Catatan Serangan 11 September di Mata Seorang Indonesia Imam Shamsi Ali (4)
Saya ingat kata-kata terakhir Bush tadi. “Those who knocked down these buildings will hear us soon” . “Itu deklarasi perang” (That’s a war declaration).
Presiden Amerika yang ke 43 itu memang orangnya sangat percaya diri. Di tengah kerumunan para tokoh kota New York dan warga, dan lebih khusus lagi para keluarga korban serangan 9/11, Bush masih memperlihatkan senyuman dan keramahan. Seolah tak nampak kesedihan dan kemarahan di wajahnya.
Sambil berdiri di atas onggokan sebuah reruntuhan beton dari gedung WTC, Bush berteriak memakai pembesar suara genggam (megaphone). “Hari ini Amerika sedang bersedih. Tapi hari ini juga Amerika membuktikan kekuatannya. Terima kasih New York, New Jersey dan Connecticut atas kekuatan yang anda semua telah perlihatkan”…..Demikian Bush memulai pidatonya. Bush berpidato sambil memeluk pundak Kepala Pemadam Kebakaran kota New York. Sementara petinggi New York lainnya, termasuk Gubernur Patdan Walikota Giuliani hanya berdiri di depan sang Presiden.
Tiba-tiba dari arah luar, di selah-selah yel-yel itu khalayak ramai berteriak: “we can’t hear you.” (Kita tidak bisa mendengar suaramu). Bush tentu saja menghentikan pidatonya. Lalu membalikkan badannya ke arah khalayak ramai. Lalu dengan suara lantang berteriak: “I can hear you!” (Saya bisa mendengarmu). Orang-orang tertawa gemuruh mendengar itu, diiikuti oleh tepuk tangan yang ramai. Tapi Bush kembali dengan suara lantang berteriak: “And the Whole World hear you…!” (Dan seluruh dunia mendengarmu…!). Yel-yel USA, USA, USA, dan “Live America” kembali menggema diiringi oleh tepuk tangan yang panjang. Tapi nampaknya Bush masih menggunakan momentum itu untuk menyampaikan pesan-pesan penting. Sambil menarik napas, menengok ke arah Gubernur Pataki yang hadir persis di depannya, dia kembali berteriak: “And the people who knocked down these buildings will hear you soon.” (Dan orang-orang yang meruntuhkan dua gedung ini akan mendengar kalian sebentar lagi).
Sejujurnya saya tidak terlalu fokus dengan pidato Bush. Saya justru hanyut dengan lamunan saya sendiri tentang reruntuhan kedua gedung itu. Terlalu banyak pertanyaan yang timbul saat itu. Kok bisa ya gedung setinggi dan sekokoh WTC itu bisa ambruk, runtuh bagaikan sekedar onggokan debu. Sedemikian kuatkah serangan sebuah pesawat itu? Apakah bensin sebuah pesawat cukup membakar sebuah gedung yang tingginya lebih seratus tingkat? Di sisi lain di kepala saya juga terbayang, seolah nampak di depan pelupuk mata saya orang-orang tak bersalah (innocent) yang mati dalam peristiwa itu. Saya berimajinasi bagaimana beratnya keadaan ketika mereka terperangkap dalam gedung dengan asap dan kebulan api. Mereka yang karena tidak tahan lagi kemudian melompat keluar melalui jendela-jendela di ketinggian gedung itu. Bahkan saya membayangkan bagaimana jasad para korban yang masih ada di timbunan reruntuhan kedua gedung itu. Membayangkan kalau saja ada di antara mereka di dalam reruntuhan itu yang masih hidup.
Di tengah lamunan panjang itu tiba-tiba pundak saya ditepuk oleh teman saya, Imam E Pasha. “Get ready Imam” (kita bersiap Imam). Rupanya kita Sudah diarahkan menuju mobil yang mengantar kita. Sambil berjalan keluar area Ground Zero itu saya ingat kata-kata terakhir Bush tadi. “Those who knocked down these buildings will hear us soon” (mereka yang meruntuhkan gedung ini akan mendengar kita dalam waktu dekat). Sejujurnya saya tidak terlalu paham dengan kata-kata itu. Selain karena Inggris saya juga seadanya, juga karena aksen Inggris Bush adalah aksen Cowboy Texas. Maka saya memberanikan diri bertanya sambil berbisik ke Imam E Pasha. “Apa yang dimaksud itu Imam?” Imam Pasha tersenyum dan menjawab singkat: “Itu deklarasi perang” (That’s a war declaration). Mendengar itu tiba-tiba saja lamunan saya terbang ke beberapa negara. Saya membayangkan orang-orang Afghanistan yang sangat sederhana, umumnya miskin. Makan dan minum saja susah. Saya tahu benar keadaan mereka. Karena selama jadi mahasiswa di Pakistan, saya pernah mengajar murid-murid Afghanistan di sekolah-sekolah yang didirikan oleh Saudi Arabia.
Kita pun menaiki mobil yang telah menunggu kita. Di depan kita ada mobil polisi. Di depannya lagi ada dua motor polisi NYPD. Sementara rombongan Presiden Bush telah duluan cabut untuk kembali ke Ibukota, Washington DC. Di mobil itu semua tokoh agama saling bicara dengan kawan masing-masing. Ada serius. Ada pula yang sekedar saling bersenda gurau, bahkan terbahak-bahak. Di rombongan itu ada puluhan Rabbi Yahudi. Ada juga puluhan pendeta Kristen. Sementara Muslim (imam) hanya Imam Pasha dan saya sendiri. Saya sendiri selama bersama pada tokoh agama itu lebih banyak diam. Khawatir keluar kata-kata yang sensitif. Tapi sejujurnya juga karena memang masih malu banyak bicara dalam bahasa Inggris. Maklumlah bahasa Inggris saya adalah bahasa “Maklish” (Makassar Inggris).
Kita kemudian diturunkan di depan geraja St Patrick Cathedral kembali. Di sanalah para tokoh agama itu kembali ke rumah masing-masing. Ada yang dijemput pakai limo. Ada yang dengan mobil pribadi yang rata-rata mewah. Imam E Pasha sendiri mobilnya merek Lincoln dengan plakat NYPD. Beliau memang adalah Chaplain atau pejabat kerohaniaan di NYPD. Saya sendiri setelah salaman dengan Imam Pasha berjalan kaki menelusuri jalan 5th Avenue hingga 59th Street. Lalu berjalan ke arah 2nd Avenue ke ujung jembatan ‘Queens Borough‘. Di sanalah saya janjian dengan seorang teman untuk dijemput. Sesampai di rumah, saya baru merasa lelah dan lapar yang sangat. Maklum dari pagi hingga sore hari itu saya hanya makan sebuah bagel dengan keju (cream cheese bagel). Tentunya dengan segelas kopi susu panas alas New York. Saya pun makan sore dengan lahap, menjama makan siang dan makan malam sekaligus. Saya sangat menikmati makanan itu. Selain karena memang lapar, tentu karena merasa puas dengan aktifitas saya hari itu.
Setelah itu saya kembali saya menyalakan TV. Hampir semua kanal TV, baik lokal maupun nasional bahkan internasional menyiarkan acara di Ground Zero. Tapi tak satupun menyiarkan pertemuan kami dengan Bush sebelumnya. Belakangan saya ketahui bahwa memang pertemuan Bush dengan tokoh-tokoh agama itu tidak direncanakan. Hanya memang karena Bush cukup beragama, Evangelical Christian, maka sebelum ke Ground Zero dia ingin menyapa tokoh-tokoh agama New York. Malam hari saya istirahat pulas. Memimpikan esok hari yang tersenyum. Tapi ternyata malam itu menyisakan mimpi buruk. Ternyata hari-hari di pertama dan kedua adalah hari-hari yang menyeramkan…..
Apa gerangan yang terjadi?
Bersambung…