“Tote bag” Batik Wanita Sunda ini Memikat Orang Prancis

Sampurasun, saya Lien Wulandari Ottmann, asal Bandung dan sekarang menetap di kampung kecil bernama Villers-Guislain (aka Kampung Piji saya menyebutnya), terletak di bagian utara Perancis. 

Kegiatan saya sehari-hari adalah ibu rumah tangga biasa tapi saya memiliki satu kegiatan yang sangat saya senangi yaitu membuat tas dari bahan katun, terutama batik Indonesia. Bentuk tas yang saya buat cukup sederhana tapi unik. Bentuk tas boleh sama tapi warna dan jenis bahan berbeda. Dikerjakan sepenuh hati karena saya merasa ada kebahagiaan tersendiri saat memilih bahan dan proses pengerjaannya.

Kilas balik ke masa kecil saat saya masih SD. Saat perjalanan menuju sekolah, di depan salah satu toko, saya melihat seorang wanita asing sedang menjahit selembar kain, menggabungkan satu potong kain ke kain yang lain. Saya tidak melihat ada mesin jahit disisinya, tapi hasilnya sungguh indah sekali. Satu kata yang saya ingat « patchwork « . Dari situ saya selalu mengagumi kerajinan tangan patchwork dan quilting. Tapi saya sama sekali tidak tertarik untuk menjahit atau membuat perca. Nilai keterampilan menjahit di sekolah pun selalu mepet alias di-upgrade oleh Ibu Guru karena hasil jahitan saya sangat buruk. Dan satu hal lagi yang membekas selalu dalam ingatan adalah  ketika kakak ipar membuatkan tas dari kain. Saya bangga sekali memakainya.  Tas sederhana berwarna merah, bercorak bunga-bunga mungil. 

Sekitar tahun 2002-2003, ketika saya sudah mulai menetap di Perancis, saya kembali bersentuhan dengan patchwork dan tas kain. Saya minta kepada seorang teman untuk membuat selimut dari kain blacu dengan aplikasi dari batik. Dan saya meminta teman yang lain untuk menjahit beberapa tas. Sepertinya, dua hal itu cerminan dari impian saya tapi prosesnya belum ajeg, belum terarah.

Tahun 2007, seorang sahabat menghadiahi saya sebuah tas mungil indah dari kain perca. Kembali, impian saya terbangun. Namun saat ini seperti ada dorongan untuk mencoba mengenal lebih akrab dengan kain, jarum, gunting dan benang. Saya pun mulai mengumpulkan peralatan yang dibutuhkan. Awalnya, saya menjahit selimut perca secara manual, belum berani bersentuhan dengan mesin jahit. Dibutuhkan waktu sekitar enam bulan untuk menyelesaikan satu selimut berukuran 120 x 200cm. Dan akhirnya, saya memberanikan diri untuk berpetualang dengan mesin jahit. Alhamdulillah, saya harus sabar belajar dan menjaga bara semangat. 

Sekian lama berkarya, ada periode aktif berkarya, dan diselingi pula periode kekosongan. Tidak hanya ide karya yang tersendat tapi hilang rasa sentuhan terhadap kain. Secara pribadi, saat saya menyentuh satu kain, selalu ada obrolan. Kain-kain itu seperti berbicara tentang teksturnya, tentang warnanya. Kain ini ingin dipasangkan dengan yang itu. Kain yang itu lebih akrab dengan kain yang ini. Masyaa Alloh …

Berkarya dengan hati, sehingga setiap hasil karya punya rasa. Tas-tas kain katun dan batik yang telah selesai, saya photo dan saya unggah ke media sosial. Satu persatu terjual. Dan tentu saja, promosi dari mulut ke mulut, mulai dari teman, saudara dan tetangga. 

Tahun 2016, tepatnya di pertengahan bulan Februari saya mengikuti pameran Créateurs des Hauts de France et d’Ailleurs yang diselenggarakan oleh seorang sahabat, Sandie Codron. Pertama kali Tasna Ambu mengikuti pameran, sangat mengesankan. Bertemu dengan para pengrajin, saling mengagumi karya dan berbagi pengalaman.

Selesai pameran sampai sekitar tahun 2018, saya non aktif berkarya karena saya mengalami gangguan kesehatan, kena stroke. Dan rasa itu hilang, saya sentuh kain-kain yang bertumpuk itu, sunyi … tidak ada obrolan itu. Hambar … senyap …

Sampai suat saat, saya menerima satu buku berjudul Kitab Nabi Idris yang bersampul warna hijau. Tiba-tiba berhamburan ide-ide dikepala ini. Warna dan corak kain menari-nari di pelupuk mata. Lalu, saya sentuh lagi kain-kain itu, alhamdulillah … kami mulai ngobrol lagi, lebih ramai, lebih seru.

Akhir tahun 2018, saya memberanikan diri mengikuti Pasar Natal dengan membawa karya bernama Kadeudeuh Tote bag. Alhamdulillah, antusias pengunjung cukup baik. Mereka banyak bertanya soal Batik. Bahagia sekali bisa memperkenalkan kekayaan budaya bangsa kepada warga Perancis yang tinggal di perkampungan Villers Outreaux.

Di tahun 2019, saya memberanikan diri untuk mensyahkan usaha kecil ini, memiliki status resmi dan diakui oleh Pemerintah Perancis. Satu langkah untuk maju, dengan harapan karya Tasna Ambu bisa dinikmati oleh lebih banyak orang. Tanpa diduga, akhir tahun 2019, toko bunga langganan di kampung sebelah, Gouzeaucourte, membuka pintu dan menyediakan tempat khusus untuk Tasna Ambu memamerkan hasil karya, alhamdulillah. Pertama kali Tasna Ambu masuk ke toko.

Awal 2020, tawaran lain pun mengalir, namun wabah Corona hadir sehingga untuk sementara pemenuhan tawaran disimpan dulu.

Tapi ide-ide berkarya terus melompat-lompat. Insyaa Alloh, disaat yang tepat akan direalisasikan.

Sementara ini, saya berpartisipasi membuat masker. Awalnya, salah satu teman meminta untuk dibuatkan masker, dan tercetuslah ide untuk sedikit berbagi masker dengan tetangga dan keluarga yang sepuh dan anak-anak. Tidak menyangka sama sekali, banyak yang berminat untuk membeli malahan. Masyaa Alloh, wabah ini telah menggiring saya tetap ngobrol dengan kain, tapi bukan membuat tas. Karya lain yang sedang dibutuhkan dan disesuaikan dengan kondisi, masker.

Semoga pengalaman saya ini dalam berbagi bisa membawa manfaat bagi yang membacanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *