HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT II (37B)

Karya RD.Kedum

“Hiaaaat! Hap!Hap! Hap!” Suaraku gegap gempita mengisi belantara malam ini. Senjata rahasia mbah Suko mampu kutangkap dengan menjepitnya di antara jempol kaki kiri, kaki kanan, dan kedua pahaku. Lalu aku berputar secepatnya mengembalikan senjata itu ke mbah Suko. Crasss!! Salah satu benda itu menembus dada kirinya. Mata mbah Suko terbelalak seketika. Untuk kedua kalinya mbah Suko ditertawakan oleh kawan-kawannya.

Heran! Tak ada darah. Mbah Suko mundur beberapa langkah lalu dadanya diusapnya. Beliau mencoba mengobati dirinya sendiri. Aku memanfaatkan situasi untuk menotoknya sesuai niatku melumpuhkannya. Dan Brukk!!!! Tubuhku terhempas di semak-semak. Lagi-lagi aku di serang dari belakang. Rupanya salah satu leluhur dukun ini membantu mbah Suko dengan cara melawan totokanku. Tenaganya kuat sekali. Aku terlempar lalu terhempas.

Aku bangkit secepatnya. Kutatap gerakan para sesepuh. Hmm…mereka diam-diam membantu mbah Suko yang sudah terluka sejak awal. Aku kembali memasang kuda-kuda. Sekarang aku tidak fokus pada mbah Suko lagi. Tapi manusia yang dihadapanku ini semua harus diwaspadai. “Sini, biar aku saja mengajak bermain anak kecil ini. Kamu ini licin kayak belut, Nduk. Gurumu siapa?” Lelaki yang kelihatan berwibawah, berpakaian serba putih di selempang seperti biksu. Rambut dan jenggotnya serba putih. Hanya matanya saja terlihat hitam dan kecil. “Tidak perlu tahu aku murid siapa kakek. Siapapun kakek, tidak usah ikut-ikutan mengacak-acak tanah Sumatera ini. Apalagi membantu menakhlukan raja rimba-raja rimba hutan kami. Pulanglah! Kembalilah petapa di laut, di situ tempat kakek yang paling tepat. Bukan di perbukitan seperti ini” Ujarku.

Aku tahu, kakek di hadapanku ini adalah seorang petapa dari laut sisi timur Jawa. Meski pakaiannya mirip seorang Desi, tapi beliau sering membantu bangsa manusia untuk medapatkan berbagai macam hal yang berkaitan dengan kemampuan dan kekayaan. Entah apa yang diperoleh orang tua ini. Sementara dirinya sibuk betapa memperdalam ilmunya. Apakah hanya ingin dikatakan sakti dan terkenal di kalangan gaib dan sesama paranormal. Entahlah!

Mendengar perkataanku, sang kakek tertawa sampai tubuhnya bergoyang-goyang. “Ulat nangka, kecil-kecil kamu tahu aktifitasku ya. Seumur hidup baru kali ini aku menemukan ulat nangka kecil ulet dan licin. Apalagi kalau kamu jadi muridku, jangankan angin, Nduk, laut pun bisa kamu bendung.” Ujarnya. Aku agak tersinggung juga disebutnya ulat nangka. Sialan! Aku langsung memanggil badai dari Samudera Hindia. Akan kuaduk ilmu membendung laut yang diucapkannya tadi. Seperti apa sih?

“Baik kakek, akan kuajak kakek untuk bermain.” Ujarku sembari berkelebat ke sana kemari menggulung badai untuk menggempurnya. Laut yang dibentangkannya segera kugulung dengan badai yang kudatangakan dari Samudera Hindia. Dua kekuatan bertarung sama kuat. “Laut! Kau tak akan bergelombang tanpa angin dan badaiku. Diam kau!!” Seketika lautan ilmu si kakek putih ini berhenti bergejolak. Yang ada hanya anginku bergemuruh seperti hendak menggulung semua yang ada di sekitar sini. Kulihat rambut dan pakaian kakek putih melambai-lambai. Aku tahu beliau terkejut melihat badai yang kudatangkan dari Samudera Hindia. “Hai!! Ulat nangka! Dari mana kau dapatkan ilmu badai ini? Apa hubunganmu dengan Pekik Nyaring ha!” Matanya sedikit terbelalak.

Aku tidak kehabisan akal. Aku ingin tahu siapa lelaki ini sebenarnya. Mengapa dia kenal dengan kakek leluhurku. “Untuk apa kau mau tahu darimana aku dapatkan ilmu badai ini Kakek putih. Tidak perlu juga Kekek tahu apa hubunganku dengan Pekik Nyaring. Mengapa? Jiwa Kakek agak bergetar melihat badaiku?” Aku sengaja menaikan nadaku. Wajah sang Kakek tidak bisa disembunyikan. Dia masih berpikir tentang badai dan Pekik Nyaring. “Tunggu dulu ulat nagka! Kamu murid Pekik Nyaringkah?”. Suaranya agak lembut. Aku benci sekali mendengar sapaannya. Masih saja beliau menyebut aku ulat nangka. Enak saja! “Tidak penting juga Kakek tahu siapa aku. Silakan pulang ke laut. Sebelum aku marah!” Jawabku tidak sopan. Aku sudah tidak sabar. Apalagi kakek ini telah mengurung hutan ini dengan lengkung langit dengan maksud membatasi ruang gerakku. Akan kupecahkan lengkung langitnya dengan angin dan halilintar.

Aku mengangkat tangan setinggi-tinggi. Sebelum sang Kakek sempat apa-apa, aku hantamkan badai dan petir dari tangan kiri dan kananku. Aku kaget sendiri. Aku tidak tahu kekuatan yang kumiliki bisa membuat lengkung langit kakek putih jadi pecah seperti pecikan air sampai tinggi sekali. Ketika ada kesempatan lain, secepat kilat tanganku menotok beberapa titik tubuh mbah Suko yang sedang duduk bersandar. Berhasil!! Aku memagarinya segera agar tidak ada satupun orang yang menolongnya. Jika ada yang berani menolongnya berarti akan berhadapan denganku. Akan kuserang siapapun dia.

Tubuh mbah Suko terlihat tegang dan kaku seperti pantung. Beliau berusaha mengeluarkan ajian-ajian untuk melepaskan totokanku. Tapi tidak berhasil. Manteraku telah kubuat berlapis membalut tubuhnya. Sesepuh yang lain terbelalak. Mereka tidak menyangka secepat itu aku melakukan totokan dan pengurungan. Mereka tidak sempat untuk bertindak membantu mbah Suko. Tiba-tiba aku melihat mantra tiga dukun sudah mulai membumbung. Mereka nyaris tidak tahu jika di sekitar mereka telah terjadi pertarungan dasyat dan leluhur mereka telah lumpuh satu. Dengan satu gebrakan, ritual mereka kuhantam dengan angin halilintar. Duar!!! Sajen sang dukun hangus terbakar. Semua berantakan. Bahkan sang dukun yang sedang duduk khusuk sambil memegang keris pusaka ikut terpental. Yang lain pun demikian bahkan ada yang jatuh pingsan Tiba-tiba keris yang dipegang si dukun melesat ke atas. Dengan cepat aku meluncur lalu menyambarnya. Rupanya kakek Putih ikut melayang hendak menangkap keris itu. Kakek putih kalah cepat denganku. Keris telah kupegang lebih dulu dan kuayunkan ke arahnya. Beliau menghindar, namun tak urung ujung keris telah mengoyak pakainnya.

Kain putih yang koyak berubah jadi hitam. Keris beracun!! Kakek putih terkesiap. Wajah putihnya makin pucat. Beliau juga tidak menyangka jika akan mendapatkan seranganku secepat itu. Aku kembali hinggap di ujung ranting. Sang keris sudah di tanganku. Energinya sangat kuat. Beberapa kali aku merasakan keris memberontak hampir lepas. Kucoba menyedot dan menetralisirnya segera. Setelah terasa netral, keris kuremuk hingga jadi debu. Kuhamburkan segera agar menyatu dengan tanah. Mata kakek putih makin terbelalak. Sesepuh lainnya mulai serius menghadapiku. Aku berhasil menarik perhatian mereka. Sekarang mereka tidak menganggapku remeh lagi. Aku meyakinkan mereka jika aku bukan anak kecil yang masih doyan bermain. Tapi aku adalah anak kecil yang patut mereka perhitungkan. Lalu mereka kembali ke pulau Jawa sebelum aku berniat membunuh mereka.

Huuuuf!!! Aku melompat ke atas ranting sebelahnya. Berdiri di ujungnya sambil menatap para sepuh. “Bagaimana kakek-kakek yang terhormat. Masih punya nyalih? Masih juga enggan pulang ke daerah asal kalian? Pulanglah sebelum kupaksa.” Ujarku. Kulihat mereka berniat menyerangku. Hhmm…mereka hendak mengeroyokku lagi rupanya. Sebelum mereka bertindak kukerahkan kekuatan batinku. Kulempar kakek Suko yang masih terkurung kembali ke asalnya di lereng gunung salak. Pasukan sesepuh makin tercengang. “Anak ini bukan ulat nangka Kang Mas, tapi anak iblis” Ujar kakek berbaju hitam yang dari tadi memerhatikanku dengan mata elangnya. Dess!!! pukulanku dari jauh persis mengenai bibirnya. Bibir itu pecah! “Tua bangka, jaga mulutmu. Justru kalianlah yang iblis!” Ingin rasanya aku meremuk mulutnya. Giginya yang hitam nampak nyengir menahan sakit. Diusapnya darah yang mengalir dengan ujung lengan baju.

Pelan-pelan kutiupkan angin yang bisa membuat mata lawan terasa perih. Rata-rata mereka berusaha melawan dengan kekuatan batinnya. Mereka berniat menangkapku, bahkan membunuhku. “Ulat nangka ini bagianku, Elang. Aku ingin tahu dari mana dia mendapatkan ilmu badainya.” Ujar kakek putih menatap kakek berbaju hitam. “Aku juga ingin menangkapnya kang mas. Mulutku telah dibuatnya berdarah. Dan adik sepupuku dilemparnya tak berdaya. Dosanya lebih banyak padaku.” Mereka berdua mulai berdebat. “Hei! Kakek-kakek bau tanah, kalianlah yang akan kutangkap lalu aku kembalikan ke daerah asal kalian masing-masing seperti mbah Suko yang songong itu!” Ujarku lantang.

Sementara masih berhadapan dengan beberapa orang sepuh ini, sekilas aku melihat tiga dukun terbengong-bengong menatap ritual mereka buyar. Mereka mencari-cari darimana sumber bencana yang meluluhlantakan ritual mereka. Apalagi dukun pertama itu. Wajahnya persis seperti kambing ompong ketika menatap tangannya kosong tidak memegang senjata lagi. Puluhan hari beliau itikaf dan semedi untuk mendapatkan senjata dasyat itu. Berbagai rangkain ritual beliau lakukan. Hari ini hilang sia-sia. Wajahnya nampak cemas. Szzzzz….!

Halus sekali aku mendengar suara mendesis ke arahku. Senjata gaib! Aku segera berpaling ke arah suara. Aku berpindah ke sana kemari dengan kecepatan tinggi untuk menghindari serangan gaib sesepuh yang lainnya. Mereka jadi bingung memfokuskan kemampuan mereka karena tidak bisa memastikan posisiku. Aku bersuara kadang ke hilir kadang ke hulu padahal suaranku tidak sama dengan posisi tubuhku. Kadang aku bersuara di samping kanan mereka padahal aku ada di sebelah kiri. Demikian sebaliknya, aku bersuara di sebelah kanan, tapi sebenarnya aku ada di sebelah kiri mereka. Saat seperti ini sebenarnya aku dengan mudah menyerang mereka. Tapi aku sengaja ingin menjajal ilmu para betapa ini.

Demikian para sesepuh ini kupermainkan. Sehingga serangan dan senjata mereka selalu mengenai ruang kosong. Tapi meski sudah sepuh mereka hebat-hebat. Tenaga mereka seperti tidak terkuras samasekali. Padahal aku tahu persis, rata-rata mereka menggunakan tenaga dalam. Kampuan yang sempurna menyadari kalau mereka kupermainkan kakek putih menghentikan pertarungan.

“Sabar…sabar. Sebentar Dimas dan Kangmas. Tahan sebentar nafsu kalian. Izinkan aku bertanya sejenak dengan ulat nangka ini. Jika pertanyaan saya sudah terjawab, terserah kalian. Ulat nangka, tolong dijawab dengan jujur. Saya mengakui kehebatanmu. Kamu tak saja kecil dan cantik. Tapi juga berilmu tinggi. Sekarang tolong jawab, darimana kamu dapat ilmu badai, dan apa hubunganmu dengan Pekik Nyaring. Pekik Nyaring adalah kakak seperguruanku. Dia penguasa angin sedangkan aku laut. Kami diwarisi oleh guru kami ilmu yang berbeda.” Ujar kakek Putih dengan ekspresi agak sentimentil. Kubaca jiwanya. Oh! Kakek Putih masa mudanya selalu ingin mencoba yang baru. Suka membantah guru dan kakaknya. Sedikit serakah. Beberapa kali memaksa gurunya agar dia pun diberi ilmu angin. Hingga akhirnya dia diusir gurunya karena kelancangannya itu. Dia sangat bernafsu! Sejak itu kakek putih bersumpah tidak akan kembali dan tidak mengakui gurunya lagi. Selanjutnya dia bertapa di bawah laut untuk memperdalam ilmunya, dengan harapan dapat pula ilmu badai itu.

Mendengar penjelasannya aku tertawa. “Kakek diusir karena serakah, lalu berharap dapat ilmu badai setelah puluhan tahun bertapa di bawah laut. Tidak mengakui guru dan berjanji tidak akan pulang. Dasar murid durhaka! Sekarang bertanya apa hubunganya aku dengan Pekik Nyaring. Itu juga tidak penting dijawab. Sebab aku tahu siapa kakek. Nama kakek Rangas Debu yang telah memutuskan hubungan dan tidak mengakui guru sendiri. Sementara ilmu yang diberikan pada kakek sampai sekarang tetap kakek pakai. Kan lucu!!!” Jawabku yang membuat wajahnya merah padam.

“Hiaaaaat!!!” Aku gempur dia dengan jurus-jurus mematikan. Ada perintah untuk melumpuhkannya. Bila perlu membunuhnya. Pada masa pertapaanya Kakek putih ini terus menyerang gurunya agar mati. Akhirnya karena sudah sangat sepuh sang guru tidak kuat lagi menangkis serangan gaibnya. Dan yang diserangnya adalah leluhurku. Sekarang manusia berwajah resi ini ada di hadapanku. Si kakek mengelak setiap seranganku dan balik menyerang. Aku tidak memberikan sela untuknya berkata-kata lagi. Aku merasa puas dapat mewakili sakit hati Puyang Buyutku. Dia harus mati!! Beberapa gerakan saja sang kakek putih mampu kudesak. Dia pun meningkatkan jurus dan mantranya. Meski belum keluar semua ilmu andalannya, kuakui beliau sangat hebat.

Melihat kakek putih terdesak kawan-kawannya mulai ikut mengeroyokku. Aku ubah strategi. Sebelum mendapatkan serangan dari sesepuh yang berilmu tinggi ini aku menyiapkan ilmu pamungkasku. Aku mengaum hingga beberapa pohon tumbang. Termasuk tanah yang diijak para sesepuh ini. Beberapa orang kulihat sempoyongan ketika tenaga dalam mereka berbenturan dengan aumanku. Aku telah berubah menjadi harimau putih yang gagah. Siap menerkam mereka dengan mulut mengaga. Melihat perubahanku, para sesepuh segera mengeluarkan senjata andalan masing-masing. Aku membaca ada hawa kematian di sini. Tekadku sudah pasti. Mereka memang patut untuk mati. Merekalah salah satu pengagacau kehidupan manusia. Banyak sekali manusia tersesat dan mimpi gara-gara para betapa jahat ini. Aku mulai menyapu wajah mereka. Para sesepuh mulai membuat formasi. Sepertinya mereka serentak akan menyerangku.

Aku kembali mengaum mengambil energi dari langit. Lalu kakiku mencakar ke tanah mengambil energi dari bumi. Dua kekuatan ini kujadikan satu. Tubuhku segera melesat menempur para sesepuh. Energi kami berbenturan keras. Bumi, angkasa, seperti akan runtuh. Pohon-pohon bertumbangan. Dalam waktu singkat hutan lebat ini seperti lapangan. Rata. Aku berusaha menggulung serangan mereka. Namun karena rata-rata mereka berilmu tinggi, cukup membuatku kerepotan. Aku terus melompat terkadang salto melakukan penyerangan dan mengelak. Saat-saat tertentu aku terdesak nyaris terkena senjata andalan mereka. Hap! Hap!! Aku berhasil menggigit salah satu senjata berupa pedang berwarna biru terang. Kukumpulkan dengan cepat energi untuk menarik sekaligus mencakar lawan. Berhasil! Pedang pusaka itu terlepas dari pegangan masih digigit.

Sekuat tenaga aku mencoba menyedot energi dan hendak meremuknya. Sambil terus menghindar dan balik melakukan balasan. Belum sempurna mengambil energi pedang itu, tiba-tiba pedang berubah menjadi ular dan melilit tubuhku. Seketika aku merasakan sesak nafas. Lilitan ular ini sangat kencang. Kepalanya berusaha mengigit apa saja sepanjang bisa digigitnya. Aku segera mengeluarkan ajian penghimpun racun. Tiap kali si ular mengigit maka dia akan menghisap racun. Sambil terus menghindar dari serangan para sepuh, aku terus berusaha melakukan serangan balasan. Lama kelamaan lilitan ular makin kendur. Hal ini kesempatan aku menarik energinya. Usai kusedot, ular kembali menjadi pedang. Aku menginjaknya hingga remuk berkeping-keping, lalu patahannya kuhantam serentak, akibatnya meluncur cepat satu-satu ke arah lawan.

Aggkh!! Kakek Mata Elang menjerit. Patahan pedang ada yang menancap di lehernya. Aku kembali mengaum lalu melompat tinggi. Tubuh kakek Mata Elang kuterkam. Sekali cabik wajahnya terbelah dua. Seketika beliau terkapar penuh darah. Amu segera bergerak ke kiri dan ke kanan beberapa orang teman kakek Putih ikut menyusul kakek bermata elang. Aku seperti harimau mabuk mengaum, melompat, dan mecakar. Dengan cepat satu -satu sesepuh itu kudesak dan terluka. Aku merasakan dadaku nyeri. Tapi demi melihat lawan tangguh-tangguh rasa nyeri itu kubuang jauh-jauh.

Aku berjalan mendekati kakek putih. Melihat wajahku menyeringai, beliau mundur lalu mengubah dirinya menjadi harimau belang. Sekarang wujud kami sama. Sesepuh yang lain melihat dua perubahan kami seperti dikomando menghentikan pengeroyokan. Nampaknya mereka tertarik melihat pertarungan dua wujud raja rimba. Aku tidak heran jika kakek putih berubah menjadi harimau. Karena gurunya adalah puyangku. Aku membaca ilmu apa yang akan digunakan oleh adik seperguruan puyangku ini. Apakah dia akan gunakan kembali ilmu andalan yang pernah diajarkan oleh puyangku? Oh, rupanya dia siap menyerangku dengan kekuatan samudera yang dikombinasikannya dengan jurus harimau mudik. Sebuah gerakan lembut untuk mengelabui lawan seakan tidak tertarik untuk bertarung. Padahal sekali bergerak, maka gerakannya akan mematikan karena kaki depan akan merangkul leher lalu tubuh berputar sekaligus memutarnya hingga patah. Kuakui ilmu samuderannya dasyat sekali. Kakek putih tidak tahu jika aku adalah salah satu keturunan Pekik Nyaring. Ilmu dasar harimau mudik yang beliau punya adalah ilmu warisan leluhurku. Aku telah mewarisi ilmu dasar dan dimodivikasi dengan ilmu lainnya. Tiap gerakan barunya tidak akan terbaca oleh lawan.

Aku kembali membaca gerakan kalem kakek putih. Segera kucakar tanah, lalu berguling, secepat kilat kusambar kaki belakangnya sebelum beliau salto lalu menarik leherku. Kami bergulat dengan mengerahkan kemampuan masing-masing. Pergulatan berlangsung cukup lama. Kakek putih sepertinya tahu jika aku akan menyerangnya dari bagian bawah. Namun tak urung cakaranku cukup banyak melukai beliau. Sementara beliau terus bertahan dengan benteng badainya untuk menepis angin seranganku. Kalau bukan kakek putih memiliki ilmu menghadang badai mustahil beliau bisa bertahan sampai sekarang melawan serangan-seranganku.

Aku melompat ke belakang membuat jarak dengan kakek Putih. Kaki depanku terasa nyilu akibat benturan dan hantaman dasyatnya. Kakek Putih meyeringai dengan luka di wajah. Aku telah menyiapkan serangan selanjutnya. Kami melompat serentak. Kali ini pertarungan kami lebih banyak ke atas. Tubuh kakek Putih melompat tinggi, segera kulakukan penyerangan berusaha meraih tubuhnya dari bawah. Udara tiba-tiba berubah menjadi kabut tebal. Kakek putih mengeluarkan ajian halimun untuk menutupi pandanganku. Dengan demikian dia mudah menyerangku. Beliau tidak tahu kalau aku pun memiliki ajian halimun dan dapat menembus halimun setebal apapun. Aku sempoyongan ketika halimun kakek putih bisa berubah menjadi gulungan ombak dan berusaha menggulungku. Aku seperti berada dalam dasar laut. Kubaca mantra yang pernah diberikan kakek Andun. Kupecahkan ombaknya dengan pukulan badai. Air memencar kemana-mana. Suara menderu seakan meruntuhkan langit. Aku keluar dari gulungan ombak sembari melemparkan hantaman api. Air laut buatan kakek Putih seketika kering. Alam hening kembali. Aku hanya mendengar decak kagum para sesepuh, dan nafas kakek putih yang agak berat. Beliau juga luka dalam. Huuauack!!! Darah segar menyembur dari mulutku.

Aku segera mengobati diri sendiri. Berulang kali aku mencoba memulihkan diri. Meski belum begitu sempurna karena terdesak dengan waktu, paling tidak darah berhenti ke luar. Kulihat kakek putih juga terluka. Beberapa kali beliau muntah darah. Namun mata beliau masih menyalah. Kami masih bertahan dengan tubuh harimau. Kali ini kembali aku berhadapan. Tatapan kami beradu saling mengancam. Aku segera memegang kakek putih. Jika sebelumnya aku gunakan kekuatan angin dan cakaran, kali ini aku berusaha membanting tubuh kakek dengan badai api yang kukolaborasikan harimau menengkuk mangsa. Hasilnya, tengkuk kakek putih mampu kuraih selanjutnya badai apiku menyerangnya cepat. Namun kakek putih tak kalah gesitnya beberapa kali apiku mampu ditepisnya. Bahkan dikembalikannya padaku. Aku cukup kewalahan juga melawan orang tua ini. Aku ingin segera mengakhiri pertarungan secepatnya.

Kembali badai apiku menghantam tubuhnya. Luar biasa! Kakek putih masih bisa bertahan. Kulihat bulunya ada yang terbakar sehingga memunculkan bau hangus. Bukit batu saja akan remuk dengan hantaman badai apiku. Tapi kakek putih hanya gosong bulunya saja. Tetap bisa berdiri gagah. Aku kaget ketika tiba-tiba tubuh harimau kakek putih bergulung sambil berputar seperti bor mengarah padaku. Belum selesai kekagetanku dan menghindar sepenuhnya dia sudah sampai. Kaki depan sebelah kiri mampu disambarnya. Aku merasakan sakitnya luar biasa. Aku terhuyung ke belakang. Kaki depanku seakan lumpuh. Aku tidak sempat menatap apakah kakiku masih ada atau tidak. Rasa sakitnya sampai ke ubun-ubun. Aku tertunduk tak berdaya. Tatapanku mulai mengabur. Aku ambruk di tanah. Melihat aku tak berdaya, kakek putih kembali menyiapkan ajian barunya. Aku pasrah. Aku tak mampu lagi menghimpun tenaga dalam apalagi untuk mengobati diri sendiri. Ajian meremuk tulang kakek putih mulai meyusup ke seluruh tubuhku. Aku akan lumpuh atau mati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *