Jejak Andalusia: Menyusuri Sungai, Sejarah, dan Doa di Sevilla

Sevilla memang kota yang cantik. Tapi untuk mengagumi setiap sudutnya tidak akan cukup sehari saja. Setelah tidur siang di hotel, sore harinya kami berjalan-jalan menyusuri Sungai Guadalquivir. Banyak muda-mudi dan keluarga yang menikmati suasana tepi sungai sambil bercengkerama atau berdansa. Sungai ini membentang di sepanjang Andalusia dari Pegunungan Sierra de Cazorla sampai ke Teluk Cadiz di barat daya Spanyol, melewati Cordoba dan Sevilla. Dikenal dengan nama “Al-Wadi Al-Kabir” pada zaman kekhalifahan Islam, Sungai Guadalquivir sudah digunakan sebagai jalur transportasi air sejak era Romawi. Di pinggir sungai terdapat menara pengawas Torre del Oro yang dibangun pada masa kekhalifahan Al-Muwahhid.

Walaupun kaki sudah agak pegal, kami terus berjalan menyusuri sungai. Ketika melewati gedung arena adu banteng, tiba-tiba terdengar suara orkes drumband dan terompet dari kejauhan. Ternyata, di seberang jalan dekat arena adu banteng ada rombongan parade gereja yang sedang melakukan prosesi keagamaan. Kami menyeberang jalan dan berusaha mendekat. Namun karena rombongan parade tersebut tidak berhenti bergerak, kami hanya bisa melihat mereka dari belakang. Saat hari mulai gelap, kami memutuskan untuk makan malam lalu kembali ke hotel untuk beristirahat.
Keesokan harinya setelah sarapan, kami keluar pagi-pagi sekali. Matahari belum sepenuhnya naik. Sevilla di pagi hari bulan September terasa sejuk. Berbekal Google Maps, kami berjalan menuju Plaza San Salvador. Lapangan itu masih sepi dan di tengahnya ada sebuah gereja. Saya berjalan menuju gang kecil di samping Gereja El Salvador untuk melihat dinding sampingnya. Dinding yang hanya sepotong itu cukup tinggi. Di sana tertanam sebuah plakat berwarna biru bertuliskan nama jalan kecil tersebut: “Cordoba”. Ternyata itu adalah pintu samping menuju taman di dalam gereja. Agak lama saya terdiam di depan dinding itu, membayangkan ratusan tahun yang lalu, di abad ke-8. Dahulu dinding ini adalah dinding menara azan masjid pertama di Sevilla yang dibangun oleh pemimpin kota bernama Umar Ibn Adabbas atas perintah Abdurrahman II.

Dari balik jeruji pintu besi saya melihat sebuah patio (taman). Dahulu taman gereja itu adalah area berwudu, tempat orang melepas alas kaki mereka dan bersuci di air mancur di bawah naungan pohon-pohon jeruk yang rindang sebelum masuk ke masjid. Taman itu kini dikenal dengan nama Patio de los Naranjos del Salvador yang berarti “taman pohon jeruk Gereja El Salvador.” Sayang, hari itu kami tidak bisa masuk. Gereja El Salvador pada hari Minggu hanya buka siang hari.

Kemudian kami melanjutkan berjalan menuju ke arah Catedral de Sevilla. Ketika sampai di pelataran katedral, awan yang menutupi langit perlahan memudar. Katedral itu sangat besar dan luas.

Sebelum berubah menjadi katedral, masjid tersebut dibangun oleh arsitek Ahmad bin Basso atas perintah Yaqub Yusuf, pemimpin kekhalifahan Al-Muwahhid pada abad ke-12. Pada tahun 1248, seluruh wilayah Andalusia jatuh ke tangan Ferdinand III dari Spanyol utara. Masjid seluas 15.000 m² itu kemudian beralih fungsi menjadi gereja. Pada tahun 1401 pemimpin setempat memulai proyek pembangunan yang lebih megah. Pembangunan katedral berlangsung selama hampir dua ratus tahun, melibatkan banyak ahli bangunan, pengrajin kaca patri, pematung, pelukis, dan tentu saja penyandang dana.

Walaupun demikian, sebagian dari arsitektur masjid masih dipertahankan. Menara La Giralda yang dulu merupakan menara azan adalah salah satu bagian bangunan yang paling dikagumi sampai sekarang. Begitu juga patio (taman) di tengah-tengah katedral yang masih mempertahankan keberadaan air mancurnya, yang dahulu digunakan sebagai tempat berwudu.


Katedral Sevilla memiliki enam pintu utama dengan gaya arsitektur gotik dan renaisans, kecuali salah satu pintu yang merupakan gerbang asli masjid menuju area wudu. Gerbang itu masih mempertahankan ciri khas arsitektur Moor yang berbentuk lengkungan tapal kuda. Pada abad ke-16 gerbang tersebut dipercantik dengan elemen terracotta oleh pemahat Miguel Perrin. Setiap pintu gerbang di katedral memiliki nama, dan gerbang yang satu ini bernama Puerta del Perdón atau The Door of Forgiveness. Luar biasa, bekas gerbang masjid ini menyandang nama yang mengingatkan saya pada salah satu Asmaul Husna yang paling membuat saya terharu, yaitu “Yang Maha Pengampun.”

Kalau dipikir-pikir, wilayah Andalusia sejak dulu selalu kental dengan nuansa religi. Selama era kekhalifahan Islam, ilmu tasawuf berkembang di sana. Saya pernah membaca bahwa Ibnu Arabi bertemu seorang perempuan tua salehah yang ilmu agamanya sangat tinggi. Perempuan itu seorang sufi bernama Nunah Fatima binti Al-Mutthana. Di masa mudanya, ia merawat suaminya yang menderita penyakit lepra. Dalam ceritanya, Ibnu Arabi berkata:
“Nunah Fatima tinggal di Sevilla. Ketika saya bertemu dengannya, ia berusia 95 tahun dan hanya makan sisa-sisa makanan yang ditinggalkan orang di depan pintu. Meskipun ia sudah tua dan makan sangat sedikit, saya hampir malu menatap wajahnya ketika saya duduk bersamanya. Wajahnya begitu segar, kemerahan, dan lembut. Surah Al-Qur’an yang istimewa baginya adalah Al-Fatihah. Ia pernah berkata kepada saya, ‘Aku diberi Al-Fatihah dan aku dapat menggunakan kekuatannya dalam hal apa pun yang kuinginkan.’ Meskipun Tuhan menawarkan kerajaan-Nya kepadanya, ia menolak, dengan mengatakan, ‘Engkau (Allah) adalah segalanya, yang lainnya tidak menguntungkan bagiku.’ Pengabdiannya kepada Tuhan sangat mendalam. Sekilas, orang mungkin mengira ia orang bodoh. Namun ia akan menjawab bahwa orang yang tidak mengenal Tuhannya adalah orang bodoh yang sesungguhnya. Ia sungguh rahmat bagi dunia.”
Saya berkhayal, mungkin delapan abad yang lalu Nunah Fatima pernah melewati gerbang “pengampunan” ini, lalu bermunajat di dalam masjid.
Kami melanjutkan perjalanan, kali ini menuju Plaza de España. Plaza de España adalah sebuah lapangan besar di Taman Parque María Luisa yang dibangun dalam rangka Pameran Iberia-Amerika pada tahun 1928. Lapangan itu dikelilingi bangunan megah setengah lingkaran dengan arsitektur yang mengadopsi gaya Moor, Barok, dan Renaisans. Bangunan itu memang mengagumkan dengan plafon yang tinggi, tegel dan pilar-pilar yang cantik, tangga, serta balkon-balkon terbuka. Saking megah dan cantiknya, Plaza de España pernah menjadi lokasi syuting film “Lawrence of Arabia” (1962) dan “Star Wars” (2002).


Kami sengaja datang pagi-pagi supaya bisa mendapatkan foto yang bagus. Kalau sudah siang, tempat itu akan penuh dengan pengunjung (terutama perempuan) yang berebut ingin berfoto cantik. Pagi itu kami lumayan beruntung karena turis yang datang belum terlalu banyak. Matahari pun mulai bersinar lebih hangat dengan intensitas cahaya yang pas untuk mendapatkan hasil foto yang bagus dan dramatis. Kalau Anda ingin datang ke sana, datanglah di pagi hari ketika matahari baru naik dan langit tidak lagi tertutup awan, atau menjelang sore ketika menjelang Asar. Bangunan berwarna terracotta itu akan terlihat merah bata cerah dengan bayangan pilar yang kontras. Kadang kita juga bisa menyaksikan pertunjukan penari Flamenco di salah satu sudutnya.
Matahari semakin cerah dan kami meninggalkan Plaza de España menuju distrik Triana di seberang kanal. Bagian kota yang ini juga tidak kalah menarik. Telusuri jalan-jalan kecil yang unik dengan arsitektur khas Sevilla. Duduk sambil menikmati tapas di restoran-restoran luar ruang di samping gereja atau pasar.

Atau sesekali mengintip ke balik pintu masuk apartemen orang yang bagian depannya dihiasi mozaik keramik yang indah. Andalusia memang terkenal dengan kerajinan keramiknya.



Setelah puas menelusuri Triana dan melihat-lihat bazar pengrajin di sisi Sungai Guadalquivir, kami kembali ke seberang sungai untuk makan siang di food court favorit kami di ujung jembatan. Food court yang bangunannya dirancang Eiffel!

Sungguh, perjalanan hari itu cukup membuat kaki pegal. Tapi kami masih menyimpan energi untuk perjalanan keesokan harinya ke Cordoba.(Bersambung).

