HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT V (76B)

Karya RD. Kedum

Selesai membaca mantra, lelaki di hadapanku seperti memercikan sesuatu ke seluruh tubuh Hatam Maras dan aku. Lalu sambil berucap rak jelas, beliau melakukan gerakan sujud sambil mengkingkir masih dalam posisi menunduk. Selanjutnya kami kembali melanjutkan perjalanan.
“Apa yang dilakukan lelaki itu tadi, kang Hatam?” Tanyaku.
“Beliau memberkati, medoakan kita,” jawab Hatam Maras. Aku terkagum-kagum dalam hati. Mereka sangat religi menurutku. Setelah aku menoleh banyak sekali orang yang mendekati beliau, lalu sujud dan minta didoakan juga.

Kami berdua masih berjalan. Mataku tertumpu pada satu pemandangan yang membuatku tercengang. Di hadapanku ada gedung dengan ornamen yang indah. Posisinya persis di tengah simpang tiga. Pintu dan dindingnya sangat tinggi. Yang membuatku terpukau karena pintu gerbang dan dindingnya semua dari tanah liat berwarna merah bata. Sepertinya sebuah bukit, lalu tanah dan batunya diukir sehingga menjadi, sebuah pelataran yang luas, pintu gerbang dengan bentuk tiang-tiang penyanggg yang kokoh. Entah bagaimana bentuk dalamnya. Namun yang jelas banyak orang ke luar masuk di sana. Uniknya, bangunan ini digandeng dengan rumah kayu yang bernuansa kuno. Namun bentuknya lebih besar dibandingkan dengan rumah lainnya.
Aku seperti berada di negeri dongeng. Sebuah pemandangan yang tidak kutemui di alam nyata.

Beberapa kali aku merdecak kagum dan menyebut asma Allah. Hatam Maras beberapa kali menutup matanya. Nampaknya beliau silau ketika aku menyebut asma Allah. Aku baru sadar, pasti beliau tidak seakidah denganku.
“Kamu hebat, aku dapat mengukur kehebatan batinmu, Selasih. Ketika kau menyebut Tuhanmu, cahaya menyilaukan itu memancar dari tubuhmu.” Hatam Maras memandangku dengan ekspresi kagum. Sementara aku merasa biasa-biasa saja. Baru aku tahu meski sekadar mengucapkan asma Allah akan berefeks pada makhluk asral ini. Kukira hanya pada makhluk fasik saja.
“Bangunan apa ini kang?” Tanyaku setelah melihat ada beberapa pengawas berdiri di dekat pintu gerbangnya.
“Ini istanaku. Mau masuk sekarang atau mau berkeliling-keliling dulu?” Tanyanya. Aku memilih berkeliling saja. Rasanya belum puas melihat pemandangan yang luar biasa ini.

Kami masih berjalan di tengah jalan yang luas. Melihat jalan luas dan bersih ini mengingatkan aku pada jalan-jalan di negara-negera Eropa. Aku seperti berada di sebuah lorong yang diapit dengan bangunan-bangunan yang indah. Beberapa anak kecil kulihat berlari-lari di dampingi ibunya. Seperti kehidupan manusia. Namun ketika melihat kami, semua menghentikan aktivitasnya, mereka sujud sejenak.

“Kang, makhluk itu berbeda dengan makhluk bangsamu.” Ujarku ketika melihat sosok persis sepertiku, manusia sedang berjalan celingak-celinguk seperti orang bingung.
“Betul, dia bangsamu, Selasih. Nampaknya dia tersesat. Hampirilah. Biasanya bangsaku akan membantu mengarahkan bahkan mengantarkan mereka pulang jika ada bangsamu yang tersesat kemari. Kadang-kadang bangsamu sengaja datang ke mari lalu tidak tahu jalan pulang,” tutur Hatam Maras lagi. Dalam hati aku memuji kebaikan hati mereka.
“Mengapa mereka bisa tersesat atau datang kemari, Kang?” Tanyaku lagi.
“Macam-macam, Putri Selasih. Bangsamu termasuk makhluk yang berani. Mereka ada yang disesatkan oleh bangsa kami, biasanya karena manusia itu ingin menguji atau mencoba ilmu yang mereka miliki untuk menembus alam gaib. Makhluk kami ada juga yang iseng, tidak sabar dan marah, ketika melihat tingkah manusia yang mereka anggap tidak sopan. Tapi yang seperti ini jarang terjadi. Rakyatku termasuk golongan yang tidak mau usil dengan urusan orang lain. Ada juga bangsamu yang ingin membuktikan keberadaan kami lalu jalan-jalan ke dunia gaib dengan maksud untuk pamer agar bisa bercerita dengan bangsamu dan menunjukkan jika mereka hebat karena bisa masuk ke alam kami. Ada juga karena kemampuannya, yaitu berilmu tinggi lalu jalan-jalan ke mari dengan maksud mencari guru untuk memperdalam ilmunya dan lain-lain. Biasanya yang suka mencari ilmu sampai tersesat ke mari para pencari ilmu hitam. Sebagian besar kami pulangkan. Namun ada juga dari bangsamu yang memang telah melakukan hubungan baik dengan kami sehingga kami saling tolong menolong dalam kebaikan. Toleransi bisa juga kami jalin dengan bangsamu.” Tutur Hatam Maras panjang lebar.
“Wow! Luar biasa”. Jawabku.
“Bahkan banyak tokoh agama memberi pengajaran pada bangsa kami, Selasih. Dan yang paling sering ke mari adalah tokoh-tokoh agama muslim. Mereka mirip sepertimu, pulang dan pergi ke alam gaib sangat mudah. Di bangsamu mereka sering disapa ustad, namun juga sebagai praktisi. Bisa mengobati orang yang kena ilmu sihir para jin yang jahat,” lanjut Hatam Maras lagi. Aku membenarkan dalam hati. Ternyata beliau banyak tahu aktivitas kehidupan manusia.
“Bagaimana denganku? Apakah aku termasuk yang tersesat? Aku kebetulan berjalan dan melihat kampung yang indah ini, Kang?” tanyaku menatapnya. Mendengar pertanyaannya Hatam Maras senyum simpul.
“Kau bukan tersesat, tapi memang kau sengaja berada di alam kami. Namun kebetulan terlihat kampung kami, makanya dirimu penasaran dan ingin tahu bukan? Aku tahu, kamu baru saja melakukan tugas mulia, Putri Selasih. Aku bukan tidak melihat bagaimana dirimu membantu bangsamu dari gangguan makhluk bangsa kami yang jahat itu. Mereka memang golongan yang suka mengganggu bangsa manusia dan kerap pula mengajak golongan kami perang demi memperluas wilayah kekuasaannya. Makanya aku menemuimu. Dirimu justru sudah membantu kami menjauhkan golongan itu jauh dari kerajaan kami. Selama ini, mereka ancaman buat kami. Mereka mengincar kerajaan kami. Untung belum terjadi perang secara luas dengan golongan kami, karena kami berusaha menutupi agar mereka tidak bisa melihat kerajaan kami. Mereka makhluk yang tidak punya agama. Tidak percaya adanya Tuhan. Berbeda dengan bangsa kami Putri Selasih. Rakyatku terbagi tiga golongan. Aku agama budha. Yang mendoakan kita tadi biksu kerajaan. Ada juga golongan kami yang memeluk agama kristen, selanjutnya ada juga yang muslim. Nanti akan kuajak kau ke tempat ibadah kami.” Jelasnya lagi. Aku terkagum-kagum. Ternyata toleransi pun ada di alam gaib. Mereka bangsa jin yang memiliki kebudayaan yang tinggi rupanya.

“Aku ingin mendekati bangsa manusia itu, Kang.” Sambungku memotong ceritanya yang mengagumkan. Akhirnya kami berdua mendekati sosok manusia yang celingak-celinguk sendiri.
“Mau kemana dan darimana, saudara?” Tanyaku. Dia kaget. Aku melihat dadanya turun naik cepat sekali. Wajahnya ada rasa takut, cemas, namun dia berusaha mengendalikan diri.
“Astaghfirullah adziim, Yaa Allah…apakah aku bermimpi. Aku ada di mana? Apakah kamu manusia?” Jawabnya. Mendengar ucapan orang di hadapanku, kembali Hatam Maras menutup wajahnya. Silau katanya. Tahulah aku jika di hadapanku ini manusia.
“Saya manusia, saudara dari mana?” Tanyaku.
“Saya dari Liwa. Saya tidak tahu mengapa tiba-tiba saya di sini. Sebuah kota yang indah. Padahal sebelumnya saya sedang berada di kebun saya. Sekarang saya sedang mencari jalan untuk pulang. Ingin bertanya pada orang di kampung ini, tidak ada yang paham bahasa saya. Saya juga tidak paham bahasa mereka.” Ujarnya. Aku menatapnya sedikit heran. Lalu bahasa apa yang dipakai oleh makhluk di sini sehingga orang ini tidak bisa komunikasi, batinku
“Dia sengaja di lempar oleh makhluk yang kau usir tadi, Selasih. Dia terlempar ke mari” Ujar Hatam Maras.
“Lalu, apakah bahasa kita berbeda, Kang?” Tanyaku.
“Iya, hanya orang-orang tertentu saja bangsa kami yang paham bahasamu, Selasih” Lanjut Hatam Maras lagi. Baru aku mengerti, golongan ini memiliki bahasa sendiri. Bukan bahasa Besemah. Atau mirip-mirip dengan bahasa Besemah.
“Baiklah aku akan bantu saudara pulang. Tak baik saudara lama-lama di sini. Beruntung tersesat di kampung yang baik. Jika di lempar di kampung para penjahat, saya yakin saudara tidak bisa pulang.” Ujarku tanpa bertanya siapa namanya.

Karena aku yakin bukan salahnya, dan bukan pula disengaja, akhirnya tanpa banyak tanya lagi aku bantu dia untuk pulang. Aku konsentrasi sejenak, lalu kubaca mantera, kuraih tubuhnya secepat kilat kuantar dia ke kampungnya di Liwa. Selanjutnya aku kembali lagi menemui Hatam Maras yang masih berdiri. Beliau tersenyum memandangku.
“Kamu lincah dan cekatan Selasih. Kerjamu cepat dan pasti. Jika kamu bersedia menjadi bagian dari kerajaanku, aku sangat berterimakasih” Ujarnya. Entah serius atau bercanda.
“Sayang sekali Kang, aku masih banyak tanggungjawab dan kewajiban sebagai manusia. Aku punya keluarga, orang tua dan saudara. Aku juga punya tanggungjawab pada leluhurku. Mengusir makhluk yang telah mengganggu petani di sebelah sana, adalah tugas yang diberikan kakek padaku.” Ujarku menolak halus ajakannya. Hatam Maras tersenyum sambil menggangguk-angguk kecil.

“Itu rumah ibadah kami, Selasih. Letaknya di samping istanaku sebenarnya. Tapi karena aku ingin memperlihatkan bagian depannya padamu, makanya kita keliling lewat jalan ini.” Ujar Hatam Maras.
Aku terpukau sampai tidak bisa berkata apa-apa. Lagi-lagi aku serasa mimpi. Di hadapanku tiga rumah ibadah berjejer sama besar. Halamannya juga besar.
“Jika hari besar agamamu, rakyatku ibadah sampai ke halaman gereja dan viara” Ujar Hatam Maras. Karena posisi masjid di tengah dan halaman rumah ibadah ini tanpa batas, maksudnya jika hari raya rakyatnya yang muslim solat di masjid ini sampai ke halaman rumah ibadah di sisi kiri kanan. Aku bisa bayangkan betapa damainya mereka dalam perbedaan.

Aku seperti turis mendapatkan gaet yang cerdas dan ramah. Semuanya beliau jelaskan detil dan sopan. Melihat kebesaran Sang Maha, sadarlah aku. Betapa aku sebenarnya sangat kecil. Di alam nyata banyak hal yang kerap kali membuatku kagum dan tak lepas mengucap syukur. Ternyata di alam gaib pun demikian. Banyak hal yang tidak masuk akal ditunjukkan padaku. Kusyukuri semua sebagai sebuah nikmat. Dan semakin meyakinkan aku pada dunia gaib.

“Sudah waktunya pulang, Cung.” Suara kakek Andun mengingatkan aku. Aku sampai lupa jika semua di tunggu di Ulu Bukit Selepah. Suasana kerajaan Hatam Maras membuatku ingin berlama-lama menikmatinya. Sayang aku tidak punya waktu yang panjang.
“Kang, aku sudah diingatkan Kakekku. Malam ini kami ada pertemuan di Bukit Selepah dengan puyang dan dulurku. Mohon maaf jika aku izin pamit. Terimakasih telah menerima aku dan telah mengajak aku jalan-jalan di kerajaan Kakang yang luar biasa ini. Suatu saat izinkan aku kemari lagi, Kang. Aku masih sangat ingin bisa berjalan-halan di kerajaan Kakang. Ah! Hampir aku lupa. Kerajaan apa namanya ini, Kang?” Tanyaku. Saking kagumnya sampai lupa bertanya apa nama negeri indah ini.
“Manusia menyebut tempat kami ini Napal Putih, Selasih. Datanglah ke mari kapan saja kau suka. Dengan senang hati aku akan kembali membawamu berkeliling negeri. Sampaikan salamku pada leluhurmu,” ujar Hatam Maras lagi.
Kami bersalaman, selanjutnya aku segera lenyap dari hadapan raja muda yang sederhana itu. Ada kesan tersendiri tersimpan dalam benakku. Sungguh perjalanan singkat ini seperti mimpi. Aku tidak pernah menduga akan bersua dengan sebuah kerajaan yang damai, tentaram, asri luar biasa.

Aku memanggil angin untuk mengantarkan aku pulang. Aktivitas makhluk asral yang baru kupindahkam kerajaannya masih terus berlangsung. Mereka membangun kerajaannya kembali. Sejenak aku meninjau mereka sebelum berbelok ke Bukit Selepah. Melihat aku mengawasi mereka, Raja mereka semakin gencar memerintahkan rakyatnya. Mereka menyatukan kekuatan membangun istana bersama-sama. Efeks peristiwa penakhlukan raja mereka, membuat mereka takut padaku. Jangankan mendekat memandang saja tidak berani. Hanya raja mereka saja yang berani mendekat sambil setengah sujud.
“Kami membangun istana kami kembali, cucu Adam.” Ujarnya pelan. Semula dia memanggilku Harimau Kecil, sekarang Cucu Adam.
“Silakan bangun dengan kokoh istana kalian. Silakan kalian berkativitas. Hanya satu pintaku, jangan pernah mengganggu bangsaku lagi.” Ujarku tegas. Sang Raja jin mengganguk patuh. Selanjutnya aku segera ke Bukit Selepah.

Baru saja aku menginjakkan kaki.
“Kakaaaaak” Suara A Fung. Aku sangat kenal suara itu. Rupanya dia telah menungguku cukup lama. Yang lain kulihat ada di dalam rumah baghi yang luas. Sementara A Fung duduk di jenjang tangga sambil memandang lurus ke depan. Menungguku.

Aku membentangkan tangan menunggu A Fung yang berlari. Setelah sampai kupeluk dan kuangkat tubuhnya. Wangi gamis yang dikenakannya lembut sekali. Demikian pula sorban yang mengikat kepalanya.
“Apa kabar adikku yang ganteng?” Ujarku sambil mencubit pipinya. Pipi A Fung merona. Aku tahu dia sangat rindu padaku. Terlihat dari ekspresinya tidak bisa menjawab pertanyaanku. Dia malah kembali memeluk aku erat sekali.
“Kakak, izinkan aku ikut kakak ya selama kakak pulang.” Ujarnya manja.
“Lalu pengajianmu? Kajian agamamu? Belajar hadromu?” Tanyaku. Sebelumnya aku tahu dia sangat antusias sehingga jadwalnya ketat sekali. A Fung juga sangat tekun melaksanakan setiap tugas. Bahkan sering diajak melawat ke luar negeri. Terutama negara-negara Islam.
“Aku ikut kakak saja selama kakak pulang.” Lanjutnya lagi. Aku mengelus dan mencium kepalanya.

“Selasih, silakan naik” Gundak menyapaku dari atas beranda. Aku langsung mengucapkan salam sambil membimbing A Fung hendak naik tangga.
“Semua sudah menunggumu.” Ujar Gundak lagi. Melihat pancuran di sisi tangga, aku menuju pancuran terlebih dahulu. Mencuci tangan, membasuh wajah sekalian wudu terlebih dahulu. Lalu kubimbing A Fung naik tangga menghampiri Gundak yang tersenyum lebar.
“Habis jalan-jalan dengan Raja Hatam Maras ya?” Tanyanya. Aku mengangguk cepat.
“Kau kenal?” Tanyaku. Gundak pun menjawab cepat dengan anggukan. Sebelum aku bertanya lebih jauh kenal dimana dengan Raja muda itu, buru-buru aku disambut Umak Gundak dan beberapa perempuan sepuh lainnya. Mereka menyambutku ramah. Menyalami dan memelukku hangat.
“Sudah lama sekali tidak bertemu pada Putri Selasih.” Umak Gundak menepuk-nepuk punggungku usai memeluk dan menciumku.
“Maafkan aku, Bik. Aku sudah lama tidak main ke sini sejak pindah ke Bengkulu. Semua sehat kan Bik?” Tanyaku menggenggam tangannya. Perempuan separuh baya ini sekarang nampak lebih tua. Namun sebagai perempuan bangsawan, dirinya sangat terawat. Tampilan kebaya dan kain batiknya terlihat sangat sepadan. Begitu juga tengkulok yang dikenakannya.

Aku diajak masuk melewati ruang ‘berende’ menuju ruang tengah. Rumah baghi ini masih seperti dulu. Berdiri kokoh dengan tiang-tiang besar. Tidak ada perubahan. Sementara di sapingnya, rumah panggung berukuran besar dengan beranda kaca yang panjang tempat biasa pertemuan akbar, masih sama seperti ketika pertama kali aku ke sini.
“Assalamualaikum…” Aku melangkahkan kaki di ruang tengah. Semua sesepuhku berkumpul duduk membuat lingkaran sebagian bersandar di dinding ruangan. Hanya Puyang Bukit Ulu Selepah, Puyang Pekik Nyaring, Kakek Andun, Kekek Njajau, Nenek Kam, dan Nenek Ceriwis, orang tua Gundak, duduk sejajar di bagian yang agak tinggi. Selebihnya duduk di bagian lantai yang lebih rendah. Melihat aku masuk semua berdiri. Aku menyalami kedua puyangku terlebih dahulu. Lalu kakek, nenek, baru kulanjutkan menyalami tamu yang lain. Bahagia sekali rasanya ketika aku melihat Eyang Kuda, Paman Raksasa, Putri Bulan, Macan Kumbang, dan beberapa tamu lainnya yang tak bisa kusebut namanya satu-satu. Seperti mimpi semua bisa hadir di sini.

Kopi dan makanan kecil terhidang di hadapan masing-masing. Aku yang baru duduk, langsung disuguhi secangkir kopi dan sepiring makanan kecil.
“Bagaimana Putri Selasih, ada kendala tidak memindahkan golongan yang suka mengganggu masyarakat dusun?” Tanya Puyang Bukit Selepah.
“Alhamdulilah tidak puyang. Usai menyuruh golongan raja jin fasik itu pindah, aku langsung menyisir bukit itu. Alhamdulilah sudah bersih, Puyang. Mereka sudah kupindahkan sesuai saran Kakek Andun ke tempat yang sudah disediakan, jauh dari pemukiman manusia. Sebelum ke mari aku sempat mengawasinya sejenak. Mereka tengah membangun istana mereka kembali.” Ujarku. Semua menjawab ‘Alhamdulilah’ nyaris bersamaan.
“Usai bertarung dengan raja jin dan memindahkan mereka, aku berniat hendak pulang, Puyang. Tapi tiba-tiba aku mendengar suara ramai tidak jauh dari bukit itu. Aku mencari tahu. Ternyata aku melihat perkampungan mirip seperti kota. Aku mendekat ingin memastikannya. Ternyata itu adalah kerajaan. Saat aku asyik memandang dan mengagumi perkampungan atau kerajaan itu, aku ditegur seseorang. Terakhir kuketahui beliau adalah Raja yang masih muda bernama Hatam Maras. Aku diajak beliau keliling kota kerajaannya sejenak. Hingga aku diingatkan kekek Andun untuk segera pulang” Ujarku sembari tersenyum.
“Sebab kalau tidak diingatkan, kamu lupa pulang. Apalagi berjalan dengan seorang raja muda yang gagah dan ganteng.” Lanjut nenek Ceriwis. Seperti biasanya nenekku satu ini pandai sekali menambah-nambahkan sesuatu.
“Iya, kerajaan Napal Putih itu salah satu kerajaan kuno di Bukit Barisan ini. Hingga saat ini masih bertahan seperti kerajaan-kerajaan lainnya. Kerajaan itu paling unik dari sekian banyak kerajaan yang ada. Kerajaan Napal Putih sedikit berbeda. Mereka sudah memiliki kepercayaan, sudah kenal agama. Rakyatnya bebas memeluk agama apa saja. Makanya kamu melihat ada tiga tempat rumah ibadah di sana bukan? Karena masyarakatnya memang terbagi tiga golongan agama, yaitu Islam, Budha, dan Kristen. Sementara Rajanya memeluk agama Budha. Namun mereka tidak saling ejek satu sama lain. Bahkan rajanya, tidak memaksa rakyatnya untuk memeluk agama yang beliau yakini. Makanya kerajaan yang paling aman dan toleransi adalah kerajaan Napal Putih. Beruntung kamu bisa ke sana dan bersua dengan rajanya, Selasih.” Ujar Puyang Pekik Nyaring yang diiyakan Puyang Bukit Selepah. Berarti aku sangat beruntung. Menurut kakek Andun, tidak sembarang orang bisa tembus ke alam mereka. Mereka adalah golongan makhluk gaib tingkat tinggi. Tidak pula mudah untuk bersua dengan Rajanya. Sementara aku merasa santai tiada beban ditemani Rajanya keliling kota kerajaannya.
“Beliau titip salam untuk para Puyang dan leluluhur, untuk kita semua.” Sambungku mengingat pesan Kang Hatam Maras yang dijawab kembali dengan doa oleh yang hadir. Sejenak pikieankunmelayang pada pada kota Napal Putih dan Raja Hatam Maras.

“Selasih, sebelum kamu ke mari kami sudah berbincang-bincang banyak hal. Termasuk memikirkan masa depanmu. Kamu semakin dewasa, semakin hari akan semakin banyak masalah yang akan kau hadapai. Untuk itulah, mumpung dirimu sedang pulang jadi kesempatan untuk kembali menempah dirimu. Puyang harap kamu mau, ikhlas menerima amanah dari kami sesepuhmu yang sudah tak kuat ini.” Ujar Puyang Bukit Selepah sambil sedikit batuk-batuk. Aku menunggu amanah apa yang hendak mereka bebankan padaku.
“Tepat purnama mendatang, aku mengundang ‘sanak dengberadeng’ ke lereng Merapi gunung Dempu. Putri Selasih akan pulang ke Uluan untuk mengambil bekalnya yang masih saya simpan. Tentu bantuan doa dengberadeng adengsanak anak cucung sangat kami harapkan. Ke depan, Selasih akan jarang pulang. Nampaknya dia akan merantau jauh. Hal ini tidak bisa dihalangi. Tidak satu pun kita mampu mencegahnya. Karena ini adalah takdir yang harus dia jalani.” Lanjut Puyang Pekik Nyaring sambil menggulung rokok daun nipah denganjarinya yang halus.
“Benar, jiwa merantaunya seperti ombak. Semakin dewasa, semakin kencang,” sambung Puyang Bukit Selepah. Aku menatap mereka satu-satu. Mencoba membaca makna tersirat obrolan ini. Nenek Kam menatapku datar saja. Demikian nenek ceriwis dan Macan Kumbang. Hanya kakek Njajau yang tersenyum.
“Eyang Kuda dan Putri Bulan, terimakasih sudah berkenan menjaga Putri Selasih. Telah membimbing dan menjaganya selama ini. Maafkan jika cucu saya ini agak bandel.” Sambung Puyang Pekik Nyaring. Eyang kuda dan Putri Bulan hanya tersenyum menanggapi Puyang Pekik Nyaring.
“Kami sangat ikhlas, Puyang. Pertama kali bertemu Putri Selasih, aku sudah mencium aroma itu, jika anak ini akan mendapat amanah sebagai takdir yang harus dia jalani. Makanya tanpa diminta, aku merasa punya kewajiban mendampinginya sekaligus menjaganya. Tanpa dia minta, Puyang. Maafkan kelancangan saya.” Ujar Eyang Kuda dengan sopan.
Puyang Pekik Nyaring dan Puyang Bukit Selepah mengangguk-angguk pelan.
“Mau merantau ke mana Selasih. Perempuan kok jiwa lelaki.” Kata kakek Njajau.
“Saya tidak tahu, Kakek. Saya akan merantau ke mana. Saya hanya ikut kemana arah angin dan air mengalir saja Kek.” Ujarku agak terharu. Tidak kusangka, jalanku ke depan pun telah dibaca oleh mereka. Mereka seakan sudah tahu isi hatiku sebelum aku memikirkannya.
“Namun yang jelas, kemana pun kamu berada pakailah ilmu padi, Selasih. Jangan pernah mengangkat dagu dan membusungkan dada ketika berjalan. Merunduk itu lebih baik. Belajarlah pada tanah. Meski diijak, diludahi, dikotori, bahkan digali, dicangkul, namun tetap pasrah dan menerima. Bahkan terus memberikan manfaat pada semua makhluk hidup di bumi ini. Artinya, jadilah orang yang bermanfaat bagi makhluk lain. Manfaat bagi makhluk yang terlihat oleh panca inderamu mau pun yang tidak” Puyang Bukit Selepah berpesan. Aku menunduk mendengarkan petuah puyangku yang karismatik ini.
“Benar sekali, bahkan kotoran ayam, kotoran sapi, kotoran kambing, dicampur dengan tanah, lalu ditanam sayur dan buah di atasnya, tanah itu akan subur. Buah dan sayur akan tumbuh sehat. Artinya sesuatu yang menurut pandangan mata kita kotor, ternyata ada manfaatnya untuk kita, untuk orang banyak.” Tambah Puyang Pekik nyaring.

Ruangan yang besar dan ramai ini nampak hening ketika puyang Bukit Selepah dan Puyang Pekik Nyaring berbicara silih berganti. Semua menyampaikan petuah-petuah.
“Alam ini banyak memberikan pelajaran untuk kita. Tidak hanya tanah. Udara pun demikian. Setiap saat kita nikmati adalah udara. Udara yang menggerakkan detak jantung seirama dengan tarikan nafas. Belajarlah pada udara, dia akan mengalir mengisi setiap ruang kosong, memberi kehidupan tanpa pandang bulu. Bahkan di tempat kotor pun, angin akan tetap berada di sana untuk menyampaikan kepada siapa saja yang punya panca indera penciuman, agar kita dapat membedakan sesuatu yang baik dan tidak. Jangan dikit sampah yang bertumpuk ngidaknada kehidupan. Di dalam sampah yng busuk ada makhluk Allah berupa bakteri pengurai, bakteri yang bertugas menghancurkan sampah-sampah itu lalu mengubah dirinya mejadi zat hara dan tanah akan berubah jadi subur karena kandungan haranya.” Lanjut Puyang Pekik Nyaring sedikit ilmiah. Aku salut juga dengan wawasan beliau. Kedua-duanya menanamkan makna manfaat bagi hidup sekaligus makna ikhlas. Pembelajaran yang sederhana namun memiliki makna yang dalam. Apalah arti hidup ini jika tidak manfaat bagi orang lain.

“Kemari Selasih…” Puyang Bukit Selepah melambaikan tangannya. Aku segera menunduk mendekat. Beliau menyuruhku duduk persis di hadapannya. Tepat tengah malam nanti, aku akan membawamu ke tempat sepi. Kau tirakat di sana, berzikir selama dua hari. Tidak makan dan tidak minum. Kau harus puasa.” Ujar Puyang Bukit Selepah. Aku mengangguk saja tidak mampu menolak. Berarti hal kedua kulakukan seumur hidup. Pertama ketika perang dengan peri Banyuwangi yang hendak mengambil sukmaku. Aku diasingkan di rumah ibadah di perut bukit. Sekarang kali ke dua aku akan diasingkan sendiri entah apakah kembali ke rumah ibadah itu atau ditempat lain. Aku tidak tahu. Aku putuh saja. Pasti ada sesuatu hal penting dalam pembelajaran ini. Dari obrolan terdengar olehku, hal ini dilakukan untuk membentuk diriku agar lebih bijak dalam bersikap dan mengambil tindakan, tidak sombong, dan peka terhadap lingkungan. Baik lingkungan di alam gaib maupun nyata. Apa pun urusannya, saat ada yang patut dibantu maka utamakan, bantulah. Jangan mengutamakan kepentingan pribadi. Jadikan setiap langkah dan nafas kita manfaat untuk siapa saja.

Mendengar hal itu, sungguh berat beban ke depan. Namun aku harus mampu menyenergikan semuanya. Ini amanah. Aku bersyukur akal sehatku berfungsi dengan baik. Aku harus mampu menempatkan diri di dua alam yang berbeda, dan dua-duanya punya kepentingan yang sama. Puyang-puyangku takut jika aku merasa menjadi pahlawan tiap kali telah melakukan kebaikan. Oleh sebab itu batinku harus ditempa. Aku tidak menyangka jika semuanya dimulai secepat ini. Tengah malam tinggal beberapa jam lagi. Aku menatap nek Kam yang tersenyum manis padaku.
“Puyang, bolehkah aku ikut Kakak Selasih. Izinkan aku menemaninya, Puyang. Aku akan ikut tirakat bersamanya.” Tiba-tiba A Fung memecah suasana.
“Jika aku diizinkan, aku juga ingin ikut, Puyang.” Kata Gundak memancing semua mata tertuju padanya. Puyang Pekik Nyaring dan Puyang Bukit Selepah tersenyum bersamaan.
“Tirakat itu sendiri-sendiri. Tidak diizinkan bersama-sama. Jika kalian mau, maka akan saya bantu di tempat yang sama, namun ruangnya berbeda-beda. Kalian tidak bisa saling temani.” Lanjut Puyang pekik Nyaring lagi.

Aku tersenyum mendengar perdebatan kecil ini. Selebihnya aku disuruh mandi lalu salat hajat, selanjutnya dibimbing Puyang Pekik Nyaring. Di belakangku Puyang Bukit Selepah dan lainnya.

Kami berjalan kurang lebih lima puluh meter ke arah barat. Di hadapanku ada cadas menjulang membentuk sebuah bukit. Kami terus berjalan menyisir jalan setapak. Ternyata di sisi kiri jalan setapak ada sungai yang berair jernih, mengalir tenang. Sangat tenang. Sungai tetapi mirip telaga.

Tanganku masih digenggam Puyang Pekik Nyaring. Meski berjalan sambil berbicara tapi aku mendengar detak jantuntungnya melafazkan zikir. Selanjutnya kami meniti jembatan bambu yang dianyam sedemikian rupa. Rapi sekali. Alam sekitar terasa sangat teduh dan nyaman. Ternyata di ujung jembatan bambu ada mulut goa yang tidak terlalu besar. Siapa pun hendak masuk ke sana, harus merunduk. Puyang menarikku untuk masuk sambil merunduk.

Ada sekitar lima meter kami berjalan merunduk. Selanjutnya aku melihat sebuah ruangan yang luas dan kering. Langit-langit gua berbentuk seperti air menetes namun terbuat dari batu pualam berwarna gading. Berulang kali Puyang mengucapkan salam. Aku berdecak kagum. Masya Allah, indah sekali. Dinding goa mirip relief sebuah peristiwa. Namun setelah kucermati mirip seperti rangkaian jurus kuntau. Mulai dari kuda-kuda, sampai pada gerakan tangan dan langkah kaki yang memutar. Meski samar-samar tapi aku bisa merasakan gerakan-gerakannya.

“Silakan kalian menyebar masuk ke dalam goa-goa yang ada di bagian sana. Ikhlaskan hati kalian, pasrah dan serahkan pada-Nya jua.” Ujar Puyang Pekik Nyaring mengarahkan Gundak, A Fung, Macan Kumbang, Eyang Kuda, paman Raksasa dan beberapa penduduk dusun yang bergabung. Hanya Putri Bulan yang tidak ikut. Beliau hanya mengantarkan saja rupanya. Aku melihat sosok Gundak, A Fung, Eyang Kuda, Macan Kumbang, paman Raksasa, dan lainnya lenyap satu-satu di balik mulut goa-goa kecil yang menyebar sepanjang sisi goa. Lalu Puyang Pekik Nyaring seperti memastikan mereka yang telah masuk ke dalam goa untuk mencari posisi yang nyaman. Selanjutnya mereka mulai fokus berzikir.

Aku kembali mengikuti Puyang Pekik Nyaring jauh lurus ke dalam goa. Ternyata di bagian dalam ini lebih luas dari dekat pintu masuk.
“Silakan duduk di atas batu itu, Selasih.” Puyang Pekik Nyaring menunjuk batu yang menonjol dan cukup tinggi. Kurang lebih dua meter dari lantai dasar. Yang membuatku agak heran, bagaimana aku harus duduk di sana jika aku melihat puncaknya tidak datar. Namun terlihat sedikit runcing. Baru saja aku hendak bertanya Puyang Pekik Nyaring menutupkan telunjuk ke mulutnya. Berarti aku tidak boleh berbicara. Aku mulai mengawasi wilayah goa. Tidak ada goa-goa kecil seperti sebelumnya. Dindingnya hanya berupa relief alami mirip seperti ukiran.

Jadi aku akan terasing di sini sendiri. Aku membatin. Aku mulai melihat batu-batu di sekeliling memperkirakan tumpuan agar aku bisa naik ke puncak batu runcing itu. Setelah merasa mantap, aku berbalik ke belakang, sujud pada kedua Puyangku, Putri Bulan dan Rie Bukit Selepah, orang tua Gundak. Dengan Bismillah aku melompat ke atas batu. Benar saja, batu ini agak runcing. Tapi aku disuruh duduk bersila. Aku mengerahkan tenaga dalam meringankan tubuh. Akhirnya, aku paham. Puyang mengharapkan aku menggunakan beberapa kemampuan batin namun tetap bisa fokus berzikir. Akhirnya kupatuhi itu.
“Bagus, ternyata kau cerdas Cung. Puyang tidak perlu memberikan petunjuk lagi. Lakukanlah semuanya dengan ikhlas. Semoga kau berhasil membersihkan batin, mendekatkan diri pada Sang Maha.” Usai mengucapkan salam, kedua Puyangku, Putri Bulan, dan lainnya lenyap dari pandanganku.

Tinggallah aku sendiri di ruang gelap tanpa cahaya. Kusatukan jiwa pada alam, aku mulai mengatur nafas satu-satu dengan tetap duduk bersila di atas batu yang runcing. Aku pejamkan mata. Kubiarkan nafas seirama dengan detak nadi, kutarik dan kuhembuskan pelan sembari melafaskan “Huu Allah…Huu Allah.” Tak terhingga. Aku pasrah.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *