HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (88A)

Karya RD. Kedum

Sudah dua hari ini aku di tanah Besemah, pulang ke Seberang Endikat dijemput Puyang Pekik Nyaring dan Macan Kumbang. Aku pulang dulu untuk sementara. Masa liburanku sudah mau habis. Bagaimana pun aku rindu Bapak, Ibu dan Kakek. Berbeda dengan mereka, perasaan mereka aku tidak ke mana-mana, karena ada nenek gunung yang menggantikan peranku selama aku di pulau Jawa.

Baru dua hari, namun sudah muncul rasa rindu pada istana kerajaan Timur Laut Banyuwangi. Meski berkali-kali Puyang Purwataka mengingatkan, istana tidak akan apa-apa, termasuk juga Nini Ratu dan Eyang Putih, mereka akan ikut mengawasi kerajaan. Di tambah dengan Nyi Ratih dan beberapa tokoh kepercayaan kerajaan, nampaknya mereka adalah golongan makhluk-makhluk yang setia.

Sebelum pulang ke Besemah, berkali-kali aku mengecek pagar gaib untuk melindungi kerajaan. Semuanya kuyakini aman. Hanya beberapa sosok tertentu saja yang dapat membuka pintu gerbang untuk ke luar masuk. Selebihnya tidak ada yang bisa masuk mau pun ke luar tanpa seizinku atau Nyi Ratih.

Kerajaan Timur Laut Banyuwangi memang kubuat tersembunyi. Bagaimana pun aku khawatir akan ada kerajaan-kerajaan lain berniat memiliki kerajaanku. Apalagi hukum yang berlaku di alam gaib ini adalah hukum rimba. Tidak sedikit mereka ingin mencoba mengalahkan aku. Lalu menjadikan kerajaan Timur Laut Banyuwangi sebagai wilayah kekuasaannya. Jika kerajaan Timur Laut Banyuwangin di bawah kekuasaan salah satu kerajaan gaib itu, maka kerajaan Timur Laut Banyuwangi harus menyerahkan upeti dalam waktu tertentu. Seperti beberapa kerajaan di sekitar tepi laut, setiap tahun mereka mempersembahkan manusia sebagai upeti pada kerajaan yang menakhlukannya. Berbagai macam cara mereka lakukan untuk memperoleh manusia tersebut. Dengan cara membuat manusia kecelakaan, baik di darat mau pun di air, lalu mati. Atau mati tiba-tiba tanpa sebab, dan lain sebagainya. Bisa dibayangkan, jika kerajaan Timur Laut Banyuwangi yang diperlukan seperti itu, bisa jadi akan muncul perang besar-besaran.

Beberapa hari lagi aku akan pulang ke Bengkulu. Liburan sudah akan berakhir. Namun beberapa minggu lagi aku akan kembali ke Timur Laut Banyuwangi untuk memenuhi permintaan Nini Ratu. Aku diminta menemui beliau di gua pertapaannya. Meski melalui dialog batin masih terus kulakukan, namun hingga saat ini, Nini masih saja menolak untuk ke luar dari gua pertapaannya.

Kabar dari Nyi Ratih pagi ini sungguh menyenangkan. Katanya ada beberapa warga usai bersyahadat dibimbing Kyai di masjid istana. Artinya umat muslim di kerajaanku semakin bertambah. Yang penting bagiku adalah, wargaku tidak ada paksaan harus memeluk Islam, tapi semua rakyatku harus memeluk agama, lalu mengamalkannya sesuai kepercayaan masing-masing. Masih menurut Nyi Ratih, mereka yang bersyahadat tergugah karena mendengar azan tiap waktu solat. Lalu melihat aktivitas santri yang buru-buru membasuh diri, berwudu, lalau beribadah. Kukatakan pada Nyi Ratih, seseorang yang mendapatkan hidayah, tidak ada yang tahu dari pintu mana. Banyak cara Sang Maha Khalik untuk menyentuh hamba-hamba yang Dia kehendaki.

Berita ke dua yang tak kalah gembira adalah kabar dari Puyang Purwataka. Beliau mengatakan dua makhluk asral yang berhasil kuobati tempohari pun meminta Puyang mesyahadatkan mereka. Kasusnya nyaris sama, karena melihat aktivitas santri yang tekun ibadah menggugah hati mereka. Ternyata sikap taat dan lembah lembut para santri dapat melemahkan keegoan makhluk asral yang ganas itu.

“Kenapa senyum-senyum sendiri, Dek. Melihat apa?” Kakek Haji Yasir mengagetkanku setelah melihat aku senyum-senyum sendiri. Aku jadi kaget juga. Terutama sebutan nama kecilku yang sudah lama sekali tidak kudegar. Selama ini aku hanya mendengar sapaan Putri Selasih, Kanjeng Ratu. Dengan dipanggil Dedek, aku serasa kembali ke alam nyata yang lama kutinggalkan. Terasa baru melek! Inilah duniaku sebenarnya. Alam manusia!
“Tidak apa-apa, Kek. Aku bahagia sekali bisa lama di dusun kita. Apalagi melihat kakek brsama Haji Majani, masih terlihat gagagah” Alasanku.

Sambil membantu kakek menggulung tembakau pada daun nipah sebelum beliau menyalahkannya, sesekali menyeruput kopi. Kami berdua duduk di garang menghadapi halaman pondok yang lantang. Buah kopi yang masih di tumpuk-tumpuk sebentar lagi akan digerai untuk dijemur. Bapak sesekali menatap ke timur untuk memastikan apakah matahari akan muncul terang atau tidak. Jika cuaca bagus, maka buah kopi itu akan dijemur, tapi jika mendung, tentu akan ditutup kembali dengan terpal dan plastik rapat-rapat.

Aroma uap kopi yang dibekap terpal seperti aroma permentasi sedikit asam. Tapi aku suka aromanya. Aroma lemban ini kerap membuatku rindu karena hanya akan kutemui jika aku pulang kampung dan berada di kebun kopi. Begitu juga bunga kopi yang tengah melar, harum wanginya semerbak menyegarkan.

Seperti biasa aku dan kakek akan terlibat obrolan panjang. Kakek paling senang bernostalgia. Meski yang diceritakannya kerap kali diulang-ulang. Sebagai pendengar aku bahagia-bahagia saja mendengarkannya. Bagiku mendengarkan cerita beliau membuatku bisa kembali ke masa lalunya yang luar biasa. Apalagi jika kakek menyebutkan nama-nama teman seperjuangannya, komandan, atau orang-orang yang beliau anggap berjasa ikut memanggul senjata sebelum kemerdekaan. Melihat aku semangat bertanya, maka Kakek akan semakin semangat bercerita. Bahkan soal cara memasak dan makan kawannya yang nyeleneh pun beliau ceritakan. Biasanya kami akan tertawa terbahak-bahak. Aku akan sangat senang melihat wajah cerah kakekku.

Lain halnya jika bercerita dengan kakek Haji Majani, beliau akan berkisah tentang perjuangan nabi.
Nyaris semua kisah nabi ada di benaknya. Atau ketika mereka berdua ngobrol maka keduanya akan membicarakan hadist, sejarah muculanya surat-surat dalam Al quran. Mengupas tentang fiqih dan lain sebagainya. Yang lebih serem lagi kalau keduanya memperebutkan minta duluan mati. Kata kakek Haji Yasir biarlah dia duluan yang meninggal, sebab kalau dia meninggal duluan maka kakek Haji Majani bertugas mendoakannya setiap waktu. Sebaliknya, Kakek Haji Majani minta supaya beliau saja yang meninggal duluan. Alasannya sebagai kakak harus mengalah dan menyayangi adiknya. Maka dialah yang harus banyak berdoa untuknya.

Melihat candaan seperti ini kadang aku suruh keduanya suit beberapa kali, siapa yang menang dialah yang boleh duluan menghadap yang kuasa. Biasanya dengan lugunya kedua kakekku ini patuh saja. Mereka suit beberapa kali dan yang menang selalu Kakek Haji Majani. Meski ditengah canda tawa, namun kerap kali membekas di batin. Bagaimana jika hal ini benar terjadi? Duh! Aku takut membayangkannya. Karena aku rasanya belum sanggup ditinggalkan kesua kakekku ini. Aku masih sangat menyayangi mereka.

Sedang asyik menyeruput kopi, tiba-tiba terdengar suara gemerisik daun kering dari tengah kebun seperti diinjak-injak. Aku segera menoleh. Ternyata Macan Kumbang.
“Dari mana Bujang Lapuk” Sapaku. Mendengar aku menyebut Bujang Lapuk, Kakek Haji Majani menatapku.
“Siapa Dek yang kamu sebut Bujang Lapuk?” Ujar Kakek Haji Yasir. Aku kaget. Lupa jika Kakek Haji Yasir dan Kakek Haji Majani tidak dapat melihat apa yang aku lihat.
“Macan Kumbang, Kek. Itu dia baru turun gunung” Ujarku menunjuk ke bawah pondok. Kusampaikan saja dengan jujur pada kakek. Sebab untuk apa pula mau ditutup-tutupi. Kakek hanya mengangguk-angguk sambil melihat-lihat ke sana ke mari ingin memastikan bisa melihat sosok Macan Kumbang atau tidak.
“Kalau Si Kumbang nampak, nanti Kakek tidak kuat” Bisikku. Akhirnya Kekek menahan tawa.
“Bukan tidak kuat, kekek khawatir terkencing-kencing kalau terlalu dekat” Ujarnya. Aku ikut tertawa lebar. Sementara Macan Kumbang hanya senyum-senyum.

“Dek, ayo turun”. Ujar Macan Kumbang. Mendengar nadanya, nampaknya beliau tergesah-gesah. Aku pamit dengan Kakek seakan-akan masuk ke kebun kopi.
“Ayo naik, ikut aku. Ada tugas dari Puyang untukmu”Kata Macan Kumbang. Tanpa berpikir panjang, aku segera melompat ke punggungnya. Tak lama seperti angin aku dan Macan Kumbang melesat melewati kebun, hutan, bukit dan sungai. Di belakang aku melihat ada juga yang berlari kencang. Nampaknya nenek gunung juga. Tapi siapa mereka. Bukankah tadi yang kulihat hanya Macan Kumbang sendiri? Akhirnya aku tidak peduli siapa yang mengiring di belakang kami. Aku lebih fokus ke arah mana Macan Kumbang membawaku.

Usai menyeberangi sungai yang cukup luas dan bercabang-cabang, akhirnya kami sampai di sebuah perkampungan. Sekeliling kampung kebun sawit yang sudah cukup tua. Aku bingung berada di mana. Sementara tidak ada tulisan nama dusun kecil ini.
“Di dusun ini ada sepasang nenek gunung berkeliaran membuat masyarakat takut. Namun bahaya bagi nenek gunung itu. Nenek gunung itu tersesat ke mari gara-gara diburu. Puyang menyuruh kita menggiringnya kembali ke hutan Jambi” Ujar Macan Kumbang setelah aku turun dari punggungnya.

Aku kaget, ketika melihat penduduk dusun semuanya memegang senjata. Mereka adalah petani sawit dan sebagian lagi menjadi buruh di perusahan swasta yang mengelolah perkebunan.
“Ei, kah kemane, Gadis. Ade setue kulagh kiligh di daerah kamini. Kele dengah sengute (Ei, mau ke mana Gadis, ada nenek gunung kular-kilir di daerah ini. Nanti dirimu diterkamnya)” Ujar seorang lelaki berdiri di depan pintu dengan tombak di tangan.
Aku segera menghampiri beliau. Mendengar bahasanya meski mirip bahasa Besemah, namun mereka bukan dari suku Besemah. Dialek mereka berbeda.
“Apa yang terjadi, Mang. Mengapa sampai nenek gunung turun ke mari? Kulihat semua lelaki di dusun ini bersiaga seperti hendak perang” Ujarku. Beliau mengatakan mereka dalam keadaan terancam, ternak mereka, kambing, ayam, dimakan harimau. Harimaunya juga sering masuk sampai ke pemukiman. Akibatnya penduduk tidak ada yang berani bekerja di kebun sawit.
“Hati-hati gadis, mengapa kamu ke mari? Apa kamu tidak takut dimangsa harimau. Sudah seminggu ini mereka mengganggu pemukiman kami. Mereka juga memakan ternak-ternak kami” Ujar seorang bapak masih muda dengan lancar. Ingin rasanya aku menarik mulutnya. Dia pikir harimau-harimau itu turun bukit tanpa alasan? Ingin sekali aku mendebat apa yang beliau sampaikan. Tapi percuma. Manusia seperti ini mana akan berpikir tentang pelestarian alam. Yang ada dibenaknya bagaimana bisa makan, hidup enak, hasil sawit melimpah, harga meningkat.
“Mang, sadar tidak! Paham tidak kalian dengan kehidupan nenek gunung itu. Hewan itu tidak akan pernah mengganggu jika habitatnya tidak diganggu. Hutan rumah mereka telah jadi kebun sawit seperti ini. Kemana lagi mereka tinggal? Mereka makan apa? Belum lagi mereka kalian buru. Dengan alasan membela diri, demi keselamatan agar tidak terancam, kalian tega membunuh mereka. Pikiran kalian terbalik!” Aku mulai emosi ketika salah satu Bapak yang mendekati aku mengatakan, jika terlihat sedikit saja bayangan harimau, maka akan kubantai. Dengan sombongnya sambil menggenggam kecepek. Kalau bukan dihalangi Macan Kumbang, sudah kuubah diriku menjadi harimau lalu mengobrak-abrik mereka.
“Jangan, Selasih. Mereka adalah orang bodoh yang hanya memiliki pikiran sejengkal” Kata Macan Kumbang. Akhirnya kuredam emosiku.

Akhirnya aku pamit, tanpa menghiraukan peringatan berisi ancaman mereka. Aku tidak menoleh-noleh mereka lagi. Salah satu mereka berteriak-teriak melarangku masuk ke wilayah kebun sawit yang sedikit bersemak. Mereka riuh mengatakan pasti akan dimakan harimau liar.

Di sudut dusun ada semacam tempat pengintaian, terbuat dari kayu kurang lebih lima belas meter tingginya. Di sana ada beberapa orang mengarahkan senampang angin ke seluruh penjuru. Melihat kondisi ini bisa dipastikan kampung terpencil ini memang dalam keadaan gawat. Aku tidak mau berlama-lama. Setelah agak jauh masuk ke dalam kebun sawit aku duduk sejenak. Memanggil dan berusaha mengetahui keberadaan nenek gunung tersebut. Setelah ada signal, aku dan Macan Kumbang menuju keberadaan mereka. Ternyata mereka sedang duduk-duduk di semak-semak tidak jauh dari pelintasan yang sering digunakan oleh perusahaan membawa hasil kebun.

Aku menghampiri keduanya, lalu sejenak kuajak berkomunikasi jika jiwa mereka terancam kalu tetap bertahan di sini. Karena manusia akan takut bertemu mereka lalu nekat melumpuhkan mereka. Mereka menyatakan justru mereka merasa takut karena diburu manusia. Hal ini terlihat ekspresi mereka berubah ketika melihat ada orang yang melintas di atas motor sambil memanggul senjata. Aku mengingatkannya agar tenang. Demikian juga Macan Kumbang mengatakan akan mengantar mereka kembali ke hutan belantara Jambi.

Akhirnya, aku dan macam kumbang mengawal keduanya ke luar dari perkebunan sawit. Kami memilih jalan yang tidak ada manusianya. Sepasang nenek gunung ikut berlari kencang di sampingku. Perjalanan menuju belantara Jambi cukup jauh. Beberapa pelintasan aku melihat kampung gaib dan beberapa penduduknya ikut-ikutan berlari bersama kami. Kuingatkan mereka jika aku hendak mengantarkan nenek gunung ini ke hutannya. Ternyata mereka senang saja ikut di belakang kami seperti pengawal. Macan Kumbang tersenyum melihat mereka. Mereka adalah makhluk-makhluk asral berbentuk harimau yang tinggal di hutan, rawa, bukit perkebunan sawit Musi Rawas.

Setelah jauh masuk ke hutan belantara, harimau mulai mengandalkann penciumannya mencari arah wilayah kekuasaan pemimpinnya. Ternyata mereka memberi isyarat ke arah barat. Kami pun melanjutkan perjalanan ke sana. Setelah sampai di hutan yang dimaksud ke dua harimau duduk dan sujud padaku. Hal ini adalah cara mereka mengucapkan terimakasih. Aku mengelus-ngelus mereka dengan sayang. Meski baru saja bertemu tapi aku terasa begitu akrab. Mereka adalah sepasang anak muda. Ibarat di alam nyata, maka mereka adalah anak muda yang masih memiliki emosional tinggi dan selalu ingin mencoba sesuatu hal yang baru. Aku bersyukur, bisa mengembalikan mereka pada habitatanya.

Tak berapa lama kami kembali memutar haluan untuk pulang ke tanah Besemah. Harimau gaib yang mengiring kami pun dengan gembira ikut memutar haluan. Mereka bahkan meminta kami mengantarkannya pulang. Mendengar itu, aku mengangguk pada Macan Kumbang untuk mengantar mereka kembali ke hutan rawa Musi Rawas. Makhluk yang seperti ini baru pertama kali ini kutemui memiliki karakter yang lembut. Biasanya harimau jadian seperti ini ganas dan memusuhi. Tapi mereka nampak familier seakan kami adalah sahabat lamanya.
….
Aku menarik nafas lega ketika sampai di kebun kakek Haji Yasir kembali. Kulihat Bapak sudah menghamparkan kopi di halaman karena matahari memang sudah muncul. Aku berniat membantu ketika ibu berteriak memyatakan banyak bunga rumput menepel di bajuku.
“Dari mana si Dek, kok bajumu penuh kembang rumput? Loh! Ini kan rumput yang hanya tumbuh di belantara. Tidak ada rumput ini tumbuh di sekitar kebun” Ujar Ibu mengambil beberapa kembang yang menempel di bajuku. Bapak juga ikut-ikutan memerhatikan. Aku menatap beliau sembari mengedipkan mata. Bapak hanya tersenyum lalu kembali meratakan buah kopi. Tinggallah ibu menatap bengong merasa tidak dapat dukungan dari Bapak.
“Pak, lihat ini!” Ujar Ibu bernada tinggi.
“Sudah lihat, Bu. Paling juga anakmu dari belantara bersama Macam Kumbang. Apa yang harus di khawatirkan” Ujar Bapak setengah acuh sambil masih senyum-senyum. Mendengar Macan Kumbang, Ibu yang semula antusias ingin meyakinkan Bapak, jadi batal. Ibu malah naik pondok dengan cepat.

Sepeninggal Ibu, aku dengan cepat meratakan gundukan kopi yang masih basah. Untung Bapak tidak banyak tanya. Kalau beliau banyak tanya, beliau juga mungkin tidak percaya jika aku dan Mavan Kumbang baru saja ke hutan belantara Jambi mengantarkan dua harimau Sumatera yang tersesat di kebun sawit Kabupaten Lahat.

Bus yang membawaku ke Bengkulu terasa sangat pelan. Pagi ini aku berangkat ke Bengkulu bersama Bapak dan Ibu. Kami berpisah di terminal dengan Kakek Haji Majani. Beliau sengaja mau ke pasar terlebih dahulu mau membeli keperluan sehari-hari katanya. Bersyukur sekarang sudah ada kendaraan menuju dusun Pengaringan meski jalannya masih berbatu. Paling tidak bisa meringankan Kakek Haji Majani, tidak berjalan kaki lagi.

Sebenarnya aku mengantuk sekali. Beberapa kali mataku terpejam dan rasa hampir jatuh tersungkur ke depan. Beberapa kali kepalaku terbentur sandaran kursi di hadapanku. Lalu terjaga lagi. Jalan lintas yang berlubang-lubang, tidak bisa tidak membuat bus kadang miring ke kanan, kadang miring ke kiri.

Sebenarnya bisa saja aku lelap sejenak dengan membaca mantra dan doa sekejab. Tapi kapan lagi aku bisa menikmati layaknya manusia biasa. Naik bus berhimpit-himpit seperti ini, jarang-jarang kualami. Pe galaman seperti inu bisa kurasakan ketika pulang dari Bengkulu ke Pagaralam, atau sebaliknya.

Sebenarnya malam tadi nyaris aku tidak memejamkan mata meski sekejab. Aku bersama nenek Kam berkunjung ke gunung Dempu berjumpa leluhurku, Paman Raksasa dan A Fung adik gaibku. Pulang dari sana, bukannya istirahat, malah Nenek Kam mengajakku bercerita dan bertanya tentang banyak hal. Terutama perihal karakter guru-guruku di pulau Jawa dan kerajaan Timur Laut Banyuwangi. Aku bercerita panjang lebar perihal siapa Eyang Putih sebenarnya, lalu siapa Puyang Purwataka. Selanjutnya aku bercerita tentang kerajaan dan berbagai peristiwa di dalamnya. Tidak terasa, ternyata kami bercerita sampai subuh. Sementara pukul enam pagi , mobil Pardi satu-satunya angkutan ke kota Pagaralam sudah menjemput. Tanpa mandi lagi, usai solat subuh aku langsung ganti pakaian. Untuk pertama kalinya menikmati kendaraan dari Seberang Endikat menuju kota Pagaralam.

Kulihat tubuh Bapak dan ibu terguncang-guncang. Beliau berdua kebetulan duduk di samping sopir. Lebih nyaman dibandingkan duduk di bagian belakang. Di belakang, jika tidak duduk di sisi jendela, alamat seperti duduk dalam kotak, pengap dan berisik. Bus yang sudah tua ini meraung meniti jalan-jalan lintas yang berlubang.

Penumpang bus ke Bengkulu lumayan padat. Apalagi bus yang kutumpangi ini berangkat paling pagi. Sampai Bengkulu diperkirakan pukul tiga petang. Perjalanan memang terasa sangat lama. Bagiku tidak masalah. Ini kesempatan bagiku melihat langsung kehidupan di terminal bus hingga keberangkatan.Banyaknhalnyang bisa dipelajari. Di samping dapat menguji kesabaran, sekalian belajar memperhatikan karakter dan kehidupan para kernet, sopir, dan penumpang. Contohnya tadi sebelum keberangkatan, ada seorang ibu ngamuk-ngamuk minta duduk di kursi paling depan dengan alasan dia pemabok lalu mau mengusir Bapak. Tentu saja Bapak menolak, karena sesui tiket duduk di samping supir. Sang sopir juga tidak mengizinkan karena tempat duduk sesui dengan pesanan tertera di tiket. Si ibu masih ngeyel. Akibatnya keberangkatan jadi tertunda. Akhirnya ibu itu mengancam kalau mabok, maka muntahnya akan dia tumpahkannya di kursi atau di lantai. Melihat kenyataan seperti ini, aku ingin tertawa. Ternyata usia tidak menjamin seseorang bisa bijak, dewasa, sabar, dan punya malu. Contohnya si Ibu tingkahnya tidak lebih seperti anak-anak bawah lima tahun.

“Bengkulu?Yooo… kiri…kiri…kiri” Kernet yang menjolorkan kepala di jendela pintu kiri berteriak sambil memukulkan koin ke kaca. Bus menepi. Ternyata ada satu penumpang baru yang menunggu di tepi jalan. Padahal tempat duduk sudah penuh. Tidak ada lagi tempat kosong. Kursi serep pun sudah tidak ada. Lalu akan disuruh duduk di mana? Gumamku dalam hati melihat kondisi bus padat. Ternyata ada satu keluarga ibu dan satu anak duduk di tiga kursi. Anaknya disuruh kernet pangku, lalu penumpang yang baru naik di suruh duduk di situ. Terjadi keributan lagi, karena si Bapak protes. Mereka membeli tiga tiket otomatis tiga kursi. Tapi kernet dan supir tidak peduli meski penumpang sudah marah-marah. Melihat kenyataan seperti ini, supir dan kernet menurutku sudah tidak manusiawi. Kuhentakkan kaki, tiba-tiba bus berhenti. Berulang kali sopir menstater mobilnya tapi tidak nyala juga. Penumpang sudah kegerahan, sesak dan panas. Sebagian sudah membuka pintu dan turun sekadar mencari udara segar. Sang supir mencari-cari penyebab bus mati. Kernetnya dimarah-marah sambil mengucapkan kata-kata kotor ketika minta diambilkan alat.
“Cepatlah kaput! Ambil kunci delapan” Sang kernet buru-buru mencari kunci yang diminta. Belum lagi selesai perintah satu, sudah ada lagi perintah ke dua. Itupun menyapa kernet dengan sebutan anjing, kaput, keduroh. Telingaku terasa panas mendengar sumpah serapanya. Semua penumpang diam. Ingin rasanya memutar rahang supir agar mulutnya minimal miring. Tapi mengingat tidaknadsa supir serap, para penumpang alamat gagal sampai Bengkulu batinku. Akhirnya kubatalkan.

“Mang, lain kali kalau mau naik bus, lihat-lihat dulu tempat duduk masih ada apa tidak. Kalau sudah penuh, artinya semua tempat sudah dibayar. Tidak ada hak Mamang untuk menyingkirkan orang yang naik lebih dulu” Ujarku pada penumpang yang baru naik ketika kudekati.
“Bukan salahku, kernetnya yang nyuruh aku duduk di sana. Kalau aku maksa duduk sana iya, aku salah” Ujarnya ngeles.
“Tapi Mamang kan sudah tahu, Bapak itu sudah mempeelihatkan jika belia membeli tiga tiket. Tapi Mamang pura-pura tidak mendengar, pura-pura tidak tahu” Ujarku. Dia kehabisan kata, sehingga terakhir mengatakan, bukan cuma kalian ingin sampai tujuan, aku juga. Lagi pula aku naik kan tidak gratis, bayar. Mendengar itu, iseng kubuat telinganya tuli. Nampak si Mamang kaget. Berkali-kali dia menepuk-nepuk dan mengorek-ngorek telinganya. Kadang mengepalkan tangan, lalu meniupnya, berharap telinganya yang budek mendengar kembali.

“Mang supir, coba nyalahkan lagi mobilnya. Insya Allah nyala. Tapi dengan syarat mamang yang itu jangan suruh naik lagi, dan jangan menaikan penumpang di jalan lagi” Ujarku. Si sopir sejurus tertegun menatapku. Kucoba meyakinkannya lewat matanya. Aku mencoba mempengaruhinya. Beliau patuh dan mencoba menyalahkan mobilnya. Melihat mobil kembali nyala, semua penumpang naik kembali. Ketika penumpang yang baru mau naik, tiba-tiba bus mati lagi.
“Kan sudah saya bilang, Mang. Jangan dinaikan lagi penumpang satu itu” Kataku lagi. Akhirnya si supir patuh, disuruhnya kernet menurunkan penumpang yang baru naik. Benar saja, ketika dia turun bus nyala kembali. Akhirnya bus kembali melaju tanpa penumpang baru.

Aku senyum-senyum sendiri melihat sopir keheranan.
“Hebat nian anakmu, Mak. Cak dukun bae” Kata supir berbicara pada Bapak. Bapak hanya tersenyum menanggapi supir. Mungkin Bapak juga kesal melihat supir bermulut kasar.
Aku belum mengembalikan pendengaran penumpang yang gagal naik tadi. Biarlah untuk beberapa saat dia risau dengan kondisi barunya. Sebab beliau baru saja mencuri uang hasil menjual lada adik perempuannya yang janda. Padahal jumlahnya tidak seberapa. Tidak hanya itu, subang emas yang hanya setengah gram pun dia ambil di telinga keponakannya. Suami adiknya meninggal beberapa bulan lalu meninggalkan dua anak, perempuan dan laki-laki yang masih balita. Mereka hanya punya setengah hektar kebun lada warisan bapak suaminya. Lelaki itu bukan membantu adiknya, malah mencuri apa yang dimilikinya. Dia naik bus, rencananya mau kabur.

Ketika bus melaju di jalan mulus, aku menarik nafas panjang. Artinya bus sudah masuk wilayah peebatasan Bengkulu dengan Sumatera Selatan. Semua penumpang tidak lagi seperti ditimang-timang sepanjang jalan. Kulihat beberapa penumpang mulai mengatur posisi untuk tidur. Perjalanan memang masih cukup jauh. Ada sekitar dua sampai tiga jam lagi. Aku pun ikut memejamkan mata, meski pikiranku jauh ke mana-mana.

Lusa sudah mulai masuk sekolah. Aku akan bertemu dengan sahabat-sahabatku. Rasanya sudah sangat rindu sekali berjumpa mereka. Duduk di kelas tiga, hanya tinggal beberapa bulan lagi. Selanjutnya akan Ujian Nasional. Rasanya waktu sangat singkat.
Selama menjelang Ujian Nasional, rencanaku akan fokus persiapan diri untuk menentukan masa depanku saja. Aku ingin kuliah. Tapi ketika ingat tanggungjawabku pada Timur Laut Banyuwangi, pikiranku berubah kembali. Akhirnya aku pasrah, berserah diri saja, biarlah Sang pembuat skenario hidup akan mengarahkan aku ke mana.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *