “Pertunjukan Wayang Kulit Di Prancis Memukau Penonton

  • 19 Februari 2022 pada 19 h 59 min
    Permalink

    Budaya Indonesia semakin dijauhi di Negara sendiri malah di Luar Negeri dikagumi.

    Balas
  • 23 Februari 2022 pada 8 h 26 min
    Permalink

    Wayang Indonesia warisan bersejarah.

    Balas
  • 23 Februari 2022 pada 14 h 56 min
    Permalink

    Sungguh bangga dan bersyukur bahwa budaya Indonesia bisa dinikmati oleh bangsa2 lain.rini

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *