HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (61B)

Karya RD. Kedum

Dalam waktu sekejap, kami bertiga sudah sampai pada daerah yang disebutkan puyang Pekik Nyaring. Aku mencoba mencari-cari enam pendaki yang tersesat. Oh bukan mereka sengaja disesatkan oleh makhluk jahat tak kasat mata yang berada di sekitar lereng gunung. Banyak semak bambu dan belukar berduri menghalangi pandanganku. Hutan belukar sepanjang lereng nampak gelap. Aroma lembab hutan sedikit menyengat. Belum lagi bau pesing siluman babi yang banyak berkeliaran di bawah-bawah rumput yang sedikit becek.

Kutajamkan mata batinku. Tak berapa lama aku melihat enam sosok pendaki amatiran terduduk diam di bawah pohon besar, di sela akar. Wilayah yang agak tersembunyi dan secara logika tidak memungkinkan manusia akan berjalan ke arah sini. Wilayah ini bukan jalan untuk turun naik puncak gunung, justru tempat ini mengarah ke sisi puncak bagian utara, yang jelas tidak pernah dilalui oleh bangsa manusia.

Aku menatap ekspresi enam pendaki amatiran ini satu-satu. Mereka pendaki pemula yang hanya sekadar bersenang-senang saja. Tidak satupun kulihat alat layaknya seorang pendaki dibawa mereka. Mereka tidak memiliki bekal lintas alam sama sekali. Karena tujuan mereka memang lebih cendrung beladas (bahasa Besemah; berenang-senang). Padahal jika hendak mendaki, sebaiknya melalui pintu tangsi satu di lawang masuk gunung Dempu. Melapor dengan petugas di sana. Sebab bila ada sesuatu hal, maka akan terpantau oleh Tim SAR yang ada di lembah. Secara tak kasat mata, di situ juga ada dua nenek gunung yang ikut menjaga, turut mengawal dan mengawasi para pendaki. Enam pendaki amatiran ini rupanya memilih jalan pintas sisi utara. Mungkin mereka menganggap lebih gampang dan dekat dengan puncak. Kalau bukan diberitahu Puyang Pekik Nyaring, keenam anak manusia ini tidak akan ada yang tahu jika mereka mati atau hilang.

Aku menatap wajah mereka satu-satu. Raut mereka tidak hanya memperlihatkan kelelahan yang sangat, tapi juga haus dan lapar. Pandangan mereka juga sudah kosong. Mereka sudah tidak bisa berbicara. Mereka juga sudah tidak punya rencana dan tidak tahu harus ke mana. Rasa takut yang berlebihan telah membuat mereka seperti linglung. Mereka berkumpul seperti anak ayam kehilangan induk.

Seekor siluman ular mengawasi mereka dari atas. Lidahnya kadang ke luar dan kepalanya menjuntai bergoyang-goyang. Ular siluman itu bertugas menjaga mereka agar tidak pergi dari situ. Jadi kalaupun perasaan para pendaki itu sudah berjalan jauh, tapi pada dasarnya mereka tetap berada di situ juga. Hanya keliling-keliling di tempat. Berjalan jauh itu hanya halusinasi mereka. Inilah jahatnya para jin fasik. Sementara jika mereka hilang atau mati, maka yang akan muncul rumor di masyarakat bahwa para pendaki mati karena diambil nenek gunung. Bangsa manusia akan menyimpulkan mereka disesatkan oleh nenek gunung. Apalagi kejadiannya di kawasan gunung. Orang-orang lembah Besemah dan sekitarnya tahunya gunung Dempu dihuni oleh harimau jadian, tak kasat mata, yang bisa mengubah bentuk apa saja. Mereka lupa jika di sana juga hidup selain hewan harimau, ada jin, dan siluman yang bisa merubah rupa sesuka mereka. Maka para nenek gununglah yang difitnah. Hal seperti ini dijadikan kesempatan oleh para bangsa jin fasik.

Putri Bulan dan Macan Kumbang berdiri di belakangku. Mereka hanya diam memerhatikan apa yang akan aku lakukan. Aku mulai berpikir keras mencermati situasi dan melakukan strategi tertentu untuk menghadapi mahkluk asral yang ada di sini. Aku yakin, siluman ular ini tidak sendiri. Namun yang harus kuhadapi lebih dulu adalah siluman penjaga ini. Enam pendaki ini telah mereka kurung dan gaibkan. Bangsa manusia tidak dapat melihat sosok mereka. Rupanya siluman ular sudah tahu kehadiranku sejak tadi. Matanya sudah mulai mendelik liar. Lidahnya seperti mata pisau berkilat-kilat.
“Maaf siluman ular, saya datang ke mari untuk menjemput enam anak manusia ini. Tolong lepaskan mereka. Mereka mendaki gunung untuk sekadar menikmati kebesaran Allah. Tidak mengganggu kalian. Tapi kalian sengaja menyesatkan mereka. Kalian tutup jalan mereka untuk turun, kalian belokan kemari. Aku mohon lepaskan mereka. Aku tidak mau berurusan dengan kalian.” Ujarku masih memberikan kesempatan padanya.
“Tidak bisa, mereka sudah jadi milik kami. Tidak ada satupun yang boleh mengambil mereka kembali. Kecuali jika dia mau mati!” Ujar siluman ular dengan suara mendesah dan berat. Aku sudah menduga, pasti makhluk ini menolak dan akan mengajakku untuk duel. Tidak mudah baginya menyerahkan mangsanya begitu saja.
“Baik kalau begitu artinya aku akan ambil paksa. Mereka adalah manusia, bangsaku. Maka jika mereka kalian sakiti, kalian berurusan denganku. Jangan salahkan aku jika tempat ini akan kuobrak-abrik.” Ujarku lagi. Aku sudah siap-siap memasang kuda-kuda. Ular besar ini tubuhnya masih melilit pohon besar sebagai pegangan. Di pohon besar itu berdiri istana. Pusat kerajaan siluman ular ini. Tak lama tubuhnya melesat cepat, meliuk-luk ke sana ke mari melakukan serangan. Beberapa kali mulutnya terbuka lebar sembari menyemburkan hawa beracun ke wajahku. Aku berusaha berkelit menghindari serangannya. Bumi terasa bergetar ketika ular membantingkan tubuhnya ke tanah. Pohon tempatnya bergantung bergoyang-goyang. Angin tiba-tiba berkesiur kencang. Daun-daun berguguran. Ada kekuatan lain yang membantu siluman ular dari atas pohon. Dia tidak sendiri rupanya. Aku tidak menyia-nyiakan waktu. Melihat kekuatan yang dimilikinya aku mulai berhati-hati.

Aku mulai menghimpun kekuatan lewat telapak tangan dan kakiku. Kulihat siluman ular kembali mengarahkan kepalanya padaku seperti hendak menelan mangsa. Mulutnya terbuka lebar. Melihat mulutnya mengaga, kuhantamkan pukulan apiku persis masuk ke mulutnya. Siluman ular menjerit panjang. Suaranya melengking memekakkan membuat telingaku berdenging dan sakit. Akhirnya kulawan dengan kekuatan batin pula. Benturan terjadi. Sejenak siluman ular terkapar di tanah. Tak lama dia kembali bangkit. Matanya yang semula berbintik hitam sekarang berubah menjadi merah.
“Bagaimana? Masih belum mau menyerahkan enam manusia itu?” Ujarku menatap tajam matanya.
“Tidak akan pernah!” Suaranya kencang mengancam. Dengan cepat kuarahkan pukulanku ke pohon. Seketika pohon itu mengeluarkan api. Aku hembuskan angin badaiku membuat pohon terbakar cepat hingga membumbung tinggi. Keenam pendaki ditarik Putri Bulan menjauh. Keenamnya masih terkurung dalam pagar gaib siluman ular. Melihat sarangnya kubakar, siluman ular nampak marah sekali. Beberapa mahkluk yang bersarang di dalamnya ke luar sembari menatapku marah.
“Kurang ajar! Siapa yang berani menghancurkan istana kami? Berani sekali!” Sosok besar tanpa busana, kulitnya seperti lumut menatapku penuh amarah.
“Kamu rupanya kepinding kecil! Berani sekali masuk ke sarang kami. Aku Lodra, raja penguasa lembah Rapitan ini. Selama ini, tidak ada yang berani menghadapi aku. Rupanya engkau mengantarkan diri siap mati!” Ujarnya penuh ancaman. Selanjutnya dia tertawa kencang. Suaranya menggelegar membuat bumi sedikit bergoyang. Dalam hati aku mengakui kekuatan makhluk ini. Dan ancamannya bukan omong kosong. Melihat karakternya, dia adalah salah satu makhluk yang kerap mengambil manusia untuk mereka jadikan santapan, atau media ritual mereka. Makhluk ini salah satu pemakan daging dan bangkai manusia.
“Lihatlah, istana kalian saja dengan mudah kuhancurkan. Apalagi makhluk jahat seperti kalian. Kalian memang patut dimusnakan.” Ujarku tak kalah mengacam. Aku kembali menggerakan tanganku, lalu tanah dihadapannya kubakar. Api pun membumbung di hadapannya. Makhluk itu tertawa terbahak-bahak. Sekali hantam apiku yang menyala di hadapannya mati.
“Hebat! Tapi mengapa kamu tak sanggup mematikan api yang membakar istanamu? Itu artinya, kemampuanmu kecil. Belum seberapa!” Aku sengaja memanasinya sembari menjetikan kelingkingku. Lodra menghentakan kembali kakinya ke tanah. Bumi kembali bergetar. Melihat dia mengeluarkan tenaga dalam lewat hentakannya, kulawan pula dengan menghentakkan kaki ke bumi. Tubuhnya terhuyung-huyung sejenak. Melihat tubuhnya terhuyung, kuhimpun tenaga dalamku lalu kutertawakan dirinya. Sepanjang sejarah, baru kali ini aku menghadapi lawan dengan tertawa. Ide itu tiba-tiba saja setelah melihat makhluk ganas di hadapanku ini. Kalau selama ini dia belum pernah mendapat lawan, atau barangkai tidak ada yang berani menentangnya, kali ini dia akan kutantang dan harus kutundukkan. Aku melihat beberapa tengkorak manusia menumpuk di dalam sebuah ruangan dalam pohon besar yang terbakar. Melihat kondisinya, tengkorak-tengkorak itu adalah jenazah yang mereka curi secara gaib dari makam-makam yang ada dekat sini.

Kali ini Lodra menggerakkan kembali tangannya menyuruh siluman ular untuk melawanku kembali. Tak lama siluman ular mengubah dirinya menjadi seorang lelaki bersisik dengan mata merah. Taringnya sampai ke luar dari mulutnya. Di kepalanya semula kukira ikat kepala. Ternyata beberapa ular kecil yang melilit. Aku terpukau melihatnya. Ternyata memang ada makhluk yang bermahkota ular. Baru kali ini aku melihat siluman ular, ikat kepalanya juga ular. Kuperhatikan gelang kaki dan lengannya. Ternyata sama! Ular juga. Aku berdecak kagum. Ular-ular ini ternyata juga sebagai senjata. Dia bisa melesat kapan saja menyerang lawan.

Macan Kumbang dan Putri Bulan mengingatkan aku agar hati-hati. Aku mengiyakan. Nampaknya makhluk ini akan mengerahkan semua kemampuannya untuk melawan aku. Aku mulai waspada. Membaca setiap geraknya. Benar saja, baru saja aku diingatkan tiba-tiba ribuan ular menyerangku. Aku langsung menarik selendangku lalu kukibaskan segera. Ribuan ular itu hangus seketika. Melihat kenyataan itu, siluman ular terperangah dan marah. Matanya berkilat-kilat. Kembali dia kirim ribuan ular dari segala penjuru menyerangku. Dengan cepat kuputar selendangku, ribuan ular itu kutangkap dan kubalut dengan selendangku. Kukerahkan tenagaku hingga ular-ular itu lebur jadi debu. Kemudian debunya kulemparkan ke arah siluman ular secepatnya. Seketika udara menjadi berkabut. Bau hangus menyengat dimana-mana. Berbarengan dengan itu kuhantamkan pukulan badaiku. Aku kembali mendengar jeritan yang menyeramkan dari siluman ular. Ternyata pukulanku belum juga melumpuhkannya meski dia sudah jatuh bangun terjungkal. Siluman ular kembali bangkit dan menyerang.

Pelan-pelan aku mendengar Putri Bulan dan Macan Kumbang bezikir sembari duduk bersedekap. Suara mereka halus sekali. Ada pagar cahaya mengitari tubuh keduanya. Macam Kumbang dan Putri Bulan tengah berusaha menghancurkan dinding gaib yang mengurung enam pendaki. Akhirnya kubantu mereka dengan menambahkan energi pada cahaya mereka berdua sembari menghalangi makhluk-makhluk asral yang hendak menyerang keduanya. Sementara siluman ular meski nafsu membunuhnya masih sangat besar tetapi aku melihatnya dia mulai lemah. Aku tahu dia telah terluka. Mendengar nafas zikir Macan Kumbang dan Putri Bulan tubuhnya makin mengeliat tak berdaya.
“Hiaaaaat!!!!” Aku hentakan tanganku ke bumi. Siluman ular kukunci lalu kusedot energinya. Tubuhnya terhempas seketika lalu kembali berubah menjadi ular besar yang hanya bisa mengeliat tidak berdaya. Lodra yang semula hanya diam menatap pertarungan, seketika bangkit dan menyerangku dengan pukulan dasyatnya bertubi-tubi.
“Jangan sombong anak manusia. Kau boleh bangga telah berhasil melumpuhkan pengawal dan membakar istanaku.” Tatapannya tajam menghujam. Tangannya bergerak mengerahkan pengawal-pengawalnya untuk menyerangku beramai-ramai. Kulihat Lodra juga mengirimkan pukulan jarak jauhnya meski hanya sambil berdiri seakan menjadi penonton. Puluhan mahkluk berwajah dan bertubuh jelek menyerangku. Rata-rata mereka menggeram dengan tatapan dan seperti macan lapar melihat mangsa. Aku kembali memainkan selendangku. Kusambut makhluk-makhluk itu dengan liukan ujung selendang yang siap menghantam dan melilit mereka. Beberapa sosok terkena hantamanku menjerit dan menggeram kesakitan. Aku sengaja agak mengulur waktu menghadapi pengawal Lodra kali ini sembari mengukur kekuatan Lodra. Makhluk satu ini tentu dengan berbagai cara untuk melumpuhkan lawannya. Kulihat Macan Kumbang dan Putri Bulan berhasil menghancurkan pagar gaib yang melingkari enam pendaki. Pelan-pelan mereka berdua mentransfer energi kepada enam pendaki yang terkapar.

Aku kembali fokus menghadapi Lodra dan pengawalnya. Senjata-senjata mereka seperti bintang berkelap-kelip menghiasi sekitar medan pertempuran. Kubaca mantra angin untuk mengusir cahaya-cahaya yang mematikan tersebut. Itu adalah miang bambu yang mereka jadikan senjata seperti benda hidup, bergerak menyerang mangsa. Apabila tersentuh sedikit saja, maka akan senjata miang bambu itu akan langsung menyusup ke jantung dalam sekejap jantung dan tubuh akan membengkak lalu mati. Racun jahat! Konon ilmu ini hanya dimiliki oleh makhluk-makhluk yang berasal dari tanah Besemah. Artinya Lodra adalah salah satu makhluk yang memperdalam ilmu ini dari tanah Besemah. Aku jadi teringat serangan miang bambu ini pernah dipakai Puyang Ulu Bukit Selepah ketika beliau mengujiku setelah mentransfer ilmunya padaku. Sekarang aku melihat Lodra yang menggunakannya. Apakah ada hubungan Puyang Ulu Bukit Selepah dengan Lodra?

