HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT II (31)
Aku menyisir tenda yang ditata mirip gedung ini dengan mataku. Sungguh sangat kontras dengan pelaminan dan pakaian adat kedua mempelai. Kedua mempelai terlihat cantik dan ganteng. Hanya saja aku heran melihat wajah pengantin perempuan meski wajahnya dipoles dengan make up dan cantik namun tetap tidak bercahaya. Aku tidak melihat auranya.
Suguhan tari adat, lagu daerah, atraksi kuntau disambut tepuk riuh para tamu. Semua tersenyum gembira. Termasuk juga pengantin lelaki sesekali dia menatap pengantin perempuan dengan senyum lebar. Lalu mengajak bicara, merespon suguhan yang sengaja mengisi acara pernikahan mereka. Pengantin perempuan hanya merespon tanpa ekspresi. Aku melihatnya mirip robot, kaku sekali.
Tak berselang lama, para tetamu ikut bergoyang ketika sekelompok penyanyi gambus mempersembahkan lagu-lagu andalan mereka. Di bawah panggung yang luas dua anak lelaki sisi kiri dan kanan menari rumi. Mereka berputar serupa gasing. Aku menatap mereka tanpa berkedip. Mereka bukan manusia, bukan pula manusia harimau, tapi bangsa jin muslim yang sengaja didatangkan dari Turki. Pelan-pelan aku mendengar seperti bisikan halus namun pasti. Yaitu zikir yang keluar dari tiap gerakan penari rumi tersebut. Aku merinding dibuatnya. Ada rasa kagum, terpukau dengan semuanya.
Aku kembali melihat ke pada pengantin. Harusnya kedua pengantin bahagia melihat suasana yang meriah ini. Mengapa hanya mempelai laki-laki yang bergembira? Ternyata apa yang aku pikirkan, nenek Kam tahu. Ketika mata kami beradu pandang nenek Kam tersenyum lebar.
“Aku tahu, apa yang ada dalam benakmu. Nanti akan nenek jelaskan. Yang penting, nikmati saja bagok’an yang diadakan oleh orang nomor satu di lereng ini” Ujar nenek Kam kembali. Aku mengangguk kecil.
Tiba waktunya makan, rupanya tidak disiapkan prasmanan. Di sebelah tenda utama ini ada ruang khusus. Aku melihat anak-anak bujang sibuk ngobeng, yaitu mengatur hidangan makan. Hidangan makannya banyak sekali. Tidak kurang tiga puluh hidangan. Jika satu hidangan untuk sepuluh orang maka sekali makan ada tiga ratus orang. Luar biasa. Aku berdecak kagum. Aku membayangkan banyak sekali piring gulai yang dibutuhkan. Bayangkan saja jika satu hidangan ada lima macam lauk maka satu lauk butuh lima piring kalikan lima. Wah fantastis!
Aku makan satu hidangan dengan perempuan. Rupanya tahap pertama, disuruh lelaki semua yang didahulukan. Tahap kedua demikian pula. Maka pada tahap ke tiga, giliran perempuan. Makanan yang dihidangkan sungguh istimewah. Ada lempengan ikan masak baghi, malbi, opor ayam, sambal petai campur isi dalam ayam, ada rendang. Lalu ada buah nanas untuk cuci mulut. Nasi yang disediakan ada dua macam, nasi putih dan nasi samin. Aku mengambil nasi samin sedikit dan masih putih sedikit. Lalu kuambil rendang sepotong, ditambah secuil sambal. Aku heran tidak ada sendok yang disediakan. Jadi mengambil lauknya dengan cara diangkat dan di memiringkan piring gulainya. Tapi meski hidangan telah dipakai oleh ratusan orang tetap terjaga bersih dan rapi.
Usai makan, semua bersalaman dengan yang punya hajatan. Aku melihat kakek Andun berdiri mendampingi tuan rumah. Aku ikut juga berbaris menunggu giliran untuk mengucapkan selamat pada tuan rumah. Setelah lama berdiri, akhirnya aku dan nenek Kam dapat bersalaman juga. Kakek Andun menggengam erat tangan dan mencium keningku.
Saat bersalaman dengan pengantin, aku melihat sinar mata bahagia pada mata pengantin pria. Sementara ketika bersalaman dengan pengantin wanita, kaku dan tatapannya kosong. Mengapa seperti ini ya? Apa yang terjadi dengan pengantin ini? Bukankah harusnya dia bahagia dipestakan besar-besaran seperti ini? Semua terlihat megah. Yang memberikan ucapan selamat dan doa banyak sekali. Mengapa bersedih?
Rupanya sampai di pintu gerbang tenda, setiap tamu diberi bingkisan berupa ibatan. Biasanya bingkisan berisi bolu lapis atau bolu lapan Jam, bisa juga maksuba atau aneka kue lainnya dan sepotong ayam goreng sebagai lauknya. Aku menerima bingkisan yang dibungkus daun pisang itu. Cukup besar. Nenek Kam juga menerima bingkisan. Pokoknya semua dapat.
Di luar, Ali Kedar dan Macan Kumbang sudah menunggu. Aku dan nenek Kam langsung naik ke punggung mereka.
“Kami dapat ibatan Ali Kedar. Mana ibatan kalian?” Tanyaku sambil berpegangan di lehernya.
“Nanti kami kan balik lagi sini untuk membantu membereskan sisa persedekahan” Jawab Ali Kedar. Aku mengangguk.
“Mengapa pengantin perempuan tadi pucat dan kaku ya Ali Kedar. Padahal hajatan besar dan meriah sengaja untuk merayakan pernikahan mereka. Aku melihat pengantin perempuan pucat dan kaku. Dia sedih” Ujarku tidak tahan untuk bercerita dan bertanya. Masih sambil berjalan pelan Ali kedar sempat bercerita kalau perempuan itu baru disunting beberapa hari. Jadi belum sepenuhnya bisa menyesuaikan diri.
“Jadi mereka tidak saling kenal sebelumnya?” Tanyaku lagi. Yang dijawab Ali Kedar dengan jawaban iya.
Sebenarnya masih banyak yang ingin kutanyakan. Banyak yang belum aku ketahui. Apalagi melihat pesta mereka yang luar biasa sampai mengundang manusia dan jin dari Turky? Kehidupan macam apa di alam bunian bangsa manusia harimau ini? Aku bingung sendiri. Ali Kedar mengingatkan aku agar berpegangan. Aku langsung memeluk lehernya. Tak lama aku sedikit terlonjak tubuh Ali Kedar melesat seperti anak panah.
Aku tidak bisa memperkirakan sudah pukul berapa sekarang. Langit masih gelap. Beberapa pasang mata kulihat dari sisi kiri kanan terang seperti senter berwarna kuning dan biru. Mata-mata nenek gunung itu sama dengan kami mereka dalam perjalanan menuju pulang. Bedanya mereka tanpa ada yang ditunggang. Mereka berangkat sendiri-sendiri.
Tak lama berselang kami sampai di depan pondok kakek. Rasanya lebih cepat daripada ketika berangkat tadi. Aku bersama nenek Kam langsung masuk ke pondok setelah mencium tangan Ali Kedar dan Macan Kumbang. Tak lama berselang mereka menghilang di antara kabut di kebun kopi kakekku. Mereka kembali ke hulu.
Ibu dan kedua kakekku sudah tidur nyanyak. Bahkan suara dekur kakek Haji Majani seperti berik yang kurang minyak. Turun naik seirama dengan nafas, udara yang dihirupnya. Aku langsung baring menyatu kembali dengan jasadku yang tertidur. Begitu juga nenek Kam. Kulihat dirinya sudah jadi satu. Aku berbisik di telinganya.
“Nek, mereka tidak ada yang tahu kalau kita pergi?” nenek menggeleng pelan.
“Tidak ada di antara mereka tahu kalau kita pergi malam ini. Mereka mengira dirimu telah tidur dan nenek juga tidur”. Nenek Kam cekikikan. Aku terbatuk-batuk ketika menahan tawa.
Tak lama berselang, aku lelap. Perjalanan malam ini sungguh mengasyikan. Bagok”an agung yang digelar bangsa manusia harimau itu berkesan sangat bagiku. Sebenarnya ingin bertanya sama nenek Kam, tapi kuurungkan. Biarlah besok saja. Kalau bertanya malam ini khawatir semua terbangun.
Pertemuan dengan banyak manusia harimau terbawa-bawa dalam mimpiku. Sayang sekali pertemuan itu sangat singkat. Aku belum sempat mengenal mereka. Aku hanya kenal dengan orang-orang yang pernah bertemu denganku saja.
“Dek, Dek…bangun sayang…” Ibu membangunkan aku sembari menarik selimut yang kupakai. Aku mengeliat panjang. Rasa dingin tiba-tiba membuat gigiku gemeletuk.
“Masih dingin Bu, ujarku berusaha menarik kembali selimut.
“Waiii…bangun-bangun. Tempat ini mau dibersihkan. Tidak enak melihat kasur bantal berserak di tengah pondok. Ibu mau membereskan semuanya” Ujar ibu sambil melipat selimutku.
“Waiiii apa ini? Ibatan darimana? Kok kamu tidur bawa ibatan?” Ibu memegang ibatan yang kubawa tadi malam. Aku juga heran ternyata terbawa tidur. Lama ibu memandang dan memutar-mutarnya ibatan itu. Wajah heran dan tidak percaya nampak jelas pada ekspresinya. Aku bingung, apa yang harus kujawab? Sementara nenek Kam nampaknya sedang ansyik berbincang-bincang dengan kedua kakekku di garang pondok.
“Kamu dapat darimana ini Dedek? Kamu pergi dengan nenek Kam ya” Bisik ibu. Ibu kembali kaget ketika menemukan satu ibatan lagi di dekat bantal nenek Kam. Sama persis dengan milikku. Berbungkus rapi dengan daun pisang. Ibu ke luar sambil membawa dua ibatan di tangannya. Sepertinya beliau menemui nenek Kam. Aku masih malas untuk bangun. Udara yang dingin membuat mataku berat sekali. Aku masih ingin tidur.
“Darimana ibatan ini, Nek. Kalian tadi malam pergi kemana?” Suara Ibu masih bernada heran. Tawa kecil nenek Kam mendengar pertanyaan Ibu ringan sekali. Sementara dadaku berdegup kencang harus bercerita apa.
“Kami tadi malam pergi undangan ke dusun Merapi Keghinjing. Ngagokah anak kepala suku” Ujar Nenek Kam.
“Jadi Dedek Erus Nenek bawa ke sana?” tanya ibu lagi.
“Iyalah. Kami dijemput Macan Kumbang dan Ali Kedar, adikku dari Bukit Serelo. Dedek menunggang Ali Kedar. Aku dengan Macan Kumbang” Jawab nenek Kam enteng. Demi mendegar penuturan nenek Kam ibu nampak syok. Sementara kedua kakekku sepertinya senang mendengar aku menunggang nenek gunung.
“Masya Allah, Nek. Aku tidak mau dapat yang aneh-aneh. Bisa gila aku jika menghadapi Dedek menghilang kayak Nenek” Ujar Ibuku. Nenek Kam kembali tertawa kecil. Dua ibatan dibuka Kekek Haji Majani.
“Ayo, kita buka dulu ibatan dari dusun Nek Kam” Ujar Kakek Haji Majani dengan wajah sumringah. Kakek Haji Yasir ikut-ikutan antusias melihat ibatan yang super rapi itu. Setelah dibuka, ternyata ada bolu lapis, bajik, ruti mulu, sepadekik, mulu benar yang dipotong berukuran sedang, keripik mumbai, juadah gulung, buah rengas, pisang goreng, dodol padi beram, sepotong ayam goreng belah dua, rendang tiga potong. Lalu masih juga ada lemang seruas masih di dalam bambu. Banyak sekali. Pantas saja ibatannya nampak besar.
“Wajarlah ibatan besar seperti ini kalau yang punya hajat kepala suku” Suara kakek Haji Majani sambil memungut bajik kesukaannya. Pagi ini, sarapan pagi sedikit istimewa karena suguhan aneka panganan.
“Apa kamu tidak takut naik di punggung nenek gunung, Dek?” ujar Ibu lagi.
“Kenapa harus takut. Kan ada nenek Kam yang jaganya. Lagian bukan sekarang saja Dedek bertemu nenek gunung. Seringkali. Kamu saja yang tidak tahu.” Ujar Nenek Haji Majani pada Ibu. ibu hanya terbengong.
Sesekali beliau menatapku tidak percaya. Aku baring dekat kakek Haji Majani berbantal pahanya. Kubiarkan saja mereka berdebat soal aku. Memang selama ini ibu tidak banyak tahu jika aku sering berinteraksi dengan kawan-kawan Nenek Kam. Ibu tidak tahu kalau aku selalu bersama bahkan telah menyatu dengan Putri Selasih, manusia harimau dari gunung Dempo.
“Nek, aku tidak mau Dedek seperti Nenek Kam” Ujar Ibu
“Siapa yang suruh kayak saya. Hal kayak gini tidak bisa dipinta. Dedek sudah ditakdirkan dekat dengan nenek gunung. Saya saja tidak bisa menghalanginya. Halangilah sama kamu sendiri kalau bisa” Lanjut Nek Kam sambil tersenyum. Wajah ibu berkerut. Ada kekhawatiran tersisa di wajah ibu. Aku pura-pura tidak melihat.
“Dek, apa kamu tidak takut? Nanti kamu tidak pulang-pulang loh” ancam Ibu.
“Ibu, Dedek sangat bahagia bisa kenalan dengan banyak orang, bisa jalan-jalan ke gunung Dempu, bisa main ke alam yang Ibu tidak pernah melihatnya. Ternyata luar biasa Ibu…kalau ibu ke sana, pasti ibu enggan pulang” ujarku sedikit menggodanya.
“Ah! Tidak! Ibu tidak mau!” Ujar ibu sambil berlalu. Nenek Kam dan kedua kakekku saling pandang. Lalu meledak tertawa bersama.
“Menertawakan apa? Memang kalian ini orang tua aneh sok kompak” Tiba-tiba kepala Ibu nongol di pintu. Nenek Kam dan kedua kakekku kembali tertawa. Kali ini ketiganya terpingkal-pingkal melihat ekspresi Ibu yang berang.
“Tidak paham tapi protes nggak jelas” Kata Nenek Kam lagi. Di sela-sela tawanya yang renyah. Sudah sini cicip dulu bajek Kepala Suku Merapi Keghinjing. Mana enak dengan buatanmu” Ujar Nenek Kam. Ibu tidak menjawab, kembali berlalu dari balik pintu.
Aku bangun dan menyeruput kopi yang sudah separuh dingin. Ternyata kue ibatan ini enak-enak. Tidak kalah sedapnya dengan buatan manusia biasa.
“Terkadang, mereka pesan kue dengan bangsa manusia. Kecuali dodol, bajek, memang mereka buat sendiri” Sambung nenek ketika kakek Haji Yasir bertanya berapa loyang kepala Suku membuat bolu kalau potongannya gede-gede seperti ini.
“Pastinya ratusan loyang, Ji. Waktu bagok’kan adikku juga, Bapak pesan mulu (bolu) hampir lima ratus loyang. Itu belum termasuk mulu lapis. mesubah dan lapan jam.” Sambung nenek Kam.
“Nempah dimana?” Tanya kekek Haji Majani.
“Itu dengan Cina tokoh kue Linda lalu dengan pembuat-pembuat bolu di Pagaralam. Pengrajin rumahan-rumahan itu.” lanjut nenek Kam. Kedua kakekku manggut-manggut.
“Yang undangan tadi malam saja, bukan hanya dari bangsa manusia harimau tapi juga bangsa manusia dan jin. Bahkan ada beberapa orang kiayi dari Jawa dan Sulawesi hadir tadi malam. Mereka bangsa manusia” Tutur Nenek Kam lagi. Kedua kakekku manggut-manggut.
Aku juga baru memahami jika kehidupan manusia mereka sebut bangsa manusia, jika kehidupan jin mereka sebut bangsa jin lalu kehidupan mereka sendiri disebutnya bangsa manusia harimau. Nenek Kam masih terus bercerita. Aku tertarik ketika kakek Haji Yasir bertanya bagaimana jika bangsa manusia harimau dengan manusia menikah? Sebab sebelumnya sering kali Kakek mendengar penuturan nenek Kam jika saudara-saudaranya di gunung menikah dengan orang dusun ini, dusun itu. Kakek baru tahu jika yang disebutkan adalah manusia.
“Kak Aji, jika di suatu dusun ada anak bujang atau anak gadis meninggal mendadak atau hanya sakit beberapa hari lalu meninggal, selanjutnya ketika dia meninggal langit cerah atau ditandai hujan tapi panas, itu pertanda orang tengah menjemput bunting” Ujar nenek Kam. Bunting yang dimaksud adalah calon pengantin.
Aku mendengarkan cerita nenek Kam dengan seksama. Aku jadi ingat dengan saudara sepupuku yang berpulang mendadak. Waktu itu dia pulang dari mandi tengah hari di pancuran, katanya bersua dengan lelaki berpakaian seperti anak Raja. Tak lama berselang dia sakit mendadak, dua hari setelah itu berpulang. Aku jadi bertanya-tanya, apakah sepupuku tersebut juga dijemput oleh nenek gunung untuk dijadikan bunting (istri) mereka? Jadi pada dasarnya dia tidak meninggal?
Kata nenek Kam demikianlah kehidupan di alam mereka. Ada hari-hari tertentu para bujang dan gadis di hulu akan pergi merantau untuk menemukan jodoh mereka. Mereka akan pergi ke dusun-dusun untuk mencari bujang atau gadis. Sebelum mereka pergi maka mereka akan diperiksa semua terutama kesempurnaan gigi mereka. Begitu juga ketika mereka pulang, gigi mereka akan diperiksa kembali. Jika ditemukan ada gigi yang sumpak (patah) terutama taring, maka sudah dipastikan mereka telah makan atau menggigit manusia. Maka mati hukumannya.
“Berapa lama mereka pergi merantau. Bagaimana kalau mereka sudah mendapatkan jodohnya?” Tanya Kakek Haji Majani. Sementara Kakek Haji Yasir mencermati sambil sambil menggosok-gosok dagunya yang kelimis.
“Jika mereka merasa suka dan menemukan pasangan yang cocok maka mereka akan memberikan tanda pada perempuan atau lelaki yang telah disuntingnya.” Sambung nenek Kam.
“Hmmm…selanjutnya apa yang akan mereka lakukan?” Tanya Kakek Majani lebih lanjut.
“Mereka akan pulang melapor ke hulu memberitahu ketua adat dan sanak keluarga. Si bujang atau gadis akan memperlihatkan wajah calonnya termasuk juga dimana tempat tinggalnya”. Sambungnya lagi.
“Nah kalau sudah begitu, maka sanak keluarga akan segera menyiapkan berbagai keperluan untuk ngampak bunting (menyambut calon mempelai). Tapi biasanya, jika beranak bujang dan gadis, tiap keluarga sudah siap-siap jauh hari. Termasuk juga hewan ternak sudah mereka siapkan khusus. Jadi jangan heran, sekali bagok puluhan kerbau disembelih dan persiapannya tidak perlu lama” lanjut nenek Kam kembali.
“Berapa lama jarak antara menandai dan ngampak?”: Kata kakek Haji Majani lagi.
“Ya..paling lama satu minggu, kak Haji. Secara kasat mata, kita mengira calon pengantin lelaki atau perempuan itu meninggal. Tapi pada dasarnya kalau sudah disunting gadis atau bujang itu tidak meninggal. Yang kita lihat jasad, padahal batang pisang. Sementara jasad yang asli telah dijemput ke huluan. Tapi tidak semua orang bisa menembus dimensi ini”
Penjelasan nenek Kam benar-benar mencengangkanku. Aku kembali terbayang dengan pengantin perempuan tadi malam. Wajahnya yang pucat dan kaku apakah pertanda dia menderita karena diambil paksa? Mengapa harus bangsa manusia dijadikan jodoh mereka? Mengapa bukan dari golongan mereka sendiri?
“De, kalau mereka menikah dengan golongan mereka sendiri, sama halnya seperti ‘rasan tue’ (dijodohkan). Sebab pada umumnya satu kampung itu masih bersaudara. Jika mereka menikah dengan bangsa lain, nilainya berbeda. Ada penghargaan tersendiri untuk keluarga yang berani mengambil dari bangsa yang berbeda. Sekaligus pertanda keluarga itu bukan orang biasa” Jelas Nenek Kam lagi.
Lama aku berpikir membayangkan kehidupan di alam nenek gunung itu. Rupanya, bangsa manusia yang telah mereka sunting dengan jasadnya, mereka tidak bisa lagi kembali ke alam nyata, ke alam kehidupan manusia. Sudah menjadi hukum alam. Mereka akan berdiam dan tetap hidup di alam bunian itu.
“Jadi Nek, pangantin tadi malam siapa dan orang mana?” Tanyaku
“Orang dari dusun Merapi dekat lahat. Dia dinyatakan meninggal lima hari lalu” Jawab nenek Kam.
“Apakah setiap anak gadis atau bujang yang meninggal semua karena dipinang nenek gunung ya, Nek?” Kakek Majani ikut-ikutan penasaran.
“Tidak, kak Haji. Ada ciri-cirinya. Itu tadi, ketika dinyatakan bujang atau gadis itu berpulang, maka sejenak akan turun hujan panas, pertanda mereka dijemput oleh keluarga mempelai” Penjelasan nenek Kam kembali.
Waduh! Rumit juga untuk ditafsirkan. Kepalaku agak cenut-cenut juga membayangkan hal yang tidak masuk akal ini. Ternyata banyak sekali rahasia alam ini yang tidak terbaca oleh manusia awam sepertiku.
“Nek, Macan Kumbang dan Ali Kedar kan masih lajang. Tidak menutup kemungkinan keduanya akan menyunting bangsa manusia juga” Tanyaku.
“Ya bisa jadi jika mereka siap. Bukan karena ingin saja namun banyak sekali rangkaian yang harus mereka lakukan jika meminta manusia. Tidak semudah yang kita bayangkan” Ujar nenek Kam lagi.
“Aku nanti mau mencari jodoh di seberang Endikat saja, Dek. Biar dapat wanita cantik sepertimu” Suara Macan Kumbang berbisik lirih di telingaku. Aku celingukan mencari apakah Macan Kumbang berada di sekitar sini.
“Macan Kumbang masih di hulu, Dek” Nenek Kam sepertinya tahu apa yang ada dalam benakku.
“Macan Kumbang mau menyunting gadis seberang Endikat ini, Nek?” Tanyaku.
“Kalau memang jodoh?”
“Jangan, Nek. Kasihan orang tua sang gadis kalau harus kehilangan anak gadisnya”.
“Bergantung perjanjian mereka” Kata nenek Kam lagi. Perjanjian macam mana pula yang dimaksud nenek Kam. Ah rumit. Aku tambah bingung dibuatnya. Akhirnya aku hanya menyimpulkan tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak. Demikian kata guru ngajiku. Apapun yang terjadi dengan anak gadis yang disunting manusia harimau, itu sudah kehendak yang Maha kuasa. Titik.
Siang ini aku sudah berjanji dengan Nenek Kam akan ikut beliau. Ibu mengizinkan aku ikut nenek Kam tapi dengan syarat harus pulang sebelum magrib tiba.
“Iya, Dedek akan pulang jelang magrib besok. Malam ini sampai siang besok jangan dicari ya” Ujar nenek Kam.
“Nek?” Suara ibu tercekat.
“Kenapa si? Dedek cucuku juga. Terserah aku kapan memulangkannya. Kenapa kamu jadi pembantah sekarang?” Ujar nenek Kam setengah marah.
“Dia itu takut jika Dedek kamu bawa ke hulu lagi, Nek Kam” Ujar kakek Haji Yasir sambil tersenyum menatap ibu yang cemberut. Rupanya Ibu belum bisa menerima kondisiku sebenarnya. Ibu belum siap menghadapi hal yang aneh-aneh seperti pernah dialaminya bersama nenek Kam. Menghilang beberapa hari, tengah malam hilang dengan jasadnya, kadang ada dua nenek Kam dan masih banyak lagi hal lain yang kata ibu kerap membuatnya setengah sinting.
Akhirnya aku pergi bersama nenek Kam berjalan pelan menyisir jalan kecil berbatu. Sesekali kami berhenti sekadar untuk menikmati pemandangan. Pagi ini nenek Kam mengajakku ke kebunnya yang lumayan jauh dari sini. Tapi kata Nenek kami tidak perlu buru-buru. Aku membimbing tangan nenek Kam. Perempuan sepuh ini tidak kelihatan lelah sama sekali meski perjalanan sudah cukup jauh. Jalan yang kami lalui tidak hanya menikung, tapi menurun dan mendaki. Kiri kanan ada sawah, ladang, dan kebun kopi. Tak jarang kami bertemu penduduk yang hendak pergi ke ladang sawah dan kebun mereka. Sepanjang jalan aku dan nenek Kam bercerita banyak hal.
“Nek, mengapa kita tidak dikawal sama Macan Kumbang?” Ujarku.
“Tak selamanya kita butuh bantuannya. Ada waktunya dia ingin hidup bebas.” Sambung nenek Kam.
“Nah..tuu Selasih, ada waktunya kamu juga harus hidup bebas” Bisikku.
“Preeeet!!” Aku kaget Selasih ternyata sedang berjalan di belakangku bersama nenek Relingin. Nenek Kam tertawa melihat tingkah Putri Selasih. Kalian ini lucu..sering bertentangan, sering berantem tapi saling sayang dan merindukan.
“Aku sering diusir Dedek, Nek” Ujar Selasih.
“Bukan diusir tapi diberi kebebasan. Hidup tanpa Dedek. Masak nggak mau hidup bebas” Ujarku. Nenek Kam dan Nenek Relingin tertawa serempak.
“Pantas saja kawan nenek bilang kalau kalian unik. Memang unik” Ujar Nenek Kam.
Matahari sudah mulai tinggi. Sudah tidak ada kabut lagi di sela-sela pohon yang berjajar di sisi bukit. Udara masih terasa dingin. Sinar matahari terasa sangat menyengat. Bahkan terasa perih. Aku berusaha menutup wajahku dengan kedua belah tangan. Pandangan lurus jalan setapak persis mengarah ke matahari tidak saja membuat kulit wajah terasa perih tapi pandanganku sangat silau.
Aku bersama nenek Kam melompati parit kecil yang berair. Parit perbatasan kebun kopi nenek Kam dengan hutan kecil. Di hilir aku mendengar suara ramai sekali. Tapi tidak jelas suara apa. Aku menatap nenek Kam berusaha mencerna suara yang bergemuruh itu. Mirip-mirip suara orang bercanda, tapi ada yang menyanyinya, berejung dan lain-lain. Apa ada pesta? Aku jadi penasaran ingin tahu darimana sumber suara itu Nenek Kam masih berjalan pelan menuju pondoknya di tengah-tengah kebun kopi. Sementara aku sengaja memperlambat langkah lalu berlari ke hilir.
Oh! Sedang ada acara ritual kematian. Siapa mereka? Aku sedikit mengendap. Mengapa di sudut itu ada yang menangis sambil beratap. Nampaknya sedih sekali. Namun ratapannya seperti diragukan. Tangannya mengusah-ngusap semua yang ada di sekelilingnya. Namun tidak ada satupun yang mencegah atau mendekatinya.
“Mengapa kamu ke sini anak kecil? Apa yang kamu lakukan” Aku terkejut ketika seorang lelaki berbaju hitam mengamit pundakku. Wajahnya juga hitam. Hanya matanya yang bersinar kuning tua.
“Oh, maaf Mang, aku mendengar ada suara gemuruh tidak jelas di ujung kebun nenekku ini. Makanya aku kemari. Ada apa gerangan? Mengapa perempuan itu menangis seperti meratap? Lalu siapa yang dibungkus dengan kain hitam itu? Matikah?
“Iya, anak salah satu warga kami berkelahi dengan salah satu nenek gunung memperebutkan gadis lembah Merapi. Dia kalah dalam pertarungan itu. Sebaiknya kamu pergi dari sini sebelum kepala suku kami melihatmu. Sebab mencium aromamu kamu adalah keturunan nenek gunung. Khawatirnya kamu jadi pelampiasan dendam keluarganya”.
Belum kering ucapan Mamang hitam itu tiba-tiba dua orang lelaki menyerangku dari sisi kanan dan kiri.
Aku menghentakkan kaki secepatnya, melentingkan tubuh ke atas lalu ke belakang sejauh mungkin. Aku menghindari keramaian itu. Aku tidak ingin merusak suasana duka. Mereka tengah berkabung. Ternyata usahaku menghindar tidak berhasil. Dua lelaki itu mengejarku. Aku kembali melompat sejauh mungkin. Dan serangan mereka seperti hembusan angin. Ada racun yang mereka lemparkan. Kutangkis dengan tangan kananku. Cahaya biru yang ke luar dari tapak tangan kananku langsung menyedot serbuk hitam yang menggumpal hendak menyerangku itu.
“Siapa kalian? Mengapa tiba-riba menyerangku?”. Tanyaku sembari terus menghindar. Aku tak ingin melakukan perlawanan. Tubuhku meliuk-liuk dibawa angin. Ternyata, meski tidak kubaca mantra angin, angin seperti paham jika aku harus dibantu.
“Terimakasih angin” Lirihku. Cukup lama aku menghindar. Aku melihat dua lelaki itu belum puas menyerangku. Karena tak satu pun serangannya mengenai aku. Aku hanya kasihan saja karena mereka tengah dapat musibah.
“Sudahlah sanak, percuma kalian menyerangku. Karena serbuk racun kalian tak akan pernah mengenai aku. Aku paham kemarahan kalian. Tapi kalian salah melampiaskan dendam padaku. Aku manusia biasa, bukan manusia harimau” Ujarku berusaha menyadarkan.Tapi nampaknya tidak berpengaruh sedikitpun pada mereka. Justru mereka melakukan serangan lebih cepat dari tadi.
“Berhenti! Andu, Anda! Memalukan! Sudah besar menyerang anak kecil perempuan pula. Kembali ke sana!” Tiba-tiba Mamang Hitam ada di tengah-tengah pertarungan. Yang dipanggil Anda dan Andu berhenti menyerang.
“Dia adalah keluarga nenek gunung yang mengalahkan adek Ande, Nineng. Dia juga harus kami bunuh!” Ujar salah satu mereka. Aku tidak tahu yang mana Andu yang mana Anda. Rupanya mereka bersaudara dengan yang mati itu. Mungkin juga kembar tiga.
“Jangan gegabah. Jangan buat permasalahan makin keruh. Adik kalian bertarung secara ksatria. Mengapa kalian marah? Harusnya kalian bangga karena meski kalah tetapi adik kalian sudah menunjukkan jiwa satrianya. Dia adalah pahlawan!” Lalu Mamang Hitam menoleh padaku.
“Gadis kecil, maafkan kesalahan keponakan Mamang. Mereka masih sangat hijau dalam pengalaman bergaul meski usianya jauh lebih tua dari kamu. Dia harusnya banyak belajar denganmu bagaimana beretika, berpikir cermat dan tidak mudah terpancing emosi. Hati mereka penuh dengan nafsu dendam yang tidak jelas. Pulanglah. Mamang jamin dua keponakan Mamang ini tidak akan melakukan kesalahan kedua kali” Ujarnya.
“Terimakasih Mamang. Aku izin pergi dari sini” Ujarku setelah menyalami dan mencium punggung tangannya. Aku melambaikan tangan pada Andu dan Anda. Keduanya hanya menatapku tanpa berkedip. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
Aku segera berlari mengejar nenek Kam sembil sesekali merunduk menghindari dahan kopi yang telah menutupi jalan. Angin ikut mendesing mendorongku agar segera menjauh dari tempat itu. Aku terus berlari. Di belakangku, aku mendengar derap kaki. Tapi aku enggan menoleh. Aku hanya waspada saja jika ada yang menyerangku tiba-tiba seperti tadi. Dalam waktu singkat sudah di depan pondok Nenek Kam. Mengapa sepi? Kemana Nek Kam? Bukankah seharusnya beliau sudah ada di sini?
“Nek!” Aku teriak. Aku langsung naik tangga bambu pondok dan duduk di garang. Baru saja menghentakkan pantat kulihat Nenek Kam di atas punggung Macan Kumbang berjalan pelan. Dalam hati aku bertanya dari mana mereka?
“Nenek nonton anak kecil di keroyok anak Lubuk Pauh, tadi. Untung tidak lama dan tidak celaka. Habis bandel sih, pergi tidak bilang-bilang” Aku terkejut mendengar Nenek Kam berkata demikian. Rupanya beliau tahu apa yang aku lakukan. Aku hanya senyum sumbang sambil minta maaf malu-malu.
Matahari makin tinggi, tepat di atas kepala. Perutku sudah mulai terasa lapar. Nampaknya tidak ada gelagat dapur Nek Kam akan berasap. Jangankan kopi, air putihpun mungkin tidak ada. Bagaimana Nek Kam makan? Aku mencoba-coba hendak menyalakan api menjerang air. Tapi tidak ada kusitan (korek api) atau penekil (pematik) di dapur nenek. Aku bingung tidak paham harus membantu apa. Akhirnya aku baring sambil sedikit menahan perut yang terasa perih minta diisi. Nenek Kam membentang tikar lalu menyuruhku mengambil piring dan cangkir. Termasuk juga gobokan untuk mencuci tangan.
“Cerek nenek kosong, apa yang mau dituang?” ujarku.
“Ambil sajalah, biar nenek yang nuangkan airnya” Kata nenek menunjuk cerek hitamnya. Setengah emosi aku ambil cereknya. Ternyata berat, dan berisi air hangat. Kapan nenek Kam masaknya? Sedangkan dapur tidak ada bekas menyalakan api.
“Buka tudung sajinya, turunkan semua lauknya kemari. Kita makan sama-sama” sambung Nek Kam lagi. Setelah kubuka, betapa aku terkejut. Ternyata banyak sekali lauknya. Ada redang, ada pindang tulang, ada sambal, dan ada sayur. Dalam hati aku bertanya, darimana lauk ini semua? Kok bisa tiba-tiba?
Meski dalam hati penuh tanya, tak urung aku makan lahap sekali. Perut laparku minta segera diisi. Kunikmati masakan ‘entah’ ini dengan membaca Bismillah..
Bersambung…