Berjualan Tempe Demi Meraih Gelar Doktorat Di Perancis (bagian 2)

Masalah kehidupan agar dapur ngebul ternyata hanya sebagian dari masalah yang harus saya hadapi. Masa cuti istri saya sudah selesai, ia bekerja sebagai PNS. Mau melepas istri dan anak rasanya berat sekali. Bayi masih kecil, butuh perhatian belum lagi terbayang kerepotan istri saya selama di Tanah Air, mengurus anak-anak sendiri. Masalah ini dihadapi juga oleh rekan saya Mas Rudi, kolega dalam seperjuangan hingga Indo Tempe berdiri.

Setelah pertimbangan matang, karena tinggal menulis bagian akhir disertasi dan menunggu ujian, kita memutuskan untuk pulang sekeluarga, dan kembali ke Perancis menjelang ujian terbuka. Tapi bagaimana caranya membeli tiket pesawat untuk sekeluarga yang berarti empat tiket! Sedangkan harga tiket paling murah saat itu 1100€ (sekitar Rp 17juta) untuk berempat. Tak ada jalan lain kecuali kosongkan tabungan! Mau bagaimana lagi itupun masih belum cukup, masih harus ngutang dengan kawan. Di sini yang tidak pernah saya lupakan, bagaimana kedua orang tersebut dengan ikhlas membantu meminjamkan uang agar kami bisa mudik bersama. (Terima kasih banyak untuk bro Yusuf Indra dan pak Lukman). 

Saya dan istri berkomitmen untuk menyimpan peliknya persoalan cukup kami berdua saja yang tahu, orang tuapun tidak usahlah mengetahuinya. Curhat kami hanya pada  pada Allah SWT. Dialah yang bisa mengatur segalanya. Dialah yang paling tahu bagaimana keadaan kami setiap harinya setiap perjuangan yang kami jalani. Kamipun kembali ke Indonesia.

Di Tanah Air saya kembali harus kerja keras. Lembur, persiapan disertasi dan malam ketika pulang bagaimanpun capenya badan ini, ada anak-anak yang menunggu hingga rasa lelah lumayan terobati. Merekalah yang membuat saya semangat, apapun saya jalani karena toh bagi saya, kerja ini nantinya demi masa depan mereka juga.

Anehnya setiap kali saya ada masalah, sahabat saya Mas Rudi juga pas dirundung hal yang sama, kok ya bisa sama juga, benar-benar ini yang namanya kawan seperjuangan! Diawali dengan ayah Mas Rudi yang dirawat di rumah sakit, bapak sayapun jatuh sakit tepat pada saat saya harus kembali ke Perancis. Bapak saya dirawat di ICU Kebumen, bapak saya tidak sadarkan diri, padahal tahun ini kedua orang tua saya dijadwalkan berangkat Haji. Piye iki…..Masya Allah…

Tapi Allah Maha Pengatur! Sudah mengatur segalanya. Karena sebelum saya mendapat kabar bapak sakit, Prof. Barnier, dekan kampus sekaligus pembimbing disertasi, mengabari saya bahwa dia akan datang ke Solo. Jadilah saya yang harusnya berangkat tanggal 12 Mei membatalkan keberangkatan saya. Eh rupanya, pembimbing sayapun tidak jadi datang karena anaknya sakit, dan bapak saya di saat yang bersamaan juga dinyatakan Pra-koma. Di sinilah Allah berperan. 

Sayapun langsung membeli tiket Solo-Kebumen agar bisa segera melihat kondisi bapak. Saking paniknya mungkin tanpa saya sadar saya membeli tiket yang salah. Niat mau berangkat pagi jadi terpaksa diundur siang. Itupun saya baru engeh ketika sudah berada di dalam gerbong kereta, karena tempat saya sudah diduduki orang. Ternyata saya salah pilih hari! Memang kadang ya pada saat kita rasanya dirundung, kok ya masalah ada saja datang terus, misalnya masalah kecil kaya tiket gini.

Sampai di RS Kebumen, alhamdulillah Bapak sudah sedikit sadar, tapi masih linglung, dan beliau minta saya mencium beliau “tur, nyong diambung”, bahasa ngapak khas Kebumen lirih terucap dari bibirnya (tur, mbok saya dicium). Saya langsung mencium kedua pipi Bapak, dan keningnya. Seketika itu Bapak langsung tersenyum dan berkata “kena nggo tamba ung” (bisa buat obat tur. “ung” adalah panggilan ortu waktu saya waktu kecil).

Saya berdoa ya Allah agar Kau cabut penyakit Bapak, biar saya bisa bonceng Bapak lagi naik motor untuk beli wedang Ronde dan tempe mendoan lagi di deket alun-alun kebumen, seperti yang biasa kami lakukan pada saat Bapak masih sehat dulu. Memang kita  melakukan banyak hal, karena kita tidak sekaya dan seberuntung pak Dahlan Iskan yang punya uang 3,5 miliar untuk mencangkok hatinya dari hati pemuda tiongkok umur 21 tahun, hingga akhirnya beliau bisa pulih dari Sirosisnya, kembali kuat seperti usianya lebih muda mundur beberapa tahun…hmm…kami tak punya itu semua. Harapan kami semoga Bapak bisa naik haji tahun ini dan pulang dengan selamat mendapaykan Haji Mabrur. Mengingat ini, membuat air mata gak bisa tertahan.

                                                     Bapak mencoba seragam hajinya.

Kami selalu yakin, perjuangan kami suatu hari akan terbalas. Indah pada waktunya. Alhamdulillah, Mas Rudi sahabat saya, rekan kerja seperjuangan di Marseille, bulan Januari lalu sudah melewati ujian terbuka dan mendapat gelar Doktor dibidang Hukum.

Dan saya, rabu tanggal 16 Mei sehari sebelum hari Ramadan, telah menjalani juga ujian terbuka S3 untuk mempertahankan disertasi saya, dan alhamdulillah ujian saya lulus dengan lancar mendapat gelar Doktor bidang Ilmu Manajemen spesialis Marketing.

Saya bahagia mendengar kabar Mas Rudi sudah aktif mengajar untuk S1, S2 dan S3 di Universitas Lampung dan dipercaya mengurus beberapa aktivitas akademik seperti International Conference dan mengurusi penerbitan jurnal.

Bila saya banyak bercerita tentang perjuangan Mas Rudi di dalam perjuangan saya karena saya berharap bisa terus belajar darinya. Jujur saja, saya sedikit kagum, karena orang seperti Mas Rudi itu kita bisa banyak belajar soal agama, keluarga dan karir. Terima kasih mas Rudi. Salam dari kami sekeluarga buat Jibril yang sedang mondok di Maroko, Hasna yang mondok di Lampung dan si kecil Sabrina.

Semua bisa saya jalani dengan ikhlas berkat doa orang tua, dan istri tentunya juga bantuan dari teman-teman seperjuangan.

Semoga apa yang kita dapatkan saat ini bisa bermanfaat bagi agama, bangsa, dan negara. (Tamat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *