HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (58)
Malam ini sedikit mencekam. Sudah dua hari angin kencang seakan hendak merobohkan pohon-pohon yang tumbuh di depan rumah. Kadang diiringi hujan. Padahal rencana dua hari lagi aku bersama kawan-kawan yang tergabung dalam Biologiclub akan melakukan ekspedisi ke Utara. Sementara curah hujan sudah mulai sering turun membasahi kota Raflessia. Cuaca ekstrim seperti ini sebenarnya sudah sangat biasa di kota Bengkulu. Tiba-tiba badai, ombak tinggi, angin kencang, hujan tidak berhenti-henti, dan lain-lain.
Aku sedikit was-was. Pasalnya parit di depan rumah airnya sering naik. Dan jika hujan tidak juga berhenti sampai besok bisa dipastikan rumah kami akan banjir. Aku membuka pintu depan. Benar saja, air di parit sudah rata dengan halaman. Di tengah cahaya lampu yang samar-samar, aku melihat jalan sudah seperti danau. Air berkelindan ke sana kemari. Dalam hati aku memperkirakan, malam ini pasti aku tidak bisa tidur. Di kejauhan, beberapa rumah pintunya terbuka. Kurasa perasaan kami sama, was-was dengan banjir. Memang rumah di kawasan Rawa Makmur ini nyaris setiap hujan air dari-rawa dan parit akan naik. Hanya mereka yang tinggal di dataran yang agak tinggi saja yang tidak kena imbasnya. Selebihnya yang berada di dataran rendah dengan ikhlas menerima air kadang seperti tamu dadakan. Sudah pemandangan biasa melihat daerah ini seperti rumah terapung karena dikelilingi air di mana-mana.
“Dedek, ada melihat Ayu tidak? Sejak sore dia belum pulang-pulang. Dang tidak tahu dia main ke mana.” Aku kaget mendengar Dang Limah, ibu muda yang rumahnya seratus meteran di belakang rumahku berjalan di tengah air yang tergenang. Nada suaranya nampak cemas setengah menangis. Anaknya berusia enam tahun sudah malam hujan seperti ini belum pulang? Aku juga jadi ikut cemas. Air setinggi paha orang dewasa nyaris sebatas pinggangnya karena tubuhnya pendek. Hanya dengan bertudung plastik seadanya, Dang Limah menanyakan pada setiap rumah, apakah ada yang melihat Ayu anaknya. Beberapa orang tentangga ikut menyusul Dang Limah, menemaninya mencari anaknya di tengah hujan angin dan gelap. Tak lama orang yang ke luar rumah semakin banyak. Semua bergerak mencari kemungkinan ke mana Ayu bermain. Menurut Dang Limah, sudah sejak asar tadi dia mencari anaknya. Namun tidak ada satupun yang melihatnya.
Angin makin kencang. Aku segera masuk kamar. Aku akan coba menyisir perjalanan Ayu. Kemana anak kecil itu. Sementara hari sudah gelap. Aku mulai duduk di atas tempat tidur. Kumulai berjalan dari rumah dang Limah. Hmmm, siang tadi Ayu masih asyik bermain di teras rumah bersama beberapa orang kawannya. Mereka main masak-masakan. Lalu aku melihat Ayu membawa keranjang, menuju simpang di belakang rumahnya. Sesekali dia berhenti di sisi rawa-rawa mengambil daun dan bunga tertentu lalu dimasukannya ke dalam keranjang mainanannya. Padahal hujan gerimis dan angin kecil, namun tidak dipedulikannya. Kulihat bajunya sedikit basah dan lembab. Setelah keranjangnya penuh, Ayu kembali bergabung dengan teman-temannya seolah-olah pulang dari pasar yang disambut oleh kawan-kawannya yang berperan sebagai ibu, ada yang berperan sebagai kakaknya, dan berperan sebagai tetangganya. Tidak lama kemudian dia kembali membawa keranjang dengan alasan yang sama mau ke pasar pura-pura belanja lagi. Aku mengikuti gerakannnya. Kalau sebelumnya dia berjalan ke arah simpang belakang rumahnya, kali ini dia lurus ke depan rumahnya. Ayu berjalan di jalan setapak. Air rawa sisi kanan kiri tergenang dan yaris sampai ke badan jalan. Pemandangan seperti ini sudah sangat biasa, semak-semak dan rawa memang demikianlah adanya. Tidak ada rasa takut sama sekali. Kurasa begitu juga dengan Ayu.
Aku masih mengikuti arah jalan Ayu. Tiba-tiba aku melihat makhluk aneh berjalan dari rawa-rawa. Ayu tidak menyadarinya jika ada makhluk lain yang mengintainya. Tiba-tiba tubuh Ayu disambarnya lalu dibawanya pergi agak jauh dari sini. Aku segera menuju tempat makhluk yang membawa Ayu. Hmm…ada pintu gerbang. Sebelum masuk ke pintu gerbang, ada jembatan melengkung. Tidak terlalu indah. Justru pintu gerbang tersebut terlihat berlumut dan dan tidak terurus. Aku menajamkan penciumanku. Baru saja aku hendak melangkahkan kaki meniti jembatan, kakek Andun mengingatkanku.
“Jangan dititi, Selasih. Itu jebakan. Itu bukan jembatan. Tapi lihatlah ke bawah. Jembatan yang kau lihat itu hanya bayangan. Di bawah sana ada sumur tua yang penuh dengan jebakan. Ada siluman ular dan ribuan anak buahnya bersemayam di sana. Waspadahlah. Tingkatkan kepekaanmu. Yang akan engkau hadapi adalah makhluk jahat yang tentu berbeda dengan makhluk-makhluk yang biasa kamu temui di tanah kita.” Kakek Andun menegurku. Aku segera menarik kakiku ke belakang. Darah berdesir membuat jantungku sedikit berdebar. Apa yang dikatakan kakek Andun benar. Di hadapanku sebenarnya adalah sumur tua yang dalam. Aroma tidak sedap ke luar dari dasar sumur.
“Terimakah kakek, kakek sudah mengingatkan aku.” Ujarku segera. Kugerakkan hatiku untuk terus berzikir. Jasadku di rumah pun demikian, setiap hentakan nafas diiringi zikir. Aku merasakan hawa yang tidak sedap di area ini. Sumur tua, bangunan tua yang terurus, semak belukar, dan basah. Air yang tergenang, udara yang lembab, nampaknya membuat makhluk-makhluk jelek ini senang tinggal di sini. Aku melihat-lihat ke kiri dan kanan. Bukankah ini bangunan belakang SMA GUPI yang terbengkalai? Rumput menjalar hingga ke atap. Beberapa atap bolong. Gedung ini rusak parah. Entah sudah berapa lama komplek sekolah ini terbengkalai.
Dari jarak yang tidak seberapa jauh, aku melihat tubuh ular yang sangat besar berwarha hitam pekat dengan mata tak berkedip memandang ke arahku. Aku tidak mau gegabah. Aku berusaha mencari jasad Ayu. Di bawa kemana anak itu. Oh! Kurang ajar. Rupanya Ayu ada di dalam gelungan ular berwarna hitam pekat itu. Sejenak aku berpikir, apa yang harus aku lakukan? Bagaimana caranya menolong Ayu? Aku melihat Ayu masih hidup, nafasnya masih turun naik. Dia pingsan.
Belum sempat aku memutuskan untuk melakukan sesuatu, tiba-tiba ada yang menyerangku dari tiga arah. Aku langsung mengelak dan berusaha menangkis ketika salah satu serangan itu nyaris mengenai dadaku. Aku mencari-cari siapa yang menyerangku diam-diam itu. Oh, ternyata ada tiga sosok berada di atas atap berdiri gagah dengan dada membusung. Salah satu di antara mereka kulihat yang menyambar tubuh Ayu siang tadi.
“Hei cucu Adam, mengapa kamu datang ke mari? Mau mencari mati? Pergilah sebelum kami cabut nyawamu!” Ujar sosok yang berwarna hitam dan bongkok. Aku serasa ingin tertawa. Mungkin makhluk ini pernah nonton sinetron horor pakai mengancam bisa mencabut nyawa segala.
“Aku akan pulang, namun berikan dulu anak kecil yang ada dalam gelungan ular hitam itu.” Ujarku santai. Dalam hati aku berdoa semoga Ayu hanya berada dalam gelungan ular itu saja, jangan sampai dililitnya.
“Fokuskan dirimu menghadapi tiga sosok itu saja dulu Selasih. Jangan terpancing dengan gerakan ular hitam itu. Yang kau hadapi ini adalah makhluk jahat yang berilmu tinggi. Yang bongkok itu berasal dari laut Tais. Dia salah salah satu penguasa di sana. Yang tengah itu dari pantai Selatan Bengkulu, dia juga penguasa di salah satu wilayah itu. Dan yang pinggir itu yang mengambil anak kecil itu asalnya dari Tapak Paderi. Anak itu akan mereka persembahkan pada acara ritual laut malam ini. Selamatkan anak itu, Selasih. Kakek akan bantu kamu dari jauh.” Bisik kakek Andun lagi. Aku mulai serius. Jika kakek Andun sudah turun tangan artinya yang akan kuhadapi bukan yang biasa-biasa saja. Artinya aku akan benar-benar bertarung.
“Baik kakek, aku akan hadapi mereka. Terimakasih Kek.” Ujarku bersemangat.
Aku mulai membuka jurus pertama. Gerakan menyapu dan mantra angin kukerahkan. Kutarik senjata cemeti dari tangan kananku. Sejata yang jarang sekali kugunakan. Kekuatan sudah mulai kusalurkan ke ujung senjata.
“Hai, dengar jin laut. Alam kita berbeda. Aku harap jangan saling ganggu. Aku kemari hanya ingin menjemput anak kecil itu,” ujarku masih dengan nada pelan. Mereka tertawa serentak. Aku menahan nafas ketika tawa mereka menggelegar menyerangku. Wah! Tertawa saja adalah serangan. Apalagi jika mereka mengeluarkan ilmunya menyerang aku. “Hiiiiaaat!” Aku langsung balas serangan mereka. Kuhantamkan kakiku ke bumi. Satu hentakkan membuat atap dan dinding rumah tua itu langsung runtuh. Ketiganya melompat persis di hadapanku. Aku tidak memberikan kesempatan pada mereka mendarat. Mereka serentak berkelit menghindari seranganku sembari memberikan serangan balasan. Meski kelihatan sudah sepuh namun makhluk ini tidak bisa dianggap remeh. Tiga mahkluk ini termasuk makhluk yang ganas. Aku segera duduk, membaca mantra, kuangkat tanganku ke atas, kuhimpun energi halilintar dan badai sekaligus. Angin berdesing sangat cepat. Mereka bertiga melakukan hal yang sama. Angin badaiku bergumul dengan angin kekuatan mereka bertiga. Pelan-pelan kusalurkan panas halilintar. Akibatnya langit kadang terlihat terang, kadang gelap. Percikan api gara-gara kekuatan beradu beperdar-pendar. Aku segera menyapukan sinar bening untuk memutuskan kekuatan mereka.
DUARRR!! Benturan terkuat terjadi kembali. Jika tadi hanya percikan api, sekarang api yang berkobar dari masing-masing tangan mereka. Kulihat mereka menyatukan tangan menghimpun kekuatan. Aku segera ubah strategi, tenaga dalamku kutingkatkan. Kali ini akan kuhadang dengan kekuatan gunung. Aku menjadi tenang ketika dari kejauhan aku mendengar zikir semakin lama semakin keras. Tiba-tiba tiga makhluk itu melepaskan genggaman mereka bertiga. Aku heran mengapa mereka tidak jadi menghimpun kekuatan bertiga menjadi satu? Padahal aku nyaris melemparkan serangan kekuatan gunungku.
“Hei kutu air, hentikan suara bernyanyi itu. Panas!! Jika kau memang cucu Adam dan bisa mengalahkan kami, tunjukan saja kekuatanmu. Jangan bernyanyi-nyanyi.” Ujar yang bongkok. Oh, rupanya mereka risih dengan suara zikir yang mengiringi setiap gerakku.
“Itu bukan suara menyanyi, tapi anak kecil ini diiringi zikir oleh sesepuhnya untuk melawan kita. Bisa tidak kita suruh dia diam.” Ujar yang satu lagi.
“Nah, jika kalian tahu suara zikir itu bisa membuat tubuh kalian panas, mengapa kalian tidak ikut aku saja untuk sama-sama berzikir, memuji kebesaran sang Khalik yang menciptakan kita, menciptakan bumi dan langit.” Ujarku menatap mereka.
“Aaaaah!!! Jangan coba membujuk kami cucu Adam! Aku terbuat dari api. Tentu saja aku tidak akan tunduk pada Tuhanmu, apalagi padamu.” Suara si Bongkok menggelegar. Tiba-tiba tubuhnya berubah menjadi makhluk besar mengerikan. Matanya berkilat-kilat seperti api. Aku melihat ada permata bentuknya persis seperti teropong di keningnya. Cahaya yang dipancarkannya seperti api yang berkobar. Dalam hati aku ngeri juga melihat bentuknya. Baru kali ini aku melihat mahkluk besar menyeramkan.
Aku segera membantin memanggil paman Raksasa. Sekejap mata, paman sudah hadir di sampingku.
“Sejak tadi aku menunggu kau memanggilku untuk melawan iblis ini, Selasih. Baiklah, kau uruslah yang lain, biar paman mengahadapi iblis ini.” Ujar Paman Raksasa bersiap-siap melakukan serangan. Tak lama aku melihat tubuh keduanya melesat ke udara. Mereka bertempur di atas angin. Sementara dua makhluk lainnya masih berdiri menantangku.
“Siapa lagi yang akan kau panggil untuk menghadapai kami, kutu air? Panggillah semua kawan-kawanmu kemari, agar cepat selesai urusan kita. Tepat tengah malam nanti kami harus melakukan ritual persembahan. Jadi tidak banyak waktu untuk bermain-main dengan kutu air ingusan sepertimu.” Ujarnya lagi.
Mendengar tantangan dan meremehkan tersebut naik juga darahku. Kuserang secepat kilat mulutnya dengan cahaya biru dari telapak tanganku. Sementara cemetiku kulepas berkeliaran membentuk angin yang berpusar mencari sela untuk mengikat kedua makhluk asral yang berilmu tinggi ini. Aku belum menemukan celah untuk mengalahkan mereka. Beberapa kali benturan terjadi memekakkan telinga antara cemeti dan senjata dua makhluk itu.
Mendengar mereka akan melakukan ritual untuk mempersembahkan Ayu, membuatku harus segera mengambil keputusan secepat mungkin. Aku kembali memberikan penyerangan tidak mau mendengarkan mereka banyak bicara. Ternyata mereka pun sama, keinginan untuk menakhlukan aku secepatnya nampak dari nafsu ketika mereka menyerang balik padaku. Paman dan si Bongkok nampak betempur hebat. Masing-masing sudah mengeluarkan ilmu andalannya. Sejenak aku melihat kemampuan paman Raksasa jauh lebih maju dibandingkan ketika aku baru mengenalnya. Kulihat paman menyapukan sorban yang dipakainya. Sorban itu berkilat-kilat mendesak iblis si Bongkok yang mengubah tubuhnya menjadi raksasa. Si Bongkok tak mau kalah. Beliau juga melakukan penyerangan dengan senjata andalannya. Berkali-kali cahaya api meluncur dari mata besar di keningnya.
“Hiiiiiiaaaaat!” Aku kembali mengerahkan angin badai yang kukombinasikan dengan tenaga halilintarku. Seranganku kali ini tidak memberikan jedah untuk dia berpikir. Aku juga tidak mau berpikir lain kecuali berusaha mencari celah untuk menumbangkannya. Benturan demi benturan terjadi. Aku terdorong ke belakang beberapa langkah ketika keduanya melakukan serangan serentak. Mereka kuat sekali. Hampir saja aku terduduk. Aku kembali berdiri dan kembali kuhimpun tenanga dengan konsentrasi penuh. Kulihat mereka berdua pun mulai bersiap-siap untuk melakukan penyerangan kembali. Salah satu mereka memegang dadanya. Aku sudah bisa pastikan jika dia terluka gegara benturan tadi. Keduanya mengeluarkan senjata andalan masing. Satu senjata mirip trisula, yang satu lagi tombak yang aku yakini ujungnya pasti mengandung racun yang sangat berbahaya. Aku merasakan kekuatan yang dasyat ketika dua senjata itu bergerak. Cemetiku segera kutangkap dan kusimpan. Aku menarik selendang di leherku lalu kubentang segera. Dalam waktu singkat selendangku telah bergumul dengan senjata lawan. Masya Allah, aku seperti melawan ribuan makhluk yang sama. Setiap seranganku nyaris tidak ada apa-apanya. Ilmu yang mereka miliki kuakui memang hebat. Setiap benturan selalu membuat dadaku bergetar dan nyeri.
Aku mundur beberapa langkah agak menjauh dengan mereka. Aku segera duduk lalu kuhimpun kembali kekuatan baru dengan jurus yang baru pula. Mereka justru mendekat sambil tetap melakukan penyerangan. Aku hantamkan tanganku ke tanah. Keduanya berdiri sembari tetap bertahan melawan dorongan gunungku. Pelan-pelan kukunci gerakan mereka. Keduanya tumbang seketika. Tidak sampai di situ, meski sudah terluka keduannya kembali bangkit dan menyerang. Aku melihat darah segar ke luar dari mulut keduanya. Aku hantamkan dua kali pukulan melalui kekuatan bumi. Saat mereka akan tumbang ke dua kali, kuarahkan telunjukku segera kuambil energi keduamya bersamaan. Lalu Gedebuk!! Keduanyan jatuh ke tanah seperti nangka masak.
Aku segera memecah diriku untuk mengambil Ayu yang masih tergeletak di tengah-tengah ular yang melingkar. Ayu segera kupagari agar sang ular tidak bisa melilit tubuhnya. Pecahan tubuhku mulai melakukan penyerangan pada si ular hitam. Ular hitam menyemburkan hawa beracun dari mulutnya. Tubuhnya yang besar mulai menggeliat ke sana kemari. Ekornya yang runcing mulai berusaha hendak menangkap pecahan tubuhku. Kubiarkan keduanya saling serang dengan tetap kucoba membaca amalan-amalan tertentu untuk meningkatkan kekuatan pecahan tubuhku. Si ular mulai melawan, berkali-kali kepalanya hendak mematuk. Kulihat pecahan tubuhku menggempur ular dengan hantaman –hantaman mematikan. Si ular sekarang terlihat makin liar. Ayu masih tergeletak seperti orang tidur.
“Huuuaaackk!!” Sekarang giliran aku yang muntah darah. Benturan-benturan dasyat melawan dua makhluk asral itu telah membuat aku terluka. Dadaku terasa sesak dan sakit. Belum sempat aku duduk lurus untuk mencoba memulihkan diri, Si bongkok yang sedang bertarung dengan paman raksasa mengirimkan pukulannya padaku. Aku pasrah. Paling aku akan bertahan dengan sisa tenaga. Aku tak sempat untuk melakukan perlawanan. Gerakannya sangat cepat. Tiba-tiba aku melihat seberkas cahaya putih menghalangi serangan si Bongkok. Cahaya yang menyilaukan mata itu melindungiku. Dengan mudah serangan di Bongkok ditolaknya. Aku tak sempat untuk melihat sosok siapa. Tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Aku kehilangan keseimbangan.
Tok! Tok! Tok! Tiga totokan dari sosok cahaya putih itu menancap di dada, pundak, dan tengkukku. Rasa sesak dan nyeri yang menyerang dadaku segera hilang. Aku duduk kembali. Lalu pelan-pelan aku merasakan ada energi yang disalurkan lewat ubun-ubunku. Aku belum tahu siapa yang melakukan ini. Sementara dua makhluk asral lawanku mengeliat tidak karuan karena tidak punya kekuatan lagi sembari menyebutkan kata ampun.
“Lawan ular hitam itu, lumpuhkan dia” Ujar sosok cahaya putih itu sambil membantu aku bangun. Aku segera memusatkan pikiran dan mengumpulkan tenaga dalamku. Pecahan diriku masih bertarung hebat. Beberapa kali ular besar itu menyemburkan racun dari mulutnya. Ekornyapun menyebar kemana-mana. Aku segera mengerahkan tenagaku, kucari kepalanya, lalu kuhisap energinya. Melihat aku membantu bayanganku, ular hitam semakin ngamuk. Badanya terhempas ke sana kemari mengakibatkan tanah bergetar. Sementara dari sumur tua, ribuan ular mengepung aku. Aku segera mengeluarkan ajianku sapu badai dan hawa panas matahari. Ular-ular itu kusapu, hangus seketika. Bersamaan dengan itu, paman Raksasa menyelesaikan pertarungan. Sosok cahaya putih itu membantu paman melumpuhkan Si Bongkok.
Crrreeessssss! Tiba-tiba aku melihat ular hitam tak berdaya itu menggeliat lalu lenyap. Asap hitam membumbung menyatu dengan angin. Tiba-tiba pancaran kilat menyambar kemana-mana. Hujan masih turun. Di tengah rawa yang tergenang, cahaya petir seperti akan membelah bumi. Aku segera menyambar tubuh Ayu. Sekujur tubuhnya basah. Aroma kemenyan dan anyir ke luar dari tubuhnya. Aku mencoba mentransfer energi padanya. Pelan-pelan Ayu mulai bergerak. Tak lama matanya terbuka namun belum bisa berbicara apa-apa. Aku menoleh, di belakangku berdiri sosok putih yang telah membantu aku dan paman raksasa.
“Terimakasih telah membantuku dan paman Raksasa. Maaf aku harus panggil apa?” UJarku sembari menundukan badan. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Tak lama, cayaha putih yang menyilaukan tersebut semakin lama semakin memudar. Aku melihat sosok lelaki gagah memakai blangkon tersenyum manis padaku.
“Eyang!!” Ujarku melompat, memegang dan mencium dengkulnya. Tidak kusangka, beliau hadir saat yang tepat. Ada perasaan haru. Padahal kami baru sekali berjumpa, namun beliau berkenan membantuku.
“Terimakasih, Eyang. Eyang telah membantuku dan paman. Kalau tidak, aku mungkin sudah disandera makhluk-makhluk itu.” Ujarku kembali. Sungguh aku tidak menyangka sama sekali jika Eyang kuda tunggangan pemuda Sentot yang datang. Beliau tersenyum ramah.
“Sama-sama, Selasih. Baru kali ini aku melihat manusia seberani kau melawan para iblis ini. Mereka adalah jin penghuni pantai dan laut, pengguasa yang tersebar di pantai Bengkulu ini. Mereka jahat. Selalu membuat masalah dan keonaran. Mereka adalah jin-jin jahat yang suka sekali menggesek kehidupan manusia” Ujar Eyang menjelaskan. Aku memahaminya. Bagaimanapun, meski Eyang kuda ini berasal dari Jawa, namun beliau sudah lama tinggal di bumi Rafflesia ini. Sedikit banyak, beliau paham bagaimana kehidupan tak kasat mata di sini.
Tiba-tiba aku mendengar suara pertempuran. Aku mencoba memusatkan pendengaranku. Oh di arah pantai. Kira-kira dua kilometer dari sini. Muncul keinginanku untuk melihat siapa yang sedang bertempur tersebut.
“Ada yang tengah bertempur paman, Eyang. Sepertinya di arah Barat. Di pantai” Ujarku gelisah ingin ke sana. Aku bingung, bagaimana dengan Ayu? Tidak mungkin aku tinggalkan dia sini atau kubawa ke tepi laut. Akhirnya paman raksasa aku minta untuk meletakakkan Ayu di atas god dekat rumahku agar mudah terlihat oleh orang. Paman raksasa membantuku. Ayu ditidurkannya di atas god depan rumahku. Benar saja, tak lama berselang ada orang lewat dan menjerit melihat Ayu.
Aku menarik nafas lega. Selanjutnya aku dan Eyang langsung melesat ke pantai. Tak lama paman Raksasa juga menyusul. Sesampai di pantai alangkah terkejutnya aku. Ternyata yang sedang bertarung adalah kakek Andun. Rupanya makhluk-makhluk dari laut ini sengaja ke darat untuk membuat kegaduhan. Mengetahui tiga sahabat, ular dan pasukakannya tewas mereka bermaksud untuk membantu dan ingin membalas kematian ketiganya padaku. Kekek Andun sengaja menghadang mereka.
Aku meminta izin pada kekek Andun untuk melawan pasukan dari laut. Kakek Andun setuju. Beliau mengiyakan.
“Hati-hati Selasih, biasanya mereka mengetahui kawannya bertarung maka yang lain akan datang ikut menyerang diam-diam.” Ujar Eyang kuda. Aku mengaguk lalu melopat ke tengah arena. Kakek Andun melompat minggir sambil berpesan agar aku hati-hati. Aku langsung melakukan penyerangan. Kakek, Paman Raksasa, dan Eyang kuda tetap berdiri mengawasiku.
Pada kesempatan lain, aku duduk sambil melakukan penyerangan. Kutempelkan tanganku ke tanah, lalu kuhentakkan. Energi bumi kuangkat untuk menghantam makhluk-makhluk asral yang bandel ini. Beberapa sosok kulihat berlari, kabur menyusup masuk kembali ke laut ketika melihat beberapa kawan mereka kutarik dan kumasukan ke ujung jariku. Sementara sosok macan putih masih terus menyerangku dari berbagai penjuru. Aku menyapukan kedua tanganku ke atas. Angin berdesing membentuk perisai lalu semakin lama semakin runcing melawan serangan macan putih. Kulihat Macan Putih mulai terdesak. Beberapa anak buah dan teman-temannya serentak menyerangku. Aku sapu semuanya dengan angin dan cahaya halilintar. Dalam sekejab kawan-kawannya hangus terbakar. Tinggalah Macan Putih tetap berdiri tegak dengan posisi menantangku. Aku tahu, dia sudah mulai gentar dan mencari sela untuk kabur. Sebelum dia melakukannya secepat kilat kusapukan selendangku. Dan berhasil! Aku menyeret tubuhnya sembari menyalurkan energi melalui selendang yang kupegang. Makin lama Macan Putih makin lemas. Sebelum tubuhnya kusambar dengan pukulan badai, secepat kilat ia hantamkan senjatanya ke kepalanya. Macan Putih bunuh diri! Aku, kakek Andun, Paman Raksasa dan Eyang berdiri sembari bergoyang-goyang. Angin dari laut seakan marah menerpa kami yang masih berdiri di pantai. Ombak semakin tinggi. Lagit tiba-tiba bersinar merah lalau gelap kembali. Tak lama kemudian hening kembali.
Aku mencari-cari tubuh Macan Putih. Ternyata, ketika langit bersinar merah dan angin berkesiur ada yang mengambil jasadnya. Siapa mereka? Siapa lagi kalau bukan makhluk-makhluk yang bersemayam di laut pantai Kualo. Kami saling pandang. Aku memeluk erat tubuh kakek Andun. Rasa rinduku benar-benar tertumpah. Seperti biasa kakek Andun mencium kepalaku. Aku memperkenalkan Eyang kuda pada kakek Andun. Keduanya bersalaman dan berpelukan erat lama sekali. Demikian pula pamam Raksasa, ikut berkenalan dengan Eyang Kuda. Hujan dan angin mulai sedikit bersahabat. Kakek Andun dan paman Raksasa mohon diri. Kulepas keduanya dengan perasaan mengharu biru. Tinggallah aku dan kekek Kuda.
Akhirnya, aku dan kakek Kuda berjalan, sejenak menikmati pantai Kualo. Pantai yang landai ini tenang menerima deburan ombak. Kakek Kuda bercerita perihal makhluk-makhluk yang ada di pantai Bengkulu. Dari beliau sedikit banyak aku belajar tentang karakter makhluk laut yang rata-rata lebih ganas dan berilmu tinggi. Di kejauhan, lampu mecusuar di Tapak Paderi menyala. Beberapa cahaya kerlap-kerlip dari rumah-rumah penduduk yang berdiri di tebing-tebing dekat pantai. Pantulan cahaya, seperti menari di atas laut yang berombak.
Bersambung…