HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT V (70B)
Aku bersama Puyang Akas, nek Nang, dan puyang sepuh lainnya berjalan menuju pintu gerbang. Pintu gerbang ini adalah jalan menuju ke atas bukit. Di sisi kiri kanan pintu ada dua pejaga berpakaian seperti pendekar menyambut kami dengan sopan. Beberapa Puyang menyatakan akan berangkat lebih dulu, menunggu di dataran. Dalam waktu sekejap mereka lenyap dalam pandangan.
Halimun turun terasa lembab. Ada kabut melayang-layang di hadapan kami. Aku seperti hidup di atas kayangan ketika kabut seakan mengitari kaki kami. Mulutku masih mengunyah sirih. Sambil berjalan sesekali aku membuang ludah di mangkuk kecil yang diberikan padaku. Liurku merah seperti darah. Jadi ingat nenek Kam. Bedanya nenek Kam nyirih ditumbuk lebih dulu karena giginya sudah banyak yang copot sementara aku mengunyah sirih utuh.
“Mau berjalan menyisir jalan, atau ingin langsung ke puncak Selasih?” Tanya Puyang Akas. Di belakangku ternyata Puyang Jalak hitam menyusul. Aku memilih berjalan menyiris jalan saja. Sebab aku ingin menikmanti pemandangan sekitar sini. Akhirnya semua memilih berjalan. Kami menyisir jalan agak menanjak. Di lembah, aku melihat keramaian. Banyak sekali orang-orang beraktivitas seperti di pasar.
“Itu pekan, Selasih. Sama seperti di alammu, menjual berbagai kebutuhan sehari-hari.” Ujar nek Nang menjelaskan. Pekan itu kata lain pasar. Kalau di alam manusia, pekan itu pasar yang hanya dilakukan satu kali selama sepekan. Tapi sebutan itu akhirnya melekat menjadi kata lain pasar meski dilaksanakan tiap hari. Benar, situasinya persis seperti di alam nyata. Orang-orangnya sibuk. Ada yang mengangkat barang, ada yang berinteraksi. Tapi tidak ada kendaraan mobil atau motor. Yang ada gerobak yang ditarik kerbau atau sapi. Tapi setelah kupikir untuk apa pula mereka kendaraan? Mereka pada umumnya bisa kemana saja dalam hitungan detik. Aku membenak.
“Tidak semuanya bisa melakukan kemana saja dalam hitungan detik, Selasih. Sama seperti manusia. Ada kelas-kelasnya.” Lanjut Puyang Akas. Oh! Aku baru tahu. Jadi tidak semua makhluk halus ini dengan mudah kemana-mana sesuka mereka. Ada juga yang tidak bisa melakukan itu. Ada tingkat kemampuan atau derajad bangsa mereka. Termasuk juga tidak semua mereka bisa menembus alam manusia.
“Untuk belanja pakai mata uang apa, nek Nang?” Tanyaku ingin tahu setelah aku melihat beberapa orang tengah terjadi interaksi jual beli.
“Mata uangnya berbentuk cuntang, mulai dari pecahan satuan.” lanjutnya. Cuntang maksudnya dalam bentuk koin. Ingin sekali aku melihat seperti apa cuntang itu. Apakah sama dengan uang di alam nyata? Dupanya Nek Nang dapat membaca pikiranku. Beliau mengeluarkam uang dari kantong gamisnya, sebuah koin. Aku memperhatikan motifnya seperti wajah orang, lebih besar dari uang pecahan lima puluh rupiah di alam manusia. Lingkarannya polos tidak berigi-rigi. Tapi gambar reliefnya tidak jelas, aku tidak paham itu gambar apa. Apakah reliefnya itu berupa lambang kerajaan, atau wajah sang Raja, aku tidak tahu. Warnanya kuning kemerahan terbuat dari tembaga. Tebal dan berat. Ada tulisan meliuk-liuk. Aku juga tidak tahu apa bacaannya. Aku tidak tahu berapa nilainya alat tukar mereka ini. Aku mengangguk-angguk setelah memegang cuntang mata uang di alam para sesepuh Sebakas. Selanjutnya kukembalikan lagi dengan nek Nang. Sebenarnya banyak hal yang ingin kutanyakan. Apakah uang ini dipakai di semua alam gaib? Atau hanya di tanah Besisir ini saja?
“Kamu mau, Selasih? Ambillah, ” nek Nang menawarkan. Aku berpikir sejenak lalu pelan-pelan aku menolaknya. Aku khawatir jika manusia tahu ini adalah mata uang dari alam gaib, nanti mereka malah memuja-mujanya. Dianggapnya cuntang ini punya kekuatan gaib pula. Mereka jadikan cintanya ini benda pusaka. Mendengar penjelasanku nek Nang tertawa ringan.
“Benar sekali. Manusia memang gampang ditipu dan suka membuat semacam simpulan sendiri tentang suatu benda. Akhirnya simpulan pikiran mereka dimanfaatkan oleh para gaib yang fasik. Kita mudah sekali tergelincir dan digelincirkan.” Lanjut Puyang Akas. Pelan-pelan aku mendengar desah istighfar berulang kali dari mulut Puyang Akas. Aku mendengarnya serupa peringatan untuk menghapus segala prasangka buruk terhadap apa saja. Aku mengikutinya di dalam hati.
Kali ini kami melewati sebuah jembatan kecil. Di hulu tidak seberapa jauh dari jembatan air terjun meski kecil nampak sangat indah. Karena jatuhnya agak tinggi, air terjun jatuh seperti embun. Indah sekali. Aku melihat embun seperti salju melompat-lompat kadang seperti gelombang lembut menari-nari di udara. Dalam hati aku berdecak kagum. Suara air terjun yang jatuh tidak terlalu berisik seperti air terjun di alam manusia pada umumnya. Aku berdiri sejenak. Kunikmati air terjun yang kecil dan cantik itu. Masya Allah, aku seperti melihat sebuah lukisan yang sempurna. Benar-benar indah! Dusun ini membuatku betah.
Kami kembali melanjutkan perjalanan. Sekarang aku melihat rumah penduduk yang berjajar. Melihat kami lewat beberapa perempuan dan laki-laki turun dari rumah panggung mereka, sebagian ke luar dari bawah rumah mereka berlari-lari kecil mendekati kami. Lalu satu-satu kami disalami. Merka sangat ramah.
“Singgah ke rumah kami Puyang. Jarang-jarang Puyang berjalan kaki.” Sapa seorang ibu. Kulihat puyang Akas tersenyum lebar. Kami berhenti sejenak.
“Minta maaf anak cucung, Puyang numpang lewat, belum bisa singgah. Puyang menemani tamu kita dari Besemah. Beliau ingin melihat-lihat dusun kita. Aku tersenyum mendengar Puyang Akas mengenalkan aku pada warga. Penduduk yang berdiri di pinggir jalan mengangguk-angguk sopan. Mereka sangat menghormati Puyang Akas. Mereka persis seperti hidup di alam nyata. Perempuannya memakai kebaya, berkain, dan kepalanya dibalut tengkuluk rebang. Sementara yang lelaki seperti pendekar. Memakai baju seperti baju koko, dan celana gobor batas betis. Kepala mereka diikat dengan kain sewarna dengan baju. Kulihat nyaris semua tanpa alas kaki. Di pangkal tangga rumah mereka sebenarnya aku melihat ada terompah, yaitu alas kaki yang terbuat dari kayu. Tapi mungkin hanya digunakan dalam waktu-waktu tertentu saja. Kaki-kaki mereka terlihat kekar. Mungkin karena dusun mereka bertebing, dan sawah ladang mereka ada di lembah.
Dari jalan yang masih menanjak, aku melihat puncak bangunan yang berbeda dengan bangunan lainnya. Ujung atap sirapnya terlihat rapi dan anyar. Di selayar dekat bubungan dikelilingi dengan papan berukiran berwarna alami kayu. Coklat tua. Semua sisi bangunan ada les ukirannya. Aku memperkirakan bangunan besar itulah yang akan kami tuju. Istana Sebakas. Semakin dekat, mataku semakin lekat memandangnya. Tangga menuju beranda sangat lebar dan berjenjang pendek. Papannya kokoh dan tebal. Aku tertarik dengan pintunya. Ukurannya besar seperti pintu gudang dengan berendel yang sangat kokoh. Besi melingkar sebagai pegangan melingkar besar. Tengah pintu pun berukiran mirip-mirip seperti ukiran cina. Ada juga seperti ukiran jepara. Melihat ornamen ukirannya, agaknya ada pengaruh budaya lain sampai ke mari.
Aku mengucapkan salam ketika memasuki pintu yang berukuran besar itu. Masya Allah, di tengah ruangan aku melihat tiang berukuran sangat besar dan mulus. Di sisi kanan ruangan, ada kursi kayu berderet memanjang. Mejanya pun panjang. Mirip seperti meja untuk mengadakan pertemuan. Selanjutnya di sisi kiri beberapa pasang kursi kuno mirip kursi jati juga tersusun rapi. Aku tertarik dengan tempat tidur di ujung sudut dekat pintu menuju ruang tengah. Berpermadani warna hijau muda, ada beberapa bantal lebar, ditata sedemikian rupa, ada kelambunya berwarna senada. Setelah dekat, kulihat ini bukan dipan atau ranjang, tapi mirip tempat istirahat atau sofa tempat duduk. Mungkin ini singgasana Raja. Tapi siapa Rajanyanya? Aku menoleh kiri kanan.
Beberapa orang yang sebelumnya berdiri di sisi pintu nampaknya pengawal yang bertugas menjaga pintu masuk, ikut mengiring di belakang kami. Di pinggang mereka terselip golok khas Bengkulu Selatan. Panjang dan lurus. Kami berjalan di belakang Puyang Akas. Beberapa perempuan separuh baya meyambut kedatangan kami. Senyum mereka manis dan ramah. Sekarang kami masuk ruang tengah. Rupanya di beranda yang mengahadap ke luar beberapa Puyang yang kutemui tadi, tengah duduk santai. Melihat kami beliau berdiri dan menyilahkan kami ikut duduk di beranda yang luas.
“Bagaimana Selasih, capek tidak berjalan? Lumayan jauh kan dari dusun tadi ke mari?” Ujar Puyang bertasbih. Kujawab tidak capek. Bagaimana capek jika yang berjalan ini bukan jasad? Bahkan aku sangat bahagia bisa berjalan menikmati pemandangan yang indah sepanjang jalan sebelum sampai ke mari. Aku memilih duduk menghadap ke luar beranda. Rupanya beranda ini menghadap ke lembah. Di lembah terlihat atap-atap rumah penduduk di sela-sela pohon. Nun jauh di sana, terbentang luas sawah penduduk yang sedang menguning. Aku menelan ludah. Membanyangkan betapa sejahtera hidup mereka.
“Puyang, aku seperti berada di atas kayangan. Tadi di jalan, halimun melingkar di kaki kami. Kami persis berdiri di atas awan.” Ujarku takjub. P deuyang yang kusapa tersenyum lebar. Di gunung Dempu jika halimun membalut gunung, akan lebih terasa lagi seperti di atas langit” Ujar puyang yang bertasbih. Sayang aku belum pernah merasakannya. Setiap aku ke sana pasti langit cerah. Tidak berawan. Gunung pun demikian, bersih tak ada kabut. Bahkan angin pun berhembus lembut sekali meski terasa dingin.
Aku menikmati pemandangan dari ketinggian beranda istana Puyang Sebakas. Aku nikmati sepuas-puasnya. Angin berhembus semilir. Aku merasa seakan bukan berada di tanah Bengkulu, bumi Rafflesia. Sebab dalam kehidupan nyata belum pernah aku menemukan kampung seindah ini. Istana bukit Sebakas tidak semega seperti layaknya istana kerajaan pada umumnya, seperti istana di gunung Dempu, megah berbalut emas. Ini istananya terbuat dari kayu, justru menunjukkan nilai-nilai kebudayaannya yang kental.
“Puyang, apakah ada hubungan kerajaan kita ini dengan kerajaan Majapahit? Seperti berkembang di alam manusia mengatakan bahwa Patih Gajah Mada pernah melarikan diri ke mari.” Ujarku serius. Sebab kerap kali aku mendengar penuturan dari orang-orang bahwa Patih Gajah Mada pernah ke Sebakas ini. Mendengar pertanyaanku para puyang tertawa kecil.
“Sebagian besar masyarakat meyakininya bukan? Itulah yang Puyang sebut manusia kadang suka merekasaya pikirannya seakan-akan dia hidup di suatu zaman. Demikian juga tentang Maha Pati Gajah Mada. Mungkin sumber yang pertama hanya mendengar-dengar saja jika Kerajaan Majapahit memiliki seorang Patih yang gagah, disegani, bijaksana dan tegas. Lalu dihubung-hubungan dengan dusun yang kelam ini. Rekayasa yang terlalu jauh. Beliau tidak pernah sampai kemari, Selasih. Tidak ada alasan beliau sampai ke mari. Apalagi dikatakan beliau berlari dan bersembunyi di sini. Beliau itu terkenal sakti. Mengapa beliau harus berlari dan bersembunyi?” Lanjut Puyang yang memegang tasbih lagi. Dari penjelasan beliau, gara-gara berita yang menyatakan Patih Gajah Mada pernah ke Sebakas ini, pernah ada orang dari Jawa berziarah ke mari napak tilas perjalanan Patih Gajah Mada. Mereka mencoba menguak kebenaran berdialog dengan salah satu penghuni sini. Kebetulan berdialog dengan golongan ke tiga di Sebakas yaitu makhluk asral yang senang disembah dan dipuja, mereka katakan benar. Padahal cerita yang mereka sebarkan itu bohong” Lanjut Puyang lagi.
Akhirnya cerita pun berlanjut pada cerita bahwa di alam gaib raja-raja Nusantara pernah mengadakan pertemuan, membahas tentang ganjang- ganjing yang terjadi di negeri ini. tapi pertemuan itu bukan di laksakan di Sebakas.
“Tempat kita belum layak untuk menjadi wadah orang-orang hebat itu.” Lanjut Puyang bertasbih lagi. Mendengarkan cerita beliau aku paham. Tidak semua informasi yang bangsa manusia peroleh itu benar. Ada saja kepentingan-kepentingan makhluk lain yang memberikan informasi agar bangsa manusia mempercayainya, lalu pelan-pelan membelokan hati manusia untuk memujanya. Benar kata nek Nang tadi siang. Ada tiga golongan makhluk yang berbeda pemahaman meski mereka satu rumpun keluarga.
“Sebenarnya tidak mudah orang luar untuk masuk ke mari, Selasih. Apalagi masuk dimensi kita. Memang ada beberapa orang datang dari Banten beberapa kali zaman dulu. Tapi karena beliau anak angkat Puyang dan mendalami beberapa ilmu kebatinan di sini. Kau luruskanlah pemahaman masyarakat yang salah itu. Boleh fanatik dan mencintai leluhur, tetapi ingat yang utama adalah mengingat selalu siapa yang menciptakan para leluhur itu. Yaitu Allah Aja Wajalla, pencipta bumi dan langit beserta isinya” Lanjut nek Nang lagi. Mendengar penuturan itu, aku mencernanya dengan akal. Benar juga, tidak ada jejak yang bisa dihubungkan sebagai bukti kehadiran Patih Gajah Mada ke mari. Sementara bangsaku sangat menyakininya. Aku jadi senyum-senyum sendiri kala ingat kata puyang “manusia sangat pandai merekayasa pikirannya, seolah-olah dia hidup pada zamannya.” Apakah aku termasuk merekayasa pikiranku? Aku menghubungkan sesuatu yang real dengan akal. Terutama berbagai macam hal informasi yang kudapat.
Aku mencoba melihat ke bawah ketika mendengar suara anak-anak berteriak, seperti sedang bermain.
“Ada suara anak-anak. Siapa mereka Puyang? Dimana mereka berada?” Tanyaku.
“Mereka para cicit keluarga besar Puyang yang sedang bermain di halaman belakang. Kau mau ke sana?” Tanya nek Nang yang kusambut segera dengan anggukan. Aku langsung di antar pengawal yang tadi penjaga pintu masuk. Kami melalui ruangan yang panjang. Lantainya sebagian dibiarkan papan terbuka, sebagian lagi ditutup dengan karpet tebal berwarna coklat muda. Lalu kembali aku lewat pintu ke arah belakang ada beranda lagi menghubungkan bangunan ke dua. Kiri kanan terdapat kebun bunga yang ditata sedemikian rupa. Di kebun bunga ini ada halaman terbuka yang cukup luas tempat anak-anak bermain. Ada lima anak sebaya berusia sekitar delapan atau sembilan tahun, dua laki-laki dan tiga perempuan. Mereka tengah bermain ingklek, permainan tradisional, sementara yang laki-laki seperti bermain kelereng, namun aku tidak tahu biji atau buah apa yang bulat kecil dan keras yang mereka lempar lalu tembak dengan jari. Setelah dekat, rupanya buah ‘kebiul’. Sejenis tumbuhan langka yang hidup di rimba hutan tropis.
Tak lama mereka mengganti permainan lagi, yaitu permainan ‘ingkau’. Ada yang rendah, ada yang sengaja dibuat tinggi. Suara mereka berlima berteriak-teriak riang memenuhi taman. Melihat kegembiraan mereka aku gemes sekali. Teringat permainan-permainan masa kecil di kampungku. Seusia mereka aku juga senang bermain permainan ini. Hanya namanya saja mungkin berbeda, kalau. bermain kelereng dikampung disebut ‘main ikat’, lalu ‘cakingkeng, dan permainan ‘ingkau’ nampaknya sama menyebutnya.
“Assalamualaikum adik-adik.” Sapaku menghampiri mereka. Mereka serentak menghentikan permainan dan menjawab salamku. Kuajak mereka berkenalan. Mereka menyapaku ramah dan antusias menggunakan bahasa daerah. Sejenak kami berbicara tentang permainan-permainan. Kelimanya kulihat anak yang cerdas. Ketika kutanya mengapa tidak ikut latihan silek? Serentak mereka menjawab, giliran mereka latihannya malam senin dan malam rabu. Perempuan dan laki-laki diizinkan untuk turut serta latihan bela diri itu. Tak lama aku mohon diri untuk kembali masuk ke ruang tengah. Mereka sibuk bertanya tinggal dimana, bolehkah bermain dan sebagainya. Kukatakan aku hanya singgah sejenak di dusun mereka. Nampak wajah kecewa di antara mereka.
Setelah duduk beberapa saat, dan aku yakin waktu sudah menjelang subuh, aku minta izin untuk kembali ke pinggang bukit. Sementara sirih yang kukunyah sudah terasa semakin sedikit. Yang kurasa air liur terasa berkumpul di rongga mulut karena aku tidak berani menelan ludah. Tenggorokanku terasa kering. Aku tidak tahu apakah boleh tertelan apa tidak.
Akhirnya aku berpamitan setelah mencium tangan para puyang yang hingga pulang tak satu pun aku tahu namanya. Aku pulang bersama nek Nang. Sementara Puyang Akas dan Puyang Jalak Hitam tetap di istana atas bukit. Aku dan nek Nang melalui jalan lain, agak melingkar ke lembah. Sama seperti ketika baru naik, aku menemui kampung yang asri. Aku berhenti sejenak di depan masjid. Memandang keasriannya. Masjid yang mirip rumah kuno ini membuatku berdecak kagum. Bentuk masjid setengah tiang ini tidak terlalu besar. Halamannya luas, kiri-kanannya luas, membuat masjid semakin bebas untuk di pandang dari segala arah. Bedug raksasa, lalu ada kentongan besar tergantung di dekat pintu masuk. Bubungan masjid dua lapis berbeda dengan atap bangunan lainnya saja yang mencirikan jika ini masjid.
“Kelihatan kecil ya Selasih, tapi masjid ini mampu menampung berapa saja jamaah yang hendak salat.” Ujar nek Nang.
“Maksudnya, nek Nang?” Ujarku lagi.
“Iya, masjid ini nampaknya kecil. Tapi berapa ribu jamaah bisa ditampungnya. Itulah kelebihan “Puyang Rajau Nyawau”, beliau pernah singgah bersama orang-orang yang mengikutinya dan solat di sini . Jumlah mereka ratusan. Ketika melihat jamaah seperti tidak tertampung, lalu beliau berdoa. Ratusan orang itu bisa tertampung bahkan masih ada tempat yang luang. Hingga kini, karomah itu masih tetap ada.” Ujar nek Nang. Kembali aku terkagum-kagum mendengarnya. Apakah ‘Puyang Rajau Nyawau’ yang nek Nang maksud sama dengan “Puyang Raje Nyawe” yang sering disebut-sebut oleh nenek Pagar Jaya, kakek dan Puyang-Puyang ku? Karomah? Apakah “Puyang Raje Nyawe” itu adalah gelar salah satu para wali? Sejenak aku tercenung. Ada tirai yang belum sepenuhnya kupahami.
Aku dan nek Nang kembali berjalan pelan. Kali ini kami berjalan di sisi hutan yang di bawahnya sangat bersih. Sedangkan di seberangnya berdiri rumah-rumah penduduk. Kulihat aktivitas masyarakat umumnya bertani. Hal dapat kulihat beberapa perempuan dan laki-laki berjalan dengan beban di belakangnya, menggendong beronang yang dikaitkan di kepala.
Kami menuruni tanah merah seperti tangga. Di lembah perumahan nenek gunung seperti lukisan alam yang kulihat di alam nyata. Aku serasa bermimpi berada di dua kampung yang berbeda koloni. Nek Nang tahu jika aku terkagum-kagum dengan kekuasaan sang Maha kali ini. Aku bersama nek Nang kembali naik ke rumah panggung ketika puyang Akas menungguku tadi. Aku tidak duduk lagi, tapi langsung minta izin menemui para nenek di dalam. Kuserahkan mangkuk sirih yang kubawa selama perjalanan. Ketika mereka menawariku untuk membawa bekal, aku menolak. Aku khawatir kawan-kawanku heran dan banyak bertanya. Akhirnya aku pamit setelah sujud pada mereka.
“Sering-seringlah ke mari Selasih. Nek Nang akan sangat senang kalau Selasih mau singgah ke mari,” ujar nek Nang sambil mengantarku di depan pintu. Aku hanya mengaguk haru. Setelah mengucapkan salam aku bersama Dahar dan Gofar segera kembali menuju rumah singgah di pinggang Sebakas. Setelah sampai kedua pemuda golongan nenek gunung itu minta izin pulang. Ketika keduanya lenyap aku kembali pada jasadku. Aku tidak bisa tidur, mataku melek sambil menunggumu subuh. Sementara kawan-kawanku masih mendekur seperti suara ban gerobak yang seret.
Membayangkan perjalanan singkat di bumi Sebakas yang indah, membuat aku seperti telah melakukan perjalanan bebulan-bulan lamanya. Nyaris selama berkunjung ke dusun bunian itu aku lupa jika aku baru datang tadi siang. Aku juga lupa dengan Bengkulu Kota dan besok sudah harus pulang. Desa ini membuatku jatuh cinta.
Bersambung…
Lanjuttt…
Keren sodara, berada ada di dalam cerita