HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (65C)

Karya RD. Kedum

Kedua nenek gunung berwajah serem kembali berpandangan. Mereka sibuk memegangi pinggang celana. Kami bertiga diam tak berani menatap wajah keduanya.
“Sana cepat naiklah!!” Ujar salah satu mereka mengusir kami. Muning Kriya dan Udai Satra membungkuk memberi hormat. Aku sengaja berjalan di belakang mereka. Kutoleh dua penjaga yang masih berdiri menatap kami. Tangan mereka masih memegang erat ujung pinggang celana. Kuberi mereka kedipan mata dan lambaian. Keduanya terbelalak dengan mulut menganga. Setelah agak jauh Udai Satra dan Muning Kriya baru melepaskan tawa sampai terduduk di tanah. Aku juga ikut-ikutan terpingkal-pingkal tidak bisa menahan lucu.
“Nyaris aku tak sanggup menahan tawa ketika celana mereka melorot. Terus mereka nungging menarik celana, celananya sangkut di kaki, haduuuh adegan porno itu benar-benar lucu. Satu sisi kasihan, sisi lain membuat hendak tertawa.” Kata Muning Kriya nyaris tidak selesai bercerita karena tawanya yang meledak-ledak.
“Selasih membuang muka gegara rudalnya siap menembak ke arahnya!” Sambung Udai Satra. Tawa kami bertiga kembali berderai.
“Tunggu dulu, mengapa celana mereka bisa melorot. Itu yang membuatku tak habis pikir. Berbarengan lagi. Kenapa bukan salah satu dari mereka, kalau salah satu, kan bisa bantu memegangkan. Tapi ini dua-duanya melorot, kompak sekali . Siapa yang harus ditolong siapa yang mau menolong? Akibatnya dua-duannya serempak nungging, sama-sama pula memegang ujung celana,” lanjut Muning Kriya lagi. Kami kembali tertawa sepuasnya. Ketika kuceritaka jika akulah yang memelorotka celana keduanya Kuning Kriya dan Udai Satra membelalak. Mereka tidak menyangka jika aku seiseng itu. Bahkan Muning Kriya sampai menggeleng-geleng tidak percaya.
“Sebenarnya aku ingin menyuruh angin melepaskan celana mereka lalu melayangkan celananya jauh-jauh. Tapi tidak jadi, aku khawatir isengku ketahuan. Habis aku jijik sekali melihat mata cabul mereka.” Ujarku di sela tawa yang masih tersisa.

Akhirnya, aku menarik nafas dalam-dalam. Kami mulai meredakan tawa sejenak. Kami mulai serius kembali menaiki bukit. Di jalan kami bertemu dengan nenek-nenek tengah mencari kayu. Aku menyapa sambil membantunya membawa kayu bakar. Mengantarkan sampai ke pondoknya.
“Mau kemana anak gadis? Nampaknya kau bukan salah satu suku di jajaran bukit ini. Tak elok kampung ini untuk anak perawan sepertimu. Meski kamu bukan makhluk bangsa kami sepenuhnya, tapi tidak menjamin daerah ini akan aman untukmu.” Ujarnya memegang tanganku. Aku menyambutnya dengan senyum. Aku sampaikan jika aku dari suku Besemah Gunung Dempo. Aku sangat maklum dengan kekhawatirannya. Ketika kusampaikan bahwa aku hendak bertemu dengan Darang Kuning si Nenek bukan main kagetnya.
“Jangan nak Gadis, untuk apa bertemu dengan makhluk satu itu. Wajah dan tampangnya saja dia itu bangsa manusia harimau, tapi wataknya seperti iblis! Di atas bukit itu, sarang maksiat. Haram kaki kita menginjaknya. Batalkan saja niatmu, nak Gadis” Ujar Si nenek memengelus-ngelus tanganku. Aku sangat memaklumi kekhawatiran si Nenek. Semakin yakinlah aku siapa Darang Kuning, Ternyata dia adalah makhluk bajingan yang semena-mena. Karena anak Temenggung dan berilmu tinggi, tidak ada yang berani menegurnya. Bahkan hukum adat pun dilangkahinya. Tak sedikit bangsanya yang tidak setuju mati mendadak, dibunuhnya. Tiap kali dia berkehendak, maka harus dapat saat itu. Bahkan ayahnya sendiri tunduk padanya.
“Kalau begitu biarlah aku yang memberi pelajaran padanya, Nek.” Ujarku singkat.
“Jangan, nak Gadis. Dia anak kesayangan Temenggung. Pewaris suku satu-satunya.” Lanjut Nenek lagi. Bahkan Munir Kuning dan Ubai Satra disuruhnya membujukku untuk membatalkan naik bukit.
“Berulang kali bukit ini hendak melongsorkan diri. Dia sudah sangat gerah melihat kelakuan bangsa manusia harimau di sini. Bahkan iblis, setan, hantu belau pun ikut berpesta pora di sana,” sambung si Nenek meyakinkan aku. Tapi justru mendengar cerita si nenek, aku semakin penasaran hendak tahu dan mengukur sedalam apa ilmu yang dimilikinya? Akhirnya aku mohon pamit dengan si Nenek dan minta doanya. Si nenek hanya dapat menatapku tanpa suara. Kami bertiga meninggalkan si nenek sendiri di ladangnya.

Tak lama sampailah kami di tempat terbuka. Namun tempat ini dipagar gaib berlapis-lapis. Aku melihat banyak sekali makhluk asral bertampang jelek, besar kecil menjaga keliling pagar. Kami bertiga mencari pintu masuk. Tak lama aku bersama Muning Kriya dan Udai Satra sudah berada lurus di depan pintu gelanggang. Dari jarak yang agak jauh aku melihat banyak sekali kerumunan orang yang sedang bergembira. Suara lelaki semua. Terdengar juga suara gemerincing seperti koin yang di lempar. Lalu serupa suara lebah bergumam seakan ada sesuatu yang membuat mereka terpukau.
“Apakah masih dirimu masih hendak masuk, Putri Selasih? Kau lihat, di dalam kerumunan lelaki kasar semua. Dan penjaga-penjaga di sini semuanya makhluk-makhluk sebangsa jin yang tunduk pada Darang Kuning. Benar kata sang Nenek, tempat ini benar-benar tempat yang panas.” Ujar Muning Kriya. Aku tetap menyatakan tetap akan menemui Darang Kuning. Selanjutnya mereka berdua tidak kuizinkan ikut masuk. Mereka kusuruh menunggu di luar saja. Bila perlu kembalilah di tempat Nenek. Selamatkan Nenek, jika Darang Kuning macam-macam, maka tempat ini akan kubarak-abrik. Kuning Kriya dan Udai Satra bertatapan. Mereka ragu antara percaya dengan tidak.
“Paman, kalian berdua sudah sangat Baik sekali menemani aku hingga ke sini. Aku tidak ingin Paman terlibat jauh dengan urusanku satu ini. Ingat Paman punya keluarga, punya saudara, punya kampung yang berdekatan dengan suku ini. Jangan sampai gara-gara aku, terjadi perang suku nantinya, Paman. Bisa jadi karena Paman sebagai penunjuk jalan, Darang Kuning dan pengikutnya balas dendam. Muning Kriya dan Udai Satra terdiam sejenak. Tak lama keduanya memandangku. Aku tersenyum Berharap mereka setuju dengan saranku.
“Kalau boleh tahu, mengapa kau begitu nekad menemui Darang Kuning, Putri Selasih?” Sambung Udai Satra. Akhirnya kuceritakan selintas tentang orang tua Darang Kuning hendak melamar gadis, salah satu kepercayaan kerajaan Gunung Bungkuk. Dan aku berniat membatalkan lamaran itu. Karena gadis itu tidak mau dijodohkan. Sungguh, orang tua sahabatku itu tidak tahu sama sekali siapa Darang Kuning. Keduanya menggangguk paham.

“Tapi, Selasi. Apakah pantas kami membiarkanmu sendiri di sini? Menghadapi serigala lapar sendiri. Kamu perempuan Putri Selasih.” Suara Udai Satra cemas. Secepatnya kupotong, kukatakan jika aku bisa menjaga diri. Setelah berulang kali kuyakinkan, akhirnya dengan berat hati Udai Satra dan Muning Kriya turun kembali. Setelah mereka lenyap dari pandanganku, aku berbalik menghadap pintu gerbang. Aku berjalan menghampiri dua penjaganya.
“Assalamualaikum Paman, aku Putri Selasih, hendak bertemu dengan Darang Kuning, tolong sampaikan pada beliau” Ujarku. Kedua penjaga menatapku heran. Mata mereka menyapuku dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Siapa kau perempuan. Bangsa peri, jin , siluman, manusia harimau, atau bangsa manusia. Mengapa kamu naik ke bukit ini? Darang Kuning tidak bisa diganggu. Berani sekali anak gadis datang kemari? Darimana dirimu?” Ujar salah satu mereka dengan nada tidak percaya. Matanya melihat-lihat ke sana kemari seakan hendak memastikan aku datang dengan siapa.
“Siapa yang Paman cari, aku ke mari sendiri. Izinkan aku masuk, atau panggil Darang Kuning kemari.” Ulangku. Kedua penjaga itu kembali Mengatakan Darang Kuning tidak boleh diganggu.
“Sebaiknya kamu tunggu saja sampai beliau berhenti bermain. Kalau tidak lebih baik kamu pulang saja!” Ujar penjaga lagi. Aku kembali mendesak keduanya. Tapi lagi-lagi mereka melarang, bahkan sampai mengusirku.
“Baik kalau tidak boleh, aku sendiri yang akan memanggilnya.” Ujarku. Selanjutnya aku memanggil Darang Kuning dengan mengerahkan tenaga dalamku.
“Darang Kuning, berhentilah sejenak aku ingin bertemu!” Teriakku. Sengaja teriakanku kubesar-besarkan agar semua yang ada di gelanggang ini mendengar panggilanku. Lalu sekali lagi kuulangi memanggilnya. Tak lama aku mendengar suara dengusan. Rupanya beberapa makhluk siluman pengawal Darang Kuning ke luar sengaja menemuiku.
“Hei! Kepinding kasur, berani sekali kau teriak-teriak memanggil junjungan kami. Siapa kau. Hmmm.. perempuan muda dan cantik. Sengaja mengantarkan diri untuk Darang Kuning. Darang Kuning pasti sangat bahagia menerima kehadiranmu. Siapa namamu. Biar aku sampaikan pada atasan kami,” ujar di antara mereka dengan liur meleleh.
“Sampaikan pada atasanmu, aku Putri Selasih ingin bertemu!” Ujarku lantang. Aku kembali berteriak memanggil Darang Kuning.
“Hei! Jangan teriak-teriak. Junjungan kami sedang main. Kau bisa mati dibunuhnya kalau menganggu beliau!” Sambung penjaga lagi. Aku hanya tersenyum sinis menatap mereka seperti mendewakan Darang Kuning. Sebenarnya aku bisa saja menerobos penjagaan yang tak seberapa kuat ini. Tapi aku sengaja ingin Darang Kuning berhenti bermain lalu mememuiku.
“Siapa yang berani memberhentikan permainan dengan menyebut-nyebut namaku. Lancang sekali!” Suara berat bertenaga membalas teriakanku. Aku sudah mempersiapkan diri dengan berbagai kemungkinan.

Aku mendengar langkah halus sekali menuju gerbang gelanggang. Kuakui yang punya langkah pasti memiliki ilmu meringankan tubuh sangat tinggi. Tak lama aku melihat sosok lelaki kumal nyaris seluruh tubuhnya bercat seperti ukiran. Kuamati sekali lagi. Oh! Rupanya bertato. Sekali lagi aku membatin, rupanya bangsa nenek gunung ada juga yang bertato? Sekali lagi baru kali ini kutemui di alam gaib. Seperti bangsa manusia saja.
“Kamu yang teriak-teriak memanggil namaku? Hmmm…” Matanya mengamati aku tajam. Kuberikan dia senyuman terlebih dahulu.
“Benar Dang Darang Kuning, mohon maafkan kelancanganku. Sebab kalau tidak dengan cara itu, aku yakin tidak akan bisa melihat langsung seorang Darang Kuning yang terkenal hebat di negeri ini. Sekali lagi mohon maaf, Dang. Aku tahu, tidak mudah untuk berjumpa Dang Darang. Ibarat emas, Dang Datang itu harus di cari di perut bumi yang paling dalam. Sangat sulit sekali. Butuh perjuangan yang luar biasa. Semua itu karena besarnya nama Dang Darang Kuning.” Ujarku rasa mau muntah. Bagaimana tidak, aku berbicara tidak sesuai dengan hati. Aku merasa jijik sendiri. Iih!

Mendengar punjianku yang selangit Darang Kuning senyum-senyum simpul. Aku tidak tahu apakah senang betulan atau pura-pura. Aku mencoba membaca hatinya. Oh! Rupanya dia memang senang dipuji. Akhirnya aku mengubah strategi. Aku akan puji-puji makhluk satu ini
“Kau benar, tidak ada yang tidak kenal Darang Kuning di sepanjang bukit ini. Siapa yang tidak bergetar dadanya ketika mendengar nama Darang Kuning, putra semata wayang Temenggung yang memiliki kekuasaan dan paling berpengaruh di sepanjang bukit ini. Tidak ada yang mampu menandingi ilmuku, tak mempan semua senjata, lidahku bisa berubah menjadi ular, dan yang penting adalah pandai menakhlukan hati wanita” Darang Kuning terbahak memperlihatkan giginya yang kuning diikuti oleh pengikutnya yang mengacungkan jempol sambil memujinya. Aku hanya mengangguk-angguk sambil melempar senyum semanis-manisnya. Aku ikut bertepuk tangan namun di dalam hati tak tahan ingin menghantamnya.
“Aah, siapa namamu anak manis, melihat pakaianmu, nampaknya kamu bukan dari jajaran bukit sekitar ini. Ada apa gerangan? Angin apa yang mengantarmu ke mari? Apakah engkau ingin kukawini?” Darang Kuning tertawa kembali sambil mengercingkan mata seakan menyelidiki maksud kedatanganku, atau sengaja gayanya seperti itu sembari memperhatikan aku dalam-dalam?
“Aku Putri Selasih. Aku berasal dari Tanah Besemah Gunung Dempu. Sengaja datang ke mari hendak bertemu dengan Dang Darang Kuning yang terkenal, hendak bertanya dan menyampaikan sesuatu pada Dang Darang, empat mata saja, Dang.” Ujarku tetap menyelipkan pujian untuknya dengamn gaya sok akrab memanggil ‘Dang’. Mendengar kata empat mata saja, beliau kembali tertawa.
“Pucuk dicintai ulam tiba, berdua saja? Baiklah Putri Selasih akan kuluangkan waktuku demi kamu manis.” Ujarnya mulai genit.
“Apa kataku, perempuan yang mencariku. Tak perlu aku payah-payah mencarinya. Kuakui nyalihmu perempuan. Tak mudah makhluk mana pun naik ke mari.” Darang Kuning tetap berbicara dengan gaya sombong. Akhirnya beliau mengajakku masuk ke area gelanggang. Aku mengusir rasa canggungku. Dadaku berdegup kencang karena sekilas semua yang ada di sini lelaki. Melihat aku masuk mata mereka tertuju padaku.
Mungkin karena aku berjalan dengan Darang Kuning saja membuat mereka tidak berani jahil.
Aku pura-pura tidak melihat mereka yang terbengong. Sementara Darang Kuning berjalan seperti robot menampakkan keangkuhannya. Aku menahan sakit perut karena muak dan ingin muntah melihat gayanya.

Di dalam area gelanggang kulihat ada tiga lapis pagar pengurung. Aku juga merasakan kekuatan-kekuatan gaib yang dimiliki oleh setiap makhluk yang ada di sini. Semuanya berilmu tinggi. Bau anyir dan busuk sangat menyengat ke luar dari tubuh-tubuh makhluk asral ini. Aku menatap pagar gaib yang melengkung. Entah apa maksudnya sampai pagar gaibnya berlapis seperti ini. Sambil berjalan aku menakar kekuatan pagar gaibnya. Di sudut, aku melihat semacam penjara, tapi isinya semua perempuan. Perempuan-perempuan itu dipoles bedak tebal layaknya make up. Ada dua banci yang menata mereka. Meski sudah di make up tebal namun tak sedikit aku melihat mata mereka tanpa ruh. Siapa mereka? Mereka adalah sukma para manusia yang mereka culik. Perempuan-perempuan itu semunya nyaris telanjang. Duduk bersandar tiang-tiang jeruji. Ketika bertatapan denganku, batinku mengatakan mereka minta tolong. Akhirnya diam-diam aku mencari tahu siapa mereka. Dari dialog batin yang kuterima dengan salah satu mereka, puluhan perempuan ini adalah perempuan-perempuan yang dijadikan pemuas nafsu para penjudi. Mereka adalah barang taruhan. Jika para bajingan ini menang, maka salah satu bonusnya mereka bisa memilih perempuan-perempuan yang ada di sini. Lalu kuketahui juga mereka adalah perempuan-perempuan yang diculik, dari bangsa manusia dan jin. Melihat ini, Aku makin gatal ingin menghancurkan tempat ini.

Di dalam masih berlangsung perjudian. Tawa para penjudi kadang meledak kadang hening.
“Ayooo semangat! Semangat Datok!” Aku menoleh ketika mendengar suara perempuan. Setelah kuawasi ternyata lelaki! Lagi-lagi banci!! Ada beberapa lelaki bergaya perempuan di area judi.
“Hei Lusi, Arma, lihat sini. Ini ni perempuan betulan. Kalau kalian perempuan jadi-jadian. Cantik mana?” Darang Kuning menyebut dua lelaki seperti perempuan yang bernama Lusi dan Arma. Keduanya menoleh sambil tetap tertawa. Aku melihat tawa keduanya seperti seringai harimau lapar. Keduanya siluman harimau memang. Tapi setelah beradu tatap denganku mereka membuang muka.
“Yeiiii Darang Kuning punya gandengan baru ya, tega betul. Semudah itukah kau meninggalkanku, Kanada,” ujar salah satu lelaki yang berdandan seperti wanita lagi. Matanya kedap-kedip genit. Bedak tebalnya mirip pocong berbalut kain kafan. Lelaki berotot tapi melambai.

Kami masih berjalan menyisir jalan yang dibuat sedemikian rupa. Ada tempat yang luas di kelilingi pagar kayu melingkar. Di dalamnya ada batu ceper seperti meja. Aku melihat kurang lebih ada lima kerumunan. Seperti ini rupanya tempat berjudi itu. Mereka taruhan uang dengan melemparkan koin. Makanya dari tadi kudengar gemerincing. Puluhan orang asyik berdiri melingkari beberapa batu ceper mirip meja itu.

Diam-diam aku menakar kemampuan Darang Kuning. Dari cara berjalan kuakui beliau memiliki ilmu yang tinggi. Para pengawalnya disuruhnya pergi.
“Apa maksud kedatanganmu? Apakah engkau hendak aku lamar? Kalau kau berkenan jadi istriku, maka kau yang akan paling aku sayang.” Ujarnya dengan ekspresi dibuatnya semanis mungkin.
“Bukan, Dang. Aku datang ke mari justru ingin bertanya apakah benar orang tua Dang Darang Kuning hendak menjodohkan Dang dengan Putri Bulan?” Ujarku pelan.
“Benar! Dia adalah calon istriku yang kesekian. Aku tidak bisa menghitung berapa jumlah biniku. Putri Bulan Anak Riu Sapura kan? Iya, aku minta Bakku segera melamarnya.” Ujarnya Darang Kuning bangga. Ekspresinya sangat yakin seperti akan meraih Putri Bulan sekarang juga.
“Aku sahabat Putri Bulan, datang ke mari minta Dang batalkan! Karena Putri Bulan belum mau menikah.” Ujarku sudah tidak sabar menyampaikan maksud kedatanganku. Dari tadi aku pura-pura bersikap manis. Perbuatan pura-pura yang paling kubenci.

Mendengar aku berkata batalkan, wajah Darang Kuning berubah seketika. Dia berhenti berjalan.
“Apa maksudmu melarangku?” Nadanya tidak senang.
“Tidak ada yang berani menentang keinginanku! Kecuali mencari masalah padaku!” Ujarnya lagi. Aku melihat perangai aslinya. Kasar dan bengis. Berubah sembilan puluh derajad dari sebelumnya.
“Karena Dang sudah tua dan punya puluhan istri, berhenti memaksakan kehendak. Aku hanya minta Dang batalkan melamar Putri Bulan. Carilah perempuan lain. Bukan Putri Bulan!” Ujarku kencang.
“Hei! Siapa kamu mengarut-ngatur aku. Kamu belum tahu siapa Darang Kuning rupanya. Tidak ada yang berani menentang keinginan Darang Kuning” Matanya merah menatapku.
“Akulah yang akan menghalangimu melamarnya. Karena aku tidak ingin sahabatku dipaksa menikah apalagi dengan Darang Kuning lelaki kanji, banyak bini, tukang berjudi.” Ujarku terus memancingnya. Benar saja, Darang Kuning langsung menggeram. Tatapannya padaku mulai liar. Dia hentamkan kakinya, tiba-tiba bumi bergetar. Aku meringankan tubuh agar tak terjatuh.

“Rupanya engkau mencari mati. Tidak ada satu pun yang berani menghalangi keinginanku. Sekali terucap maka jadilah. Termasuk engkau akan kukawini dirimu anak kecil, lalu kubiarkan engkau menjadi pemuas nafsu kawan-kawanku seperti perempuan-perempuan dalam kurungan itu.” Darang Kuning kembali tertawa lepas.
“Kau boleh koar-koar di sarangmu lelaki bermental banci!! Aku akan sampaikan pada orang tua Putri Bulan siapa dirimu. Kau lelaki bejat, buruk rupa, tukang kawin!” Ujarku sengaja menyulut emosinya.

Aku mulai mengencangkan zikirku dalam hati. Kuajak daun tanah batu, kayu, dan semua makhluk ciptaan Allah di sekitar sini untuk berzikir.
“Apa yang kau lakukan hei anak manusia!” Darang Kuning menutup telinganya. Semua makhluk yang tengah asyik bejudi ikut menjerit menutup telinga bahkan ada yang berguling-guling. Mendengar batu, tanah, pohon, kayu yang berzikir, bukit di sekitar gelanggang ini pun ikut menyuarakan tasbih. Dalam sekejab area bukit seperti dihuni jutaan lebah, zikir yang dilantunkan menggema hingga ke lembah-lembah.
“Terimakasih bukit, dan alam semesta” Aku membatin. Ternyata bukit dan seisinya ikut merespon dengan semangat.
“Hentikan! Hentikan kataku perempuan sundal, kurang ajar! Kau mencari mati melawan Darang Kuning.” Darang Kuning seperti kebakaran jenggot. Aku tidak peduli dengan himbauannya. Semakin kencang gema zikir semakin membuat semua makhluk di area ini meliak-liuk seperti cacing kepanasan. Suara mengerang, minta ampun dan menjerit panas seperti berlomba dengan zikir yang terus menggema. Aku tidak tahu suara-suara zikir makin lama makin ramai. Hampir dari seluruh penjuru serupa air terus mengalir, mengumpul di area bukit maksiat ini.
“Bagaimana Darang Kuning? Apakah engkau masih memaksakan kehendak untuk menyunting Putri Bulan?” Tanyaku di tengah jerit kawan-kawannya yang berusaha melawan suara zikir.
“Darang Kuning, perempuan ini membawa petaka untuk kita. Dialah yang membawa suara-suara aneh yang membuat kawan-kawan kita seperti terbakar.” Ujar salah satu makhluk yang bertubuh besar tinggi mirip anak raksasa. Mendengar itu aku tertawa sembari mengerahkan tenanga dalam. Kuserang mereka lewat tawaku yang menggelegar.
“Pantas kau berani masuk ke sarang harimau ini perempuan sialan. Rupanya kau ingin pamer ilmu. Kau jangan menyesal jika kau jadi pemuas nafsu kawan-kawanku itu. Sekali masuk ke mari, kau tidak akan bisa ke luar. Lihatlah, area ini telah kami pagar. Jangankan makhluk sepertimu, bayi semut saja tidak akan bisa ke luar. Rasakan olehmu sundel!” Ujar Darang Kuning sembari menghantamkan kaki memyerangku.

Aku segera melesat mundur. Jarak kami sekitar dua puluh meter. Serangan Darang Kuning benar-benar terasa dasyat. Baru hantaman kakinya saja tubuhku rasa terdorong. Kuakui Darang Kuning berilmu tinggi. Apa yang disampaikannya dan cerita orang bukan hisapan jempol. Aku mulai waspada. Kuhimpun segala kemampuan menjadi satu. Menghadapi makhluk-makhluk jahat ini perlu kecermatan, tenang dan tidak boleh emosi. Aku mulai membaca mantra-mantra. Kupanggil angin dari timur dan halilintar.
Hiiiiaaaat!!! Saat Darang Kuning agak lengah, kuhantam beberapa meja batu tempat gelanggang judi para ‘jabalan’ . Dalam sekejap batu-batu ceper itu hancur berkeping-keping. Sebagian lagi pecahannya menyerang para makhluk yang masih bertahan memegang telinga. Ada yang langsung tewas, ada yang terluka, ada juga yang sempoyongan menerima seranganku.

Mata Darang Kuning menyala seperti api demi melihat aku menghantam gelanggang mereka. Tanpa bertanya lagi, dia lakukan seragan menghantamku bertubi-tubi. Beberapa kali hantaman dasyatnya nyaris mengenai tubuhku. Melihat kawan-kawannya turut membantu menyerangku kulemparkan sabukku lalu kuubah menjadi seorang perempuan cantik. Semua makhluk terbelalak. Mereka terpukau melihat perempuan cantik gemulai melakukan perlawanan pada mereka. Sabukku yang menjelma menjadi seorang perempuan cantik itu dengan lincah meliuk-liuk melakukan perlawanan pada makhluk-makhluk yang semula hendak menyerang aku. Pertarungan terpecah menjadi dua. Ketika aku mengubah diriku menjadi empat sosok, Darang Kuning tertawa semakin jadi.
“Permainan seperti ini hendak dipamerkan padaku?”, Ujarnya. Lalu aku melihat puluhan banyangan pecah dari tubuhnya. Aku kaget melihatnya. Luar biasa! Sementara aku hanya mampu maksimal enam sosok!
“Enam sosokmu sama dengan enam ratus pasukan hebat, Selasih. Ribuan bayangan yang dimiliki Darang Kuning hanya tipu daya serupa sihir.” Suara Kakek Njajau terasa sangat dekat. Mendengar suara kekek Njajau aku semakin semangat. Kusapukan cahaya biru dari telapak tanganku, seketika ribuan bayangan Darang Kuning tersedot semua. Lagi-lagi Darang Kuning terbelalak. Nampaknya dia baru sadar jika dia terlalu meremehkan aku dari awal.

Empat sosok bayanganku tengah melakukan perlawanan pada makhluk-makhluk asral anak buah Darang Kuning. Entah darimana asalnya mereka menderu seperti angin. Sementara sabukku yang menjelma menjadi putri cantik dengan lincah menyapu-nyapukan ujung bajunya menghantam lawan yang rata-rata tangguh. Dalam sekejap bukit ini bukan lagi menjadi gelanggang judi. Tapi menjadi gelanggang pertempuran. Suara menjerit, menggeram, kesakitan, dan kematian menjadi satu. Berkali-kali aku mendengar bayanganku mengehetamkan kaki sembari bertakbir “Allahu Akbar”. Beberapa tubuh tumbang dan sebagian kulihat ada yang lebur, hangus terbakar.

Demi melihat tempatnya porak poranda, Darang Kuning semakin naik pitam. Apalagi ketika ribuan bayangannya dengan mudah kusapu dengan cahaya biru mustika di telapak tanganku. Kali ini aku melihat ada tiga sosok ke luar dari tubuhnya lengkap dengan senjata andalan mereka. Rata-rata tiga sosok itu berwajah seram mengerikan. Di antaranya ada yang memiliki tiga mata. Belum lagi makhluk-makhluk yang bertubuh hewan, namun berkepala manusia dengan macam-macam raut.

Samar-samar aku mendengar suara perempuan seakan memimpin zikir agar terus berkumandang. Aku tidak sempat berpikir untuk memastikan suara siapa itu. Yang jelas suara zikir itu telah banyak membantuku. Ada energi yang terasa terus mengalir padaku lalu kutransfer pada empat sosok bayanganku. Tiga makhluk yang ke luar dari tubuh Darang Kuning, serentak menyerangku. Pukulan-pukulan mematikan mereka nyaris mengenaiku. Mereka bebar-benar tidak memberikan sela padaku. Untuk menarik nafas saja seperti tidak ada kesempatan.

Hiiiiiiaaaat!!
Aku mengembangkan selendangku lebar-lebar. Ujungnya kuhantamkan pada ketiga makhluk jelmaan Darang Kuning. Benturan dasyat terjadi. Senjata mereka berusaha menebas selendangku yang yang berkelit menyerang ke sana-kemari. Melihat ke tiga sosok pecahan tubuhnya seperti kehilangkan kekuatan karena beberapa kali serangannya meleset, Darang Kuning mengeluarkan ajian pamungkasnya. Lidahnya berubah mejadi ular, menjalar-jalar hendak mematukku. Semburan racunnya beberapa kali meluncur seperti semprotan air dengan kecepatan tinggi. Aku tetap bertahan menghindar, belum tahu harus melakukan apa untuk melawan lidahnya yang berubah mejadi ular.
Kini aku menghadapi empat sosok. Darang Kuning dan tiga pecahannya serentak memasang kuda-kuda. Nampaknya mereka akan melakukan serangan berbarengan. Aku segera membaca mantra siap dengan bola api dan badaiku. Tiba-tiba, belum selesai aku membaca mantra, Darang Kuning dan makhluk aneh jelmaannya serentak menyerangku dengan angin yang mengandung jarum panjang seperti sapu lidi. Aku terkesiap dibuatnya. Baru kali ini aku melihat senjata seperti ini. Secepat kilat kusapukan selendangku. Jarum-jarum panjang itu berserakan seperti pijar api.
Cressss! Salah satu jarum meluncur cepat persis mengenai betisku. Aku terasa lumpuh. Secepat kilat kutotok bagian yang tertancap jarum. Jarumnya kucabut laku kulemparkan ke arah lawan. Dan blep!! Lemparanku mengenai mata salah satu jelmaan Darang Kuning. Dia menjerit sembari melompat ke sana ke mari menahan sakit.

Meski betisku telah kutotok, namun rasa sakit dan berdenyut masih terasa. Akhirnya rasa sakit itu hilang juga kala aku kembali fokus pada serangan Darang Kuning dan jelmaannya yang bertubi-tubi. Aku melanjutkan membaca mantra badai dan bola apiku. Tanganku berputar di atas kepala. Bola api berputar seperti gasing. Semakin cepat aku bergerak, maka semakin cepat pula dia berputar. Angin badaiku sudah mendengung siap untuk kuhantamkan. Aku tidak saja melihat ular menjalar dari lidah Darang Kuning, namun tiba-tiba Darang Kuning bersayap. Dua jelmaannya mengahantamkan senjata mereka bertubi-tubi. Darang Kuning menyerangku dari atas. Melihat serangan dari arah yang berlainan, akhirnya kubuyarkan angin badaiku. Seketika Darang Kuning dan dua jelamaannya digulung angin badaiku. Sementara yang satu orang masih memegang bola matanya. Kuseret tubuhnya. Kali ini angin badaiku kukendalikan dengan ujung jari. Kubuat pusarannya berporos makin lancip hingga pusaran angin berubah menjadi cahaya putih. Darang Kuning dan tiga jelmaannya ada di dalamnya. Pelan-pelan, kusalurkan energi bola api. Pusaran angin semula berwarna putih, makin lama seperti tembaga. Tiga makhluk jelmaan Darang Kuning semakin lama semakin kecil suaranya, ketiganya lebur. Angin badaiku mengeluarkan bau gosong. Tiba-tiba prak!..prak! Kepakan sayap Darang Kuning seperti kipas menghantam bola panas dan anginku. Terjadilah ledakan berkali-kali hingga mengeluarkan kilatan api. Langit yang gelap seketika menjadi terang. Bola apiku melesat ke sana ke mari mengejar tubuh Darang Kuning. Garang kuning masih bergerak dengan sayap dan lidah ularnya. Racun yang disemburkannya berwarna biru pekat kutangkap dengan selendangku lalu kusalurkan racun ular pemberian kakek Njajau dan Putri Ular. Kutambahkan energi untuk mendorong bisa ular melawan racun Darang Kuning. Dua bisa ular bergumul jadi satu seperti saling makan. Aku mendengar suara “Ceeeeessssttt” persis seperti air bertemu api. Rupanya usahaku tidak sia-sia. Energi yang kusalurkan mampu melumpuhkan racun Darang Kuning. Bersamaan dengan itu, hantaman ujung selendangku mematahkan satu sayap Darang Kuning. Tubuhnya seketika meluncur ke bumi menimbulkan suara berdebum dan bergetar. Tak lama Datang Kuning kembali bangkit. Sayapnya lenyap seketika. Tak lama ia melingkarkan tangannya ke atas, lalu seperti membuat tanda bintang ke langit. Tak lama langit yang suram seperti nyala api berwarna jingga. Nyala itu seperti menyorot tubuh Darang Kuning. Tiba-tiba Darang Kuning berubah mejadi ular naga. Ular naganya tak saja berkaki, namun juga mempunyai sayap. Kakinya yang pendek, ternyata memiliki tumpuan yang kuat.

Grrrrhhhtt! Suara berat sang Naga mendengus buas. Taringnyseperti gerigi gergaji. Tajam dan runcing. Melihat gerakannya yang lincah, yakinlah aku jika Darang Kuning memang hebat. Beberapa kali serangannya diarahkannya padaku. Ular naga jelamaan Darang Kuning tak hanya mampu menyerang sambil terbang, namun juga mampu menghisap apa saja yang ada didekatnya. Melihat keganasannya, aku semakin cepat mengibaskan selendang sehingga selendangku berubah menjadi perisai. Hantaman demi hantaman memekakkan telinga. Ditambah jeritan lawan putri cantik jelmaan sabukku dan pasukan lawan bertarung dengan bayanganku. Suara zikir sungguh sangat membantu. Tanpa bertarung sebagian besar makhluk asral menjadi lumpuh, terbakar, dan mati.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *