Kota Cimahi Dikenal di Dunia Sebagai Kota Militer Nama Cimahi Memiliki Falsafah Dalam
Walau Cimahi tergolang kota kecil, namun kota ini punya sejarah panjang. Cimahi dikenal di dunia sebagai kota militer sejak masa pendudukan Hindia Belanda hingga sekarang.
Diantara Kabupaten/Kota se Indonesia luas wilayah Kota Cimahi tergolang kota kecil. Namun kota yang terdiri dari 3 Kecamatan dan 15 Kelurahan ini jumlah penduduknya terbilang padat, sehingga lahan yang dimiliki dipadati pemukiman dan menyebabkan sumber daya alamnya menjadi sangat terbatas.
Hermana HMT, Ketua Dewan Kebudayaan Kota Cimahi (DKKC) dan Ketua Bandoengmooi mengatakan, Cimahi Selatan punya kampung adat Cireundeu dengan makanan pokonya singkong (Rasi/Beras Singkong). Cimahi Utara murupakan kaki gunung Burangrang dan Tangkuban Perahu, tanahnya subur dan sangat baik untuk bercocok tanam padi, palawija, bunga, juga beternak.
“Disisi lain, nama Kota Cimahi bukanlah sekedar nama, namun mengandung makna dan falsafah yang mendalam. Dipandang dari asal-usul kata, dalam bahasa Sunda, Cimahi terdiri dari dua suku kata yaitu Ci dan Mahi. Ci mengandung makna cai (air) dan mahi mengandung makna cukup. Cimahi mengandung arti berkecukupan air,” ujarnya.
Menurut Hermana, dalam bahasa Sansakerta kata Ci mengandung arti kilauan cahaya dari permukaan air atau energi dan Mahi mengandung arti bumi. Dalam bahasa Sansakerta Cimahi mengandung arti pancaran cehaya bumi atau bisa disebut juga energi bumi. Kata Ci juga ditemukan dalam bahasa Cina. Ci disini juga mengandung arti energi.
Sedangkan kata Mahi dalam bahasa Arab merupakan salah satu sebutan bagi Nabi Muhammad SAW. Al-Mahi dalam Bahasa arab artinya penghapus atau pembersih. Jika kita maknai dua suku kata dari dua bahasa ini, Cimahi bermakna sebagai energi pengahapus atau energi pembersih. “Menulusuri asal usul kata Cimahi tentu bukan sekedar mengada-ngada. Tapi merupakan analisi empiris bahwa kubudayaan kita sangat dipengaruhi 4 kebudayaan besar, yaitu kebudayaan India, Arab, Cina dan Barat (Amerika dan Eropa), sehingga berpengaruh juga pada penggunaan kata, nama-nama orang dan tempat,” kata Hermana.
Lanjut Hermana, dari paparan asal usul kata menunjukan bahwa falsafah Cimahi tidak lepas dari unsur air. Bahkan secara geografis Cimahi dilintasi atau terbelah oleh aliran sungai besar bernama sungai Cimahi dan dari nama sungai itulah nama Kota Cimahi diambil.
“Sungai Cimahi adalah sejarah Kota Cimahi, maka sebagai bagian dari masyarakat dan ketua DKKC saya ingin pemerintah dan masyarakat Kota Cimahi berdayakan Sungai Cimahi khusunya yang ada kawasan komplek Pemkot Cimahi. Kita bangun kembali peradapan melalui sungai itu sebagaimana raja-raja kita dulu, sungai menjadi salah satu urat nadi bangun perekonomian.
Pada konteks sekarang Sungai Cimahi mesti menjadi destinasi pariwisata Kota Cimahi, yakni menyuguhkan budaya yang berhubungan dengan air sungai. Bahkan secara pisik mesti ditata ulang, sehingga punya nilai estetik dan etik,” pinta Hermana.
Sebagai kawasan Bandung Utara, Hermana menyebutkan Kota Cimahi bagian utara menjadi tempat serapan air. Maka tidak heran jika di Cimah Utara banyak ditemukan sumber mata air dan berpengaruh pada perkembangan kebudayaan masyarakat di sekitarnya yang erat kaitannya dengan air.
“Berkembangnya zaman dan alih fungsi lahan jadi pemukiman, kebudayaan yang berhubungan dengan air kini sudah pudar, seiring dengan lenyapnya belasan sumber mata air di kawasan Cimahi Utara. Masyarakat sangat jarang melakukan kerja bakti dalam bentuk bersih-bersih sungai, bersih-bersih sumber mata air dan malamnya melakukan syukuran dengan menampilkan aneka ragam seni Sunda,” papar Hermana.
Jelas Hermana, efek dari lenyapnya belasan sumber mata air dan kotornya air sungai di Kota Cimahi berimbas besar pada ketersedian air bersih. Cimahi yang mengandung makna berkecupan air, sekarang senantiasa kekurangan air bersih terutama disaat musim kemarau, dan di musim hujan air tidak tertampung hingga menyebabkan banjir.
“Dalam upaya menghindari kelangkaan air bersih dan bencana banjir, tentu diperlukan upaya penanggulangannya. Selain secara teknik, salah satu penanggulangannya adalah membangun kesadaran masyarakat terhadap pentingnya memulyakan air dan lingkungan, yakni dengan pendekatan budaya, menghidupkan kembali kearifan budaya lokan yang pernah tumbuh. Diantara sekian banyak kearifan lokal yang tumbuh di tanah Pasundan ini adalah seni helaran atau Kirab Budaya dan Ngalokat Cai,” ungkap Hermana.
Pada kesempatan ini, Bandoengmooi bersama Dewan Kebudayaan Kota Cimahi (DKKC) mencoba mengangkat falsafah Cimahi yang tidak lepas dari unsur air dalam sebuah kegiatan bertajuk Festival Air 2020 – Kirab Budaya Ngarak Cai dan Ngalokat Cai Cimahi.
“Kegiatan yang digelar tanggal 24-25 Oktober 2020 ini bagi saya merupakan kegiatan istimewa karena dilasanakan bertepatan dengan bulan Maulid, bulan Kelahiran dan wafatnya Nabi Muhammad SAW, sang Al-Mahi (penghapus/pembersih),” kata Hermana. Tambah Hermana, dulu nenek moyang kita keramatkan bulan Maulid dan melahirkan budaya ritual yang berhungan dengan air, yaitu Ngabungbang. Sebuah ritual yang berhungan dengan pembersihan diri, melakukan mandi malam di tujuh sumber mata air dan pencucian pekakas yang dianggap pusaka oleh masyarakat.“Kirab Budaya Ngarak Cai dan Ngalokat Cai Cimahi yang digelar pada bulan Maulid ini, mengingatkan kembali pada ritual ngabumbang. Melalu air kita bersikan diri dari segala kotoran yang menempel di tubuh. Lewat doa yang kita ucapakan semoga menjadi pembersih kotoran yang menempel pada jiwa/pikiran kita. Semoga air yang diberi doa, kita minum menjadi energi dan penyembuh segala penyakit yang bersemayam dalam tubuh,” harap Hermana.
Hermana tegaskan, Air juga harus menjadi media komunikasi atau ajang silaturahmi antar masyarakat bersama pemerintah daerah dalam menyatukan pikiran dan rasa dalam menjaga lingkungan hidup dan budaya lokal. Multi efek dari kegiatan Kirab Ngarak Cai dan Ngalokat Cai Cimahi diharapkan dapat merangsang kreatifitas, tingkatkan produktifitas, kembangkan ekonomi kreatif dan kunjungan wisata berbasis kebudayaan lokal di Kota Cimahi.
“Sedangkan harapan utama dari perhelatan budaya ini adalah lahirnya kesadaran seluruh elemen masyarakat betapa pentingnya memulayakan air, kerena air adalah sumber kehidupan. Maka menjadi penting pula menjaga kebersihan air dan lingkungannya dari berbagai pencemaran. Tanah terpelihara, air terpelihara dan budaya terpelihara, sehinggi benar-benar mewujudkan Cimahi Maju, Agamis dan Berbudaya,” pungkas Hermana.