HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT II (34)
Gigitan semut keghengge benar-benar terasa perih. Melihat gerak-gerikku pasukan keghengge mulai maju. Tangan mereka merangkak-rangkak hendak menyambar apa saja dari tubuhku. Menggigit sembari mengeluarkan racunnya. Aku sudah naik pohon sali sudah sampai di tengah. Mau naik banyak keghengge, mau turun tanggung sudah di atas.
Pantas saja buahnya lebat dan masak, rupanya tidak ada yang berani naik pohonnya. Di atas sarang keghengge besar bulat seperti dandang ukuran sepuluh kilo. Bisa dibayangkan berapa ribu mereka berkumpul di situ. Berkali-kali aku menahan sakit kaki, tangan, leher, pipi, telinga sampai kulit kepala pun digigitnya. Tapi aku enggan mengibasnya apalagi membunuhnya. Kasihan mereka. Mereka memang terganggu denganku. Mungkin dikiranya aku akan merusak rumah mereka. Tiba-tiba aku melihat ada di antara mereka bertubuh lebih besar dan hampir bersayap. Kusapa dia. Kusampaikan aku hanya ingin memetik sali yang masak. Aku minta pasukannya tidak menyerangku. Ternyata makhluk kecil ini paham. Tak lama berselang, keghengge itu berbaris diam hanya menatapku. Kalau pun ada yang menempel di tubuhku, mereka hanya berjalan-jalan dan menatapku.
Dengan cepat aku memetik sali yang ranum dan memasukannya ke dalam kampek yang telah kubawa. Luar biasa dalam waktu singkat, kampekku sudah penuh. Sebenarnya aku sudah menelan ludah hendak mencicipinya di atas pohon. Namun raja keghengge melarangku. Katanya aroma sali yang kumakan dianggap ancaman baginya dan pasukannya. Dikira aku menantang mereka. Kalau sudah begini, mereka akan menyerang dan tidak satupun akan mundur. Mereka rela mati demi membela sesuatu yang mereka anggap benar. Sejenak aku berpikir. Aku bersyukur bertemu degan raja semut ini. Aku belajar dari penjelasannya. Akhirnya aku sangat hati-hati. Aku takut kalau tangan atau kakiku menginjak di antara mereka. Dan yang lebih penting adalah menahan diri untuk tidak memakan sali di atas pohon. Ternyata semut pun memiliki etika. Mereka juga menghargai makhluk lain dan bisa diajak komunikasi. Kampek pughunku sudah penuh, aku mulai turun. Aku pamit dan mengucapkan terimakasih pada raja keghengge.
Di bawah pohon aku melihat beberapa tubuh mengendap di antara pohon kopi. Aku merunduk untuk memastikan siapa mereka. Ketika aku ke pinggir kebun ini, nenek Kam ada di pondok, sedang makan sirih. Apakah mungkin beliau menyusulku? Oh, ternyata bukan nek Kam. Aku melihat beberapa lelaki kekar sedang membersihkan rumput dan beberapa orang memetik kopi yang sudah masak. Gerakkan mereka sangat cepat. Mereka tidak sempat menoleh kiri kanan. Fokus dengan pekerjaan. Aku tidak kenal mereka. Tapi siapa mereka? Kapan mereka datang? Apakah mereka arian (pekerja harian) dengan nek Kam? Tapi mengapa nenek Kam tidak bilang-bilang? Setidaknya melihat nenek Kam sibuk seperti orang-orang pada umumnya ketika ngarak arian (menjamin makan minum pekerja). Minimal ada air putih dan kopi di antar pada mereka ke tengah kebun ditambah dengan makanan-makanan kecil. Biasanya seperti itu.
Lama aku memerhatikan mereka. Meski mereka cukup banyak, tapi tidak ada yang bersuara. Apakah mereka ini bisu? Aku membatin. Bukan sekali dua kali aku melihat orang arian. Bapakku juga sering mengajak penduduk dusun arian di kebunnya ketika waktu panen. Mereka akan gembira ria bekerja sambil bercengkrama, membuat api kecil di tengah kebun untuk mengusir nyamuk. Kebun akan terlihat hidup ketika ada asap kecil begulung di antara pohon kopi lalu membumbung ke angkasa. Akhirnya aku memilih untuk pulang ke pondok. Lebih baik aku bertanya dengan nenek Kam saja. Sore ini rencana aku akan pulang ke dusun menemui ibu. Tapi rada-radanya nek Kam belum mengizinkan. Beliau tidak merespon sama sekali ketika kutanya kapan akan ke dusun. Akhirnya aku diam saja. Mengapa aku harus pusing, toh kapan saja aku bisa pulang. Mau malam, pagi, siang, petang, aku bisa minta tolong Macan Kumbang atau berlari sendiri. Apa yang harus ditakutkan. Ini kampung nenek moyangku. Tidak ada manusia asing apalagi hendak berbuat jahat. Kecuali bertemu makhluk seperti Panglima Selatan. Bisa perang lagi aku.
“Nek, di tengah kebun banyak orang yang bekerja. Ada yang metik kopi, ada juga yang merumput. Siapa mereka? orang mana Nek? Kok mereka diam semua? Tidak ada yang berbicara, ngobrol seperti biasanya” tanyaku. “Itu hasilnya” Nenek Kam menunjuk gunung buah kopi yang berundak-undak di halaman depan pondok , tempat menjemur buah kopi. Mataku terbelalak. Banyak sekali? Padahal mereka baru beberapa menit bekerja. “Siapa mereka Nek? Berapa orang yang bekerja?” tanyaku lagi. “Hanya tiga orang yang metik kopi. Tiga orang yang besiang (merumput)” Jawab Nek Kam. “Orang dari dusun mana? Kok aku tidak ada yang kenal” tanyaku lagi. “Sini! Hidungmu dah konslet ya..” jawab nek Kam sambil meraih tanganku. Aku merasakan jari-jarinya bermain di dahiku lalu seperti membelah hingga ke dada. Aku merasakan ada energi hangat mengalir ke seluruh tubuhku lalu menjalar ke kepala. “Apa yang kamu rasakan?” tanya nek Kam. “Kok aku mencium semua bau, Nek. Ada bau nenek gunung, ada bau jin, ada bau manusia. Bau nenek gunung itu yang sedang bekerja di kebun nenek, bau jin aduh banyak sekali, Nek. Hampir setiap sudut kebun ini berisi makhluk itu. Dan bau manusia, sepertinya persis di hadapanku” Jawabku. “Ya jelaslah, di hadapanmu ya aku! Dasar nenek gunung kecil yang nakal” ujarnya. Aku hanya tertawa kecil. Ternyata nek Kam cepat nagkap kalau aku menggodanya.
Aku mengeluarkan buah sali dari kampekku. Sambil mengunyah buah yang asem manis itu aku bercerita dengan nenek Kam kalau aku bertemu dengan raja keghengge. “Kamu sih, bandel maunya naik sendiri” kata nek Kam. “Loh, memangnya aku mau nyuruh siapa?” tanyaku. “Tinggal bilang saja sama nenek, biar nenek suruh saudara-saudara nenek yang memetiknya.” kata nek Kam. Aku tertawa mendengar jawaban nenek Kam. Apa beliau tidak ingat kalau beliau berjanji mengajakku memetik sali sendiri di pohonnya. Ngapain minta tolong nenek gunung, meski adiknya sendiri. Kalau aku dipetikkan adik Nek Kam, tidak akan aku bisa berkenalan dengan raja semut itu. Usai maka siang, aku semakin kaget. Nyaris halaman tanah depan pondok nenek Kam tidak ada sela yang bisa dilalui lagi. Buah kopi sudah menumpuk seperti gunung-gunung kecil berbentuk piramid. Kapan para nenek gunung itu mengantarkannya kemari. Mengapa aku tidak melihat mereka. Aku jadi penasaran. Pelan-pelan aku turun pondok berjalan ke tengah kebun, mendekati para pekerja.
“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…nenek-nenek gunung. Hari sudah siang, apakah sudah makan semua?” Sapaku. Aku berusaha menatap wajah mereka satu-satu. Beberapa orang menatapku ramah. “Sudah Selasih, bahkan kami sudah ngopi” Jawab salah satu mereka. Wajahnya teduh. Usianya kira-kira empat puluhan seusia manusia. Aku tidak heran jika mereka tahu namaku. Pasti nek Kam sudah memberitahu mereka. Aku ikut duduk di bawah pohon kopi. Sejenak memerhatikan mereka yang bekerja. Wajar saja jika halaman pondok sudah penuh dengan tumpukan buah kopi. Mereka bekerja memang sangat cekatan. Sebentar saja kinjagh tempat menapung kopi mereka sudah penuh. Lalu dengan gesit satu orang di antara mereka mengangkutnya ke halaman pondok.
Dalam hati aku kagum dengan nek Kam. Perempuan tua yang sudah sepuh itu selalu mudah dalam urusannya. Kebunnya selalu bersih, tidak berumput, buah kopi ada yang metik, dan pekerjanya bukan dari bangsa manusia. Tapi bangsa manusia harimau atau nenek gunung. “Dek, ikut nenek yuk” Aku mendengar nenek Kam menyebut namaku. Hebatnya beliau memanggilku dari jauh. Aku pamit dengan nenek gunung yang bekerja, segera berlari menuju suara nek Kam. “Kemana Nek?” ujarku setelah dekat yang dijawab nek Kam dengan mengarahkan telunjuknya. Aku patuh saja membimbing tangannya. Langkah nenek Kam cepat sekali. Kelihatannya saja nenekku sangat sepuh, bergerak lamban. Ternyata kalau di hutan langkahnya tegap dan cepat. Siapa sangka apabila dilihat dari fisik dan wajahnya. Perempuan tua ini bisa berjalan setengah berlari. Aku tidak tahu, beliau akan megajakku kemana. Beberapa bidang kebun kopi sudah kami lewati. Sekarang kami memasuki hutan belukar dan nyaris tidak pernah dilalui manusia. Kami menyisir jalan setapak bekas babi berjalan. Nenek berjalan paling depan. Selanjutnya di hadapan kami terbentang sawah yang sudah tak terurus. Rumputnya tinggi dan sebagian besar rebah karena angin. Beberapa kali aku nyaris terpeleset di pelang sawah yang kecil. Kusebut sajalah ini padang rumput.
“Ini sawah siapa, Nek? Sayang ya tidak diurus. Padahal areanya luas. Seluas ini jadi padang rumput sebentar lagi jadi belukar. Tentu lebih susah mengolahnya” ujarku berusaha hati-hati. Beberapa kali aku masuk rawa-rawa sampai ke betis. Sementara nenek Kam santai saja meski berjalan di tanah lembek. “Sudah dikasih kepandaian tapi tidak di manfaatkan, ya percuma!” Nenek Kam seperti memarahiku. Aku menatap wajahnya untuk memastikan apakah kata-kata itu ditujukan padaku. Tapi bukankah kami hanya berdua? Lalu pada siapa lagi kalau bukan aku? Sambil berjalan aku mencerna apa yang beliau sampaikan. Aku berusaha memaknai maksud yang beliau katakan. “Maafkan aku Nek, kadang aku lupa. Aku selalu memilih menjadi manusia biasa. Jika tidak terdesak memang aku jarang sekali menggunakan kemampuan yang aku miliki” Ujarku. “Tapi kita sedang berada di mana? Paham medan yang kita lalui? Ini bukan jalan manusia. Tapi jalan yang sering dilalui oleh binatang-binatang buas dan liar. Kerbau liar, sapi liar, beruang, empedak, dan mereka adalah predator” Ujar nek Kam kembali. “Iya, Nek”. aku menyesali kebodohanku. Akhirnya aku tingkatkan penciuman dan kemampuanku. Aku coba membawa jasadku pada alam setingkat dimensi lain. Efeknya aku berjalan seperti menapak di atas angin. Tubuhku sangat ringan dan nafasku tidak memburu. Dalam hati aku bersyukur nek Kam selalu mengajariku supaya aku berpikir. Tidak serta merta. Selalu menyuruhku menyelesaikan masalah sendiri.
Akhirnya aku belajar serius kali ini. Kutingkatkan kepekaanku. Aku tidak boleh selalu menunggu. Aku harus tunjukan pada nek Kam kalau aku paham membaca alam. “Kita harus belok kiri Nek, sebab kalau kita lewat sebelah kanan, tujuan kita ke padang rumput pinggir hutan itu akan terhalang. Di sana ada buaya putih yang tidak suka dengan kehadiran kita. Dan buaya itu jahat. Banyak sekali manusia yang diambilnya dan dimakan otaknya” ujarku mulai membaca fenomena itu. Apa yang diberikan kakek Njajau membuka mata batinku membuat duniaku seperti cermin, semuanya terlihat jelas. Mendengar aku berbicara seperti itu, nenek Kam mengangguk setuju. Kamipun berbelok.
Baru saja melangkah aku berhenti. Aku mendengar suara merintih sedih sekali. Kutajamkan pendengaranku. Kucari sumbernya. Aku memandang pada Nek Kam. Apakah beliau juga mendengar suara yang menyayat itu. Aku bermaksud minta izin untuk menolongnya. “Buka mata batinmu terang-terang. Jangan hanya satu sisi saja. Cari dan baca sosok yang menangis itu. Apakah patut ditolong atau tidak. Jagan terpengaruh suara tangis saja” Ujar nek Kam kembali. Oh! Lagi-lagi nampak kebodohanku. Aku selalu berpikir jika ada yang menangis maka wajib ditolong karena pasti batinnya terluka. Aku mulai mencari sosok yang menangis itu. Hampir saja aku menyerangnya. Ternyata seorang kuntilanak berusaha mengelabui pancainderaku. Aku mendengarnya menangis, tapi pada dasarnya dia tertawa. “Semprul!! Kuhantam kau!” Aku melemparnya dengan ranting. Dia menghindar sambil tertawa. Melihat kelakuannya aku makin marah. Ingin sekali memberi pelajaran padanya. Aku merasa tertipu dengan suaranya. Melihat aku naik pitam, nenek Kam tidak memberikan reaksi apa-apa. Kupikir dia akan membantuku menghajar kuntilanak sialan itu. Tenyata beliau malah membimbingku. Menjauhi tempat itu. “Banyaknya yang lebih penting daripada melayani makhluk yang tidak lucu itu.” kata nek Kam. Akhirnya aku patuh dengan nek Kam.
Aku melangkah lagi menembus padang rumput yang tidak pernah dilalui manusia ini. “Aku mencium aroma nenek gunung, nek Kam” ujarku sedikit kaget. Aku mencoba mencari sosoknya. Aromanya semakin kencang menembus sampai ke otakku. Oh Tuhan! Aku melihat nenek gunung dalam keadaan terluka. Tubuhnya penuh darah. Dia terkulai lemas bersandar di pohon kayu mati. Matanya sayu dan pasrah. “Nek, izinkan aku berlari, dia di sana! Dia dalam keadaan terluka!” Aku sudah tidak sabar. “Sabarlah. justru aku mengajakmu kemari, untuk menolong nenek gunung satu itu. Dia terluka ketika bertarung dengan kerbau jalang padang rumput ini. Tanduk kerbau itu berhasil melukainya” lanjut nek kam. Akhirnya aku diam saja sembari berpikir dan menyesali keterlambatanku menerima pemahaman seperti ini. Harusnya aku sudah tahu sejak awal. Harusnya aku tahu kalau ada nenek gunung yang terluka dan butuh pertolongan. Akhirnya kami sampai. Aku langsung mengelus-ngelus nenek gunung yang terkapar. Lukanya cukup parah. Nyaris isi perutnya ke luar karena lukanya yang menganga. Diam-diam aku menitikkan air mata. Aku bingung, apa yang bisa aku lakukan untuk menolongnya. Nek Kam mengambil daun yang tumbuh di tepi hutan yang paling lebar. Lalu meruncingkannya. Rupanya nenek Kam mengambil air dan meminumkannya pada nenek gunung yang terluka. Meski lemah, nenek gunung meminum air yang diberikan nek Kam. Aku meletakan kepala nenek gunung ke pahaku. Kubiarkan pahaku menjadi bantalnya. Dengan demikian memudahkan aku mengelus kepalanya. “Berikan energi positif melalui tanganmu, Cung. Lakukan semampumu” suara kakek Andun membimbing dari jauh. Aku tersadar. Kuusap air mataku yang meleleh. Benar aku akan melakukan apa saja sesuai kemampuanku.
Aku mulai meletakan tanganku ke punggung nenek gunung. Persis seperti ketika aku menolong nenek gunung yang terluka akibat dijebak di bukit Patah. Aku mulai menyalurkam energi lewat tangan kananku. Pelan-pelan cahaya biru mulai bergulung menyisir tubuh nenek gunung yang lemas. Pas bagian perutnya yang terluka, tanganku seperti terhenti. Nenek gunung merintih halus sekali. Nampaknya dia menahan sakit yang luar biasa. Matanya berair. Aku melihat pelan-pelan warna biru di ususnya yang terburai berubah menjadi merah muda. Nenek Kam memasukan ususnya dengan membaca mantra-mantra terlebih dahulu. Lalu bagian yang terluka seperti lubang yang robek ditapal nek Kam dengan daun-daun yang sudah diraciknya. Lalu dikoyaknya ujung kain yang pakainya, dibalutkannya seperti perban ke tubuh nenek gunung. Aku mercoba memusatkan pikiran untuk menutup bagian luka yang koyak. Meski dibalut oleh nek Kam, pelan-pelan aku melihat lubang yang menganga itu mengecil. Aku semakin semangat. Aku ulangi lagi, terus kuulangi hingga antar kulitnya benar-benar menyatu. Tanganku seperti menjahit baju koyak. Nenek Kam mengawasiku. Sesekali tanggannya ikut mengusap bagian luka seakan merapikan jahitan. Terakhir aku usap pelan. Kusalurkan energi hangat untuk mengurangi rasa nyeri. Ternyata nenek gunung tidak merintih lagi.
Aku melihatnya berusaha bangkit. Kubantu tubuhnya untuk berbalik dan berdiri. Kulihat kakinya sedikit gemetar. Dia lapar! “Nek, dia lapar. Apa yang harus aku lakukan?” Ujarku masih cemas. Nenek Kam pergi ke pinggir hutan. Tak lama berselang dia membawa serenteng ikan sema yang lebarnya sebesar telapak tangan. Aku langsung menyuapi nenek gunung yang kelaparan. Dalam waktu singkat ikan habis dimakannya. Demi melihatnya pelan-pelan sudah bertenaga lalu bersuara membuat batinku gembira luar biasa. Saking terharunya, kupeluk nenek gunung dengan kasih sayang. “Alhamdulilah, semoga sehat terus ya, nenek gunung dari mana? Mengapa sampai terluka? Mengapa nenek gunung pergi sendiri?” Tanyaku pelan.
“Aku biasa dipanggil Gundak. Aku dari ulu bukit Selepah. Kebetulan saja malam tadi aku ingin berburu sendiri. Biasanya aku ditemani oleh paman-pamanku sekaligus mengajari aku bagaimana berburu yang benar. Aku mencoba menerkam kerbau jalang padang ini. Ternyata dia sangat kuat” Ujar nenek gunung yang bernama Gundak. Dia lelaki muda kira-kira berusia empat belas tahun. Masih sangat muda untuk berburu sendiri. Pahamlah aku mengapa dia sampai terluka. Untung tidak mati. Biasanya kerbau jalang padangan sama ganasnya seperti gajah mabuk dan raja rimba. Tanduknya yang panjang akan seperti pedang karena tajam dan runcing. Jarang sekali mahkluk ini membiarkan lawannya hidup. Kalau bertarung pasti akan membunuh. Gundak bernasib baik karena ditinggalkannya dalam keadaan hidup. “Terimakasih Nek Kam, sudah membantuku. Mungkin kalau kalian tidak lewat sini, aku sudah mati” Ujarnya. “Aku juga tidak tahu kamu ada di sini kalau tidak dikabari Bapak di Ulu. Dia katakan ada yang terluka dan menyuruhku bersama Selasih menemuimu” ujar nenek Kam.
Tiba waktunya untuk pulang. Gundak menolak pulang ke bukiit Selepah. Dia ingin ikut aku bersama nenek Kam. Akhirnya nenek Kam mengizinkan. Apalagi melihat kondisinya yang masih lemah. Sepanjang jalan Gundak tak henti bercerita meski fisiknya masih lemah. Kadang nenek Kam harus menolongnya agar kuat melangkah. Sesekali kami berhenti. Kalau sedang berhenti kumanfaatkan masuk ke semak-semak memetik buah keremunting yang sudah masak. Aku langsung memakannya. Aromanya yang khas membuatku tak cukup makan sebiji dua biji. Beberapa ekor kutilang merasa terusik karena makanannya ikut kumakan. Akhirnya sampai juga ke pondok nek Kam. Aku merasakan perjalanan pulang cukup panjang. Mungkin tiga kali lipat dari pergi tadi. Beberapa kali bertemu rombongan kerbau jalang, mata mereka nanar bersiap-siap hendak menyerang ketika melihat di antara kami ada harimau. Insting dan penciuman ke dua hewan itu sebenarnya sama-sama tajam. Harimau dapat mencium aroma kerbau sebagai mangsa dari jarak beberapa kilo meter.
Sebaliknya, kerbau dapat mencium aroma harimau sebagai ancaman buat mereka. Aku terkejut, ternyata banyak yang datang ke pondok nek Kam. Mereka adalah nenek gunung -nenek gunung asli, bukan dari manusia harimau. Aku menatap mereka satu-satu. Mereka duduk rapi berbaris sembari menundukkan kepala. Sikap mereka yang sopan membuatku bertanya-tanya. Ketika melihat Gundak mereka langsung berdiri dan menghampiri. Gundak langsung mengelus kepala nenek gunung-nenek gunung tersebut dengan kaki kanannya. Aku melihat keakraban mereka begitu tulus. Kuketahui jika mereka milik Gundak dan mereka merasa bersalah karena tidak menemani Gundak malam tadi. “Kalian tidak salah kawan-kawanku, akulah yang salah dan minta maaf. Karena aku tidak mengajak kalian. Dan aku sengaja berangkat sendiri karena aku ingin belajar mengatasi masalah sendiri. Ternyata aku gagal. Aku tetap harus banyak belajar dengan kalian.” Ujar Gundak lembut.
Para nenek gunung itu masih menunduk dengan perasaan sedih. Bagian luka Gundak mereka jilat-jilat seakan ingin memberikan kekuatan agar Gundak segera sembuh. Aku ikut terharu melihat adegan depan mataku. Mereka memang hewan beradat. Paham dan tanggap dengan orang yang mereka sayangi. Mereka sangat menghargai arti persahabatan dan kesetiaan. Pada dasarnya mereka adalah hewan yang sopan dan memiliki perasaan lembut seperti manusia. Manusia saja kadang mengganggap mereka binatang buas yang garang. Padahal mereka buas apabila merasa terancam.
Belum selesai aku terpukau, tiba-tiba aku merasakan angin berhembus kencang. Beberapa daun kering ikut melayang. Langit nampak berawan. Namun bukan pertanda akan turun hujan. “Nek, akan ada yang datang” Ujarku pada nek Kam yang duduk di jenjang tangga sambil menumbuk sirih. Beliau hanya mengangguk. Aku menatap ke atas menunggu siapa yang datang.
Baru saja aku hendak menelan ludah, dalam hitungan detik aku melihat empat sosok seperti turun dari atas pohon. Sosok nenek gunung, manusia harimau. Mereka langsung berdiri di hadapan nek Kam. “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Relingin. Apa kabar. Aku Sudan dari ulu Selepah. Aku ayah Gundak Maafkan Relingin, Selasih, benar itu namamu kan? Maafkan anakku sudah merepotkan kalian” Ujar lelaki separuh baya menatap nek Kam lalu menatapku lama. Lelaki setengah baya ini menunduk penuh hormat, baik denganku, apalagi dengan nek Kam. Nek Kam balas memberi hormat. “Kalau bukan karena nek Kam dan Selasih, mungkin Gundak sudah mati. Maafkan kami telat mengetahui keadaannya.” Lanjutnya lagi. Lelaki satu ini nampak sangat menyesal. “Kami datang kemari, selain ingin mengucapkan terimakasih, berniat hendak menjemput Gundak, Nek. Izinkan kami membawanya pulang.” Ujar Bapak Gundak sopan sekali. “Bak, izinkan aku tinggal dengan nenek Kam dulu. Aku belum mau pulang.” Gundak memotong pembicaraan sebelum nek Kam menjawab. “Biarkan Gundak sehari dua hari di sini dulu Sudan. Luka dan fisiknya belum terlalu pulih akibat luka berat itu. Izinkan Selasih menyembuhkannya sampai total.” Jawab nek Kam. Aku terkejut mendengar nek Kam mengatakan bahwa aku yang akan mengobati Gundak. Apa tidak salah? Mendengarkan nek Kam, wajah Gundak berseri-seri. Dia langsung mengambil tanganku lalu menggenggamnya. “Nah, tugasmu Selasih. Sembuhkan aku sampai benar-benar pulih. Terimakasih nek Kam.” ujar Gundak tak mampu menyembunyikan kegembiraanya. Mendengar itu Sudan tak mampu berkata-kata. Akhirnya beliau mengalah, akan menjemput Gundak tiga hari lagi.
Hari sudah jelang petang. Halaman pondok nek Kam sepi kembali. Para manusia harimau kembali ke ulu bukit Selepah. Hanya beberapa nenek gunung yang tidak mau pulang dengan alasan ingin menjaga Gundak. Gundak disuruh nek Kam berbaring di sudut ruang pondok. Sementara nek Kam meracik jamu yang harus diminumnya. Aku duduk dekat Gundak. Tanganku belum hendak bergerak untuk menyembuhkannya. Aku hanya membaca isi hatinya. Hmmm Gundak ingin ikut nek Kam selamanya dan ingin diangkat cucu oleh nek Kam? Rupanya manusia harimau satu ini jatuh cinta dengan kehidupan manusia.
Bersambung…