Dest!! Dest! Berulang kali senjataku menghantam racun itu. Ternyata miang-miang itu dikendalikan dengan tenaga dalam yang luar biasa. Aku tingkatkan tenagaku. Aku akan coba menggulungnya dengan ilmu badai mengamukku. Apakah dia bisa berpendar-pendar seperti bintang kecil jika berhadapan dengan anginku? Hiiiiiaaaat!!! Aku mulai mengumpulkan tenaga lalu menghentakannya. Dalam waktu sekejab angin bergulung kencang bahkan beberapa pohon besar tumbang hingga akarnya tercabut. Macan Kumbang dan Putri Bulan Nampak ikut kena imbas kekuatan badaiku. Kulindungi mereka berdua agar angin badaiku tidak menyentuh mereka.

Hiiiiaaa!! Kembali aku memainkan angin badaiku. Racun miang bambu serentak seperti kehilangan arah kemana harus menuju. Dengan mudah miang bambu itu kugulung hingga berupa bola-bola kecil lalu secepat kilat kulemparkan pada Lodra.
Hiiiiiattt! Dast!! Dast!! Dast!!
“Uaaagaaghhhttt!!” Lodra menjerit ketika senjatanya kukembalikan padanya. Kulihat dia agak kelabakan menangkal racun miang bambunya. Kubiarkan sejenak dia kerepotan sembari duduk bersedekap. Tenaga dalamnya dikerahkannya maksimal. Ini terlihat dari ekspresinya seperti mengembung menahan sakit atau menolak racun aku tidak tahu. Namun akibatnya sebagian kakinya menancap di tanah ikut terbenam sebatas betis. Lalu pelan-pelan aku melihat tanah retak menggambarkan betapa dasyatnya tenaga yang dia keluarkan. Tiba-tiba langit seperti api mengeluarkan kilatan-kilayan cahaya. Oh rupanya dia tengah mengambil energi petir. Aku tidak mau ketinggalan. Kuserap cahaya matahari. Petirnya akan kuhantam dengan energi matahari. Sebelum dia membaca mantera, energi matahariku telah meluncur lebih dulu. Hantaman keras tak dapat dihindarkan. Tempat Lodra berdiri langsung membentuk lubang besar berwarna hitam seperti kawah. Tanah langsung terbakar. Lodra melambung tinggi menghindar. Melihat tubuhnya melesat, kukejar dia sambil mengirimkan pukulan-pukulan badai.
Apa yang dikatakannya jika belum ada yang mengalahkannya, bukan bualan semata. Kulihat Lodra memang memiliki kekuatan seperti itu. Tenaganya sangat kuat dan ilmunya kuakui tinggi sekali. Jika makhluk biasa, ketika bola-bola racun yang kukombinasi dengan pukulan halilintar dan angin badai tak akan bisa bertahan lama, pasti akan tumbang. Tapi Lodra tidak. Meski sudah terkena pukulan, namun dia masih bertahan, bahkan melakukan serangan-serangan balik sambil menyerang pula dengan tawanya yang menggelegar.

Ketika pukulan Lodra dan pukulanku beradu, tiba-tiba aku tidak melihat tubuh Lodra. Rupanya dia mengambil awan pekat lalu bergulung di antaranya. Melihat itu kugempur awan hitam itu dengan cahaya matahari hingga buyar dan aku dapat kembali melihat sosok Lodra. Selendangku kembali mengibas awan hitam hingga terang benderang. Aku dengan leluasa melakukan serangan balik pada Lodra. Berbagai ajian nampaknya telah gonta-ganti dikeluarkannya. Jika sebelumnya dia tertawa sambil menyerang sekarang berganti dengan raungan. Ketika ada kesempatan, kuhantam Lodra dengan pukulan angin membelah samudera. Tubuhnya terdorong jauh dengan cepat. Aku mengejarnya sambil mengeluarkan pedang pemberian kakek Andun. Kuarahkan pada Lodra lalu kuputar. Seketika angin berdegung sepeti ribuan lebah mengerucut tajam menyambar tubuh Lodra. Kusalurkan energi di dalamnya untuk menyedot kemampuan Lodra. Lodra menjerit histeris lalu tubuh besarnya jatuh ke bumi.

BOOM!!! Beberapa kali tubuh Lodra seperti bola mantul ke atas lalu jatuh lagi. Aku meluncur turun sambil mengirimkan pukulan halilintarku. Kilatan api membakar tubuh Lodra seketika. Raungan Lodra seperti gempa mengisi lereng Rapitan. Langit tiba-tiba gelap. Tiba-tiba petir menyambar-nyambar. Aku berusaha tetap berdiri meski tetap terjatuh juga. Kulihat Putri Bulan dan Macan Kumbang pun melakukan hal yang sama. Keduanya tetap berusaha untuk bisa berdiri tegak meski bumi seperti berguncang hendak kiamat. Ketika bumi kembali bercahaya temaram, tubuh Lodra sudah tidak ada. Beberapa anak buah Lodra yang masih tersisa, berputar-putar dari jauh memandang padaku namun tidak ada yang berani menyerang. Sebagian setengah semaput akibat guncangan sebelum jasad Lodra menghilang. Aku menarik nafas lega dan bertatapan dengan Macan Kumbang dan Putri Bulan. Mereka berdua serentak mengusap wajah serupa orang yang selesai memanjatkan doa.
“Alhamdulilah, akhirnya Raja Jin itu bisa ditumbangkan. Sekarang mari kita urus enam anak ini.” Ujar Macan Kumbang. Akhirnya kami bertiga sepakat meletakkan enam pendaki amatiran ini ke pinggir dusun agar segera ditemukan oleh orang. Mereka kelihatan sudah mulai bertenaga meski belum sepenuhnya. Akal sehat mereka juga sudah pulih. Sebelum mereka menyadari jika mereka masih berada di dalam hutan yang jauh terasing tidak pernah dilalui oleh manusia kami bertiga segera membawa ketiganya ke pinggir dusun.

Hari masih malam. Embun sudah mulai turun. Udara teras lembab. Keenam pendaki sudah mulai menyadari keadaan mereka jika mereka berada di pinggir dusun. Ekspresi mereka sudah mulai cerah. Melihat mereka yakin selamat, akhirnya kami bertiga sepakat pulang. Sebelum pulang kusampaikan pada Puyang Pekik Nyaring jika tugasku sudah selesai.

Aku kembali memeluk punggung Macan Kumbang sementara Putri Bulan berada di sisi kami. Dalam sekejap kami sudah berada di gunung Bungkuk kembali.
“Langsung singgah ke rumahku, yok,” ajak Putri Bulan yang berniat mengenalkan kami pada kedua orangtuanya.
“Maafkan aku, Putri Bulan.Mungkin lain waktu kami akan berkunjung ke mari menemuimu dan berkenalan dengan keluargamu. Aku sedang ada pekerjaan. Usai mengantar Selasih aku akan balik ke tanah Besemah lagi.” Ujar Macan Kumbang. Kulihat aura agak kecewa di wajah Putri Bulan. Aku mulai menduga-duga, ada pernak-pernik yang mulai tumbuh di hati keduanya? Tiba-tiba hidungku disentil Macan Kumbang. Dia tahu isi benakku. Putri Bulan tertawa renyah. Angin berhembus dari lembut meniup gaunnya. Indah nelambai-lambai. Akhirnya kami izin pulang. Sebelumnya aku memeluk erat Putri Bulan. Menghirup aroma tubuhnya yang harum. Macan Kumbang hanya menundukkan kepala sambil menyentuhkan ujung jarinya. Aku berdehem ketika keduanya saling bertatapan. Macan Kumbang dan Putri Bulan tersenyum simpul serentak.
“Aku setuju kalau Macan Kumbang sejodoh dengan Putri Bulan.” Ujarku diperjalanan. Macan Kumbang pura-pura tidak mendengar. Aku tahu dia tengah berpikir. Pertemuan malam ini nampaknya berkesan bagi keduanya. Aku melihat wajah bulan separuh malu-malu menyembul di antara awan. Di bawahnya Samudera Hindia masih berombak tenang. Debur ombaknya yang pelan seirama debar yang mulai menggulung dada Macan Kumbang. Semoga mereka berjodoh! Doaku dalam hati sembari memeluk erat leher Macan Kumbang dari belakang.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *