HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT III (47B)

Karya RD. Kedum

Tidak terasa aku dan Macan Kumbang sudah sampai di halaman sekolah. Pecahan tubuhku kembali menyatu. Macan Kumbang mohon diri kembali menemui nek Kam di gunung Dempu. Sudah beberapa minggu ini nenek Kam ada di sana. Kulihat Sumiyem berlari-lari kecil memanggilku. Katanya aku dipanggil pak Ardi, pembina OSIS. Aku segera menemui beliau. “Dek, kamu bawa nota ini ke tukang jahit di pasar proyek, tanyakan kapan seragam baris-berbaris kalian selesai. Kamu pakai motor Riyan sebentar.” Kata pak Ardi. Akhirnya aku dengan Sumiyem pergi mengendarai sepeda motor ke pasar Proyek Pagaralam.

Ketika balik lagi ke sekolah di jalan kami berpapasan dengan Eko dan Rudi, dua temanku yang tinggal di tangsi satu gunung Dempu. Kami naik kendaraan beriringan. Mereka berdua ada di belakang. Entah mengapa, tiba-tiba gas motor yang kubawa melaju kencang di jalan yang berbatu dan sulit dikendalikan. Sumiyen yang duduk di belakangku nyaris jatuh karena terguncang-guncang. Aku berusaha mengendalikan setang motor dan gas yang diputar full.

Tiba-tiba di hadapanku ada kabut tipis. Pertama kabut itu lebar seperti bentangan kain, tiba-tiba menyambar dan membalut sukmaku. Gerakkannya cepat sekali. Hanya dalam hitungan detik, kendaraan yang kubawa meluncur bersama jasadku. Persis di simpang pemakaman menuju sekolah. Aku melihat tubuhku terkapar tertimpa motor. Sementara Sumiyem menangis histeris, tak lama berselang Rudi dan Eko tiba. Untung ada mobil bak terbuka kebetulan melintas. Eko dan Rudi mengangkat tubuhku ke atas mobil dan langsung mereka bawa ke rumah sakit DKT di pusat kota. Eko menangis sambil memangku tubuhku sepanjang jalan. Sementara jasadku terlihat lemah tak berdaya. Bawah betis kaki kiriku patah! Rudi memegangi kakiku agar tidak bergoyang-goyang. Sementara, sukmaku tidak bisa bergerak sama sekali. Sukmaku dibalut dari ujung kaki hingga kepala. Hanya wajahku saja yang tersembul seperti bayi yang baru lahir.

Di alam gaib ini sedang berlangsung pertempuran sengit. Ada dua kubu tengah bertempur. Aku tidak tahu siapa yang membalut dan memanggul sukmaku. Dan apa pula penyebab pertempuran ini. Atau mereka ini tengah memperebutkan aku? Oh! Tiba-tiba ada perasaan cemas memenuhi ruang dada. Aku akan hilang dari keluarga jika benar aku dibawa ke Banyuwangi. Aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah. Sukmaku yang terbalut selaput tipis dengan tangan terbujur kaku dipanggul seorang perempuan sambil membalas serangan. Aku tak mampu melihat siapa dengan siapa yang bertempur. Aku hanya bisa merasakan dasyatnya pertempuran dan tubuhku ikut terombang-ambing ke sana kemari.

Tidak jauh dari tempat ini pertarungan sengit juga sedang berlangsung. Mendengar dengus nafas dan suara yang menggema jumlah yang berkelahi tidaklah sedikit. Aku mulai merasakan lelah di panggul apalagi dalam keadaan seperti kepompong ini. Aku segera mencoba membaca mantra untuk melepaskan diri. Semakin kubaca aku merasakan balutan tubuhku semakin erat. “Pasrah saja Kanjeng Ratu. Lemaskan tubuh Kanjeng agar tidak cidera. Kami akan melindungi Kanjeng Ratu sampai tetes darah penghabisan.” Kata perempuan yang dipanggil Nyi Rara.

Akhirnya kuurungkan sambil mencari akal bagaimana bisa lepas. Mereka memanggilku Kanjeng Ratu? Kalau aku kanjeng Ratu mereka mengapa aku diikat seperti ini? Aku tidak bisa bergerak sama sekali. Bukankah ini menyiksa? “Nyi Ratih, berikan kanjeng Ratu padaku. Biar aku yang bawa Kanjeng Ratu,” seseorang berbicara. “Baik, hati-hati Nyi Rara, jangan sampai Kanjeng Ratu cidera. Apa lagi pihak lawan tidak terima kita membawa pulang Kanjeng Ratu. Bawalah segera Kanjeng Ratu ke istana kita.” “Aaaoww…” Aku menjerit tertahan. Tiba-tiba aku dilempar dan telah berpindah tangan. Aku jadi tahu, tadi di tangan Nyi Ratih. Sekarang di tangan Nyi Rara. Siapa mereka ini? Dua peri itukah? Aku tidak bisa menatap wajah mereka. Dipanggul dengan kepala di bawah, lalu bagian pinggang ke kaki dikepit membuat darahku seakan berkumpul ke kepala. Mau berusaha menotok bagian-bagian tertentu meski hanya lewat pikiran. Namun gagal.

Aku mulai putus asa. Artinya aku harus pasrah sukmaku mereka ambil. Sementara jasadku masih terbaring dengan kaki patah di atas bangsal rumah sakit tua yang remang-remang. Rumah Sakit seperti kuburan karena tidak hanya sepi tapi suasananya memang mencekam. Di bangsal samping kulihat seorang lelaki tua sedang sekarat. Tak lama, dia meninggal dunia ditangisi sanak keluarganya. Sedangkan aku, masih terbaring tak berdaya. Kaki kiriku di sarau beralas papan dibalut erat dengan perban. Perawat bolak-balik mengontrolku. Kawan-kawan sekolahku silih berganti melihat kondisiku, sebagain besar berkerumun hingga di luar Rumah Sakit. Aku dijaga guruku. Semua menampakkan simpatinya. Beberapa orang kulihat menitikan air mata. Tak sedikit yang menangis tersedan di sisi ranjang. Mereka tidak ada yang tahu kalau di hadapan mereka hanyalah jasad yang hanya memiliki setitik kehidupan. Sukmaku tengah disandera oleh makhluk gaib bangsa peri. Mereka mengatakan aku adalah ratu mereka. Aneh!

“Nduuuk…Yaa Allah nduuuk…” Aku melihat Emak bergegas bersama Bapak gorengan menaiki anak tangga Rumah Sakit sambil menangis. Sampai di ruang rawat inap, Emak tumpahkan tangis sambil memelukku. “Aduh Nduk..Nduk..kok bisa seperti ini? Masya Allah, kakimu patah yo Nduk.” Emak mengelus-ngelus dan memelukku. “Sabar yo nduk…sabar…ini cobaan. Sabar ya nduk.” Bapak mengelus-ngelus wajahku. Sementara Emak menggenggam tanganku erat sekali sambil berurai air mata. Aku ingin sekali menjawab, jangan menangis Emak, Bapak. Tapi tidak bisa. Mataku masih terpejam. Aku seperti kehilangan tenaga sama sekali. Jangankan bergerak untuk sekadar membuka mata saja aku tak mampu.

Menjelang malam, Ibu dan Bapakku baru datang. Mereka dijemput kerabatku di sebrang Endikat. Hebatnya keduanya tidak menangis. Mereka begitu tegar. Melihat kakiku patah, mereka hanya pasrah dan berusaha menguatkan aku. “Kita berobat sampai sembuh ya, Dek. Ini cobaan untuk kita. Perbanyak istighfar. Insya Allah sembuh,” Bapak menguatkan. Aku bersyukur memiliki dua orang tua yang hebat ini. Padahal aku tahu betapa hancurnya perasaan mereka. Mereka pandai sekali menyembunyikan perasaan itu. DuaRR!! Aku terkejut mendengar benturan keras seakan-akan dekat sekali denganku. Jantungku berdegup kencang. “Nyi Rara, selamatkan Kanjeng Ratu. Gelombang penyerangan makin dasyat. Mereka makin banyak. Entah darimana-mana mereka ini. Kau harus lolos bersama Kanjeng Ratu. Sebentar lagi kita akan terkepung. Bawalah Kanjeng Ratu ke istana kita. Biarkan kami yang menghadapi mereka-mereka di sini.” Suara yang dipanggil Nyi Ratih mengingatkan Nyi Rara. Beberapa orang berkeliling melindungi Nyi Rara. Aku masih dalam keadaan terpasung. Aku tak sempat ingin fokus mencoba memecah diri. Oh! Kulit tipis seperti kepompong ini benar-benar kuat. Rupanya telah dimantra-mantrai. Dalam keadaan masih dipanggul aku serasa meluncur kencang. Aku mencoba berkomunikasi dengan Macan Kumbang, tidak bisa. Dengan Puyang Pekik Nyaring, Nenek Kam, juga tidak bisa. Aku mirip anak bayi yang hanya bisa mengedipkan mata tanpa daya. Apakah ada yang tahu jika aku telah mereka sandera? Angin mendesing sangat kencang.

Aku tidak tahu akan di bawa kemana kecuali pasrah. Sekilas aku melihat banyak sekali perempuan memakai kemben dengan senjata di tangan seperti mengawal ikut mengawal aku. Dalam hati aku teringat kata Macan Kumbang tentang balatentara dari Banyuwangi. Merekakah yang dimaksud itu? Oh! Aku benar -benar berhasil mereka culik. Aku gagal menjaga diriku sendiri. “Berhenti!! Mau kalian bawa kemana gadis kecil itu? Kembalikan Putri Selasih kalau kalian tidak mau mati sia-sia di sini. Tidak akan kami biarkan selangkah pun, kalian bawa Putri Selasih dari tanah Sumatera ini.” Suara lelaki tegas. Aku tidak tahu siapa dia. Tapi mendengar perkataannya nampaknya dia ada dipihakku. Hendak menyelamatkan aku. Dari nada suaranya beliau bukan suku Besemah. Tapi dari suku Minang. Apakah Kakek Pekik Nyaring dibantu oleh inyiak dari Sumatera Barat? Oh, aku jadi teringat dengan inyiak dari Gunung Talang yang pernah menginjak tanah Besemah ketika menangkap keturunan Tionghoa yang telah memperjualbelikan daging nenek gunung.

“Maaf orang tua. Putri Selasih ratu kami. Kamilah yang berhak atas dirinya. Dia adalah titisan raja pemimpin di kerajaan kami. Maka selayaknya kami jemput untuk kembali ke kerajaan kami,” lanjut Nyi Rara. “Jangan bermimpi Nyai cantik. Dia keturunan dari Kerajaan Pekik Nyaring, bukan kerjaan pantai Timur Banyuwangi. Cari saja dari bangsamu untuk menjadi Ratu kalian. Jangan Putri Selasih. Dia adalah titisam manusia harimau dari gunung Dempu. Bukan titisan peri seperti kalian. Paham?!” “Tidak bisa orang tua! Putri Selasih adalah Ratu kami. Maka hidup ataupun mati kami, Kanjeng Ratu akan kami bawa pulang.” Nyi Rara tetap bersikeras. Sambil berbicara Nyi Rara melakukan serangan. Entah apa yang dia lakukan. Namun yang jelas aku merasakan sebuah energi yang luar biasa dasyatnya. Sekilas aku melihat gelombang bergulung ke arah lawan. Lalu dari lawan aku mendengar suara saluang yang menyayat. Nadanya mengiris-ngiris rasa siapapun yang mendengarnya. Jika tidak kuat maka suara saluang itu akan mebuat seseorang menjadi melakolis. Otomatis akan sangat mudah melumpuhkannya. Selanjutnya diikuti suara kain yang ditepuk-tepuk. Dan tepukan itu bukan tepukan biasa, tapi tepukan berenergi yang dasyat pula. Aku merasakan dasyatnya tepukan itu seperti hendak memecahkan gendang telinga. Oh! Aku tak mampu menghalangi suara itu. Telingaku berdenging terasa sakit. “Oh! Maafkan Kanjeng Ratu, maafkan hamba. Hamba lupa menghalangi panca indera dengar Kanjeng Ratu.” Nyi Rara seperti baru sadar dari tidur. Secepat kilat tangannya bergerak menotok bagian alat dengarku. Akhirnya aku hanya mendengarkan suara yang berenergi biasa-biasa saja.

Tak lama berselang aku mendengar pertarungan jaraknya dekat sekali . Angin pukulan dan tangkisan terasa seperti deru angin mengaduk-ngaduk semua sisi. Belum lagi api seperti lidah yang menjilat-jilat entah dari tenaga dalam atau senjata siapa. Ternyata Nyi Rara ini tak kalah tinggi ilmunya dengan nyi Ratih. Meski sembari memanggul tubuhku namun tidak menghalangi dirinya untuk bergerak. Ilmu meringankan tubuhnya kurasakan sangat tinggi. Akhirnya muncul ideku untuk mengelabuinya. “Nyi Rara, lepaskan aku. Agar aku bisa membantu melawan orang tua itu.” Ujarku lembut. “Maaf Kanjeng. Kanjeng Ratu adalah tanggung jawab hamba. Tangan Kanjeng Ratu tidak boleh dikotori melawan orang-orang ini.” Jawab Nyi Rara lembut pula. Aku menarik nafas. Gagal membujuknya. Ketika tubuh nyi Rara naik ke udara, lalu turun lagi ke bumi, aku serupa naik kincir membuat darahku berdesir-desir. Samar, aku mendengar ada yang bersyalawat. Makin lama syalawat itu semakin syahdu. Sementara pertempuran Nyi Rara dan lelaki dari rana Minang masih terus berlangsung sengit. Suara syalawat itu seakan-akan membimbingku untuk mengikutinya dalam hati.

Akhirnya aku memejamkan mata fokus pada syalawat yang kudengar. Hati, jiwaku menjadi satu dalam syalawat. Kunikmati kesyahduan dan dalamnya. Sukmaku seperti diajak ke alam lain jauh lebih tinggi ke angkasa. Aku merasakan ada nuansa damai dan sejuk dan aku makin hanyut dibuainya. Makin lama syalawat itu makin merdu hingga membuat bulu romaku berdiri semua. Aku tidak sempat berpikir siapa yang bersyalawat itu yang kurasakan adalah jiwaku terasa damai dan semakin ringan. Tanpa kusadari ternyata lilitan kabut tipis yang membalut erat tubuhku makin longgar. Aku masih di panggul nyi Rara. “Kanjeng Ratu sedang bersenandung ya. Mohon maaf, hentikan sejenak Kanjeng, Mengapa aku merasa panas mendengarnya?” Ujar nyi Rara memohon di sela-sela pertempuran melawan Inyiak dari Sumbar itu. Padahal aku bersyalawat dalam hati. “Aku seorang muslim, nyi. Jadi jangan halangi aku bersyalawat pada Baginda Nabi Muhammad SAW.” Ujarku pelan.

Aku terus mengikuti syalawat yang mengalir lembut di telingaku. Diam-diam aku bisa menarik kedua tanganku. Pelan-pelan kuletakkan di dada, aku mulai membaca mantra memecah diriku menjadi dua. Sukma asliku ke luar dari kabut yang mengikatku. Sementara sukma pecahanku kubiarkan seperti terikat. Lalu kupecah lagi jadi dua. Sekarang ada empat Putri Selasih. Satu terkurung, tiga turun ke medan lagi. Melihat jumlahku banyak, nyi Rara kaget bukan main. “Kanjeng..kanjeng Ratu. Bagaimana Kanjeng bisa ke luar. Di luar berbahaya Kanjeng?” Tanyanya heran. Konsentrasi nyi Rara terpecah dua. Selain harus melawan inyiak dari suku Minang yang masih gencar menyerangnya, di sisi lain dia takut aku lepas tidak bisa dibawanya ke Banyuwangi. Jurus-jurus nyi Rara agak kacau. Ini terlihat ketika dia melayangkan pukulan selalu meleset. Tidak pernah kena sasaran. Banyak sekali pukulan mubazirnya menyentuh tanah, batu, kadang hanya angin. Inyiak dari ranah Minang tidak menyia-nyiakan kesempatan. Beliau melancarkan pukulan-pukulan maut. Ternyata bala tentara dari Banyuwangi bukanlah makhluk yang kosong. Mereka berani sampai menyeberang ke tanah Sumatera pasti karena sudah memiliki kemampuan yang bisa diandalkan.

Entah darimana datangnya, aku melihat sosok bayangan putih menyambar diriku lalu membawa aku pergi meninggalkan arena pertempuran. Aku tak sempat untuk melakukan apa-apa. Seluruh tubuhku lemas seperti tak bertulang. Aku tidak tahu, apakah aku ditotok atau disihir, saking cepatnya aku tidak menyadari semuanya.Aku melihat tubuh kami melintas di atas bukit dan hutan. Ternyata yang menyambarku seorang lelaki yang memiliki ilmu meringankan tubuh melebihi ringan angin. Dalam ketidakberdayaanku, aku ingat bagaimana aku bisa lolos dari balutan gaib nyi Rara peri dari Banyuwagi tadi. Aku mencoba bersyalawat sendiri. Hanya ini yang dapat kulakukan. “Iya, bagus Cung..teruslah bersyalawat. Insya Allah atas izin Allah, setinggi apa pun ilmu yang miliki oleh jin jahat tak akan bisa menyentuhmu.” Ujarnya masih terus melaju.

“Puyang siapa? Aku akan di bawa kemana?” Tanyaku ketika selintas menatap wajahnya sebaya Puyang Pekik Nyaring dan Puyang Ulu Bukit Selepah. Belum ada jawaban. Namun ada rasa lega dibatinku, aku jatuh di tangan orang yang benar. Tiba-tiba aku dan lelaki tua yang tak kukenal itu sudah berada di sebuah daerah yang tinggi, bercadas. Aku diturunkannya. Lalu didudukannya di atas batu lebar yang datar. Di sekeliling batu itu ada jurang yang sangat dalam. Lalu jauh di seberang, hutan belantara yang sangat lebat. Aku mendengar deru air. Sungai! Namun ketika aku memandang ke lembah, di sisi dua pertemuan sungai aku melihat sebuah istana mega berdiri kokoh seakan menantang bibir jurang. Sungguh menakjubkan. Istananya di desain mirip-mirip bangunan Timur Tengah. Jendela-jendela lebar bentuknya seperti kuba masjid. Beberapa sisi terlihat seperti jamur tumbuh lebih menonjol dari bangunan yang lain seperti menara masjid. Cahaya keemasannya membuat istana itu berkilau-kilau. Sisi kanan kiri mengalir sungai bertemu pas di unjung jurang tempat istana berdiri. Di hulu, ada bagian yang lebih rendah, mirip sebuah telaga yang airnya merah. Suasana lembah yang hening mengingatkan aku pada kampung kampung halamanku. Dusun Bapak dan Ibu, Seberang Edikat.

“Maafkan aku Puyang. Jika tidak keberatan, bolehkah aku tahu siapakah Puyang? Dan saat ini aku berada di mana?” Ujarku. Aku baru bisa menatap wajahnya dengan awas setelah aku diturunkan dan berhadapannya dengannya. “Untuk sementara kau aman di sini. Aku puyangmu dari Besemah, dan ini tanah leluhurmu, Cung.” Lelaki berpakaian gamis putih, berjabang, kumis dan jenggot yang sudah putih pula itu berkata tanpa menyebutkan siapa dirinya kecuali leluhurku dari Besemah. Demi melihat tubuhnya besar tinggi, berhidung mancung. Wajahnya sedikit ke Arab-araban. Matanya yang terduh dan bening, menandakan beliau orang soleh. Aku tidak berani menanyakan siapa namanya.

Dalam hati aku masih bertanya-tanya tentang puyang Besemah yang menolongku ini? Aku telah diselamatkannya sudah sangat bersyukur lepas dari cengkraman pasukan dari Banyuwangi. “Jadi aku masih di tanah Besemah, Puyang? Bukan di Banyuwangi bukan?” Tanyaku serius. Puyang tersenyum simpul. “Silakan duduk timpuh, pejamkan mata, lalu ikuti Puyang,” ujarnya lembut tanpa menjawab pertanyaanku. Aku segera melakukan apa yang beliau perintahkan. Aku segera duduk simpuh lalu memejamkan mata. Aku ikuti aliran nafas ke luar dan masuk. Sang Puyang mengajakku diam khusuk berzikir. Lagi-lagi zikir nafas. Persis yang sering dilakukan kakek Andun, Kakek Njajau, Kakek Pekik Nyaring, dan Kakek Ulu Bukit Selepah. Lalu siapakah Puyang dihadapanku ini? Lalu aku sedang berada di mana? Daerah ini bagiku asing. Di tengah deru suara sungai yang mengisi dua sisi jurang membuat alam pebukitan ini seperti dalam lorong yang luas. Aku mengikuti pengarahan Puyang, untuk pasrah dan terus memusatkan diri pada sang pencipta sembari menarik dan mengeluarkan nafas dengan

“Huu Allah”. Tak lama berselang, dalam keadaan terpejam aku merasakan ada cahaya yang mengitari kami berdua. Cahaya seperti gelombang itu makin lama makin besar dan luas. Lalu seperti gelombang pelan-pelan mengecil kembali sebatas lingkaran tubuh kami. Lalu Puyang menyuruhku membuka mata. Aku patuh membuka mata. “Puyang akan cabut gendam dalam tubuhmu.” Ujarnya. Tak lama aku melihat tangannya bergerak cepat seperti menarik sesuatu dari dalam tubuhku. Ada kabut tipis digulung kakek dengan tangannya mirip seperti benang sutra namun berwarna putih halus sekali. Tak lama berselang aku melihat kabut itu sudah sebesar bola kaki. Puyang membaca ayat-ayat Al quran lalu dengan kekuatan tenaga dalamnya sembari mengucapkan “Allahu Akbar” bola kabut itu pelan-pelan dihancurkannya dengan kedua belah telapak tangannya. Sekejab, bola itu telah berubah menjadi asap lebur bersama udara.

“Alhamdulilah…” Puyang tersenyum sembari memandangku. Ditariknya tanganku untuk menyuruhku berdiri. Aku patuh saja ketika tanganku dibimbingnya berjalan beberapa langkah ke arah timur. Di hadapan kami bukan saja terdapat jurang, namun jauh di sana cadas berdiri kokoh seakan sengaja dibuat untuk memagari lembah dan menopang bukit dan belantara di atasnya. Cahaya telaga yang tertimpa matahari memantulkan cahaya ke dinding cadas. “Cung, dirimu masih di tanah Besemah. Tanah leluhurmu. Saat ini kita berada di atas bukit Mercawang. Di balik bukit itu, dusun Bapak Ibumu, dusun nenek Kam, dusun kita. Aku melemparkan pandang ke arah yang ditujuk Puyang. Masya Allah, aku serasa bermimpi. Jadi saat ini aku masih berada di tanah Besemah. Tanah leluhurku? Aku hanya dapat membenak sembari menahan air mata haru. Kupandang wajah Puyang yang tesenyum. Wajah teduh ini bercahaya menatapku penuh kelembutan. Selintas aku teringat jasadku. Kapan aku bisa kembali ke jasadku dengan sempurna? Sepertinya Puyang paham apa yang kupikirkan, Puyang menyabarkan aku.

Jika keadaan tidak genting lagi, semua aman, dan pasukan Banyuwangi ke luar dari tanah Sumatera, maka aku akan diizinkan untuk kembali. “Saat ini, kamu ikut bersamaku. Mari kita turun.” Ajaknya. Aku mengikuti langkah beliau. Baju gamis putihnya berkibar-kibar ketika diterpa angin. Kami menyisir jalan setapak lurus dan panjang meretas jurang yang dalam. Kiri dan kanan air sungai makin terdengar kencang mengisi ruang lembah seperti tabuhan.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *