HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (68B)

Karya RD. Kedum

Aku sangat menikmati perjalanan bersama kawan-kawan Pecinta Alamku kali ini. Melintasi jalan antar kota yang mulus dan sepi memberikan sensasi sendiri. Apalagi sepanjang jalan kiri dan kanan masih diselingi ladang, sawah tadah hujan, hutan kecil dan semak belukar. Rumah-rumah kampung kiri kanan berdiri di antara pohon kelapa, manggis, dan jenis buah-buahan lainnya. Di belakang rumah selain kebun kelapa. Aku lihat banyak juga pohon durian, manggis, rambutan, telempesi, dan cempedak. Melihat batangnya yang besar dan tinggi, kemungkinan usianya sudah puluhan tahun. Andai tetap hijau seperti ini, alangkah indahnya.

Aku merasakan udara pedesaan sepanjang jalan sejuk. Entah akan bisa bertahan sampai berapa tahun. Naluriku mengatakan tiga sampai lima tahun ke depan, daerah-daerah ini akan berubah. Kebun dan pohon buah dekat rumah akan hilang berganti dengan pemukiman. Lalu penduduk dusun berlomba-lomba menjual tanah mereka, pada akhirnya, mereka hanya punya tanah sepetak di atas rumah mereka sendiri, karena mereka tidak paham bagaimana mengolah aset. Tidak sedikit mereka menjual tanah dan kebun akan jatuh miskin. Nauzubillah…aku ngeri membayangkannya. Suatu saat, meski perkampungan ini ramai, namun penuh dengan pendatang, sementara penduduk asli akan lebih banyak menyingkir di pinggiran.

Aku mengusap wajah menghilangkan gambaran beberapa dusun asri ini ke depan. Aku anggap itu hanya halisunasi belaka. Aku kembali menikmati nuansa rumah-rumah kampung, ada yang rumah panggung, ada yang rendah semi permanen dengan halaman yang luas, antar rumah berjarak taman. Tumbuh-tumbuhan seperti bunga dandi, bunga sebakul, pisang kipas, bunga sepatu, tumbuh subur di depan rumah bahkan menjadi pagar hidup.

Entah sudah berapa jam perjalanan. Kalau tadi aku lebih banyak melihat perkampungan dengan tumbuhan rata-rata sudah berumur, kali ini aku melihat dusun-dusun yang menghadapi ke laut yang berombak kecil. Batu putih, air laut yang kemilau, membuat mataku tak berkedip. Negeri yang memukau. Pohon kelapa berjajar tinggi seperti berlomba. Sementara di perkampungan dekat pantai anak-anak bermain riang gembira. Beberapa orang tua duduk-duduk sambil mengurai jala. Di samping mereka kelapa tua yang baru dipetik menggunung. Damai dan sejahtera sekali mereka. Melihat pohon kelapa ada yang berdiri agak menguntai ke laut, jadi ingat lagu yang sering kunyanyikan pada waktu lomba ketika duduk di bangku SD, “Nyayian Pulau Kelapa”.

Kendaraan kami berhenti sejenak di pasar yang diadakan sepekan sekali, yang disebut kalangan. Kebetulan salah satu kawan kami hendak membeli sesuatu. Kesibukan pembeli dan pedagang di kalangan, membuat aku tertarik turun. Akhirnya aku turun juga melihat-lihat pasar tradisional. Aku tertarik dengan ikan salai yang mereka jual berjejer dijepit dengan bambu. Padahal daerah pantai, mengapa mereka menjual ikan salai sungai? Oh! Rupanya ikan-ikan ini adalah ikan sungai yang mereka tangkap dari sungai-sungai yang bermuara ke laut. Di timur, memang masih berdiri bukit-bukit yang hijau walau tidak selebat dulu. Sebab aku melihat banyak sekali atap-atap pondok yang memantulkan cahaya tertimpa matahari. Sebagian bukit-bukit itu sudah berubah jadi kebun. Aku masih menikmati suasana kalangan. Aku tertarik pada salah satu yang dijual pedagang yang menggelar dagangannya di atas tikar. Pelepah pinang yang dikupas tipis, lalu diikat dengan tali seperti akar, berwarna agak coklat. Kutanyakan pada penjualnya, apa gerangan yang dibungkus dengan pelepah pinang ini? Ternyata ‘lempok’ yaitu dodol durian yang dibungkus memanjang dengan pelepah daun pinang. Mengapa berwarna coklat? Rupanya menurut yang jualan usai di bungkus, lempok-lempok ini di letakkan di atas perapian sebagai media pengawetan. Jadi setiap menghidupkan perapian lempok-lempok itu semakin kering dan awet bertahan-tahun. Rupanya begitu cara orang dulu mengawetkan makanan, karena belum ada kulkas. Lempok-lempok ini hanya ada dijual ketika musim durian saja. Akhirnya aku membeli beberapa kajang untuk kami nikmati bersama.

Di samping lempok, aroma khas durian yang kupas juga ada, yaitu ‘tempuyak’ namanya. Banyak sekali yang menjual tempuyak. Perempuan-perempuan berjejer berjualan sambil bercerita. Tempuyak makanan khas Sumatera selatan, dan Bengkulu. Biasanya disambal, atau campuran masak ikan tertentu. Melihat tempuyaknya masih anyar, aku ikut membeli siapa tahu kawan-kawan mau makan sambal tempuyak di area tujuan nanti, konon daerah tujuan adalah perbukitan dan udaranya sangat dingin, pas sekali makan nasi hangat lalu ada sambal tempuyak.

Perjalanan dilanjutkan lagi, ternyata untuk sampai ke daerah tujuan lumayan jauh. Kali ini aku melihat bentangan dataran dan bukit yang ditumbuhi pohon sawit yang sangat luas. Hampir sepanjang jalan yang tumbuhi pohon sawit. Kampung-kampung seperti menyupil di antara rimbun sawit yang hampir panen. Jangan ditanya isi dadaku. Yang ada rasa pilu karena tidak terlihat lagi pohon-pohon yang menjulang. Seperti cerita Bapak, sepuluh tahun lalu ketika beliau jalan-jalan ke Manna Bengkulu Selatan untuk bersua dengan kawan bisnisnya sekaligus membeli durian untuk dijual di Pagaralam, beliau bercerita melihat nenek gunung melintas dan tidur-tidur di jalananan petang hari. Mereka enggan minggir meski disorot dengan lampu mobil. Akhirnya mobil Bapak berhenti menunggu nenek gunung-nenek gunung itu pergi. Sebelum para nenek gunung itu pergi, sopir Bapak sudah gemetar ketakutan, nyaris tidak bisa menyetir lagi. Karena di kiri kanan masih hutan belantara. Jauh dengan pemukiman penduduk. Jalan yang dilalui masih terbilang baru. Di sini pula ada cerita ketika pembukaan hutan untuk pembangunan jalan berlangsung, sepasang ular raksasa melilit alat berat dan memakan salah satu pekerja. Konon ular itu panjangnya sepuluh meter lebih, lalu lingkaran badannya sudah sebesar lingkaran tangan orang dewasa. Ketika ingat itu, sopir Bapak makin ketakutan. Saking takutnya ingin buang air kecil. Namun takut turun karena ada nenek gunung. Tubuhnya sudah berkeringat dingin. Ketika makin mencekam, Bapak baru ingat pesan nek Kam, kalau ketemu nenek gunung, maka jangan takut, tapi ajaklah berbicara. Lalu Bapak menongolkan kepala dari jendela mobil lalu setengah berteriak beliau mengucapkan salam, kemudian meminta maaf mengganggu para nenek gunung, lalu minta izin pada mereka untuk memberikan jalan, hendak lewat. Tidak lama kata Bapak, salah satu mereka yang bertubuh lebih besar bangkit lalu mendekat ke mobil Bapak. Suara nafasnya yang memburu sangat terdengar kata Bapak. Setelah dekat, hewan itu hanya mengendus mobil Bapak, lalu balik lagi ke kelompok mereka. Tidak disangka, gerombolan nenek gunung itu serentak berdiri, lalu menyingkir ke semak-semak sekalian membuka jalan selebar-lebarnya menyilahkan Bapak lewat. Sampai di Manna, Bapak ceritakan peristiwa itu pada temannya. Apa jawab mereka?
“Kalau tidak berisi, tak mungkin kalian akan sampai dan berani masuk daerah ini.” Ujarnya. Bapak heran apa maksudnya? Berisi? Rupanya Bapak dianggap orang sakti yang mampu menakhlukan makhluk penguasa hutan rimba itu. Konon makhluk itu hanya akan muncul saat-saat tertentu saja. Dari cerita Bapak pula, ketika itu beliau masih melihat hutan belantara sepanjang jalan, beragam macam jenis kayu berkualitas ada. Ada kayu ulin, tembesu, kayu ramin, kayu pulai, mahoni, jati, dan semua jenis kayu tumbuh subur di hutan tropisnya. Selanjutnya di rawa-rawa pinggir sungai dekat muara, tumbuh pohon rumbia sangat subur yang sering dimanfaatkan penduduk menebang pohonnya untuk mengambil sagu dari batangnya, lalu daunnya dibuat atap, orang sering menyebutnya atap serdang. Tidak heran jika melihat pondok-pondok di tengah sawah dan ladang, mereka menggunakan atap serdang yang terbuat dari daun rumbia. Itu dulu, sepuluh tahun yang lalu. Jika Bapak lewat sini kembali, Bapak pasti akan kaget melihat perubahan yang luar biasa. Hutan belantara yang Bapak kagumi dulu telah berubah menjadi hutan sawit, konon milik pengusaha berkulit keling dari Malaysia. Sementara milik peduduk hanya secuil melingkar di sekitaran dusun mereka. Aku hanya bisa membayangkan cerita Bapak. Aku tidak mencium aroma nenek gunung sepanjang jalan. Yang ada aroma laut dan lembab kebun sawit

Aku dan kawan-kawan merenggangkan otot sejenak setelah turun dari kendaraan. Selanjutnya kami berkemas membawa barang-barang bawaan. Beberapa anak kecil seperti heran melihat kami. Mata mereka tidak lepas menatap gerak-gerik kami. Aku tidak melihat aktivitas orang tua di tengah dusun. Dusun terlihat sepi. Dari tulisan di papan yang sudah buram aku coba mengeja nama desa. Desa Bandar Agung Ulu Manna. Dusun ini termasuk luas. Rumah panggung biasa nampak padat. Semakin masuk ke dalam rumah berjajar makin ramai dihubungkan gang-gang kecil yang langsung mepet ke tangga rumah. Beberapa pohon buah-buahan tumbuh di halaman rumah tanpa pagar.
“Kalian masih sekolah adik-adik?” Tanyaku pada mereka. Mereka tidak menjawab, hanya senyum-senyum malu sambil menutup wajah mereka.
“Naiklah Din, bataklah stum ni ke skul, kabah lah ditanyau ngah jemau ini, masih skul apau nidau (Naiklah Din, bawalah mobil ini ke sekolah, kamu ditanya oleh orang ini masih sekolah apa tidak?)” Seorang anak lagi menyebut temannya yang kutegur tadi dengan bahasa daerah. Aku tersenyum mendengarnya. Rupanya anak ini kalau diajak bahasa Indonesia dia malu-malu. Akhirnya kusapa mereka dengan bahasa daerah.

Kota Manna, daerah pesisir Bengkulu Selatan ketika zaman penjajahan Inggris, Potugis, Belanda, Jepang pernah sampai ke mari. Selain mencari hasil bumi, terutama rempa-rempa ada juga yang menyebarkan agama. Terutama katolik. Tidak sedikit orang asing itu yang menikah dengan penduduk pribumi. Mereka menetap sambil menyebarkan agama sampai pedalaman perbatasan Manna dan Besemah, yaitu dusun Tanjung Sakti. Dusun yang terletak di balik gunung Dempu. Maka tidak heran jika bahasa di Manna ini ada pengaruh bahasa asing. Contohnya mobil mereka sebut Setum. Kalau di Bengkulu kota, mobil disebut outo. Selanjutnya sekolah, mereka menyebutnya skul. Dari kata school. Dan masih banyak lagi bahasa-bahasa asing yang menjadi bahasa ibu mereka. Mendengar mereka tidak terlalu familier dengan bahasa Indonesia akhirnya aku komunikasi dengan bahasa daerah. Ternyata anak-anaknya ramah, suka bercanda.

Sebelum melanjutkan perjalanan, kami membuat lingkaran sejenak, lalu berdoa bersama. Anak-anak desa menertawakan kami. Mungkin mereka angap orang asing yang aneh dan lucu. Aku pamit pada mereka. Rupanya mereka mengantar kami sampai ke pinggir desa. Aku melambaikan tangan dengan Din dan kawan-kawannya.

Menurut Iwan, salah satu penunjuk jalan, Dusun Tinggi Sebakas cukup jauh, kurang lebih empat jam berjalan kaki dari desa ini. Tapi karena sudah terbiasa masuk ke luar hutan, empat jam perjalanan itu biasa. Apalagi melalui hutan dan sungai, sungguh empat jam perjalanan tidaklah terasa. Kami semua happy-happy saja.

Peluh sudah mulai mengucur. Sesekali aku menyekah peluh dengan handuk kecil yang kulingksrkan di leher. Kami berjalan terus dan santai. Melintasi jalan serapak di sisi semak belukar, kebun sawit yang sedikit terbengkalai terasa lembab dan sedikit gelap karena cahaya matahari tidak tembus hingga ke tanah. Beberapa kubangan babi nampak keruh di antara pohon-pohon sawit. Jalan yang kami lalui nampak bersih pertanda jalan ini sering di ijak oleh bangsa manusia. Jalan ini adalah salah satu jalan untuk menuju dusun Tinggi Sebakas itu. Konon dusun Tinggi Sebakas yang terlentak kurang lebih delapan ratus meter dari permukaan laut. Dari cerita yang beredar Sebakas adalah yang gaib. Desa yang hilang karena di sumpah oleh Puyang Serunting atau Si Pahit Lidah. Selanjutnya, pada zaman dahulu, desa ini pernah didatangi patih Gajah Mada yang melarikan diri dan bersembunyi di sana. Mendengar cerita itu aku seperti diajak melompat-lompat. Artinya imajinasi penduduk sudah jauh hingga menghubungkan daerah ini dengan kerjaan Majapahit.

Jalan nampak kering, seperti biasa jika berjalan aku memilih paling belakang. Meski dari awal Bang Adi selalu menyuruhku berjalan lebih dulu. Aku selalu menolak. Ada kenikmatan sendiri meski berjalan bersama-sama di barisan paling belakang. Aku merasakan sensasi yang berbeda. Aku bisa saling sapa dengan makhluk-makhluk yang kukira layak untuk kusapa, aku juga bisa melihat perkampungan gaib di tengah-tengah kebun sawit tempat perlintasan manusia. Aku juga bisa melihat makhluk-makhluk gaib baik yang liar maupun gaib peliharaan penduduk Pesisir. Sebagian mereka ramah, ada juga yang menantangku mengajak adu kekuatan dan lain sebagainya.

Lagit nampak terang, kami baru saja ke luar dari perkebunan sawit. Kali ini kami menyisir setapak sisi ladang dan kebun penduduk. Suara sesiagh menandakan aku memasuki wilayah hutan tropis yang masih menyisakan serangga hutan. Di seberang, tidak ada lagi pohon-pohon tua layaknya hutan. Yang ada pohon-pohon tumbuh di semak-semak yang terbengkalai. Hanya burung-burung kecil pemakan ulat dan serangga saja yang berkicau riang. Tak lama kami melintas di alam terbuka serupa lapangan yang datar menuju sungai. Rumput tumbuh hijau dan rapi seperti di tata diselingi pohon-pohon kecil. Aku mengucapkan salam ketika baru masuk. Aku melihat ini adalah salah satu pintu gaib masuk ke dalam perkampungan. Beberapa orang menghampiriku. Wujud mereka seperti manusia. Mereka adalah bangsa jin yang beradab. Mereka hidup layaknya seperti manusia, berkeluarga, beranak pinak, bersosialisasi. Melihat mereka sangat antusias melihat kami, akhirnya aku menghampiri mereka.
“Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarakatuh, nek Nang, nek Ino. Kenalkan aku Putri Selasih,” ujarku sambil sujud pada mereka satu persatu. Mereka lelaki dan perempuan yang sudah uzur semua. Aku heran, kemana yang muda-muda atau separuh baya? Mengapa aku hanya melihat kakek, nenek, dan anak kecil saja? Melihat rumah-rumah yang berjajar, memperlihatkan jika perkampungan ini sudah cukup tua. Pohon kelapa, pohon pisang, tumbuh subur di belakang rumah-rumah mereka.
Beberapa anak kecil bermain tali, bermain kejar-kejaran, bersembunyi dan lain-lain.
“Mau kemana, Cung? Mau naik ke Dusun Tinggi Sebakas?” Tanya salah satu mereka dengan bahasa daerah yang sangat kental. Aku ceritakan tujuan kami ke mari, hanya sekedar menyalurkan hobby, melihat langsung dusun Tinggi Sebakas yang akhir-akhir ini sering disebut-sebut oleh orang-orang sebagai dusun yang mengandung misteri dan bayak orang yang berziarah ke sana. Mendengar penuturanku, nek No dan nek Nang tersenyum.
“Tapi jika melihatmu, nampaknya tak demikian Cung. Kamu bukan hanya berziarah, namun juga akan mendapatkan pengalaman yang tidak dialami oleh orang lain. Kau berbeda dengan yang lain. Berhati-hatilah, jangan heran jika ada yang tidak suka kehadiranmu. Bangsa kami sama dengan bangsamu, ada yang beragama ada juga yang tidak, ada yang baik, ada juga yang jahat, ada yang beretika lemah-lembut, ada juga yang kasar. Bentuk kami pun berbeda-beda. Ada yang seperti manusia, seperti yang kau lihat saat ini, ada juga yang berbentuk hewan, iblis, setengah manusia.” Ujar salah satu nenek. Aku mendengarkan dengan seksama meski pertanyaanku tentang apakah benar di atas bukit itu ada perkampungan yang dihilangkan oleh puyang Serunting yang bergelar Si Pahit Lidah, tidak beliau jawab. Setelah mendengarkan nasihat-nasihat mereka akhirnya aku mohon diri untuk melanjutkan perjalanan. Karena buru-buru aku lupa menanyakan apa nama kampung gaib ini.

Di hadapan kami terbentang sungai yang landai berair tidak terlalu deras penuh batu kecil dan batu bujang. Di tengah-tengah sungai ada seperti delta dipenuhi batu, memghampar warna-warni. Delta ini seringkali dimanfaatkan orang untuk istirahat sambil menikmati air yang mengalir kiri kanan. Air yang mengalir juga tidak terlalu jernih. Kami turun menyeberangi sungai langsung tanpa alat pelidung seperti biasanya. Jauh di seberang, aku melihat bukit-bukit kecil yang telah berubah menjadi kebun-kebun penduduk. Selebihnya semak belukar dari hutan yang dibuka namun tidak diolah, dibiarkan menjadi semakin belukar dengan pohon-pohon kecil. Jauh di sana hamparan kebun sawit seperti payung berombak-ombak.

Cukup luas juga bidang sungai yang harus kami lalui. Karena tidak ada lagi hutan di kiri kanan, kulihat bibir sungai semakin lebar akibat erosi. Tidak ada akar dan tumbuhan yang mampu menahannya untuk selalu berdiri kokoh. Sehingga untuk naik ke daratan kami harus memilih bibir sungai ke bagian ilir atau hulu yang melandai ke sungai. Bersyukur kami datang ke mari pas waktu kemarau. Sehingga tidak terlalu menyulitkan untuk menyeberang. Jika hujan, maka air akan semakin keruh dan tinggi. Otomatis kalau tinggi maka akan kesulitan dan berbahaya menyeberang karena arusnya akan semakin deras.

Cuaca panas, tersentuh air sungai rasanya segar sekali. Apalagi airnya terasa sangat dingin. Ketika kutanya dengan kawan-kawan, apa nama sungai ini, tidak ada yang tahu. Tiba-tiba ada suara yang berbisik, memberitahu ini namanya ‘ayeak Nelengau’. Aku menoleh tidak ada makhluk manusia atau jin di dekatku. Aku mencari-cari sumber suara. Untuk memastikan arah mana, lelaki atau perempuan pemilik suara itu. Aku kembali bertanya. Lalu kembali dijawabnya. Oh! Seorang perempuan cantik kira-kira berumur empat belas tahun, lalu di sampingnya berdiri anak kecil laki-laki kira-kira berusia sembilan tahun. Mereka berdiri di bibir sungai. Aku jadi ingat A Fung. Jika A Fung putih bermata cipit, sementara dua makhluk di hadapanku ini berwajah indo. Rambut keduanya ikal-ikal berwarna pirang, kulit mereka putih kemerah-merahan, berhidung mancung, bibir tipis, mata mereka berwana coklat bening. Bentuk wajah mereka tirus, berahang sempit, bibir tipis berwarna merah muda.
Aku menyapa keduanya dengan salam. Tapi keduanya hanya tersenyum tidak menjawab salamku. Lalu kutanya apakah mereka punya agama? Keyakinan? Dia mengangguk, lalu menjawab menurut cerita turun temurun dulu buyutnya sebagian muslim, lalu sebagian lagi animisme.
Entah bagaimana ceritanya mereka satu kampung dibaptis menjadi penganut katolik. Lalu anak kecil itu menunjuk ke arah timur. Aku melihat ke arah yang di tunjuk, mereka tinggal di Bukit lumaian jauh dari tempat kami berdiri sekarang ini. Aku melemparkan pandang ke bukit yang mereka tunjuk. Benar, dari jauh aku melihat puncak gereja berdiri megah menghadap ke Barat. Ternyata di dunia gaib pun juga terjadi misi agama seperti di alam nyata. Tiba-tiba di hadapanku berdiri seorang lelaki, berhidung mancung, perawakannya tinggi, agak langsing . Beliau tersenyum ramah menyapaku.
“Selamat datang di dusun Ulu Ayeak, anak gadis. Kenalkan saya Pastor Frans.” Aku menerima uluran tangannya. Aku juga memperkenalkan diri padanya. Dari beliau aku mengetahui, jika beliau berada di Bengkulu Selatan ini sejak tahun 1920, sementara nenek moyangnya yang berasal dari Inggris jauh sebelumnya sudah bolak-balik ke wilayah Bengkulu Selatan ini. Beliau bercerita pertama kali beliau masuk daerah ini, berjalan kaki siang malam berminggu-minggu lamanya bersama tentara dan pedagang Inggris. Lalu beliau merasa jatuh cinta dengan panoramanya, ada laut, ada bukit, ada sungai. Akhirnya beliau menetap hingga sekarang, menjadi penginjil, menyebarkan agama baru ke wilayah sini. Menyatu dengan masyarakat pribumi yang terbuka menerima kehadirannya. Beberapa tentara Inggris menikah dengan penduduk pribumi. Maka di kampung kami banyak orang tua yang berwajah indo. Mereka berdua adalah cucu-cucu generasi ke lima.” Ujar Pastor Frans menjelaskan dalam bahasa daerah yang kental, menjawab tandatanyaku yang besar. Aku terpaku mendengarnya. Ketika aku duduk di bangku SD, sahabatku juga banyak yang berasal dari Tanjung Sakti berwajah indo. Berarti terjadi pernikahan silang seperti yang diceritakan Pastor ini. Aku mengangguk-angguk sambil berpikir membanyangkan wajah mereka memang berbeda dengan penduduk asli Manna pada umumnya.

Usai berbincang-bincang, aku mohon pamit pada mereka melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan aku berpikir. Ini pengalaman pertama dalam hidupku bertemu dengan masyarakat gaib berwajah indo. Di Bengkulu kota aku bukan bertemu Indo, tapi asli bule Belanda dan Inggris.

Aku menatap kulit dan membayangkan wajahku. Aku jadi tersenyum sendiri. Sungguh jauh berbeda dengan anak dua tadi Aku berkulit sawo mateng, beruntung hidungku ada batangnya, jadi tidak terlihat terlalu pesek, mataku berwarna coklat tapi tidak secoklat mata bule yang kutemui tadi. Mata mereka coklat muda mirip mata kucing. Kupegang rambutku, lurus panjang dan hitam, tidak pirang bergelombang. Ternyata Selasih cekikikan menertawakan pikiranku.
“Pingin terlihat bule? Besok kita ambil inai daun, lalu lumur rambutmu biar terlihat merah. Atau ke salon minta dipirangkan dan keriting sedikit. Pasti bagian kepalamu mirip Bule.” Ujar Selasih. Aku terbahak mendengarnya membuat kawan-kawanku yang lain menoleh.
“Nah, mulai tu Dedek ngoceh sendiri. Entah ngobrol dengan makhluk mana,” ujar Ina sambil terus berjalan. Akhirnya aku hanya tersenyum menahan tawa menanggapi ucapan mereka sambil terus berjalan.

Kali ini jalan setapak yang kami lalui di antara semak belukar. Mungkin dulu ini adalah kebun penduduk. Namun nampaknya dibiarkan terbengkalai sehingga menjadi semak ditumbuhi rumput-rumput bambab, tetap tunggul, dan rumput berduri. Aku dan kawan-kawan sedikit harus hati-hati karena selain menanjak jalannya tanahnya licin meski tidak basah. Meski beberapa akar pepohonan terlihat menonjol, tidak terlalu membantu. Sebab akar-akar itu pun juga licin. Suara serangga hutan terdengar asyik sekali. Membuat aku semakin semangat menyisir jalan yang menanjak. Mengimbangi cuaca panas, dan langit yang terang tak berawan. Karena tidak ada belantaranya tidak kudengar suara siamang. Yang ada hanya suara cicit anak pipit, burung manyar yang terbang ke sana kemari, suara sesiagh yang menjerit-jerit.

Medan yang kami lalui tidak terlalu sulit sebenarnya. Jalan hanya menanjak menuju puncak bukit. Ada dua sungai yang harus kami seberangi. Dari jauh, aku sudah mencium aroma yang membuat perutku mual. Bukit dusun tinggi Sebakas sudah ada di hadapan. Kemungkinan satu jam setengah kami akan sampai di tujuan. Aku bersyukur hari masih siang. Aku dan kawan-kawan istirahat sekali lagi di bebatuan pinggir sungai, salat di sana, ada juga kawan-kawan yang mandi membersihkan diri. Sambil masih duduk di atas kain yang kubentang menjadi sajadah, aku melihat pintu gerbang untuk masuk ke bukit Sebakas. Ada dua nenek gunung berkeliling menjaga bukit itu. Lalu ular besar berkepala manusia, tubuhnya melilit bukit. Mereka dari tadi sudah menatapku. Aku masih pura-pura tidak melihat mereka.
Aku melihat banyak sekali perkampungan di sekitar sini. Apakah perkampungan-perkampungan ini termasuk perkampungan yang digaibkan seperti cerita yang berkembang dari mulut ke mulut bangsa manusia? Atau sama dengan perkampungan tempat Pastor Frans bersama dua anak indo tadi? Wallahu ‘alam. Aku tidak berani asal masuk perkampungan mereka. Instingku mengatakan, rata-rata orang di kampung ini berilmu tinggi. Aku melihat cahaya berkilau-kilau dari bubungan rumah, dan sebagian lagi di atas pohon kelapa. Pohon-pohon kelapa itu antara hidup dan mati. Daunnya habis, keriting semua. Aku memaklumi, racun adalah senjata andalan dan warisan nenek moyang mereka dengan berbagai macam bentuk dan jenisnya. Racun bukan sesuatu yang ditakutkan di sini, tapi jadi permainan biasa. Perkampungan mereka yang sepi membuat tanda tanya padaku. Kemana bangsa mereka? Apakah semua penduduknya bekerja di ladang, di kebun? Entahlah. Dari tadi aku belum bertemu dengan sosok nenek gunung di sini. Aku baru melihat para sepuh, buyut dan nenek puyang mereka tanpa baju, berkain sarung yang diikat sekenanya, lalu melilit sabuk berukuran cukup besar di pinggang, memegang tongkat dengan rokok nipah di bibirnya. Sebagian lagi aku melihat lelaki berkain belacu hitam tanpa baju, lalu kepalanya pun berikat kain belacu hitam. Mereka mengendong jantar yaitu bambu yang berukuran besar, berisi kabung atau manisan dari pohon nira. Perempuan-perempuan pun tidak pakai baju. Mereka berkain sarung yang dililitkan di dada. Sama dengan yang lelaki, sebagian berkain hitam belacu lusuh diikat sampai ke batas dada lalu bertengkuluk kain belacu hitam juga. Aku tidak tahu apakah pakaian ini membedakan suku, kasta, atau apa. Yang jelas mereka hidup berdampingan. Yang mencolok hanya pada kain yang mereka kenakan. Ada yang memakai kain sarung seperti manusia pada umumnya, namun ada juga yang mengenakan kain belacu berwarna hitam. Anak-anak kecilnya rata-rata memakai celana seadanya, dari kain yang dipotong segitiga lalu diikat dipinggangnya. Sementara yang perempuan sejak kecil sudah berkain sampai sebatas dada. Kalung-kalung mereka menarik perhatianku. Anak kecil maupun orang tua, di leher mereka melingkar kalung yang dibungkus dengan kain hitam mirip seperti jimat. Atau memang itu jimat? Di tangan-tangan mereka melingkar gelang akar bahar yang menurutku mengandung energi. Semuanya beraroma mistis, memang. Aku terperanjat ketika bahuku ditepuk Ina.
“Hei! Memandang apa kok tidak berkedip?” Ujarnya menatap wajahku.
“Di sini ada pintu gerbang, untuk masuk perkampungan gaib.” Ujarku. Aku lupa! Aku menutup mulutku. Harusnya aku tidak bercerita pada Ina atau yang lainnya. Aku khawatir mereka takut.
“Apa?” Kata Ina membelalak. Aku tertawa sambil melarat kata-kataku. Kukatakan seandainya di sini ada perkampungan, alangkah indahnya. Kita bisa bincang-bincang dengan penduduknya.
“Konon Sebakas ini dusun, Dek. Dusun yang sumpah oleh Si Pahit Lidah, digaibkan!” Ujar Ina menegaskan. Aku bangkit sambil menepuk tangannya. Lalu kuajak dia berpikir positif.
“Terlepas apakah benar atau tidak cerita itu, yang penting kita sampai sesuai misi kita. Apakah perlu dihijaukan kembali wilayah ini, atau menjadi cagar alam atau cagar budaya. Kita belum tahu apa saja hasil survei dan rekomendasi apa yang akan kita ajukan. Kita belum sampai.” Ujarku memberi semangat. Akhirnya kami kembali bangkit, melanjutkan perjalanan, meniti jalan yang menanjak.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *