HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (62B)
Allahu Akbar!!
Hentakan takbir itu seperti pecut meledak di tubuhku. Gumpalan hitam melesat ke luar dari mulut, perut, dan dadaku. Sekali lagi aku mendengar hentakan takbir itu seperti menarik sesuatu dari kepalaku. Aku merasakan ada energi menetralisir tubuhku dari pukulan-pukulan yang dasyat tadi. Lalu sebuah kekuatan mengalir dari ubun-ubunku hingga ke ujung kaki, terasa hangat. Aku masih pasrah. Tubuhku terasa lumpuh.
Tiba-tiba ada dorongan sangat kuat menekan perutku. Membuat aku ingin muntah. Benar saja akhirnya aku muntah. Ada benda hitam ke luar dari mulutku. Sejenak kupandangi, seperti batubara hitam pekat namun berkilat-kilat. Eyang Kuda segera menetralisirnya. Pahamlah aku jika itu adalah salah satu senjata rahasia untuk membunuhku. Entah siapa yang menyerang, aku tidak tahu. Tiba-tiba fubuh Eyang Kuda melesat ke atas, lenyap dari hadapanku. Putri Bulan membantuku duduk. Di hadapanku Macan Kumbang menahan bahu agar tidak roboh. Aku merasakan tangan halus menempel di punggungku. Putri Bulan mencoba memulihkan tenagaku sekaligus menelisik tubuhku dengan sangat hati-hati.
Antara terpejam dan tidak, aku melihat beberapa bayangan berkelebat. Aku mendengar suara benturan bertubi-tubi tidak jauh dari tempatku duduk. Tapi karena Putri Bulan dan Macam Kumbang masih memulihkan tenagaku, aku belum berani mengangkat kepala dan membuka mata. Aku mencoba menyingkronkan hawa yang mengalir ke seluruh pembuluh darah. Terakhir, Putri Bulan menghantamkan pukulan persis di tengah-tengah jantungku. Aku kembali muntah, dan kembali ada benda yang ke luar dari mulutku. Sebuah mustika? Sekarang giliran Macan Kumbang yang menetralisir mustika yang bergerak-gerak seperti makhluk hidup itu.
“Duduk bersila, Cung. Lipat tanganmu ke atas. Pusatkan kembali pikiranmu. Puyang akan mengembalikan tenagamu.” Suara Puyang Pekik Nyaring! Mendengar bisikan itu aku segera memperbaiki duduk bersila meski gerakkanku masih terbilang lamban. Aku merusaha memusatkan pikiranku. Di samping kiri kanan Macan Kumbang dan Putri Bulan juga duduk bersila. Kedua tangan mereka mengembang seperti membantu mengumpulkan energiku sembari membaca doa dan mantra. Sementara Eyang Kuda sepertinya bertempur entah tengah melawan siapa dibantu kawan-kawannya yang tak henti berzikir.
Aku merasakan ada kabut tipis mengitari tubuhku. Tenggorokanku semula terasa kering kini kembali pulih. Kepalaku semula berat, pelan-pelan rasa itu hilang. Dan yang terpenting adalah aku seperti mendapatkan energiku kembali. Semua kemampuanku kembali berkumpul dan tersusun rapi ke dalam tubuhku. Kukumpulkan satu-satu hingga terasa seperti lapisan yang saling merapat dan kokoh. Oh, bayangan tipis itu seperti asap berbentuk sosok Puyang Pekik Nyaring. Lalu di lapisan luar ada cahaya kuning berputar seperti arah jam. Tapi di balik cahaya ada sosok-sosok lain yang seperti bayangan. Sosok nenek Kam, nenek Ceriwis, kakek Njajau. Begitu dasyatnya pertempuran malam ini sehingga puyang, kakek, dan nenekku ikut turun tangan? Hanya beberapa detik aku merasakan tubuhku sudah kembali seperti semula. Macan Kumbang dan Putri Bulan menarik tangannya. Mereka kembali duduk bersila. Cahaya kuning ke luar dari tubuh Putri Bulan. Sementara dari tubuh Macan Kumbang aku melihat sinar berwarna ungu kebiruan seperti gelombang. Cahaya yang menggambarkan kekuatan energi mereka masing-masing.
Ketika dirasa sudah cukup, pelan-pelan bayangan sosok nenek, kakek, dan puyangku hilang. Yang ada hanya Macan Kumbang dan Putri Bulan menatapku sambil tersenyum. Aku mengusap wajahku seperti baru bangun dari tidur. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara ledakan memekakkan. Dan ledakan itu berulang kali seperti hendak memecahkan gendang telinga. Aku mencari tahu darimana asal suara itu. Masya allah aku melihat gulungan asap seperti bergerak ke sana ke mari. Ternyata di dalam gulungan itu ada dua sosok yang tengah bertempur hebat. Eyang Kuda tengah melawan makhluk seperti burung gagak raksasa. Parunya yang panjang, kukunya yang tajam, kadang kerlap-kerlip mengeluarkan cahaya. Setelah kuamati ternyata cahaya-cahaya itu adalah senjata serupa racun yang mematikan. Kulihat beberapa kali hantaman Eyang Kuda mengenai tubuh sang Gagak. Meski kadang gerakannya oleng, namun kembali si burung gagak mengepakkan sayap. Si gagak seperti memiliki nyawa serep. Nyaris pukulan-pukulan Eyang tidak dirasakannya. Selanjutnya Eyang Kuda mengeluarkan keris dari pinggangnya. Ketika keris itu ke luar dari sarungnya, aku melihat cahaya terang benderang seperti cahaya matahari membuat sekitar sungai terang benderang. Sejenak aku terpukau melihatnya. Eyang Kuda luar biasa. Burung gagak beberapa hasta mundur menghindari cahaya keris Eyang Kuda. Sepertinya cahaya yang dikeluarkan keris itu tidak hanya menyilaukan namun memberikan hawa panas pada si burung gagak. Tak lama berselang, tubuh Eyang Kuda sudah berkelebat ke sana kemari nyaris sosoknya tidak terlihat. Aku hanya melihat kilatan-kilatan cahaya yang berkelebat di antara burung gagak sembari menjerit dengan suaranya yang serak.
BuuuaaaaRRR!!
Tiba-tiba air sungai seperti diaduk lalu memercik hingga tinggi sekali. Aku menoleh. Ternyata di dalam air ada kakek Andun tengah bertempur dengan seorang wanita cantik dengan busana sangat tipis. Nyaris semua lekuk tubuhnya terlihat jelas. Kakek Andun menggempurnya dengan pukulan-pukulan yang menakjubkan. Perempuan itu sangat marah ketika ujung bajunya koyak hingga ke paha. Tak lama, perempuan itu bergerak seperti penari erostis. Tubuhnya bergerak liar membangkitkan hawa nafsu lawannya. Ini adalah salah satu jurus makhluk asral untuk melumpuhan lawan. Saat lawan merasa terangsang, tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya, maka dengan mudah dia menyerang lawannya dengan pukulan mematikan. Aku melihat meski sudah dengan berbagai macam cara dia lakukan untuk menakhlukan lawan namun tidak berpengaruh pada kakek Andun. Jiwa kakek Andun tetap stabil melakukan perlawanan. Aku menoleh pada Putri Bulan dan Macan Kumbang untuk minta izin melakukan pertempuran. Bagaimana pun aku sudah merasa tubuhku sehat meski sebelumnya aku nyaris semamput karena di serang bertubi-tubi oleh makhluk yang saat ini sedang bertarung dengan kakek Andun dan Eyang Kuda.
Aku mencoba berinteraksi dengan Kakek Andun meminta izin padanya untuk melawan makhluk itu. Belum sempat kakek Andun menjawab, dari kejauhan aku melihat sosok perempuan di dalam kereta kencana yang ditarik empat ekor kuda menuju ke arah kami berdiri. Kereta yang dominan warna kuning dan merah itu seperti lampu kerlap-kerlip di tarik empat kuda berwarna putih yang gagah. Aku mencoba menatap parasnya. Benar, seorang perempuan berparas cantik , mengenakan gaun seperti pengantin lengkap dengan mahkota. Jika diperhatikan dengan seksama mahkota yang dikenakannya di kelilingi buaya-buaya kecil yang terbuat dari emas. Yakinlah aku jika yang hadir adalah ratu buaya putih yang menguasai wilayah dekat jembatan sungai serut ini. Bala tentaranya adalah buaya-buaya kecil yang kerap menampakkan diri di semak-semak pohon rumbia yang tumbuh di rawa-rawa sepanjang sungai. Sekarang buaya-buaya kecil itu mengubah dirinya dalam bentuk manusia lengkap dengan senjata seakan hendak melakukan perang. Aku segera menghadang kereta kencana untuk menyambut ratu yang ada di dalamnya.
“Jumpa kembali kita di sini anak kecil? Aku sudah tahu, kedatanganmu sejak awal. Aku juga melihat kamu menghancurkan tempat sesembahan kami dan telah menghancurkan sebagian istanaku. Katakan, apa maumu?” Ujarnya sambil melangkah turun. Ketika dia turun air di dalam sungai ini seperti menyingkir. Kharismatik sekali perempuan ini, sampai air sungai pun menyingkir memberinya jalan.
“Jumpa kembali Ratu Buaya Putih. Maafkan saya, seperti yang peranah aku sampaikan padamu waktu kita berjumpa, aku minta jangan ganggu lagi bangsa kami. Tapi demi melihat bangsaku kembali kalian jadikan tumbul, aku tidak bisa terima. Kalian akan terus melakukannya dan akan mengambil manusia di daerah ini.” Ujarku lagi. Ratu Buaya Putih tersenyum manis sekali. Lalu dengan suara lembutnya dia katakan yang melakukan ini semua adalah anak buahnya. Bukan dia. Tentu saja apa yang disampaikannya bukan alasan yang masuk akal. Sebagai pemimpin, masak beliau tidak tahu kelakuan anak buahnya?
“Aku tidak mau tahu apakah anak buahmu, atau kamu. Yang jelas, aku datang kemari untuk bertemu denganmu dan seperti janjiku dulu, jika masih saja kalian menggangu kaum kami, bangsa manusia, maka akan kuhancurkan rumah-rumah kalian. Artinya kalian memang ingin berhadapan denganku. Sekarang aku datang menempati janji itu.” Ujarku menatapnya tajam. Ratu buaya putih mengangkat tangannya memberi isyarat padaku untuk bersabar. Sementara aku terlanjur marah. Aku katakan pantaskah seorang ratu membiarkan anak buahnya melakukan kejahatan lalu pura-pura tidak tahu, dengan bahwa itu bukan kehendak dirinya? Atau di luar pengetahuannya? Ratu Buaya Putih tahu kalau aku tidak bisa terima alasannya. Dengan sekali tepuk, dia menghentikan pertempuran. Anak buahnya yang semula tengah bertarung dengan dengan Kakek Andun dan eyang Kuda, tiba-tiba menghentikan diri dan melompat di belakang sang Ratu. Demikian juga pasukannya yang lain. Mereka yang semula siap perang, tiba-tiba tidak bergerak dan berlindung pada ratu mereka.
“Atas nama kerajaan Muara Bagkahulu, para sepuh dan Putri Selasih, saya mohon maaf. Kejadian petang tadi memang kesalahan anak buah saya. Mereka telah mengambil seorang lelaki yang jasadnya sudah kalian ambil itu.” Ratu Buaya Putih membungkuk pertanda minta ampun. Aku agak mundur beberapa langkah sejajar dengan kakek Andun dan Eyang Kuda.
Tak lama Macan Kumbang dan Putri Bulan ikut berdiri di sampingku. Melihat Putri Bulan, Ratu Buaya Putih langsung duduk dan mengangkat tangan pertanda memberi hormat. Mereka saling kenal rupanya. Aku menatap Putri Bulan. Matanya tajam menatap Ratu Buaya Putih. Tiba-tiba tangannya diangkatnya tinggi-tinggi lalu mengembang, dalam sekejap diarahkannya ke Ratu Buaya Putih.
“Hentikan penyamaranmu Ronta! Hiiiiaaat!!” Tiba-tiba tubuh Ratu Buaya Putih terlepar. Sang ratu yang semula kulihat begitu cantik tiba-tiba berubah menjadi perempuan yang berkulit kasar seperti kulit buaya. Matanya yang semula sangat indah berubah menyeramkan karena tidak ada warna bintik hitamnya. Polos berwana sedikit abu-abu. Aku bertanya-tanya, siapa Ronta ini sebenaranya? Lalu siapa yang bertemu denganku ketika di ujung jembatan yang menghadangku dulu? Apakah Ronta juga? Apa tujuannya mengubah dirinya menjadi ratu Buaya Putih? Sebuah rahasia yang yang patut dikuak.
“Maafkan para sesepuh. Ronta ini bukan Ratu Buaya Putih penguasa wilayah ini. Karena Ratu Buaya Putih penguasa kerajaan ini masih melakukan tapa jauh di gua gunung Bungkuk. Tidak ada yang tahu posisi pastinya di mana. Ronta adalah salah satu anak buahnya. Beliau memang dipercaya untuk menjaga istana selama ratunya pergi.” Ujar Putri Bulan. Aku terpukau melihat Putri Bulan. Ternyata beliau banyak tahu tentang wilayah dan siapa saja penghuni sini?
“Kamu sudah membuat kekacauan Ronta. Sampai-sampai sesepuh dari tanah Besemah pun datang ke mari gara-gara kamu. Lihat berapa banyak rakyat kerajaan ini mati sia-sia gara-gara kamu. Kamu telah menyalahkan kepercayaan yang telah diberikan oleh ratu kalian.
Kamu harus ikut saya. Akan kubawa kamu ke dalam pengadilan adat di kerajaan.” Mendengar itu, Ronta yang kukira sebelumnya adalah Ratu Buaya Putih penguasa perairan di bawah jembatan hingga ke muara sujud meminta-minta ampun. Nampaknya Putri Bulan tidak menghiraukan maaf dan ampunnya. Putri Bulan menggerakkan tangannya lalu berputar. Ronta seperti diikatnya lalu diangkatnya tinggi-tinggi, tak lama tangannya seperti melempar tubuh Ronta ke arah timur. Putri Bulan membalikkan badan menghadap kakek Andun dan Eyang Kuda. Beliau meminta maaf atas kelakuan salah satu mahluk di sini hingga nyaris mencelakakan semua. Selanjutnya beliau mengatakan jika semua kerajaan kecil dan besar yang berada di wilayah bumi Rafflesia ini semua dalam pengawasan kerajaan Tebo Bulet yang berpusat di Gunung Bungkuk di bawah kekuasaan Ratu Agung. Mendengar penjelasan sekilas itu aku manggut-manggut. Baru kupahami. Ternyata di dunia gaib pun ada pemerintahan yang diatur sedemikian rupa dan ada juga kerajaan atau penguasa-penguasa kecil yang nakal dan berkhianat seperti Ronta.
Semua menarik nafas lega. Kakek Andun dan Eyang Kuda berpelukan lama sekali sebelum berpisah. Aku bahagia melihat keduanya.
“Titip cucuku, Eyang. Terimakasih sudah berkenan mendampinginya. Masih banyak rahasia di jagad raya ini yang belum dia ketahui” Kata Kakek Andun memegang dan menepuk-nepuk bahu Eyang Kuda. Keduanya bertatapan akrab. Eyang Kuda mengagguk berkali-kali. Sambil membungkuk beliau katakan sejak bersua dengan Putri Selasih tanpa disengaja itu, hatinya sudah jatuh cinta dan merasakan bisa bersenergi karena aura positifnya. Selanjutnya kata beliau, dia tahu kalau Putri Selasih berasal dari salah satu pegunungan yang berjajar di pulau sumatera ini, dan banyak sekali leluhur yang menjaganya. Termasuk leluhur bumi Rafflesia pun ikut menjaganya. Mata Eyang Kuda tertuju pada Putri Bulan.
“Beliau salah satu kepercayaan Ratu Agung, penguasa tanah darat di Bengkulu ini. Meski kelihatannya masih sangat muda, namun beliau perempuan yang cerdas dan termuda di atara yang ada. Beruntung sekali saya dapat mengenal beliau juga, dan ternyata Putri Selasih lebih dulu mengenal Putri Bulan. Luar biasa. Saya bahagia sekali dengan pertemuan ini, Kakek Andun.” Suara Eyang Kuda lunak dan mendamaikan. Aku makin tersenyum dan kagum mendengar penjelasan Eyang Kuda tentang Putri Bulan. Macan Kumbang yang berdiri di sampingnya juga ikut tersenyum. Aku membayangkan keduanya menjadi sepasang pengantin yang berbahagia.
Setelah suasana mulai terlihat aman, para makhluk asral yang semula ke luar dengan senjata lengkap seperti menghadapi perang, pelan-pelan kembali ke sarang mereka dan sebagian berbenah membersihkan daerah yang porak poranda. Putri Bulan membantu mengapungkan sosok lelaki yang semula disekap oleh makhluk asral di sekitar ini. Tidak lama kemudian kerumunan orang yang sejak petang penuh harap cemas menemukan sosok pemuda yang hilang berteriak histeris dan sebagian lagi tak henti mengucapkan rasa syukur. Sejenak aku merasakan kesedihan beberapa orang yang menangis tersedan sembari mengelus-ngelus wajah sang korban. Bisa dipastikan mereka adalah keluarganya.
Kakek Andun meminta izin pulang lebih dulu. Aku mencium tangannya dan seperti biasa akan memeluknya, kakek mecium ubun-ubunku. Tak lama, Putri Bulan dan Macan Kumbang juga izin pulang. Aku menatap bahagia keduanya. Walau ada terbersit rasa sedih di dadaku. Karena Macan Kumbang pasti akan sedikit sekali waktunya bersamaku. Keduanya nampaknya sedang berbahagia. Buktinya keduanya datang berbaregan, tidak sendiri-sendiri. Berbahagialah mereka yang merasakan dan menemukan pelabuhan untuk menambatkan hati mereka. Selintas aku teringat Guntoro. Apa kabar lelaki yang pernah menyentuh perasaanku itu? Aku buru-buru membuang perasaan perih di dadaku. Kata Macan Kumbang berpikirlah realis. Iya, aku harus realis. Guntoro hanyalah masa lalu yang sempat singgah menabur bunga di padang dadaku ketika ditumbuhi rumput-rumput kecil yang hijau.
“Putri Bulan, ajak Macan Kumbang jalan-jalan ke pantai Panjang atau Sungai Suci saja dulu. Dia kan jarang-jarang melihat laut, melihat ombak, merasakan sensasi laut malam hari,” ujarku sengaja menggodanya. Keduanya tertawa berbarengan. Tak lama aku hanya melihat bayangan Putri Bulan dan Macan Kumbang semakin samar. Tinggallah aku bersama Eyang Kuda. Sejenak aku dan Eyang saling pandang.
Sepanjang sungai sudah mulai sepi. Sirine ambulan semakin jauh. Suaranya seperti raungan tangis keluarga yang belum bisa menerima kehilangan bagian keluarganya. Aku dan Eyang Kuda berjalan pelan menunju ke utara. Entahlah, kejadian yang kualami barusan mirip seperti mimpi. Semuanya berjalan cepat sekali. Aku tidak bisa bayangkan andai ketika aku dihantam makhluk asral itu tidak ada Eyang Kuda dan leluhurku yang membantu. Mungkin saat ini aku sudah berada di alam lain seperti jenazah pemuda yang dibawa ambulan untuk diotopsi ke rumahsakit.
Bersambung…