Dari Au Pair di Prancis, Mengambil Kuliah Kembali, Kini Dirinya Mantap Sebagai Penulis di Eropa

Marisa atau M. Tiyasaa sebagai nama penanya adalah penulis indonesia yang saat ini bermukim di Jerman. Perjalanannya sebagai penulis cukup panjang. Berbekal kaya akan pengalaman dan pendidikan di tiga negara, Indonesia, Prancis dan Jerman, membuat wanita kelahiran Krawang ini jatuh cinta dengan dunia literasi. Tiga bukunya telah diterbitkan. Membaca tulisan Marisa membuat pembaca akan mendapatkan banyak ilmu karena tema yang diangkat memberikan gizi pengetahuan.

Surat Dunia (SD): Melihat perjalanan akademik dan karir mu, begitu bervariasi. Awal mengambil kuliah kimia, tapi tidak cocok tapi pada akhirnya lulus sebagai lulusan terbaik di Universitas Sahid Fakultas Komunikasi. Kemudian kamu memulai petualangan di luar negeri sebagai ‘au pair’. Kembali kebangku kuliah mengambil Master untuk komunikasi di Prancis lalu Master Branding Strategique di Jerman tapi pada akhirnya kamu memutuskan untuk menjadi penulis profesional. Bagaimana Awal mula menulis dan berkeinginan membuat buku karena apa?

M. Tiyasaa (MT): Landasan utamanya mungkin karena kecintaan dengan dunia pendidikan (selain menulis saya juga senang mengajar) dan karakter saya yang cenderung introvert. Saya senang dunia research yang identik dengan pola kerja individual dimana team work tidak jadi kunci utama dalam menciptakan karya atau analisa data, sama juga dengan menulis atau menjadi dosen lepasan. Saya merasa tidak cukup cerdas skill management team work-nya, gampang down ketika menghadapi konflik. Walau banyak agenda wawancara ketika proses menulis, tapi interaksinya selalu bersifat santai (seperti ngobrol dengan teman walau sedang menginterview expert seperti dokter, pengacara, atau dosen). Sehingga tekanan ‘team work skill’ pun tidak begitu diperlukan juga. Ketika hamil dan pindah ke Jerman, akhirnya memutuskan ini jadi waktu yang tepat untuk mencoba terjun di dunia literasi dan ternyata jadi keasikan sampai sekarang.

Dan kini menulis sudah menjadi profesi yang saya daftarkan secara resmi di bawah administrasi pajak negara Jerman sejak tiga tahun terakhir. Saya menulis sebanyak 20-25 jam setiap minggunya. Disiplin ini sangat saya terapkan dalam keseharian saya.

SD: Buku pertama dibuat dengan judul ‘Soé Isabel’ dan buku kedua berjudul ‘Soé de Stork’ bisa diceritakan sedikit mengenai buku tersebut? Mengapa memilih judul tersebut dan apakah keduanya saling berkaitan?

MT: ‘Soé Isabel’ menceritakan tentang persahabatan lima pelajar internasional dengan karakter utama Soé sebagai pelajar asal Indonesia yang juga merupakan seorang au pair. Pesan yang ingin disampaikan dari kisah Soé dan keempat sahabatnya adalah tentang menghargai perbedaan dan melihatnya lebih sebagai kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain dan bukan memecah.

Selain itu Soé Isabel juga bermaksud untuk lebih memperkenalkan au pair yang masih sering dikategorikan sebagai pembantu atau TKI oleh kebanyakan teman-teman di tanah air, dan juga memberikan sedikit gambaran tentang pentingnya menggenggam mimpi walau lahir sebagai anak kampung yang serba kekurangan. Novel ini ditargetkan untuk remaja dan Young Adult, oleh karena itu saya memilih penerbit yang terjun dalam dunia akademik yang mengambil alih hak ciptanya, yaitu Yrama Widya di kota Bandung.

Buku kedua adalah ‘Soé de Stork’ yang merupakan buku anak bergambar dalam bahasa Inggris diterbitkan secara independen melalui jalur crowdfunding. Buku ini juga mengangkat tema rasis dan diskriminasi.

SD: Kenapa keduanya menggunakan judul Soé, apakah buku ini saling berkaitan?

MT: Untuk Soé Isabel terinspirasi dari anak kecil yang tidak sengaja saya bertemu, sedangkan untuk Soé de Strok, tema nama dari semua karakter bermaksud angkat nama-nama kota di Indonesia dan ternyata pas saya cari-cari nemu nama Soe juga merupakan salah satu nama kota di Indonesia dan itulah yang membuat saya akhirnya memutuskan tetap menggunakan Soé.

SD: Marisa kini kembali mengeluarkan buku baru. Dan kali ini membahas kembali mengenai kasus diskriminasi hanya kali ini dari sisi seorang wanita indonesia berdarah Tionghoa yang bermukim di Prancis, bagaimana ceritanya bisa sampai menjadikan ini sebagai bahan tulisan dan apa yang ingin kamu sampaikan kepada para pembaca?

MT: Pada awalnya project publikasi direncanakan mengangkat tema Wanita, kesulitan dan kekuatannya. Project tersebut sudah tergarap setengah jalan melalui interview dengan beberapa profile, seperti Shui Meng (aktivis Singapore yang suaminya hilang diculik sejak 8 tahun lalu), Nelly Tuikong-Park (pebisnis dari Kenya yang merasakan tingginya diskriminasi dalam dunia kosmetik untuk kulit hitam), Kirana Agustina (satu-satunya sailor berhijab dari Indonesia yang tegabung dengan Exxpedia). Namun ketika mulai menggarap kisah San ini, kekuatan cerita begitu kuat dan dominan sehingga rumit untuk dikompilasi. Dari cerita ini juga saya jadi punya banyak ruang untuk menulis tentang Indonesia dari sisi kultural dan sejarah.

Dari tulisan ini saya ingin menyampaikan tentang kehebatan dan kekuatan wanita Indonesia berjuang di pengadilan tinggi Perancis.

Alasan utamanya mengangkat tema rasisme dan diskriminasi ini sebenarnya karena tertarik mendalami akses yang memfasilitasi perpecahan yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat global. Dari sana saya berharap dapat menyampaikan pesan untuk terus hidup berdampingan (jadi wadah pengingat kalau rasis dan diskriminasi dalam hal apapun itu tidak manusiawi dan menyesatkan).

SD: Siapa yang mendesain sampul buku-buku kamu?

MT: Soé Isabel sampulnya merupakan foto karya suami (pekerjaan suami fotografer) yang kemudian dilengkapi oleh tim desain Yrama Widya. Soé de Stork sampulnya didisain oleh saya pribadi dengan sistem collage dan tulis tangan. Lalu untuk ‘in a Dark Purple’ didisain oleh saya bersama suami. Sampulnya merupakan karya lukis abstract yang saya buat dan kemudian oleh suami di sentuh dengan manipulasi photoshop.

SD: Bagaimana tanggapan publik untuk buku pertama?

MT: Alhamdulillah di dua minggu pertama langsung menjual hampir 300 eksemplar dan sempat mendengar juga dari pihak penerbit kalau edisi 2000 cetak pertama sudah habis (saya belum dapat laporan finansialnya sehingga belum bisa memastikan). Banyak yang mengapresiasi Soé Isabel karena deskripsi kehidupan diluar yang digambarkan atau beberapa kalimat bahasa Perancis yang membuat mereka merasa belajar. Ada banyak juga yang menyatakan keinginan untuk mengambil program au pair. Dan tidak sedikit yang mengungkapkan bahwa mereka menangkan pesan anti rasis dan diskriminasi dalam cerita Soé. Sedangkan Soé de Stork terjual 250 eksemplar dengan pengiriman hampir seluruh benua.

SD: Buku kamu itu apa yang membuat berbeda?

MT: Saya tidak terlalu yakin ada yang membuat Soé Isabel berbeda dengan banyak buku tentang cerita persahabatan diluar negeri. Jikapun ada mungkin terkait dengan beberapa highlight dalam dialogue-dialoguenya yang mendeskripsikan definisi anti-rasis dan anti-diskriminasi. Untuk buku anak Soé de Stork mungkin yang membedakan karena prosesnya yang bukan komputerasasi tapi dengan sistem shaping and cutting dan seluruhnya ditulis tangan (satu-satunya yang typing hanya barcode ISBN). Untuk ‘in a Dark Purple’ yang membedakan mungkin kekuatan deskripsi dari setiap momen-momen dramatis, contohnya ketika menghadapi penghinaan verbal yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit terhadap seorang wanita kewarganegaraan asing (Indonesia) sejak pertama kali suaminya dibawa ambulans hingga akhirnya disodorkan surat keterangan donor organ.

Melalui puluhan jam wawancara saya dengan San (karakter utama dalam cerita), kami mencoba untuk merefresh ingatan San untuk mengingat setiap detail kejadian. Buku ini juga mencoba mengangkat konflik kehidupan seorang janda baru yang bertekad keras untuk bertarung dengan Rumah Sakit di meja hijau sehingga kurang lebih memberikan sedikit pemahaman terkait dengan hukum donor organ dan fakta terkait dengan tingginya angka medical error yang terjadi di Perancis.

SD: Siapa penulis favorit kamu dan siapa yang menjadi inspirasimu dalam berkarya?

MT: Yang menginspirasi tulisan Soé Isabel adalah The Glass Castle karya Jeannette Walls dan Stupeur et Tremblement karya Amélie Nothomb. Tapi setiap tahunnya saya selalu ganti idola. Tahun ini saya lagi suka sekali dengan Roxane Gay, Malcolm Gladwell dan Sheryl Sandberg yang cenderung menulis non-fiksi. Kalau dari tanah air saya suka karyanya Hendri Teja.

Untuk gaya menulis saya biasanya terinspirasi dari buku-buku yang saya baca dan suka sedangkan untuk content itu sendiri biasanya terinspirasi dari banyak celah seperti obrolan-obrolan santai dengan suami atau teman. Saya juga aktif mengikuti kelas online untuk creative writing (via Master Class atau Skill Share) dan biasanya materi-materi kelas juga banyak menginspirasi saya dalam menulis.

Bagi yang ingin melihat Sinopsis cerita dan mendapatkan buku terbaru M. Tiyasaa ‘in a Dark Purple’ bisa melihat iLIVE saat ini di Kickstarter – http://kck.st/3hDdZI8

Untuk pembelian yang hanya akan berlangsung hanya sampai 27 September 2020. Jumlah buku yang dijual juga tidak banyak – grab it fast jika dirasa cerita ini buat kamu 🙂 Spesial untuk pembelian di tanah air dapat menghubungi langsung penulis di no whatsapp +491632523235).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *