HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VII (101 A)
Aku memilih duduk di tengah. Di hadapanku berjajar para sesepuh baik dari bukit Selepah, Marcawang, mau pun Gunung Dempu. Sebagian masih asyik lalu lalang, lalu ada yang pindah posisi duduk demi bisa berbincang-bincang lebih dekat. Di antara kelebatan tubuh dan baju mereka yang panjang, sesekali aku melihat di sela-sela tubuh mereka wajah-wajah sosok di seberangku. Kebanyakan yang hadir di sini sosok lelaki sepuh dengan wajah dan kulit yang berbeda. Demikian juga dengan aksesoris yang mereka pakai pun juga berbeda-beda. Namun nyaris semuanya memakai baju panjang putih polos. Mataku tertuju pada sosok lelaki berhidung mancung, bermata sedikit cekung, namun tajam. Jenggot, kumis dan brewoknya putih mengkilap mengingatkan aku pada sosok yang pernah bertemu denganku di Bukit Kaba. Apakah beliau sosok itu? Aku bergumam dalam hati. Lelaki yang menyapukan kabut dengan kibasan lengan bajunya, menutupi jurang tebing yang dalam ketika senja datang, demi member kenyamanan pada mahluk-mahkluk yang berada si lembah belerang.
“Benar, itulah aku, anak dara. Jumpa lagi kita. Kali ini di tanah leluhurmu. Tanah bertuah yang sangat disayangi oleh leluhur suku Rejang juga.” Beliau menyapaku lewat batin, sementara secara fisik aku melihat beiau tengah berbincang-bincang dengan tamu lainnya samba sesekali tertawa.
“Maafkan saya Puyang, jika saya kurang sopan” Aku sedikit menunduk sembari menangkupkan kedua belah telapak tangan ke dada. Tawanya yang renyah memaklumi kekuranganku. Selanjutnya aku kembali fokus duduk di antara wanita. Sesekali kulempar pandang ke kanan dan ke kiri mengamati setiap sosok yang duduk mau pun yang berdiri dan berjalan di antara para tamu.
Ruang yang sangat luas ini terasa sejuk. Lampu-lampu setengah samar serupa obor berjejer di dinding-dinding dengan jarak tidak seberapa jauh. Beberapa sosok nenek gunung kulihat ada yang berdiri di sudut ruangan. Mereka bertugas sebagai penjaga, mengawasi semua tamu yang datang. Mata mereka yang tajam kadang lurus ke lembah. Sepertinya mereka mengawasi gerak-gerik siapa saja yang datang mendekat. Penciuman mereka juga sangat tajam. Bahkan jarak bermil-mil pun mereka bisa mengawasi dengan mudah.
Melihat semua masih asyik dengan diri sendiri, pelan-pelan aku bangkit dan berjalan sedikit merunduk melewati sosok-sosok perempuan. Aku ke luar dari kerumunan. Aku memilih ke luar rumah panggung melihat beberapa sosok melesat ke lembah, kadang ke balik bukit. Gerakkan mereka yang gesit, serupa cahaya, berkilat-kilat. Persis seperti ‘gajah ngesai bulu’. Demikian ungkapan orang Besemah melihat kiltan cahaya di kaki langit. Sebenarnya aku ingin juga mengetahui apa dan bagaimana mereka bekerja. Apalagi kulihat beberapa elang berwarna putih dan hitam seperti berpasang-pasangan mengitari area bukit. Mereka juga penjaga yang bertugas mengawasi dari atas. Kadang mereka hinggap di atas pohon tinggi dengan mata berkilat.
Melihat aku ke luar, ternyata Alif ikut di belakangku. Nampaknya dia sedilit bingung berada di atara orang ramai yang nyeracau berbahasa Besemah. Kusambut beliu dengan senyum. Kami sama-sama mengamati lingkungan rumah panggung panjang yang memancarkan cahaya sedikit remang. Sesekali aku menjelaskan pada Alif melihat kemerlip terbang seperti kunang-kunang, kadang bergerombol kadang berpencar seperti burung pipit berteriak seperti menari di langit Besemah ketika padi mulai berisi. Cahaya gemerlap seperti kunang-kunang itu adalah serupa hewan peliharaan Puyang Bukit Selepah yang biasa disebut oleh penduduk dusun beruang kace.
Aku mengencangkan ikat kepalaku yang sedikit longgar. Sebelum masuk tadi aku telah ganti pakaian khusus yang diberikan Nenek Ceriwis sejak aku kecil. Pakaian yang tidak pernah kebesaran atau pun kekecilan meski aku sudah dewasa seperti sekarang. Bedanya, jika dulu aku tidak mengenakan sepatu, malam ini aku diberikan sepatu berbulu mirip dengan warna busanaku. Padahal, nenek Kam selalu melarangku mengenakan sepatu. Apalagi jika masuk ke dalam hutan. Baru kuketahui dari Macam Kumbang jika sepatu ini merupakan penghargaan serupa senjata yang dihadiahkan padaku. Aku mengangguk saja tanpa tahu bagaimana mefungsikannya. Yang jelas telapak kakiku terasa nyaman, dan langkahku terasa lebih ringan. Bentuknya seperti boot yang melekat erat di pergelangan betis, sangat aku suka.
Melihat penampilanku sedikit berbeda, Alif senyum-senyum di belakang Eyang Kuda. Sesekali matanya mencuri pandang. Mungkin dia heran mengapa aku berpakaian seperti seorang pendekar hendak berkelana. Pakaian berwarna harimau putih, bercelana sebatas betis. Pakaian yang sangat ringkas dan membuatku mudah bergerak. Eyang Kuda justru mengarahkan dua jempolnya padaku memeberi pujian. Beberapa sosok kulihat ada yang berpakaian mirip denganku. Tetapi mereka laki-laki. Sebagian lagi seperti Macan Kumbang, berpakaian hitam pekat. Selebihnya pakaian berwarna putih seperti orang pergi haji.
Rumah panggung mulai hening. Suara orang mengobrol tidak seperti tadi lagi berdengung seperti lebah. Aku dan Alif segera naik. Mataku mencari-cari sosok Nenek Kam. Biasanya beliau lebih dulu datang dari pada aku. Tapi selintas aku belum melihat batang hidungnya. Ke mana nenekku itu? Tidak jauh dari tempatku duduk sekelompok perempuan-perempuan tua masih asyik bercengkrama pelan sambil menumbuk sirih dan sebagian sedang mengunyah sirih membuat bibir dan gigi mereka berwarna merah. Beberapa sosok aku kenal dan pernah melihatnya. Namun sebagin besar dari golongan nenek gunung dan baru kali ini berjumpa. Belum terlihat dari golongan manusia seperti biasanya. Mungkin karena ini di bukit Mercawang, agak berbeda memang ketika berkumpul di gunung Dempu tempat pertemuan pada makhluk gaib setiap bulan dan hari-hari tertentu.
Baru saja aku hendak duduk bersipuh, tiba-tiba insting dan penciumanku mengurungkan niat untuk meletakkan pantat bersama para sesepuh yang sudah dulu berkumpul.
Aku merasakan ada yang tidak beres di luar sana. Dorongan ingin tahu segera membuatku bangkit dan ingin ke luar. Aku minta izin berjalan merunduk di hadapan para sesepuh yang masih asyik bercengkrama antar mereka. Setelah sampai di beranda aku mempercepat langkah. Aku menuruni anak tangga dengan tidak mengijaknya satu-satu. Tapi langsung meluncur ke bawah. Jauh di balik bukit aku melihat cahaya kuning seperti obor berderet seperti menyisir punggung bukit di seberangnya. Aku penasaran melihat cahaya itu. Beberapa sosok nenek gunung mengamati aku dari rumah panggung sejak aku ke luar. Mungkin mereka heran mengapa aku ke luar ruangan. Aku tidak mempedulikan mereka. Aku fokus mengamati pasukan itu.
Sebelum aku mengambil keputusan untuk menghampiri cahaya itu, aku menyadari jika cahaya itu makin lama makin mendekat. Bahkan pelan-pelan ada aroma wangi menyeruak memenuhi area yang tak kasat mata ini. Cahaya kuning yang sedikit buram seakan memantul dari langit. Akhirnya aku memilih tetap berdiri menunggu cahaya kuning itu. Cahaya kuning yang semula mirip obor, semakin dekat semakin keemasan. Rupanya cahaya itu bukan berasal dari api. Tapi cahaya yang dipantulkan oleh sisi sepanjang kereta. Seiring cahaya yang makin mendekat, terdengar derap kaki kuda. Derapnya cepat sekali. Aku makin penasaran. Siapa rupanya? Tidak biasanya tamu para puyangku mengendarai kuda. Biasanya rata-rata mereka yang datang mengendarai angin. Beberapa sosok selain penjaga, kembali ikut ke luar dari rumah panggung. Dalam hati aku memperkirakan mereka sama sepertiku, penasaran dengan deretan cahaya kuning yang mirip obor itu. Di tengah derap kaki kuda dan lonjakan kereta yang terdengar semakin dekat, samar-samar aku mendengar obrolan sosok di belakangku dalam bahasa nenek gunung. Mereka menyebut-nyebut nama “Dewi” sebagai wanita yang cantik, anggun, dan berwibawa.
Aku semakin penasaran siapa yang mereka maksud Dewi itu? Nama yang tidak familier bagi suku Besemah. Dewi identik dengan masyarakat Jawa. Mungkinkah yang disebut Dewi itu berasal dari pulau Jawa? Apa keperluannya ke mari? Lalu mengapa dia mengendarai kereta? Kereta kencanakah seperti yang pernah kulihat beberapa waktu lalu ketika aku tengah melakukan perjalanan ke gunung Slamet bersama Puyang Purwataka guruku? Pikiranku melayang mengenang ketika pertama kali aku melihat sosok cantik melintas menuju laut selatan. Kata Puyang Purwataka beliau adalah pasukan Nyi Roro Kidul, ratu peguasa pantai Laut Selatan. Pasukannya saja begitu gagah, anggun dan cantik, apalagi ratunya. Pikirku saat itu.
Makin lama aroma wangi makin menyengat. Anehnya aroma itu tidak membuat bosan menghirupnya. Malah sebaliknya, jiwa terasa segar dan otak terasa jernih dan ringan.Persis aroma Putri Bulan ketika pertama kali aku mengenalnya. Sekilas aku mencoba menelisik aroma ini lewat batin. Oh ternyata berasal dari tubuh seorang wanita bergaun hijau muda, dengan potongan rambut setengah disanggul lalu sebagian lagi seperti terurai. Di antara sanggul kecilnya itu terdapat tusuk konde berupa bunga dahlia mengangguk-angguk dan bercahaya seirama gerakan derap kuda. Setelah agak dekat, aku mulai memberanikan diri untuk menatap wajahnya. Ternyata dia seorang wanita muda cantik dan anggun. Mata dan rautnya seperti selalu tersenyum. Meski terkesan sederhana, namun aku tetap melihatnya wanita yang luar biasa. Ada kekuatan yang sulit diukur dalam jiwanya. Aku tidak bisa langsung menentukan wanita itu dari golongan apa. Apakah bangsa jin atau bangsa siluman, atau bangsa manusia. Kekuatan yang dia miliki serupa tabir, tidak bisa aku tembus. Lagi-lagi aku kagum menghadapi kenyataan ini.
Gerakan cahaya dan kereta semakin lama semakin dekat. Ternyata kereta yang muncul bukan kereta biasa. Tapi kereta kencana betulan yang ditarik oleh enam kuda yang gagah. Di bagian belakang kusir terlihat pembatas ukiran berbentuk ular naga. Begitu juga di sisi kiri kanan atapnya. Kereta seperti dililit ular-ular naga yang bersisik kuning berjajar panjang. Luar biasa, indah sekali. Inilah rupanya yang berkilau-kilau seperti lampu ketika tampak dari jauh. Bahkan cahayanya seperti obor yang menyala.
Rupanya yang tertarik dengan kedatangan pasukan agung itu bukan hanya aku. Di belakang dan di atas, bahkan di bawah banyak sekali makhluk yang memperhatikan gerakan kereta kencana yang membawa wanita dan pasukannya. Nampaknya beliau seorang ratu. Tapi ratu dari kerajaan mana?
Saking kagumnya batinku tidak terpikir untuk menelusuri lebih jauh asal wanita itu. Penampilannya memang jauh berbeda dengan tamu lainnya. Tentu hal ini menarik perhatian siapa pun yang baru bersua dengannya. Mulai dari cara berpakaian, parasnya yang lembut, dan diatar kereta kencana ditarik enam ekor kuda yang gagah. Tak sedikit aku mendengar decak kagum beberapa sosok di belakangku.
Ketika keretanya berhenti persis di halaman rumah panggung puyang, beliau turun dari kereta dibantu pengawalnya. Aku melihat betapa mulus dan putih betisnya. Sebagai makhluk Tuhan dia sangat sempurna. Tak berapa lama aku tersenyum sendiri seakan baru menyadari jika aku bukan berada di alam nyata. Kecantikan wanita ini seperti menghipnotis. Mereka makhluk halus yang bisa mari rupa. Jika menjadi wanita cantik maka tidak tanggung-tangung, kecantikannya luar biasa. Daya magisnya lebih dominan. Berbeda dengan manusia, hanya bisa dihitung dengan jari yang memiliki kecantikan sempurna. Itu pun tidak secantik makhluk di alam tak kasat mata.
“Kau ingin cantik seperti dia, Selasih?” Tiba-tiba dari belakangku berdiri Udan, sosok nenek gunung yang berusia kira-kira empat puluhan jika bangsa manusia. Aku tertawa mendengarnya. Pertanyaan konyol seakan-akan tidak bersyukur dengan paras yang kumiliki.
“Apa kau kira, Selasih tidak cantik? Dia ini cantik luar dalam. Kalau tidak, mana mungkin semua Puyang jagad Besemah ini sayang padanya, dan memanjakannya.” Ujar Ninggu salah satu nenek gunung Bukit Selepah menimpali. Aku tersenyum melihat perdebatan singkat keduanya sebelum menghampiri dan menyambut perempuan yang disebut-sebut Dewi .
“Selamat datang di tanah Besemah ini, Putri” Sambutku mengulurkan tangan. Tangannya yang lembut terjulur menyambutku. Masya Allah lembut, halus dan licin. Aku seperti bersentuhan dengan kain sutra. Tidak ada kekuatan seperti genggaman manusia atau para sesepuhku di Bukit Selepah dan gunung Dempu. Halus sekali. Namun demikian, dasyatnya energi yang dimilikinya sangat terasa. Aku tahu, beliu ini sudah sepuh. Namun masih terlihat cantik dan muda. Ilmu kanuragannya sangat sempurna. Selendang yang melilit di lehernya sedikit menjuntai dan melayang- layang sehingga mirip gelombang ombak, membuat kecantikannya makin sempurna. Aku serupa berhadapan dengan lukisan. Apalagi ketika kakinya melangkah. Sangat ringan. Bahkan nyaris tak terdengar desir angin yang menerpa tubuhnya.
“Kamu Putri Selasih, Murid Eyang Putih dan Eyang Purwataka, bukan? Kenalkan aku Dewi Sekar Sari.” Ujarnya singkat sambil menyebar senyum. Belum sempat aku menjawab, beliau telah disilakan oleh beberapa pengawal untuk naik ke rumah panggung. Aku segera berjalan mengikutinya dari belakang. Aku mengingat-ingat dan mengulang-ngulang menyebut namanya dalam hati. Aku penasaran sekali sebenarnya. Ingin tahu dia berasal dari mana. Sayang situasi tidak memungkinkan untuk mendapatkan penjelasan dari siapa pun.
“Dia penguasa laut Pantai Selatan” Suara Eyang Putih langsung menjawab pertanyaan batinku. Aku justru semakin heran. Memangnya ada berapa makhluk yang menjadi penguasa laut Pantai Selatan? Setahuku Nyi Roro Kidul. Eyang Kuda dan Puyang Purwataka juga mengatakan demikian? Mengapa Dewi Sekar Sari yang berkuasa? Bagaimana bisa? Aku makin penasaran. Dalam kebingunga yang sangat, aku terus berjalan mengiring Dewi Sekar Sari yang berjalan agak jauh di depanku, dan dia mengenalku. Hal ini membuat aku makin kagum padanya.
Mulai dari masih di beranda, samar-samar terdengar suara lelaki dan perempuan tengah guritan bersahut-sahutan. Guritan itu sastra lisan asli Besemah semacam puisi berbahasa daerah yang disampaikan dengan irama tertentu berisi nasehat, cerita, kadang berisi candaan. Karena suaranya merdu dan beberapa kali menyebut-nyebut namaku dalam guritannya membuatku tertarik, fokus mendengarnya sejenak ingin tahu apa isi guritannya. Kadang-kadang para tamu tertawa ketika mendengar beberapa bagian yang dilisankan mereka anggap lucu. Setelah mengantarkan tamu yang bernama Dewi Sekar Sari duduk, aku beralih serius dengan beberapa hal pasca pertempuran tadi. Aku dengar ada beberapa sosok yang masih harus ditolong. Hal ini tidak bisa membuatku duduk diam. Aku merasa punya tanggungjawab untuk menolong dan menyelamatkan mereka.
Di deretan tamu lelaki, beberapa sosok tengah merokok nipah. Persis seperti Kakek Haji Yasir. Mereka dengan santai mengepulkan asap sambil bincang-bincang. Asap yang mengepul lalu lenyap di bawa angin. Ruangan luas ini memang semacam ruang pertemuan yang terletak di tengah rumah panggung yang panjang. Dinding rumah nampak coklat tua. Bahkan mendekati warna hitam. Rumah panggung yang terbuat dari papan ini terlihat kokoh. Ornamen kunonyo terlihat di les dinding dan tiang-tiang. Ukiran pucuk paku sangat dominan. Rumah bari dengan ukiran alamnya yang memiliki filosofi yang dalam tentang kecintaan pada alam semesta. Di tengah-tengah ruangan berdiri tiang bulat yang berukuran besar, mirip seperti tiang-tiang gedung di alam nyata. Bedanya jika di alam nyata tiang-tiang besar terbuat dari batangan besi dan semen yang di cor, sedangkan di sini terbuat dari kayu bulat yang berukuran besar asli diambil dari alam. Aku melihat Alif ikut duduk bersila sembari menundukkan kepala di antara lelaki yang berbaju putih. Di sampingnya ada Eyang Kuda. Seperti biasa Eyang Kuda terlihat lebih mencolok karena blangkonnya. Mereka berdua lebih banyak diam. Menjadi pendengar obrolan para sesepuh, total menggunakan bahasa Besemah. Bahkan Eyang Kuda sesekali menongolkan kepala ingin tahu saat ada beberapa orang berbicara dengan suara keras. Mungkin Eyang Kuda menyangka tengah ada perkelahian atau perdebatan. Padahal dialek Besemah memang keras . Jauh berbeda dengan dealek Jawa apalagi Sunda. Begitu juga Alif ikut-ikutan memajukan leher melihat orang yang sedang berdialog seperti nada orang marah. Tak lama dia senyum-senyum sendiri setelah megetahui jika mereka tengah ngobrol, membicarakan beberapa hal sambil bercanda.
Tak lama kami bangkit setelah ada ajakan untuk makan. Aku bersama alif, Puyang, kakek dan nenekku langsung menuju ruangan yang bersambungan dengan ruang tengah. Rupanya ada sekitar sepuluh hidangan yang siap untuk dinikmati. Sementara di ruang lain, kulihat Eyang Kuda dan rombongannya juga berkumpul untuk menikmati santapan mereka. Santapan kami memang berbeda. Di hadapanku kulihat persis hidangan di alam nyata. Demikian juga pasukan dari ranah Minang, ada yang ikut dengan rombongan Eyang Kuda, ada yang bersama kami.
Mataku mencari-cari sosok Dewi Sekar Sari. Lama aku menyisir ruangan dari sudut ke sudut hingga akhirnya kulihat beliau tengah berdiri dan berhadap-hadapan dengan sosok perempuan cantik berbaju kurung seperti gadis melayu. Siapa lagi dia? Aku membatin lalu menghampiri nenek Ceriwis yang menyembul dari keramaian bagian utara.
“Nek, siapa itu?” Tanyaku sambil memanyunkan bibir.
“Itu Putri Rambut Selake” Ujar Nenek Ceriwis tanpa penjelasan berasal darimana. Aku hanya menatap nenek ceriwis berharap beliau dapat menjelaskan rasa penasaranku.
“Dia itu anak Ratu Dentan Kemuning dari Ranau. Kamu memang baru kali ini melihatnya. Dia juga baru kali ini ke mari.” Ujar Nenek Ceriwis seakan tahu makna tatapanku. Aku mengangguk paham. Muncul lagi pertanyaan dalam batinku. Ada keperluan apa mereka ikut berkumpul di sini? Termasuk juga dengan Dewi Sekar Sari yang kata Eyang Putih, penguasa Pantai Laut Selatan jauh-jauh dari Laut Selatan datang ke perbukitan Besemah ini? Apa hubungannya dengan para sesepuh-sesepuhku?
“Minum kabung, Selasih?” Lelaki paruh baya menyodorkan cangkir yang terbuat bambu kecil dan menuangkan air nira berwarna agak coklat dari jantar berukuran besar dan panjang yang disandangnya, membuyarkan pikiranku. Minuman tradisional yang sudah hilang dari peredaran perkampungan Besemah ini ada di sini. Ini kali ke dua aku minum ayek kabung yang rasanya manis degan aroma khasnya. Air nira sebagai bahan baku gula merah ini memang merupakan minuman khas nenek moyangku. Jika dimasak hingga agak kental, biasanya digunakan ibu untuk membalur ubi kayu, atau nasi pulut disiram cairan air nira pengganti gula. Biasaya disuguhkan pada waktu sarapan pagi atau berbuka di bulan Ramadan.Kulihat mata Alif merem-melek menikmati rasa manisnya. Nampaknya seumur hidup baru kali ini dia menikmati minuman khas dataran tinggi ini.
“Sedap!” Bisiknya sambil mengacungkan jempol. Aku hanya tersenyum menyaksikannya. Wajahnya semakin tampan ketika matanya sedikit berkedip. Apalagi diiringi senyum kecilnya yang menyembunyikan gigi-giginya yang putih dan rapi.
Aku segera mengendalikan batinku agar tidak terbawa suasana karena muncul kagum yang berbunga-bunga. Kualihkan pikiranku pada obrolan dengan Bapak suatu ketika. Menurut Bapak minuman kabung itu sangat baik untuk stamina. Dulu, ketika beliau masih muda kalau hendak berburu atau mencari rotan di perbukitan mereka selalu membawa air kabung untuk minuman agar terus bertenaga dan tidak mudah lapar.
Baru saja aku hendak mengembalikan cangkir bambu yang disuguhkan padaku, tiba-tiba muncul nenek Kam. Beliau langsung duduk di sampingku lalu menyambar secangkir air kabung dan meminumnya. Rasa manis yang dihasilkannya membuat nenek Kam berdecak-decak sambil menyapu bibirnya dengan lidah. Beliau hanya tersenyum dan sedikit mengangkat dagu, seakan tahu apa yang ada di hatiku.
“Waktu nenek ke Manna, banyak masyarakat dusun itu membuat nira dan menyajikan minuman tradisional ini. Bapakmu juga dulu sering menampung air nira dan membagi-bagikannya dengan orang sedusun tiap kali jelang romadan. Karena minuman ini sehat untuk menjaga kesehatan, dan sangat cocok untuk masyarakat perbukitan. Karena nyaris setiap hari nenek moyangmu menempuh perjalanan berkilo-kilo meter dengan berjalan kaki.” Nenek Kam menjelaskan padaku sembari mengenang masa lalu.
Apa yang disampaikan Nenek Kam masuk akal. Dulu ketika aku mendaki gunung atau lintas alam, kerap kali Pembina kami mengingatkan agar stamina tetap stabil, tidak haus berlebihan, maka tiap orang disuruh mengantongi gula merah. Lalu menjadikan gula merah sebagai pengganti permen. Ternyata memang benar, stamina bisa kuat dan bisa mengusir rasa haus berlebihan.
Usai makan, beberapa sesepuhku masih asyik membicarakan pertempuran yang belum lama berlangsung melawan Dewi Laut Silincing Api. Baru kuketahui jika Dewi Laut Silincing Api bukan kali pertama naik ke bukit ini. Aku hanya sedikit khawatir jika beberapa kerajaan jin bawah laut datang menyerang ke mari untuk balas dendam. Meski aku dibantu para Puyang memagari area perbukitan ini berlapis-lapis, namun bisa saja benteng itu jebol. Apalagi makhluk-mahkluk bawah laut itu rata-rata berilmu tinggi. Mereka petapa-petapa hebat yang hidupnya hanya untuk mengasah ilmu.
Aku bergeser ke ruangan arah timur.
Beberapa sosok tidak terlalu peduli dengan ruang yang sedikit temaram itu. Tetapi aku justru merasa ada energi menarik-narik untuk ke sana. Tanpa menoleh kanan kiri aku langsung berjalan lurus menuju ruang yang berpintu sedikit lebih kecil dibadingkan dengan pintu lainnya. Aku mendorong pelan daun pintu yang sedikit tertutup. Deritnya yang halus namun terdengar jelas membuat beberapa sosok di dalamnya langsung menoleh padaku. Sejenak aku menyapu seluruh ruangan. Ruangan ini seperti bangsal rumah sakit di alam nyata. Banyak sosok yang terbaring dan sedang dalam pengobatan.
Aku tertarik dengan beberapa sosok yang melakukan pengobatan pada korban yang terluka cukup parah. Ada juga yang saling mengobati sesama mereka. Sebagian lagi saling berbagi energi untuk mengembalikan energi mereka yang telah terkuras. Beberapa sosok yang diobati kulihat langsung sembuh. Namun ada juga yang meski telah diobati masih lemas dan tidak bertenaga. Jiwa tolong menolong satu sama lain terlihat begitu kental. Wajah-wajah polos tanpa pamri, dan seperti tidak ada beban meski dalam keadaan terluka mencerminkan jiwa mereka yang ikhlas.
Ketika aku berjalan bergeser sedikit dari ruangan sebelumnya, aku melihat banyak sekali sosok yang luka bakar. Sebagian besar tubuh mereka berbulu, bulunya gosong. Kulit mereka terlihat sebagian berwarna merah, persis daging yang matang.
Aku menelan ludah memandangnya. Kakek Njajau ada di antara mereka. Beliau nampak sangat sigap bergerak ke sana ke mari. Tangannya bergerak-gerak ke atas ke bawah memberi kekuatan pada tubuh-tubuh yang terbakar tersebut. Aku memohon izin pada sosok penjaga untuk mendekati kakak Njajau. Setelah diizinkan aku segera mendekat.
Kakek Njajau masih fokus pada pengobatan. Tak lama ada semacam minyak yang dibalurkan kakek Njajau ke beberapa sosok. Kata kakek bulu-buluh di tubuh sosok-sosok ini segera tumbuh kembali beberapa hari. Hebat! Aku ingin bertanya sebenarnya, minyak apa gerangan yang beliau poleskan. Tapi dengan cepat kakek Njajau menjentik punggung tanganku pertanda beliau tidak mau menurunkan hal ini padaku.
“Kakek pelit” Bisikku dibalasnya dengan nyengir kuda.
“Kalau kamu mau memiliki ilmu pengobatan ini, kamu harus luka bakar dulu. Mau?” Ujarnya dengan mata agak melotot.
“Oh! Jadi aku harus luka bakar dulu baru bisa memiliki ilmu pengobatan ini?” Tanyaku sedikit meyakinkan. Kakek Njajau mengganguk kecil. Sebenarnya aku punya pengobatan luka bakar juga. Hanya saja agak berbeda degan cara kakek Njajau. Aku tidak membutuhkan minyak seperti ini. Tapi cukup fokus dengan kekuatan batin.
Memang beberapa pengobatan yang kuketahui di Besemah jika hendak diwariskan maka pewarisnya harus mengalami hal yang berkaitan dengan jenis pengobatan terlebih dahulu, baru bisa mengamalkannya. Sama halnya pengobatan tampun darah yang dimiliki kakek dari Bapak yang diwariskannya dengan Bakwo Liawas. Menurut Bapak, ketika Bakwo masih bujang, tangannya pernah terluka cukup parah terkena parangnya sendiri. Telapak tangannya nyaris putus. Darah yang ke luar bukan mengalir seperti luka biasa. Namun muncrat persis seperti sapi disembelih. Kencang sekali. Seketika bibir Bakwo berubah putih. Pucat pasi! Dalam keadaan genting, beliau ingat jika telah diwariskan ilmu tampun darah. Beliau mengamalkan ilmu tampun darah tersebut dengan cepat. Tiba-tiba darah yang muncrat berhenti setelah beliau membaca mantranya. Ilmu pengobatan itu semakin lengket dengan beliau. Kadang terbersit juga dalam benak mengapa harus seperti itu? Terakhir kuketahui hal itu semacam ujian sesuai tingkat kemampuan yang dimiliki oleh orang-orang tertentu.
“Sekarang tugasmu!” Ujar Kakek Njajau. Padahal aku mendekat hanya sekadar ingin melihat proses pengobatan. Bukan hendak membantunya. Melihat kakek Njajau melipat tangan sambil menatapku, Akhirnya kuletakkan telapak tanganku ke bagian luka bakar beberapa sosok yang tergeletak. Aku berusaha konsentrasi memusatkan kekuatan batinku, lalu mengumpulkan energinya di telapak tangan. Mantra pengobatan yang kuperoleh dari Puyang Ulu Bukit Selepah, Kakek Njajau, Kakek Andun dan Nenek Kam kujadikan satu. Tak lama berangsur tubuh yang melepuh kembali sempurna. Selaput tipis yang merayap seperti air menyapu pelan bagian yang terluka. Pelan-pelan kulitnya berubah kembali seperti semula. Suara erangan dan rintihan pelan-pelan berubah menjadi desah nafas lega dan ucap syukur. Aku juga bahagia ketika melihat beberapa sosok bangkit dan melompat sembari menatap sekujur tubuhnya mulus tanpa bekas.
Di alam tak kasat mata ini belum pernah aku menemukan dokter seperti di alam nyata. Selalu pengobatan tradisional yang ada. Meski beberapa kajian tentang alam gaib, ada juga kelompok atau tingkatan bangsa jin yang memiliki teknologi tinggi layaknya manusia. Bahkan konon, tak sedikit di antara mereka mengintip apa yang dilakukan oleh manusia untuk sekadar mencuri ilmu lalu menerapkannya di alam mereka. Kata Kekek Njajau suatu kali, untuk sampai ke tingkat alam tak kasat mata yang itu hanya bangsa manusia yang memiliki ilmu ketahuitan yang sempurna. Waktu itu, lama aku merenung. Bagaimana bisa mencapai ketahuitan yang sempurna?
Pekerjaanku belum selesai ketika Puyang Bukit Selepah menempelkan tangannya ke pundakku. Aku merasakan ada yang mengalir pelan melalui tangan Puyang Bukit Selepah. Beliau tegah mengalirkan energi membantuku. Luka dalam yang dialami beberapa sosok ini cukup parah. Aku berusaha menyisir tiap bagian dalam tubuhnya lalu memulihkannya kembali. Beberapa bagian yang luka mengaga kusatukan kembali. Demikian tulang belulang mereka yang remuk. Aku jadi ingat cerita Wak Nur ketika beliau pertama kali menjadi dukun urut patah mewarisi ilmu Bapaknya. Beliau diuji dengan meremukkan kaki ayam, lalu mengurutnya setiap pagi hingga kaki ayam yang remuk tersebut menyatu kembali.
Selanjutnya, dicobanya mengurut bagian yang patah dengan rotan yang remuknya persis seperti kaki ayam yang patahkan. Dengan mengoles minyak yang dimantrai pada rotan setiap magrib, lama kelaman rotan yang patah dan remuk itu kembali bulat dan mulus seperti biasa. Jika demikian bisa dipastikan tulang manusia yang patah akan ikut sempurna.
Hap! Hap!
Ujung jari kakek Njajau seolah-olah mengunci beberapa bagian tubuh sosok yang tengah kuobati. Beliau melakukan semacam kunci pertanda pengobatan selesai. Aku tersenyum melihat sosok-sosok itu bangkit seperti tidak mengalami suatu apa pun. Mereka terlihat bugar. Andai ini terjadi di alam nyata? Aku membatin.
Bersambung…
Akhirnya makasih admin udah tayangin lagi.