HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT V (71A)

Karya RD. Kedum

Udara subuh terasa semakin dingin. Suara serangga hutan masih seperti berlomba memamerkan kemerduannya. Sesekali suara jangkrik mengerik, kadang dekur burung hantu seakan mengingatkan agar semesta bangun sebelum fajar tiba. Halimun makin tebal. Pertanda siang tidak akan turun hujan. Dalam hati aku bersyukur, karena kami tidak akan ada masalah ketika menyeberang. Semoga air sungai tetap kecil seperti kemarin.

Pelan-pelan aku mendengar kawan-kawanku sudah ada yang mulai bangun. Kuintip dari bawah lengan. Rupanya Adi dan Wira. Lalu disusul Rully dan Ahmad. Mereka langsung turun menuju kamar kecil dan wudu. Ada pendatang yang lain memompa lampu petromak yang sudah mulai kecil. Ruang kembali terang. Aku kembali memejamkan mata meski bukan terlelap.

Tak lama aku mendengar Wira lari ke atas rumah panggung agak buru-buru sambil menahan diri untuk tidak berteriak. Nafasnya terdengar memburu. Aku melihat ekspresi cemasnya. Namun karena aku sudah mulai mengantuk aku belum hendak bertanya. Tubuhnya tersandar di dinding pondok ruangan. Tak lama terdengar dirinya seperti sesak nafas. Aku langsung bangun dan melihat ke arahnya. Kulihat ada tubuh besar hitam tinggi mencekik leher dan menginjak perutnya. Melihat adegan itu tanpa pikir panjang, kucengkram belakang sosok itu dari belakang lalu kulepar tubuhnya ke lembah. Aku mendengar jeritannya panjang sekali. Tapi itu terdengar hanya di alam gaib. Di alam nyata hanya melihat Wira seperti orang ayan kelonjotan. Aku segera menyebut namanya menutupi apa yang sudah aku lakukan. Sambil terus menggucang tubuh dan memanggilnya. Pelan-pelan kusalurkan energi berusaha memulihkan tenaganya.
“Bang..bang Wira. Kenapa, Bang?” Tanyaku ketika melihat wajahnya tidak pucat seperti tadi. Beberapa kali bang Wira istighfar sebelum menjawab pertanyaannya.
“Tadi, ketika selesai wudu, aku berniat mau naik untuk mengambil sarungku yang ketinggalan. Tapi sebelum naik, aku seperti melihat sosok berdiri di bawah tangga. Hitam, besar, dan bertanduk. Matanya merah seperti api. Aku ketakutan tapi tidak berani berteriak. Sampai di sini, dia naik lalu mencekik leher dan menginjak perutku!” Ujar Bang Wira sambil tetap mengatur nafasnya yang memburu.
“Kalau tidak kau tarik tubuhnya, mungkin aku sudah mati. Terimakasih Dek.” Lanjut Wira lagi. Aku mencoba meralat kata-katanya.
“Aku tidak melakukan apa-apa, Bang. Aku hanya kaget melihat Bang Wira kelojotan, lalu mencoba memanggil dan membangunkan bang Wira.” Ujarku. Mata Wira memandangku tak percaya. Aku merasakan mahluk yang menyerang Wira kembali naik dan medekat. Aku segera memecah diriku lalu menemuinya di bawah.
“Kenapa kembali lagi ke mari? Mau kulempar lagi? Mengapa kau mengganggu kawanku?” Ujarku setelah berada di hadapannya. Sosok genderowo!
“Aku tidak suka kehadiran kalian. Terutama kamu!” Ujarnya marah. Aku heran, mengapa dia membenciku? Memang aku salah apa? Dari penjelasannya baru kuketahui ternyata dia tidak suka melihat kehadiranku karena dia anggap aku akan menghalangi pekerjaanya. Padahal aku tidak tahu apa aktivitas dia sehari-hari sehingga dia marah. Menghalangi apa? Aku makin bingung.
“Aku tidak urus pekerjaanmu. Aku tidak ada urusan denganmu.” Ujarku melihat aura marahnya yang meledak-ledak aku mulai waspada. Makhluk tinggi besar itu langsung menyerangku dan kembali berkata bahwa kedataganku tidak membuat mereka nyaman. Dia bersama kawan-kawannya merasa terusik. Apalagi tahu ketika aku ke kampung mereka bertemu dengan leluhur di bukit ini. Mendengar itu aku jadi naik pitam.
“Hei Genderowo! Dengar! Kamu bukan golongan leluhur dusun Tinggi Sebakas ini. Jadi jangan mengaku-ngaku jika kamu bagian keluarga besar dusun Tinggi. Mereka bukan golonganmu. Jadi jangan sesekali kamu mengganggu kawan-kawanku. Ingat, jika ada kawanku yang celaka, maka akan kukejar kau sampai kemana saja” Bentakku.
“Kalian mengapa datang kemari? Tidak bawa apa-apa! Kamu mau menghalangi bangsa manusia yang memuja kami bukan? Kalian mau menghancurkan sesembahan mereka bukan? Itu sudah tradisi sejak nenek moyang mereka. Jadi jangan coba-coba kamu mengubahnya,” ujarnya lagi. Rupanya kehadiranku dan kawan-kawan mereka artikan lain. Sebab pada umumnya yang datang kemari kebanyakan punya niat dan keinginan tertentu. Sementara aku dan kawan-kawan tidak. Dari pertama datang niat kami hanya ingin melihat hutan dan bukit konon adalah dusun yang digaibkan.
“Dengar makhluk jahat. Sebenarnya kalianlah yang menyesatkan bangsaku. Kalian masuk ke dalam jantung hati dan pikiran mereka, kalian bengkokkan hati mereka untuk memuji dan minta pada leluhur. Dengan bahasa yang manis minta didoakan. Padahal para leluhur tidak pernah minta disembah apalagi mereka sudah mati, mereka yang mati tidak bisa mendoakan orang yang hidup. Tapi orang yang hiduplah yang harus mendoakan mereka. Pekerjaan kalian memang suka membalikan fakta. Kalian hasut dan kalian tumbuhkan keyakinan pada hati saudara-saudaraku pada jalan yang salah.” Ujarku tak kalah kencangnya disambutnya dengan tawa. Genderowo menepuk-nepuk dadanya.
“Itulah kebodohan bangsamu. Kami memang ditugaskan untuk menyesatkan kalian. Agar kalian menjadi pengikut kami. Kami masuk ke dalam aliran darah manusia, ke dalam hati dan jantungnya. Kami yakinkan, kami bantu untuk menanamkan keyakinan itu. Apalagi kami diberi makan,” Sang Genderowo tertawa lagi.

Aku tahu makhluk ini penuh tipu daya. Pandai memanfaatkan situasi dan pandai pula mengadu domba, memanfaatkan kesempatan saja. Kasihan saudara-saudaraku yang sudah terlanjur meyakini jika kehidupan ini ada peran nenek moyang, campur tangan para leluhur. Melihat aku mengetahui rahasia mereka, Genderowo diam-diam melakukan penyerangan. Aku berusaha menghindar. Kurasakan tenaganya kuat sekali. Aku tidak tahu makhluk ini berasal darimana. Namun mendengar arah bicaranya, nampaknya dia menguasai daerah tertentu. Karena manusia sering memujanya, makanya kehadiranku diangganya sebagai ancaman. Padahal aku tidak tahu menahu urusan puja memuja ini.
“Kamu berasal darimana?” Ujarku sambil mengghindari serangannya. Nampaknya dia sangat bernafsu ingin mencelakai aku.

Dari pengakuannya dia mengatakan bahwa dirinya raja penguasa di bukit ini. Dalam hati aku membatin, bisa jadi beberapa bagian daerah perbukitan ini menjadi wilayah tinggal mereka. Kembali aku menghindar dari pukulan-pukulan yang dia kirimkan. Melihat dia serius ingin mencelakai aku, akhirnya aku langsung lawan dia. Kukerahkan sedikit kemampuanku. Beberapa kali pukulan kami beradu. Ketika pertempuran sengit antara aku dan genderowo itu masih berlangsung, tiba-tiba hadir sosok manusia menghalangi serangan genderowo.
“Hentikan Kubar! Kau jangan mengganggu tamu Puyang. Beliau dalam perlindungan Puyang Sebakas.Kau tidak akan mampu melawannya” Ujar sosok itu berdiri di antara aku dan genderowo.
“Ah! Dia anak kecil. Dia akan menjadi penghalang kita. Dia akan menghancurkan ritual dan sesembahaan yang diberikan pada kita. Apa kau sudah berubah pikiran. Kita akan kelaparan dan kering karena tidak mendapatkan energi lagi. Kekuatan kita akan hilang” Ujar Genderowo yang kuketahui bernama Kubar. Akhirnya mereka berdebat sejenak tetang aku. Sosok manusia yang menghalangi Kubar adalah salah satu penghuni dusun Tinggi Sebakas. Dengan tegas beliau menghalangi Kubar dan menyuruhnya pergi jauh-jauh agar jangan pernah mengganggu. Aku mengucapkan terimakasih padanya. Akhirnya kuketahui, jika beliau pada dasarnya adalah golongan yang tidak disukai puyang karena masih senang melaksanakan pendalaman ilmu kuno warisan yang sudah dilarang Puyang.
“Tapi sejahat apa pun aku, aku tetap menghormati tamu puyangku. Aku jamin, ‘tobo jabalan’ itu tidak akan mengusikmu dan kawan-kawan,” Ujarnya lalu tanpa pamit langsung pergi. Aku menarik nafas lega. Aku segera kembali ke atas.

Beberapa pengunjung terbangun mendengar bang Wira yang sedikit gaduh. Bang Wira masih menampakkan wajah cemas. Ina juga duduk dekat Wira.
“Mulutmu kenapa, Dek? Kok merah? Berdarah ya?” Ina menatap sambil memegang wajahku tiba-tiba. Masya Allah, aku lupa kumur-kumur atau sikat gigi habis nyirih tadi malam. Aku gelagapan menjawabnya. Aku katakan saja gusiku mungkin berdarah. Aku segera turun membawa sikat gigi menghindar tatapan serius Ina.

Suara azan subuh Adi mendayu-dayu mengisi ruang musolah. Sayang tidak ada toa. Sehingga suara azannya hanya terdengar di sekitar sini saja. Kulihat Wira meski masih berwajah cemas bersama kawan yang lainnya sudah menuju musolah untuk menunaikan salat berjamaah. Aku mencari-cari apakah ada makhluk lain yang ikut solat berjamaah?

Suara azan sudah hendak berakhir, tapi aku tidak melihat sosok gaib salat di sini. Apakah karena jarang-jarang ada azan subuh di mosolah ini sehingga mereka enggan ke sini? Entahlah. Aku bergegas masuk dan membentangkan sajadah tipisku. Ina berdiri di samping kananku. Ahmad kembali bertindak sebagai imam. Baru saja takbir, aku melihat banyak sekali orang masuk ikut berdiri di samping dan belakangku. Demikian juga yang laki-laki. Ahmad melambatkan bacaan salatnya. Usai salat kawan-kawan berzikir masing-masing sebelum berdoa. Ketika bangkit, Ahmad kaget. Pasalnya dia tidak mendengar jamaah ke luar dari musolah. Perasaannya tadi pada waktu salat jamaahnya banyak sekali. Terdengar ketika mengaminkan al fatihah yang dia baca. Sekarang tinggal beberapa orang. Wajah Ahmad nampak heran. Ingin bertanya tidak berani. Mereka adalah makhluk-makhluk penghuni seputaran rumah singgah ini. Mereka memang sering melaksanakan solat di sini. Kata di antara mereka, jarang sekali musolah ini berisi banyak orang ketika subuh. Biasanya jika banyak tamu yang datang, satu dua saja. Selebihnya manusianya banyaklah memilih tidur. Mendengar itu aku hanya tersenyum.

Di timur, langit nampak merah. Matahari baru hendak terbit. Langit seperti lukisan, cahaya jingga menyemburat di langit yang masih berwarna a abu-abu. Bintang timur masih kelap-kelip, ukurannya lebih besar dari yang lainnya.
“Kapan akan pulang Selasih?” Suara Macan Kumbang. Aku segera membatin menjawabnya. Sejenak aku berdialog dengan Macan Kumbang.
“Ingat, jangan macam-macam di tanah orang. Kamu tamu di situ. Hormati semua anturan daerah itu. Jika ada yang menurutmu kurang tepat dan aneh, cukup tahu saja. Jangan banyak bicara dan bayak tanya. Ingat! Lain lubuk lain ikannya. Kau sudah disambut baik oleh para sesepuh di sini. Fokuslah pada kehidupan mereka yang bersahaja, yang sudah diperlihatkannya padamu.” Lanjut Macan Kumbang. Aku mengangguk mengerti. Selanjutnya aku segera ke dapur bergabung dengan Ina membuat sarapan pagi.

Usai sarapan, kami segera mengemas barang. Rencana kami akan naik puncak bukit sepagimungkin, agar tidak mudah terasa lelah. Seperti biasakawan-kawanku bergotong royong membersihkan lingkungan rumah. Semua sampah kami kumpulkan. Ada yang menyapu, menata piring, membersihkan dapur umum yang terbuka, menyusun kayu bakar yang masih tersisa. Kami anggap ini olahraga pagi. Gula dan kopi kami yang tersisa kami gabungkan dengan yang ada. Nampaknya kopi dan gula di sini memang sengaja dibawa pengunjung untuk pengunjung. Usai berkemas, berdoa bersama, kami melakukan perjalanan. Seperti biasa aku memilih berjalan paling belakang. Jalan menanjak lumaian menguras tenaga. Tapi karena udara masih dingin meski ‘ngos-ngosan’ tetap tidak berkeringat. Hanya nafas kami saja seperti asap tiap kami berhembuskan nafas. Aku bersama kawan-kawanku meniti jalan yang menanjak santai tanpa suara.

Matahari sudah mulai naik. Pohon dan rumput sepanjang jalan berembun. Tanah jalan setapak juga masih basah. Burung-burung kecil mulai berkicau. Beberapa ekor kera berteriak merasa terusik melompat cepat dari dahan satu ke daham lain sembari memeluk anak-anaknya. Sebenarnya aku ingin berhenti lama menikmati aktivitas kera dan anak-anaknya. Melihat sang induk memberi kode bahaya pada seisi hutan membuatku tersenyum. Hewan saja punya perasaan kebersamaan. Kompak!

Kira-kira berjalan empat puluh lima menit, kami sampai di puncak bukit sebakas. Bang Wira yang berjalan paling depan mengucapkan salam terlebih dahulu. Lalu berkata-kata.
“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatu. Nenek puyang Dusun Tinggi Sebakas, kami dari Bengkulu sengaja datang kemari minta izin untuk melihat pemandangan dan keadaan puncak bukit bersejarah ini. Mohon maaf nenek Puyang, jika kehadiran kami kurang berkenan, kurang tepat, atau mengganggu ketenangan semua penghuni di sini.” Ujar bang Wira. Di alam gaib beberapa makhluk menjawab salam bang Wira dengan senang hati. Namun tidak sedikit yang menatap dengan mata merah pertanda tidak senang. Aku berusaha biasa-biasa saja.
“Alhamdulilah…Masya Allah, ternyata pemandangan dari sini memang indah sekali. Lembah, sungai, kebun, dan sawah terlihat meliuk-liuk meski hutan di lembah sudah banyak yang berubah menjadi semak.” Ujar Wira. Selanjutnya kami duduk melingkar di bawah tiga pohon yang tumbuh persis di tengah puncak. Kami lakukan berdoa bersama dipimpin Ahmad. Usai berdoa masing-masing membuat catatan tentang kondisi alam di sekitar dusun Tinggi Sebakas. Termasuk membuat konsep penghijauan. Nampaknya kami akan segera bekerjasama dengan dinas kehutanan untuk meminta bantuan pohon lindung yang bisa ditanam di sepanjang jalan menuju bukit, dan sepanjang sungai. Mengajak perangkat desa dan warganya minimal menanam bambu di sisi sungai.

Aku berkeliling-keliling sejenak di seputaran bukit. Menikmati alam nyata. Sengaja aku tidak masuk ke dimensi para puyang. Aku khawatir nanti kawan-kawanku tahu siapa aku.
“Tidak masuk, tapi bisa berinteraksi. Sama saja Selisih.” Aku kaget. Ternyata Puyang Jalak Itam berdiri di belakangku. Aku segera sujud mencium tangan beliau. Aku lega ada Puyang Jalak Itam di sini. Beliau sengaja datang menemaniku di suruh Puyang Akas dan puyang-puyang lainnya. Aku sengaja tidak bertanya pada beliau ketika melihat beberapa makhluk masih memakan sisa punjung yang disajikan peziarah kemarin. Cara mereka makan sungguh tidak ada etikanya. Makanan di hadapannya dikangkanginya, lalu sambil sambil berdiri. Kiri kanan tangannya memegang makanan dan menyantapnya bergantian. Aku tidak mempedulikannya meski matanya menatapku. Mataku tertuju di pohon-pohon seputaran bukit. Nyaris setiap ranting bergantung kertas-kertas yang digulung. Bahkan sampai ke atas-atas penuh gulungan. Entah apa isi gulung itu. Aku tidak berani bertanya. Puyang Jalak Itam juga tidak menjelasnnya padaku. Melihat makhluk-makhluk yang bergantung dan tidur-tiduran di atas pohon, lalu yang makan di bawah membuat aku rasa ingin muntah. Aku mencoba menahan diri. Kucoba menutup panca inderaku agar tidak muntah. Aku takut puyang Jalak Itam tersinggung.
“Tak apa-apa Putri Selasih kalau mau muntah, muntahkan saja. Mereka memang makhluk jorok, tidak beradab.” Rupanya puyang Jalak Itam membaca pikiranku.
“Inilah kenyataan yang ada di sini, Selasih. Kau lihat, berapa banyak punjung yang bangsa manusia sembahkan di sini. Tidak semua makhluk itu yang berpesta dari golongan mereka, ada juga golongan kami.” Jelas puyang Jalak Itam lagi.

Kuliiiik…kuliiiik!!!
Tiba-tiba aku melihat burung elang laut berwarna putih besar sekali. Keduanya berusaha hinggap di antara dahan pohon yang besar. Aku memandang-mandang temanku apakah mereka merasakan kepakan sayapnya yang kencang. Suaranya yang menggelegar.

“Assalamualaikum cucu adam. Selamat datang di dusun Tinggi,” ujar salah satu burung elang itu. Aku langsung menjawab sapaan ramahnya. Mereka Kakek dan nenek yang telah sepuh. Rupanya beliau berdua tinggal di puncak bukit ini juga. Menurut puyang Jalak Itam, sebelum dusun ini ada, beliau berdua sudah tinggal di sini. Wow! Mengagumkan. Mungkin usia mereka sudah ribuan tahun. Selebihnya kulihat mereka seperti istirahat duduk berdekatan sekali.

Ina dibantu Wira dan beberapa kawanku mencoba membersihkan lingkungan bukit. Sampah kertas dan plastik kami masukan ke dalam kantong yang sengaja yang kami bawa. Sementara ranting dan daun, kami kumpulkan jadi satu. Termasuk juga keranjang-keranjang bambu kecil, bakul mirip mangkok, dan berbagai macam alat bekas punjung yang disiapkan oleh manusia berserak dimana-mana. Kebanyakan diletakkan di pangkal pohon. Aku mengawasi pekerjaan kawan-kawanku.

Melihat punjung dan kembang dibersihkan beberapa makhluk asral marah. Mereka hendak mencekik kawan-kawanku. Untung tiba-tiba muncul sosok yang menolongku ketika menghalangi serangan genderowo tadi pagi. Beliaulah yang mengusir kawan-kawannya agar tidak mengganggu kawan-kawanku. Kuucapkan Terimakasih padanya. Meski jabalan namun masih menghargai sesama makhluk hidup. Puyang Jalak Itam diam saja. Nampaknya ada semacam perjanjian untuk tidak saling mengusik.

Usai membersihkan seputaran bukit, termasuk mecabuti paku-paku yang menancap di pohon, membersihkan kulit kayu yang ditulis dan dicoret oleh tangan manusia. Bang Wira memoles bagian kulit kayu yang luka dengan semacam cairan anti bakteri sekaligus pupuk perangsang agar kulit ari pohon kembali menyatu.

Kami kembali istirahat sejenak. Aku masih mengobrol dan berdiri dekat Puyang Jalak Itam. Beliau banyak menyeritakan berbagai macam hal berkaitan kedekatan mereka manusia gaib dengan kehidupan manusia harimau. Nyaris memiliki kebudayaan dan tradisi yang sama. Selanjutnya beliau menceritakan kekejaman para penjajah yang masuk ke daerah pesisir ratusan tahun yang lalu. Manna dan sekitarnya ini merupakan dusun yang sunyi. Kehidupan sederhana masyarakat besisir tiba-tiba didatangi orang-orang asing. Kedatangan mereka serupa ranjau bagi masyarakat, tidak sedikit warga lokal mereka culik, perkosa, kerja rodi dan lain sebagainya. Hasil bumi, seperti kelapa, cengkeh, kopi, merica, mereka beli dengan cara barteran. Lamanya mereka berdomisili di sini, sedikit banyak mempengaruhi pola pikir dan budaya masyarakat lokal juga. Apa yang disampaikan Puyang Jalak Itam telah kutemui pada beberapa dusun di lembah. Termasuk juga pribumi yang berwajah indo.

Target kami, siang ini minimal sudah menginjak perkampungan di lembah agar bisa mencari tempat untuk makan siang. Yakin semuanya sudah beres kami duduk-duduk sejenak menikmati udara segar yang bertiupdari lembah. Puyang Jalak Itam tersenyum lebar melihat seputar bukit sudah tidak ada sampahnya.
“Andai semua anak muda seperti kalian, alangkah damainya bumi ini. Berakhlak dan memiliki adab.” Ujar Puyang Jalak Itam. Beliau menggaguk-angguk melihat kawan-kawanku cekatan, dan tidak banyak bicara.
“Semoga suatu saat kalian bisa kembali ke mari, Selasih. Puyang akan merindukan kalian.” Kata Puyang Jalak Itam lagi. Aku mengangguk dan tersenyum pada beliau. Beliau tahu jika aku pun akan merindukan dusunnya. Kunjunganku tadi malam masih ternyata kurang. Selanjutnya puyang Jalak Itam meraih tanganku.
“Izinkan Puyang memberikan kenang-kenangan padamu, Selasih,” puyang Jalak Itam menempelkan telapak tangannya padaku. Aku merasakan ada gelombang energi yang beliau transfer padaku. Selanjutnya beliau memberikan satu kekuatan milik beliau yang menurutku sangat privasi. Ilmu andalan suku mereka. Tapi Puyang menurunkannya padaku tanpa kuminta.
“Kau sudah kami anggap bagian dari keluarga kami, Selasih. Gunakanlah sebaik mungkin untuk menolong sesama.” Lanjut beliau. Puyang Jalak Itam memberikan ilmu pengobatan yang tidak semua orang dapat memilikinya. Temasuk suku Manna sendiri. Aku mengucapkan terimakasih pada beliau dan berjanji akan memanfaatkannya sebaik mungkin.

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Matahari terasa menyengat menyentuh kulit. Sebentar lagi kami akan pulang. Aku pamit pada Puyang Jalak Itam. Sebelum turun kami kembali duduk melingkar lalu berdoa sama-sama. Puyang Jalak Itam ikut mengaminkan doa kami. Usai berdoa kami mulai melangkah turun. Sepasang elang laut terbangun ketika aku mohon diri. Beliau mengingatkan aku supaya hati-hati dan berdoa aku bisa kembali lagi ke sini.

Angin semilir sedikit hangat. Karena matahari sudah mulai naik tinggi. Gulungan kertas mirip ruas bambu yang tergantung di dahan-dahan pohon besar, semakin bergoyang. Kami tidak berani membuangnya. Pohon-pohonnya nampak seperti menangis. seperti perih yang di alami manusia, menenggelamkan diri dalam zikir yang sedan.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *