Harimau Sumatera Hewan BERADAT IV (51)

Karya RD. Kedum

Tidak terasa, habis juga waktuku di karantina pasca pemulihan kaki yang patah. Satu tahun. Waktu yang cukup panjang. Aku sudah bisa lepas dengan tongkat penyangga, tapi karena ketika berjalan pergelangan kakiku masih terasa nyeri, maka masih perlu dibantu. Akhirnya tongkat penyanggah tetap dibawa kemana-mana.

Bermula ketika aku sedang duduk di pinggir jalan sembari ngobrol dan bercanda dengan tetangga. Lalu lewat perempuan separuh baya. Entah bagaimana ketika aku melihat beliau, beliau langsung berhenti menghampiriku. Instingku berkata, perempuan ini akan membantu memulihkan kakiku. Ternyata benar, ketika beliau bertanya mengapa kakiku, kukatakan kakiku patah, beliau mengangguk lalu berjanji petang nanti beliau akan coba membantu mengobati.

Aku memanggilnya Wak Nur. Kulihat ada sosok lelaki yang mengiring di samping Wak Nur. Kuketahui lelaki itu adalah semacam perewang dari leluhurnya, tepatnya dari orang tuanya turun-temurun. Beliaulah sebenarnya yang membantu mengobati. Wak Nur sendiri tidak tahu jika dia ada perewang seorang lelaki berpakaian serba putih. Dan terakhir kuketahui nama beliau Sidiq. Kupanggil Kakek Sidiq. Perawakannya biasa saja. Jari-jarinya tak henti bergerak. Rupanya dalam situasi apapun beliau bertasbih. Meski sedang dialog denganku namun hatinya selalu bertasbih. Bahkan seluruh tubuhnya terdengar bertasbih.
“Kamu anak yang menyenangkan, Selasih. Banyak sekali yang menyayangi dan mencintamu. Kulihat seluruh tubuhmu berisi berbagai macam energi positif yang dapat kamu gunakan kapan saja. Namun semuanya untuk kebaikan.” Ujarnya lurus menatapku. Aku tersenyum mendengar ucapannya. Beliau sudah sepuh, sudah banyak makan asam garam. Terlihat sikapnya sangat hati-hati dan karismatik.
“Iya Kek, meski banyak yang kumiliki namun tidak bisa kugunakan untuk diri sendiri. Seperti ketika kakiku patah aku tidak bisa mengobatinya. Sementara nenek gunung, ular, yang tulangnya remuk bisa kusatukan kembali. Pas giliran pada diri sendiri tidak bisa sama sekali.” Ujarku.
“Cung, sama halnya ketika mata kita kelilipan. Kita tidak bisa mengobati diri sendiri. Kita butuh orang lain untuk meniup dan membersihkan mata kita. Begitu juga dengan kakimu. Sang Khalik mengirim kakek untuk membantumu.” Ujarnya tersenyum. Aku mengangguk setuju. Bersyukur sekali aku selalu bertemu dengan orang-orang soleh.

Sejak itu aku dan kakek Sidiq sering berinteraksi. Dari beliau pula aku mengetahui beberapa jenis rumput yang bisa dimanfaatkan untuk pengobatan. Beliau juga mengajarkan manfaat minyak-minyakan baik dari tumbuhan dan hewan. Semuanya bisa dimanfaatkan untuk penyembuhan. Lalu beberapa doa yang bisa kumanfaatkan. Semuanya untuk pengobatan. Ketika iseng kutanya berapa usianya, kakek Sidiq berkata, usianya hampir seribu tahun. Wow!

Semula Bapak tidak mau membuka gips kakiku. Alasannya nanti makin parah. Ketika kubujuk bahwa ada Wak Nur yang akan membantu mengobati akhirnya Bapak setuju. Dengan susah payah gips kami buka sendiri tanpa bantuan apalagi saran dokter. Harusnya aku wajib kontrol ke Pelembang. Minimal dua kali selama pemulihan. Namun aku menolak. Alasanku aku sudah membaik, dan aku tidak ingin merepotkan kedua orang tuaku dan sanak keluarga.

Akhirnya petang itu wak Nur benar-benar datang. Beliau membawa minyak yang sudah di doainya, lalu memoles seluruh kakiku. Selanjutnya esok paginya beliau datang membawa semacam rumput lalu direbus dan dipakai untukku mandi terutama merendam kakiku yang patah. Aku tersenyum, secara fisik wak Nur yang bekerja, namun secara batin kakek Sidiq yang mengobati. Selanjutnya beliau gunakan rotan sebagai media mengurut kakiku. Setiap usai salat maghrib, maka kakiku harus di oles minyak. Lalu di rumahnya wak Nur mengurut rotan yang patah hingga lurus dan menyatu kembali.

Hari ke empat, pagi-pagi beliau datang ke rumahku lalu memaksa aku berjalan tanpa tongkat. Mulailah aku menapakkan kaki yang patah pelan-pelan. Selangkah, dua langkah, tiga langkah dan seterusnya. Selanjutnya beliau menyarankan agar aku melatih diri berjalan sendiri di dalam rumah. Sejak itu meski masih pincang, aku sudah mulai membiasakan diri untuk tidak bergantung dengan tongkat penyanggah.

Dadaku bergetar ketika pertama kali menginjakan kaki ke sekolah. Semua mata tertuju padaku. Mereka siswa baru masuk dan adik kelasku yang sekarang menjadi teman sekelasku. Beberapa mereka yang memang akrab sebelumnya. Jadi tidak heran tiap kali bertemu denganku pasti mereka berusaha hendak menolong. Membawa tasku lalu mengantarkan aku masuk kelas. Atau sekadar memegangiku agar tak jatuh. Sebagian mereka membawakan tongkat penyanggah. Kadang kalau aku naik angkutan umum, Bapak gorengan sudah menunggu lalu beliau yang sibuk membawakan tas dan membimbingku, mengantar aku sampai masuk kelas.

Tak ada yang istimewa selama aku duduk di kelas tiga ini kecuali mendapatkan perhatian-perhatian dari orang-orang yang baik, paham dan mau mengerti kebutuhanku. waktunya istirahat, kawan-kawan pergi ke kantin, akan selalu ada yang menemui aku dan bertanya aku mau nitip jajanan apa, atau setiap hari ada saja yang menghampiri kalau pulang sekolah tunggu dia. Maksudnya pulang bareng supaya mereka bisa jaga aku. Karena sekolah berudak-udak bayak juga kawan-kawan yang khawatir kalau aku terjatuh. Mereka bagiku adalah para malaikat yang sengaja Tuhan turunkan untukku.

“Nggak ada wajah Guntoro, jadi tidak semangat ya sekolah,” Selasih nyindir.
“Dia tidak naik kelas, terus pindah sekolah atau berhenti aku tidak tahu. Kabar terakhir yang kudapat, Bapak dan Ibunya cerai.” Ujarku. Kabar ini kuperoleh dari teman dekat rumahnya. Berita yang tidak enak lagi adalah, Guntoro berkawan dengan anak-anak yang sudah dewasa, lalu pergaulannya sehari-hari dia sudah kenal dengan ganja. Mendengar kabar miring itu tentu saja aku sangat sedih. Namun ternyata tidak menggoyakan perasaan cinta. Rasa sayang dan cinta itu tidak bergeser sedikitpun. Ingin sekali bertemu lalu saling menasihati, tapi kemana aku harus nenemuinya dalam kondisi seperti ini? Akhirnya Guntoro cukup kusimpan dalam hati. Bagiku dia tetap puisi cinta yang paling indah sampai kapanpun.

Aku duduk di atas semen jembatan gerbang sekolah. Menunggu angkutan umum cukup lama. Bapak dan Emak teriak-teriak menyuruhku menunggu di warung saja.
“Takut jatuh, Mak. Aku belum bisa naik ke warung Emak. Tanahnya licin meski ada bagian yang bisa dipakai untuk menumpukan kaki. Tapi kakiku belum kuat.” Ujarku. Bapak langsung turun terus menuntunku ke seberang. Pas mau naik, tubuhku langsung di gendongnya naik lalu didudukannya ke kursi yang agak lebar di dalam warung. Semua yang melihat tertawa. Bahkan ada yang nyeletuk “Waduh, apa nggak berat Pakde menggendong bayi tuek.” Bapak hanya tertawa mendapat candaan itu.
“Waktu Dedek bayi, saya belum kenal. Jadi tidak sempat menggendongnya. Nah saat inilah yang tepat menggendong Dede. Kalau dia sudah kuat, tidak mungkin juga saya bisa ngedongnya. Iya nggak Mak?” Ujar Bapak meminta dukungan.
“Lah iyalah, apalagi kalau Dedek sudah punya suami. Marah suaminya,” sambung Emak sambil menyodorkan nasi menyuruhku makan. Aduh! Emak dan Bapakku ini. Benar-benar manusia berhati emas. Rugi sekali nampaknya kalau tidak berbuat baik sehari sekali saja. Akhirnya aku makan masakan Emak. Seperti biasa Bapak juga akan ikut sibuk mengambilkan aku air minum hangat terus diberi bonus bakwan dan tempe goreng. Untung makannya selesai ketika angkutan desa kembali menjemput anak-anak sekolah. Aku jadi malu hati ketika turun dari warung kembali di gendong Bapak langsung ke mobil.

Tak lama berselang mobil angkutan desa sudah merangkak di jalan berbatu. Kendaraan roda empat itu terseok-seok sarat penumpang. Karena ini kedaraan terakhir tidak ada pilihan. Anak-anak lebih memilih bergelantungan di belakang dan duduk di atas atap daripada duduk di kursi yang sudah disediakan. Ketika kendaraan miring, ramai-ramai berteriak. Ketika mobil terhentak kembali ramai menjerit. Peremupun dan laki-laki sama saja terlihat ‘ladas’ (gembira) sekali.
“Selasih, hentikan kendaraan ini. Cepat!!” Suara dari Uluan aku segera konsentrasi menghentikan kendaraan yang sedang melaju tanpa sempat berpikir suara siapa itu tadi. Tiba-tiba mesin mobil mati. Tak sedikit yang bergelantungan maupun yang di atas mobil terlepas dari pegangan. Jatuh ke pinggir dan badan jalan. Suara menjerit kaget bahkan histeris seketika mengisi jalanan yang sepi.Tak lama, ada suara gradak-gruduk dari bawah. Lalu BraKK!!! Suara benturan benda keras melaju masuk ke area kuburan. Rupanya mobil truk besar milik PTP XI yang biasa membawa teh remnya blong. Truk itu melintas cepat sekali persis di depan kedaraan yang kutumpangi. Tidak terbayang kalau tidak ada yang mengingatkan untuk menghentikan kendaraan yang kunaiki pasti akan banyak korban. Bisa jadi satu mobil yang kutumpangiini, isinya tewas tergilas, atau mati terjepit.

Aku istighfar berulang-ulang. Kawan-kawanku yang terjatuh hanya sekadar luka lecet dan memar. Di tengah kesibukan saling tolong menyambut kawan-kawan yang terluka, aku segera memejamkan mata, kudatangi truck yang nyaris menabrak kendaraan kami. Sopir truck tewas seketika bersimbah darah. Darahnya mengalir di atas kuburan yang ditabraknya. Lalu seorang lelaki yang duduk di tengah, kemungkinan besar adalah mandor PTP, terkulai dengan kepala pecah, lalu di jendela sebelah kiri lelaki muda, separuh tubuhnya terkulai di jendela truck yang penyok. Ketiganya tewas dengan tubuh gepeng.

Beberapa makhluk asral segera berkerumun menghisap dan menjilat darah yang tergenang. Sebagian lagi ada yang memakan otak yang berceceran. Mereka pesta! Demi melihat hal menjinjikan itu, aku marah. Kukembangkan tanganku segera. Kuangkat tinggi-tinggi, lalu kuhantamkan pada mereka. Selanjutnya kawanan jin ini kuseret lalu kuhenpaskan di hadapanku. Mendapat perlakuanku, tak sedikit dari mereka yang balik marah.

Tiba-tiba di hadapaku berdiri raja Jin dengan wajah merah. Di kepalanya bertengker tanduk serupa taduk badak sumatera. Perutnya buncit. Rambutnya juga merah seperti api. Taringnya sampai ke luar dari mulutnya. Sementara di genggamannya, ada godam besi berduri.
“Anak keci! Kamu mau unjuk gigi di sini? Berani sekali kamu ya? Aku makan kau!” Raja Jin mengayunkan godamnya. Suaranya berat sekali. Sekali ayun, bekas pukulannya ke bumi langsung berlubang besar. Aku berusaha menghindar sembari menyeret kawan-kawannya yang masih berusaha meminum darah korban kecelakaan.

Kecelakaan ini sengaja dibuat oleh raja Jin dan kawan-kawannya. Mereka kelaparan dan haus darah manusia. Sudah lama aku tahu ini, namun belum ada alasan tepat untuk memusnakan mereka.
“Kalian harus bayar lunas karena sengaja telah mencelakakan manusia.” Ujarku sambil melakukan penyerangan. Rupanya mereka yang kuseret tadi balik menyerang. Kusapukan sabuk yang kutarik di pinggang, kuubah menjadi pedang. Kilatan berwarna kuning menyilaukan menyambar tubuh-tubuh ganas yang marah. Suara meraung, menjerit, menggeram, seperti suara di dalam goa, mantul kemana-mana.

Hiiiiaaat hap hap!! Aku melompat tinggi tangan kanan mengangkat pedang, tangan kiri kuhimpun tenanga halilintar. Dua kekuatan itu kupadu jadi satu. Ketika kuhantamkan hasilnya, makhluk-makhluk asral itu tewas seketika. Tubuh mereka seperti dicacah. Melihat anak buahnya banyak yang tewas. Raja jin semakin ngamuk. Kali ini tidak hanya senjatanya yang dikebutnya menjadi angin ribut. Namun juga sinar merah yang ke luar dari telapak tangannya adalah pukulan maut yang mematikan. Berulang kali pukulan itu diarahkan padaku. Sambil kubaca mantra angin aku berusaha mengimbangi kekuatan Raja Jin. Entah ilmu apa saja yang dimilikinya, tidak ada yang tidak dasyat. Setiap gerakkannya mematikan semua. Melihatnya begitu ganas dan berilmu membuat aku tidak berani menyedot energinya begitu saja. Sebab berbagai kemungkinan bisa terjadi. Ini kulihat dari gelagat ilmu yang dimiliki oleh Raja Jin ini.

Tiba-tiba aku melihat raja Jin berjalan dengan cara terbalik. God, berduri yang dipegangnya raib. Entah disimpannya di mana. Melihat dia berjalan terbalik aku segera memutar badan kuambil energi dari bumi kuhentakkan kakiku tiga kali. raja Jin terguling-guling. Lalu terkapar. Dalam hitungan detik, dia bangun lagi dan langsung menyerang. Kali ini dia membawa dua bola cahaya api di tangannya. Melihat kekuatannya seperti bertambah, aku segera mengeluarkan senjata. Sreeettt!
Selendang pemberian kakek Andun sekarang jadi pilihan. Aku langsung mengayunkan tangan sehingga selendang berubah menjadi senjata dasyat yang mematikan. DuaaaRR!! DuaaaRR! DuaaRR!!
seperti suara petasan yang mengeluarkan kembang api, memumbung hingga ke angkasa. Lagi temaram jadi terang. Bola api Raja Jin tengah bergumul dengan selendang yang kuleparkan.

Saat Raja Jin fokus mengendalikan bola apinya menyerang sabetan selendangku. Aku segera panggil angin dan halilintar. Dengan sekali ayun, kuhantamkan ke tubuh Raja Jin. Dia tidak bisa mengelak. Tubuhnya terbakar, akibatnya bola apinya menjadi liar. Aku segera menangkapnya dengan selendang lalu kuremukkan. “Ampun…ampun anak kecil..aku kalah..” Raja Jin termasuk di tanah sambil menyembah-nyembah. Separuh tubuhnya hangus terbakar
Aku hanya melihat matanya saja bergerak-gerak. Crreeesssss! Jariku menyedot energinya. Kubiarkan tubuhnya.
“Bunuh..bunuh saja aku!” Ujarnya putus asa setelah mengetahui jika ilmunya telah kuambil. Melihat ini anak buahnya tidak ada yang berani mendekat. Aku mencari-cari di antara anak buahnya siapa lagi yang sering ikut mengendalikan kendaraan agar celaka di lokasi ini. Ternyata sudah kubuat tewas lebih dulu. Yang lainnya ini hanya ikut-ikutan menikmati hasil.

Aku segera meninggalkan lokasi. Kembali ke jasasku. Rupanya banyak juga kawan-kawanku panik melihat aku diam saja. Mereka kira aku pingsan. Aku segera membuka mata. Serentak mereka berucap ‘Alhamdulilah’. Lokasi kecelakaan makin ramai. Kendaraan yang kutumpangi belum nyala. Mobilnya bebar-benar mati dan tidak bisa hidup lagi. Kawan-kawan yang terluka ringan sebagian sudah naik kendaraan lain. Mobil-mobil pengangkut kopi beralih fungsi mengantarkan anak-anak sekolah sampai ke perbatasan kota. Petugas kepolisian dan kesehatan sudah tiba. Ambulan bum juga datang. Melihat mobil yang kutumpangi belum juga hidup, aku baru ingat jika tadi mobilnya kukunci mendadak. Aku diam sejenak lalu kusuruh sopirnya untuk menghidupkannya lagi. Sang sopir tersenyum bahagia ketika mobilnya bisa jalan kembali. Akhirnya kami kembali beringsut meninggalkan lokasi. Dalam perjalanan, perasaanku masih terbayang dengan sopir truck yang tewas. Makhluk-makhluk asral itu benar-benar membuatku marah. Rasanya ingin kembali ke lokasi lalu membunuhnya.
“Selasih, mengapa tidak kau bunuh saja iblis-iblis itu?” Suara Macan Kembang.
“Mereka sudah tidak punya kemampun apa-apalagi. Ilmunya sudah kulebur” Ujarku pelan. Rupanya Raja Jin itu memang peminum darah dan pemakan otak manusia. Makanya dia ganas sekali.

Perihal kecelakaan di dekat kuburan itu makin santer di masyarakat. Daerah itu dianggap paling angker sepanjang jalan ke gunung Dempu. Ada yang bilang di situ ada kerajaan makhluk asral, ada yang bilang pelintasannya, ada yang bilang pintu gerbang alam gaib dan lain sebagainya. Namun yang jelas makhluk-makhluk itu memang suka berdiam di simpang itu. Suasananya memang sangat mendukung. Dekat kuburan, hening, udaranya agak lembab, tikungannya tajam. Melihat kondisinya ada bagian curam menikung, memang sangat mendukung untuk terjadi kecelakaan. Di sini pula aku jatuh tertimpa motor, kakiku patah, lalu ada yang nyamar jadi aku.
Aku baru saja sampai di rumah. Tiba-tiba kakiku tidak bisa bergerak dan itu sangat sakit. Lama-lama rasa sakit itu menjalar ke atas. Pinggang, dada, bahu, leher. Pas pada leher aku terasa dicekik. Melihat aku seperti ini seisi rumah kaget. Aku langsung dibawa masuk dan dibaringkan di lantai.

Menyadari ancaman bahaya baik fisik maupun batin, aku segera fokus untuk mengetahui apa yang terjadi tiba-tiba ini. Tidak ada sedikitpun aku merasakan akan dapat serangan seperti ini sebelumnya. Semuanya begitu tiba-tiba. Oh! Aku telah diserang sekawanan makhluk asral yang kuperkirakan ada hubungannya dengan Raja Jin itu.
“Siapa kalian?” Bentakku. Aku hanya mendapatkan jawaban seringai mengancam dari makhluk seperti binatang. Jasadku mereka ikat dengan gulungan benang mirip akar. Jasadku tak berdaya. Peluh mengucur dari seluruh tubuh. Semua sibuk menyadarkan. Aku segera bertindak cepat. Makhluk asral ini harus segera diselesaikan. Aku langsung ke luar dari jasad.

BreeeaTT!! Selendangku langsung berubah seperti cemeti. Kuputar hingga mengeluarkan suara angin yang bergemuruh kencang sekali. Apa saja yang ada di sekitarku terangkat dan ikut berputar seperti pusaran angin. Lalu seperti memerahnya hingga semua yang terseret remuk. Demikian juga makhluk asral itu semuanya kuseret lalu berputar dan lebur. Udara berubah menjadi abu-abu. Tubuh para makhluk asral yang berubah jadi debu berterbangan ke mana-mana.

Belum sempat aku menarik nafas lega, dari atas sekawananan siluman mirip burung enggang berputar mengitari aku. Kulihat paruh dan cengrkramannya mengerikan. Pasti tajam dan keras. Aku mengangkat tangan ke atas. Kupinjam kekuatan matahari. Lalu dengan cara mengkombinasikannya dengan angin badaiku. Makhluk yang mengitari aku itu tengah mencari kesempatan untuk mencengkramku. Sebelum dia melakukan sesuatu, kuserang dia lebih dulu. Ternyata meski badannya besar, makhluk ini tetap saja lincah menghindar. Berkali-kali hantamanku gagal mengenai sasaran.

Demi mengingat jasadku yang tersiksa, ahirnya aku menghimpun kembali kekuatan. Kutingkatkan tenaga dalamku, lalu aku meluncur ke atas agar bisa berhadapan langsung dengan makhluk-makhluk taksasa itu.
Hiiaaaa!! Hiaaaat!!!
Seranganku tepat mengenai tubuhnya. Makhluk itu belum sempat menghindar apalagi menerima serangan dengan kekuatan ilmunya. Tubuh mereka persis seperti di sambar matahari. Pertama mengobarkan api. Lalu meluncur jatuh. Tinggallah kerangkanya yang berwarna hitam karena gosong. Aku segera menghampiri jasadku. Ternyata benang kusut yang mengikat tubuhku cukup alot. Aku membaca mantra untuk melepaskannya. Kuraba, lalu mulailah pengikat itu longgar akhirnya buyar. Kulihat jasadku mulai lega bernafas. Pelan-pelan aku kembali menyatu. Bangun dan menatap wajah-wajah cemas berubah menjadi lega.

Hari telah menuju petang. Langit nampak mendung. Udara sedikit gerah pertanda malam ini akan turun hujan. Aku bersyukur, semoga hujan turun lebat malam ini, agar bisa membasuh darah dan otak yang berserak di atas kuburan, dan getah bening manusianya segera menyatu dengan bumi sebelum makhluk-makhluk asral yang iseng mengubah dirinya menjadi sosok korban kecelakaan. Hal yang kerab dilakukan oleh makhluk asral yang iseng, tujuannya untuk membuat kehidupan manusia heboh, sehingga muncul rumor bahwa yang kecelakaan mati gentayangan dan jadi hantu.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *