Gamelan Abad ke-19 Mengiringi Pertunjukan Wayang Kulit di Paris

Catatan Sita S Phulpin

Tak setiap saat kita bisa menghadiri pertunjukan wayang kulit dengan iringan gamelan kuno di Paris secara langsung. Seperangkat gamelan yang biasanya hanya dipajang di ruang pamer museum de la musique Philharmonie, hari Rabu lalu (25/09) ditabuh mengiringi permainan wayang kulit ki dalang Joko Susilo. Pertunjukan wayang kulit dengan lakon Dewa Ruci itu dilaksanakan secara tertutup dalam rangka pembuatan film tentang pertunjukan wayang kulit. Film berdurasi sekitar 15 menit itu bakal bisa disaksikan oleh publik yang mengunjungi museum musik “Musée de la musique Philharmonie de Paris” mulai 25 Mei 2025.

Foto: Ary Drean
Foto: Ary Drean
Foto : Sita S Phulpin

Ya, benar-benar kuno. Gamelan yang dimainkan oleh para pengrawit / niyaga (musisi gamelan) dari kelompok Gentasari dari asosiasi Pantcha Indra itu usianya sudah lebih dari 135 tahun!

Harus sangat berhati-hati

Mengingat usianya yang telah lebih dari satu abad, selain suaranya sudah tak lagi prima, cara menabuhnya pun harus hati-hati. Beberapa bilahnya pun nyaris sudah lagi tak bergaung seperti harapan. Tentu saja hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi para pengrawit, terutama pada saat harus mengiringi adegan perang anak-anak wayang yang dimainkan sang dalang. Mereka harus bisa bermain cepat namun tetap halus agar tak merusak gamelan tua yang rentan. Dalang yang seringkali diundang unjuk kepiawaian di berbagai belahan dunia ini dan para pengrawit saat latihan harus beberapa kali mengulang permainan guna menyelaraskan kekuatan tabuh pada setiap instrumen agar suaranya harmonis.

Foto: Sita S Phulpin
Foto: Ary Drean
Sita S Phulpin bersama dalang Joko Susilo

“Perlu penyesuaian karena dua bilah instrumen slentho / slenthem yang kumainkan ’bantalan’-nya sudah tipis. Selalu mengontrol sambil menabuh dan sesekali harus membetulkan posisi bilah-bilah itu supaya lebih terangkat dan tak bergesekan dengan bilah sebelahnya,” ungkap Ary Drean, salah seorang pengrawit.

Doa dan Sesajen

Layaknya pertunjukan wayang di Jawa, tampak sesajen berupa rangkaian beberapa bunga aneka warna dan pisang yang diletakkan di sekitar tempat pertunjukan. Sebelum memulai pertunjukan, dalang dan para pengrawit melakukan upacara kecil dan doa bersama.

Foto: Ary Drean

“Sesajen itu untuk menghormati gamelan. Para pengrawit secara rendah hati minta ijin untuk memainkannya. Apalagi lakon Dewa Ruci sarat dengan filosofi budaya Jawa. Kita menjalankan seremoni sederhana itu untuk menghormati kejawen, kepercayaan serta filsafat orang Jawa,” jelas Christophe Moure, seorang guru gamelan dan juga dalang, yang dalam pertunjukan tersebut memainkan kendang. “Agar semua berjalan lancar. Secara spiritual, seluruh pelaku dalam pertunjukan wayang harus berdoa secara khusyuk membersihkan hati sebelum acara dimulai. Memainkan instrumen atau menarikan sebuah tarian yang dirasa atau dianggap sakral seniman harus berhati bersih agar tak mengalami sesuatu yang tak diinginkan,” imbuh Arie Widiastuti Drean yang juga seorang penari.

“Saya akui, cukup sulit menabuh gamelan kuno seperti ini. Suaranya sudah kurang bagus, dan saking tuanya sudah tak bisa dibetulkan lagi. Meskipun begitu ternyata teman-teman bisa bermain dengan sangat baik. Hanya butuh penyelarasan kekuatan suara di sana-sini. Mereka musisi gamelan Jawa yang luar biasa, mungkin yang terbaik di Eropa,” puji Joko Susilo ditemui sela-sela rehat latihan. Padahal sebagian besar pengrawit kelompok Gentasari bukanlah orang Indonesia.

Salah satu gamelan tertua

Gamelan asal Cirebon yang tersimpan di Musée de la musique Philharmonie de Paris itu adalah salah satu gamelan tertua yang masih terpelihara dengan baik di Eropa. Gamelan berjenis slendro itu merupakan pemberian Van Vleutan, menteri dalam negeri Hindia Belanda, tahun 1887 pada Conservatoire National Supérieur de Musique de Paris, Konservatori Musik Tingkat Tinggi Nasional Paris.

Gamelan kuno Cirebon. Foto: Audran Le Guillou

Sebagian dari gamelan tersebut dipamerkan dan dimainkan selama Exposition Universelle atau Pameran Universal di Paris tahun 1889. Saat itu Paris menjadi tuan rumah pameran internasional yang bertujuan memamerkan teknologi tercanggih dan pesona masing-masing negara peserta. Pameran itu sekaligus ntuk memperingati 100 tahun Revolusi Prancis, sebuah revolusi yang terjadi tahun 1789 yang mengubah sejarah bangsa Prancis.

Jaman itu Belanda memamerkan keindahan seni budaya wilayah jajahannya Hindia Belanda dengan mencontohkan sebuah desa di Jawa lengkap dengan segala isinya termasuk keseniannya. Desa mini tersebut dibangun di Esplanade des Invalides, lapangan yang berada di depan Hôtel des Invalides. Diperkirakan letaknya di pojok antara rue de Grenelle dan rue de Constantine.

Di situlah pertama kalinya publik Eropa, khususnya Paris mengenal gamelan dan tarian Jawa. Nada gamelan yang begitu berbeda dari musik barat menarik perhatian masyarakat. Nada pentatonik gamelan rupanya memesona para musisi kenamaan Prancis yaitu Claude Debusy, Erik satie juga Maurice Ravel. Pengaruh gamelan telah memengaruhi salah satu karya Claude Debusy yang berjudul ”Estampes”. Begitu pula pada karya Erik Satie 3 Gymnopédies, 6 Gnossiennes.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *