Guru dan Literasi Siswa di Prancis

Catatan Luh Anik Mayani. Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Paris.

Di salah satu restoran ramen di Châtelet, anak saya yang bersekolah di salah satu collège (setara SMP) di Paris dengan bersemangat menceritakan sejarah Eropa pada masa Perang Dunia II. Penyebab perang, tokoh, dampak, dan bahkan penulis atau pelukis yang mengabadikan peristiwa pada masa itu melalui karya sastra atau karya seni lain tuntas ia paparkan.

Sembari mendengarkannya, saya membandingkan pengetahuan saya tentang sejarah Indonesia. Alhasil, saya nyaris tidak mengetahui satu peristiwa pun sedetail itu. Saya hanya ingat tanggal-tanggal penting dan nama-nama tokoh tanpa dapat mengingat peran mereka.

Sejujurnya, bacaan sastra Indonesia saya tidaklah banyak, seperti karya Pramoedya Ananta Tour atau Remy Silado baru saya kenal ketika kuliah. Tiga puluh tahun lalu, ketika seusianya, saya tak punya ingatan apa pun tentang sastra Indonesia.

“Mama ingat tidak, tadi kita melihat buku tentang Général de Gaulle, Molière, Victor Hugo, Simone Veil …” dan dia melanjutkan menyebutkan beberapa nama tokoh dan penulis ternama di Prancis. “Aku tahu semua nama dan cerita tentang tokoh-tokoh itu dari guru Bahasa Prancis dan guru Sejarah,” lanjutnya.

Belum genap dua tahun bersekolah di Paris, anak ini sudah mengetahui begitu banyak nama tokoh sejarah dan tokoh sastra Prancis. Tidak sekadar tahu namanya, ia juga dapat menceritakan peran mereka pada masanya.

“Belajar sejarah sekalipun, kita harus membaca karya (misalnya, pidato) yang ditulis pada zaman itu,” terangnya. “Jadi, belajar apa pun, ujung-ujungnya harus membaca dan menganalisis suatu karya.

“Ya, sejak bersekolah di Paris, sering kali dia memilih dan membaca buku bukan lagi karena tugas sekolah, tetapi karena penasaran dengan kelanjutan cerita guru di sekolah tentang kehebatan para tokoh atau tertarik pada cerita guru tentang suatu karya sastra.

Sekolah dan dorongan membaca

Sekilas cerita di atas semoga cukup untuk menyatakan bahwa minat membaca yang sesungguhnya bermula dari sekolah. Dari guru yang membaca, lebih tepatnya.

Kebiasaan guru di sekolah menyelipkan cerita tentang suatu buku (sastra) dan tokoh secara tidak langsung membuat siswa penasaran dan ingin mengetahui lebih banyak tentang buku atau tokoh tersebut. 

Mengapa si guru dapat menceritakan begitu banyak tokoh dan karya sastra? Jawabannya sangat sederhana: karena si guru membacanya! Sebaliknya, mustahil si guru dapat menceritakan isi buku atau bercerita tentang tokoh-tokoh penting jika ia tidak pernah membacanya.

Selanjutnya, jika ditelusuri lebih jauh, guru tidak menceritakan buku atau tokoh secara arbitrer, tetapi karena buku (sastra) dan tokoh tersebut terintegrasi di dalam kurikulum sekolah.

Ketika membahas satu puisi di kelas Bahasa Prancis, guru akan memulai kelas dengan menceritakan latar belakang, kehidupan, dan masa hidup penulis, sebelum aktivitas membaca dan membahas puisi dilakukan.

Latar belakang dan masa hidup penulis setidaknya akan menjadi dua hal yang mendasari analisis yang akan dilakukan oleh siswa. Siswa dituntut untuk dapat menghubungkan kejadian pada masa hidup penulis dengan apa yang tersaji dalam karya sastra (misalnya, puisi) yang dibaca atau dibahasnya. Bahkan, siswa dapat membuat perbandingan dengan peristiwa yang terjadi saat ini.

Selain itu, pembahasan puisi dari segi internal kesastraan pun berkembang menjadi aktivitas yang bersifat analitik: baik penjelasan tentang gaya bahasa, maupun analisis gaya bahasa yang ada di dalamnya.

Namun, jangan bayangkan bahwa analisis ini akan sama dengan analisis di kelas-kelas Bahasa Indonesia yang saya ikuti ketika bersekolah dulu. Penjelasan gaya bahasa yang hanya disertai definisi lalu mencari contohnya dalam teks karya sastra yang diberikan. Tidak pernah ada pertanyaan tentang alasan penulis mengunakan gaya bahasa tertentu, atau bagaimana masa hidup penulis dapat memengaruhi gaya menulisnya. Tidak. Hal itu tidak pernah terjadi di kelas saya dulu.

Di Prancis, siswa bahkan dapat berlatih untuk mengilustrasi sebuah karya sastra menjadi bentuk karya (seni) lain, seperti lagu, lukisan, sketsa, bahkan jenis karya sastra lain. Jenis latihan seperti ini dapat menjadi cara untuk menciptakan kebebasan bagi siswa untuk berkreasi, mengekspresikan diri ketika atau setelah membaca suatu karya sastra.

Integrasi sastra dalam kurikulum 

Selain guru yang menjadi tokoh sentral untuk mengenalkan tokoh penting atau karya sastra, pengintegrasian karya sastra dalam kurikulum pelajaran lain (selain bahasa) tampaknya membawa dampak yang semakin besar pada penumbuhan minat siswa untuk membaca buku (sastra) dan buku lain yang relevan.

Pemberian tugas baca buku sastra yang terintegrasi dalam mata pelajaran di sekolah secara tidak langsung mewajibkan siswa untuk membaca karya sastra. Dengan membaca karya sastra tersebut, mereka juga mendapatkan pengalaman untuk mengaitkan cerita yang dibaca dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari.

Selain itu, buku sastra yang dibaca juga sesuai dengan usia mereka, baik dari segi pemilihan isi cerita maupun diksi yang digunakan. Dengan demikian, bacaan mereka memang sesuai dengan pengalaman sehari-hari. Pun tidak sama persis, mereka dapat membuat perbandingan tentang hal yang terjadi saat ini dan pada masa lampau.

Tugas membaca, (juga) tugas guru

Tugas membaca seharusnya menjadi motivasi yang menggairahkan, tidak memberatkan. Perasaan “butuh” membaca karena keingintahuan akan lebih mudah berterima dibandingkan dengan perasaan membaca karena disuruh. Ketika menjadi sesuatu yang berterima, tanpa sadar, membaca akan tumbuh menjadi kebiasaan.

Foto Klause Vedfelt @Gettyimages

Dampak lain yang muncul adalah kemampuan menulis dan menganalisis pun meningkat. Semakin banyak buku yang dibaca, semakin banyak informasi, ide, dan cara pandang yang didapat sehingga memudahkan siswa untuk membangun argumentasi yang diperlukan ketika menulis sebuah analisis.

Proses pengenalan karya sastra yang berawal dari mendengarkan cerita guru, yang berlanjut ke pengalaman membaca dan menganalisis, dan diakhiri dengan penulisan atau reproduksi ulang karya berdasarkan interpretasi dan argumentasi sendiri benar-benar menjadi paket lengkap pengalaman berliterasi bagi siswa SMP di Prancis.

Semoga sekelumit pengalaman ini dapat menginspirasi para guru di Indonesia yang akan memilih buku (sastra) yang akan dibaca siswa mereka. Guru tidak hanya harus membaca panduan penggunaan buku-buku yang direkomendasikan pemerintah, tetapi sejatinya guru hanya akan dapat memilih buku yang baik untuk siswa jika mereka sendiri sudah membacanya.

Foto sampul @AFP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *