HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (59A)
Hari sudah pukul 09.00 Wib, sisa hujan tadi malam masih ada. Sesekali bumi tertutup tirai hujan yang sangat rapat. Pagi ini aku bersama lima bekas kawan-kawanku akan mulai melakukan ekspedisi ke salah satu hutan tropis di Bengkulu Utara, didampingi dua orang guruku, ibu Zuraini Zak guru Bahasa Indonesiaku, yang ramah dan pinter.
Perempuan Aceh yang kukenal tegas, berani, dan gagah. Dan yang penting adalah kuketahui beliau memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Beliau memiliki ilmu kebatinan warisan leluhurnya dari Nagro Aceh Darussalam. Beliau tidak pernah bercerita apalagi hendak pamer tentang kemampuannya.
Selanjutnya pendamping ke dua, Bapak Muchlis, guru Biologiku yang dari suku Rejang yang sering disebut Tun Jang, berperawakan sedang, berkulit putih bersih, bermata sipit. Selintas orang pasti mengira beliau keturunan Tionghoa. Beliaulah yang memimpin ekspedisi ini di damping Sudirman kakak kelasku yang sudah biasa blusukan di hutan, gunung dan bukit.
Aku membantu ibu Zak, demikian aku memanggilnya memeriksa peralatan yang kami butuhkan di lapangan. Aku bersyukur ternyata masa mudanya, beliau aktif menjelajah hutan. Sehingga berbagai macam hal yang tidak terpikir oleh yang lain beliau siapkan sendiri. Mulai dari keberangkatan kulihat kebanyakan kawan-kawanku bergembira seperti orang hendak tamasya. Aku yakin dalam pikiran mereka tidak terbayang sama sekali pelbagai macam kemungkinan medan yang akan diahadapi. Bahkan ada di antara mereka memakai sepatu gaya seperti hendak jalan ke mall. Meski sudah diingatkan masih juga tidak patuh. Dalam hati aku sudah memperkirakan karakter seperti ini pasti akan membuat susah. Belum lagi baju yang mereka pakai, seperti mau piknik ke pantai.
Mulai dari keberangkatan dari halaman sekolah ketika dilepas kepala sekolah, sepanjang jalan mereka tidak henti bernyayi. Berbeda sekali ketika aku bergabung dengan sesama anak pramuka atau komunitas pecinta alam. Meski bergembira, tapi beda kualitasnya. Kendaraan yang kami tumpangi hanya mengantar batas Air Sebakul. Selebihnya dari sana kami akan naik pick up yang sudah stand by sejak pagi. Menurut Darman, salah satu kawanku, medan yang akan dilalui pick up cukup sulit. Karena tanah kuning dan berlumpur. Apalagi tadi malam hujan. Bisa dipastikan jalan menuju lokasi licin.
Kira-kira perjalanan satu jam lamanya, akhirnya kami sampai juga di simpang Air Sebakul. Selanjutnya baru naik pick up menuju desa Tabalagan. Perkiraanku dan Darman benar. Tanah kuning tersiram hujan, mirip kue bertopping coklat. Mengilap dan berair. Beberapa kali ban pick up yang kami tumpangi bannya tergelincir nyosor ke parit. Lalu terpater di lubang yang tidak terlalu dalam, tidak bisa bergerak sama sekali. Canda tawa dan teriakan gembira sebagian kawanku berubah menjadi cemas. Sebagian kami terpaksa turun mendorong pick up yang tidak bisa bergerak. Gerimis masih menirai. Udara terasa dingin. Sebagian kami sudah basah kuyup. Kiri kanan jalan hutan kecil bersemak resam. Sepanjang perjalan belum kami temui rumah hunian, kebun atau ladang penduduk. Jalan yang baru dirintis masih sangat sepi.
Perjalanan dari simpang Air Sebakul menuju dusun Tabalagan terasa sangat panjang. Suara menggerutu sebagian teman-teman mulai muncul. Menyesalkan mengapa harus melalui medan seperti ini dan lain sebagainya. Aku berusaha memberikan pengertian pada mereka dan berhenti untuk menggerutu.
“Nikmati saja perjalanan seperti ini. Mungkin ini pengalaman pertama kalian hujan-hujanan masuk ke daerah yang belum kita kenal sama sekali. Naik pick up tanpa atap, mendorong mobil yang terpater, basah kuyup dan lain sebagainya. Jangan sesali. Mari kita nikmati. Esok semuanya akan jadi cerita seru sebagai oleh-oleh pada kawan dan keluarga kita. Jangan lupa catat setiap hal yang menurut kita menarik dan unik.” Ujarku sedikit memberi semangat.
“Kalau tahu medannya seperti ini, lebih baik aku tidak ikut. Becek, hujan-hujanan, basah semua.” Kata Gusti. Anak yang berasal dari Bandung satu ini sedikit manyun memperlihatkan kalau dirinya anak yang dimanja, tidak biasa kotor dan dingin dan berhujan seperti ini. Lalu ditimpali oleh yang lainnya kalau tidak mau melanjutkan perjalanan lebih baik turun, pulanglah sendiri. Aku hanya tersenyum mendengar ocehan mereka. Belum lagi separuh jalan sudah membuat suasana tidak enak.
“Kita akan masuk hutan, Neng. Bukan ke mall. Jadi berhenti mengatakan tidak enak segala. Benar kata Dedek, mari kita nikmati perjalanan ini dengan perasaan gembira. Belajarlah mencintai suasana apapun bentuknya. Hitung-hitung untuk melatih diri menakhlukan diri kita sendiri agar tidak egois. Dan itu tidak mudah.” Ujar Ibu Zak. Sebelumnya beliau hanya diam saja. Tapi demi mendengar Gusti seperti menyesali perjalanan bahkan cendrung menyalahkan orang lain, akhirnya beliau bicara juga. Kulihat Gusti tertunduk malu.
Hari sudah menunjukan tengah hari, namun kami belum juga sampai di desa Tabalagan. Sementara perut sudah mulai lapar. Roti tidak terlalu tahan lama untuk mengganjal perut dalam keadaan dingin seperti ini. Teman-temah sudah mulai berbisik-bisik. Mereka tidak berani lagi berbicara dengan suara kencang, takut ditegur Ibu Zak kembali. Akhirnya untuk mengisi suasana yang agak-agak tegang itu aku isi dengan cerita-cerita lucu tentang pengalaman-pengalamanku ketika kemah pramuka. Atau ketika aku mendaki gunung, menjelajah alam dan lain sebagainya. Aku sengaja tidak bercerita tentang hal yang serem-serem. Akhirnya suasana manjadi cair kembali. Obrolan beralih pada hal-hal sederhana sekadar untuk menghangatkan suasaan yang sedikit tegang.
Setelah berjam-jam terasa digoncang-goncang dalam pick up, dari kejauhan aku sudah melihat atap masjid. Artinya kami sudah masuk ke perkampungan. Benar saja, akhirnya kami berhenti persis di halaman masjid. Sejenak aku terpaku, ketika melihat bangunan masjid seperti bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan. Dindingnya bercat hijau muda suram. Pagar keliling yang rendah mepet ke teras masjid yang kecil dengan mudah dilompati kambing. Ini terlihat beberapa ekor kambing asyik berdiri dan tidur-tiduran di teras. Bahkan kotorannya berserak di mana-mana. Pintunya terkunci rapat. Keranda di samping belakang, tergeletak miring dan berkarat. Rumput di sekeliling masjid tumbuh liar sudah sampai sebetis. Sungguh tudak terawat. Mungkin masjid ini setahun sekali baru dibuka ketika salat ied saja.
Aku melemparkan pandang ke rumah-rumah yang berdiri jarang. Dusun yang lengang. Tidak satupun melihat rumah yang pintunya terbuka, atau jendela yang terbuka. Apalagi melihat orang duduk atau bejalan? Atau melihat anak kecil bermain seperti dusun pada umumnya? Aku melihat beberapa rumah panggung, selebihnya rumah rendah seperti rumah darurat bantuan pemerintah untuk transpigrasi. Berdinding papan yang berlapis yang dicat putih, beratap seng. Dihalaman rumah rata-rata tumbuh pohon buah-buahan yang sudah cukup ringgi. Artinya kampung ini bukan kampung baru. Itu dapat dilihat pohon rambutan, mangga dan nangka rata-rata sudah berbuah. Badan jalan yang bercabang dan cukup lebar pun ditumbuh rumput liar. Di tengah dusun, jalan-jalan nampak seperti setapak yang kecil yang hanya bisa dilalui satu orang saja. Sisi kiri kanan rumput liar yang sudah tinggi. Bahkan untuk saling pandang dari rumah di seberang jalan saja nampaknya susah tertutup rumput. Begitu sibukkah penghuni dusun ini sehingga dusunnya sendiri seperti kampung yang tinggal? Nyaris tidak ada kehidupan. Posisi masjid ada di tengah-tengah dusun sudah sangat strategis. Lalu untuk apa fasilitas ini dibangun jika tidak difungsikan?
Semula rencananya kami akan makan siang sekaligus mau salat di masjid ini. Melihat kondisi seperti ini niat itu batal. Sumur tua yang terletak di belakang masjid, ada derek dan tali tapi tanpa ember timba. Atas sumur juga di tutup rapat. Aku saling tatap dengan beberapa orang teman. Semnatar anak yang laki-laki menyebar mencari sumber air.
“Aku kebelet pipis,” bisik Ita sedikit meringis. Aku bisa bayangkan perasaannya. Udara dingin dengan kondisi basah kuyup seperti ini memang seringkali mendesak mau buang air kecil. Aku juga sebenarnya sama. Ingin buang air kecil juga. Bedanya aku masih bisa menahannya sedangkan Ita sudah terdesak sekali nampaknya. Tus! Aku menotok bawah perutnya tiba-tiba. Dia kaget! Dan tercengang.
“Ah, Dek. Kebelet pipisku hilang habis kau sentil.” Ujarnya dengan wajah ceria. Suaranya memancing yang lain ingin tahu. Aku hanya tersenyum mendengar kata sentil. Lalu pura-pura tidak mendengar ketika kak Atun bertanya ada apa. Apa yang disentil dan sebagainya.
“Bu, rumah itu ada orangnya. Ada Nenek di sana. Di belakang rumahnya ada sumur cukup dalam. Beliau mengizinkan kita untuk numpang wudu di sana.” Ujar Rudi salah satu kakak kelasku. Akhirnya kami yang perempuan labih dulu ke sana. Sementara ibu Zak menimba air untuk wudu, bersama perempuan yang lain, aku menghampiri si Nenek yang duduk persis di tengah pintu.
“Assalamualikum, Nek,” sapaku.
“Waalaikum salam, Cung. Gadis apa sudah ibu-ibu?” Tanyanya sambil memasang tajam telinganya. Masya Allah beliau buta melek rupanya.
“Saya masih gadis, Nek. Masih sekolah di SMA. Kami minta izin numpang wudu ya, Nek. Nenek dengan siapa tinggal di rumah?” Tanyaku merasa sangat kasihan melihat kondisinya. Bagaimana beliau mau ke belakang buang air kecil? Atau hendak makan dan sebagainya? Adakah yang memasakannya? Dari beliau kuketahui jika dia ikut anak satu-satunya. Sekarang anaknya sedang ke kebun karet mereka. Hujan seperti ini mereka terkendala tidak bisa nabah karet karena lebih banyak air daripada getah yang ke luar. Namun kalau tidak ke kebun mereka akan makan apa? Dari si nenek juga kuketahui, satu minggu sekali mereka akan menjual hasil panen. Ada pengepul yang akan datang setiap akhir pekan sekaligus membawa kebutuhan yang masyarakat butuhkan. Terutama sembako. Aku mengangguk-angguk kecil. Terbayang setiap hari mereka dari pagi ke kebun, lalu nabah karet, sorenya getah-getah karet itu mereka kumpulkan lalu mereka siram dengan cuka agar bisa menyatu dalam cetakan terbuat dari tanah membentuk lempengan-lempengan. Kalau sudah beku maka lempengan karet itu mereka panggul bawa pulang. Selalu seperti itu setiap hari. Belum lagi gititan nyamuk jika musim panas, lalu jika musim hujan seperti ini berperang pula dengan pacet. Baru saja terpikir tentang pacet, ketika aku membuka sepatu dari sela jariku berdarah. Kulihat seekor pacet menjatuhkan diri kekenyangan. Aku segera mencari rumput amis-amis, lalu mengusap bagian bekas gigitan pacet. Tak lama darah yang mengalir berhenti.
Sekilas aku melihat-lihat ke dalam rumah si nenek. Lantai tanah, di dalam rumah aku hanya melihat bangku kecil dan amben dengan satu bantal dan selimut kumel. Aku memperkirakan nenek tidurnya di sana. Aku melihat-lihat adakah sajadah? Biasanya rumah-rumah seperti ini sajadahnya akan mereka jemur di dinding ruangan. Ini tidak ada. Si nenek tidak pernah salat?
“Nek, kalau nenek mau wudu bagaimana? Nenek bisa menimba air sendiri?” Tanyaku memancingnya. Si nenek tersenyum malu sembari agak membuang muka sambil menjawab kalau dirinya tidak pernah salat. Bahkan bacaan salat dia tidak tahu. Aku terdiam sejenak menatapnya. Apa yang harus kusalahkan? Keadaankah? Bisa jadi si nenek sejak kecil dalam keadaan sulit terus hidupnya dan tidak ada yang bisa membimbing dirinya tentang agama. Kasihan sekali.
“Mengapa sampai tidak tahu bacaan salat, Nek?” Tanyaku lebih berani.
“Sejak kecil nenek selalu ikut orang tua hidup di kebun, Cu. Nenek buta huruf. Tidak pernah sekolah. Orang tua nenek dulu tidak pernah mengajarkan Nenek untuk membaca apalagi belajar salat. Mereka juga tidak pernah salat meski mengakunya muslim. Usia 14 tahun, nenek menikah. Setahun kemudian melahirkan. Sejak melahirkan itu nenek mulai buta. Melihat nenek buta, suami nenek pergi meninggalkan kami. Hiduplah nenek dengan anak nenek yang masih bayi. Semula nenek masih bisa melihat sedikit-sedikit. Nenek masih bisa pergi menabah karet meski meraba-raba. Lama kelamaan pandangan nenek makin kabur. Dan sekarang buta sama sekali. Untung anak Nenek sudah bisa melakukan pekerjaan menggantikan Nenek di kebun. Ketika usianya 15 tahun, dia menikah. Tapi suaminya suka berjudi dan malas bekerja. Akhirnya mereka cerai sebelum mempunyai anak. Sekarang usianya sudah 17 tahun. Belum menikah lagi.” Tutur nenek seperti mendapatkan tempat untuk bercerita. Aku terbengong mendengar ceritanya. Kedua-duanya ibu dan anak pernah menikah muda, dan sama-sama ditinggalkan suami mereka. Ada perasaan sedih dan kasihan demi melihat kenyataan hidup si Nenek dan anaknya. Sungguh perjalanan nasib manusia tidak ada yang bisa diperkirakan. Siapa yang ingin hidup dalam kondisi seperti yang dialami si Nenek? Dan beliau pun pasti berharap agar anaknya tidak mengalami nasib sepertinya. Meski kenyataannya keduanya nyaris mengalami nasib yang sama.
“Yang sabar ya, Nek. Insya Allah suatu saat nasib anak nenek akan berubah. Jagan lupa untuk selalu berdoa, ya Nek.” Ujarku sembari pamit mau wudu. Ibu Zak sudah melakukan salat di atas amben depan rumah nenek. Hanya tempat itu yang dianggap bersih meski basah dan banyak daun-daun yang jatuh di atasnya. Kawan-kawanku bergantian salat dengan pakaian yang masih basah karena mau ganti pakaian pun tidak memungkinkan. Aku mengeluarkan sarung tangan dan kaos kaki. Dalam keadaan lembab aku juga melakukan salat di atas aben seadanya. Selanjutnya kami makan bersama. Untung ada nasi lebih, sehingga kami bisa memberi si nenek. Nenek pun ikut makan bersama kami. Aku duduk di sampingnya sambil membantunya memberikan minuman mineral yang kami bawa. Beliau makan lahap sekali. Jangan-jangan ini makan termewah yang beliau rasakan. Nasi, ada sambal, ayam goreng, ada sayurnya, kerupuk, dan tempe goreng.
Hari sudah menunjukan paukul 13.30 Wib. Lokasi yang hendak di tuju sungai Tabalagan. Tidak ada yang bisa memperkirakan berapa jam perjalanan ke sana. Menurut Darman yang katanya pernah ke sana, sungai itu membelah hutan tropis Tabalagan dengan area perkebunana karet masyarakat. Dan harus ditempuh dengan jalan kaki. Akhirnya setelah membawa barang masing-masing, kami pun mulai melakukan perjalanan menyisir jalan setapak ke arah timur. Berpamitan dengan Nenek buta yang baik hati.
Ketika ke luar dari perkampangan yang kami temui melulu kebun karet. Hujan sudah berhenti. Bahkan berganti dengan panah. Matahari terasa sangat menyengat sehingga baju kami yang lembab kering seketika. Medan yang dilalui tidak terlalu sulit. Tanah liat, bertebing namun tidak terlalu curam. Lalu beberapa kali melintas di tanah yang datar dan kering. Sisi kanan kiri kadang bertemu dengan kebun karet yang sudah panen. Artinya sudah cukup berumur, namun ada juga pohon karet yang baru ditanam, dan hutan yang baru ditebang.
Tanah napal nampak menyilaukan mata ketika tertimpa matahari. Melihat pohon-pohon yang tumbang besar dan panjang, terbayang dulu wilayah ini hutan belantara yang rimbun. Lalu kemana para satwanya? Sambil berjalan pelan, aku membayangkan ada ular, harimau, siamang, kancil, rusa, trenggiling, tupai, burung, dan lain-lain berlindung di hutan yang lebat. Ditambah dengan serangga dan lain sebagainya. Aku sengaja berjalan agak di belakang. Kulihat langkah kawan-kawan yang semula sangat gagah dan semangat sudah mulai loyo. Sesekali ada yang duduk di tengah jalan sekadar istirahat dan meluruskan kaki. Aku hanya tersenyum melihat mereka. Wajah mereka rata-tara meringis dan lelah.
Perjalanan kuperkirakan sudah tiga jam lebih. Wajar saja kebayakan kawan-kawanku kelelahan. Semula hendak mencari jamur dan serangga, nampaknya tidak berjalan mulus. Lokasi tempuh terlalu jauh untuk dilalui dengan berjalan kaki seperti ini. Rata-rata kawan-kawanku bukan penjelajah. Banyak hal yang menjadi penghambat. Rasa lelah telah mengalahkan untuk dapat berpikir normal sesuai prosedur.
“Dedek, cepat! Jangan terlalu jauh di belakang!” Teriak pak Muchlis melambaikan tangan, menyuruhku agak cepat. Padahal aku memang sengaja memilih paling belakang agar enak mengawasi kawan-kawanku. Aku balas sambil berteriak supaya pak Muchlis duluan saja mengawasi kawan-kawan di depan. Sementara ibu Zak berada di tengah-tengah. Akhirnya Budiansyah memilih berjalan di depanku.
Aku makin memperlambat langkah ketika ada yang menegurku. Oh! Ternyata sosok nenek gunung tersenyum menyapaku. Lelaki saparuh baya, berkumis tipis tanpa jenggot. Melihat pakaiannya seperti pendekar badui. Menggunakan ikat kepala, berbaju hitam dengan dada terbuka. Beliau manusia harimau penghuni lembah di seberang hutan yang sudah di tebang ini. Ketika kutanya namanya barulah dia kaget. Ia memperkenalkan diri jika panggilannya Datuk Sliman. Dia adalah kepala suku di lembah Bermani sebelah hutan yang ditujuknya. Selanjutnya aku juga memperkenalkan diri. Kusampaikan jika aku berasal dari lereng gunung Dempu.
“Iya, sejak kamu masuk ke pedalaman Tabalagan ini aku sudah mencium aromamu, jika kamu bukan darah Bengkulu. Makanya aku menemuimu. Kamu adalah tamu kami Selasih, meski hanya sekadar lewat. Jika berkenan singgalah sejenak ke dusun kami.” Ujarnya sopan. Aku langsung minta maaf pada beliau takut kehadiranku dan kawan-kawan mengganggunya. Beliau tersenyum berwibawa.
“Alam kita berbeda. Bergantung kita menyikapinya. Kalau kami tidak merasa terganggu dengan kehadiran kalian. Namun ketika di antara yang lewat ada aroma bangsa kami, makanya aku menghadangmu di sini.” Lanjutnya lagi. Dari beliau aku tahu jika mereka tinggal di sini sudah ratusan tahun lamanya. Namun sekarang mereka semakin terdesak dengan hadirnya manusia membuka lahan perkebunan dan menebang rimba kampung mereka. Tak sedikit rumah mereka hancur, air mereka tercemar, lading-ladang dan sawah mereka pun rusak di bakar. Banyak manusia yang tidak sopan dan lain sebagainya. Aku hanya mendengarkan dengan perasaan bersalah. Apa yang beliau sampaikan benar adanya. Kehidupan mereka semakin terdesak. Dan ini karena ulah manusia. Bangsaku!
“Masihkah ada hutan lindung tempat para nenek gunung bersemayam, Datuk? Demi menghindari ambisi bangsaku yang membuka hutan menjadi lahan pertanian karet dan lain-lain?” Tanyaku.
“Hutan rimba itu, itu, dan itu, mungkin usianya hanya tinggal beberapa tahun lagi. Konon akan dihabisi pula menjadi kebun karet dan sawit,” Datuk Sliman menunjuk beberapa arah hutan dan bukit kecil di sekitar kami. Aku miris mendengarnya. Kutatap matanya dalam-dalam. Lalu akan kemana mereka? Akan pindah kemana? Nyaris dimana-mana hutan disulap menjadi kebun karet dan sawit. Aku mengusap wajah resah.
“Lalu akan pindah ke mana bangsa kalian Datuk?” Ujarku tak mampu penahan risau. Sejenak aku menunggu Datuk Sliman tak menjawab. Mungkin beliau juga belum tahu akan pindah ke mana. Apakah di hamparan Bengkulu ini masih ada hutan yang bisa dijadikan tempat mereka berlindung, bersemayam dengan nyaman tanpa campur tangan manusia? Lalu harimau-harimau Sumatera itu akan pergi kemana? Tidak ada lagi hutan tempat mereka berlindung dengan aman, dan mencari mangsa. Ketika mereka masuk wilayah pemukiman atau ladang dan kebun bangsa manusia, tidak sedikit mereka diburu dan dianggap hama membahayakan. Nyaris aku menangis membayangkan hal ini. Aku bisa rasakan kesedihan mereka. Pantas jika ada di antara mereka ngamuk dan marah. Karena tingkat kesabarana semua mahkluk sama. Saat merasa terancam apapum dilakukan tanpa berpikir akibatnya.
“Datuk, semoga Datuk segera menemukan wilayah yang aman dan damai. Semoga masih ada hamparan bukit barisan ini yang masih perawan jauh dari jangkauan tangan jahat manusia. Pindahlah ke gunung-gunung atau bukit, Datuk.” Ujarku dengan suara bergetar. Datuk Sliman menggangguk pelan. Aku tahu, sebagai kepala suku nasib rakyatnya adalah tanggungjawabnya. Beliau tidak ingin salah langkah sehingga membuat rakyatnya menderita.
“Kamu benar Selasih. Iya, aku akan menemui Datuk Ratu Agung terlebih dahulu. Beliau penghulu tanah dataran ini. Aku akan minta petunjuk beliau.” Ujarnya.
Selanjutnya aku menjelaskan tujuan kami sampai ke sini. Dari beliau aku mengetahui jika hendak menuju sungai Tabalagan masih cukup jauh. Mungkin ada sekitar tiga hektar kebun karet lagi, Artinya sekitar tiga kilo meter lagi kami berjalan kaki. Lumayan jauh. Lalu nanti kami akan bertemu dengan sabana, setelah itu baru bertemu dengan sungai yang dimaksud. Selanjutnya beliau berpesan hati-hati Karena wilayah yang kami jadikan tujuan di seberang sungai ada hutan kecil lalu semakin ke dalam baru bertemu dengan rimba yang masih perawan. Belum ada manusia yang masuk ke dalam sana. Paling pemburu yang baru sampai di perbatasan sungai. Ujarnya menjelaskan. Aku sangat berterimakasih dengan penjelasannya. Selanjutnya kami berpisah.
“Semoga suatu saat kita bisa berjumpa lagi Selasih.” Datuk Sliman melambaikan tangan. Aku membalasnya dengan perasaan haru. Obrolan sekilas dengan beliau membuat benakku berpikir sedikit berat. Sayang aku bukan pemberi kebijakan. Aku juga tidak mempunyai kemampuan apa-apa untuk menghalangi keserakahan bangsaku. Bangsa manusia. Aku juga tak mampu menghalangi siapapun ketika bangsaku berambisi mengeruk hasil bumi atau menebang hutan sesuaknya dengan dalih meningkatakan ekonomi masyarakat. Omong kosong!
“Dek, kamu ngobrol dengan siapa? Bicara sendiri dari tadi?” Budi menoleh padaku. Aku tersenyum. Baru kusadari kalau aku tidak sendiri. Ada Budiansyah kawanku berjalan di depanku. Kujawab saja jika aku sedang menghafal dialog.
Bajuku mulai basah dengan peluh. Kuayunkan langkah dengan santai. Aku melihat air minum persedianku tinggal beberapa teguk lagi.
“Ayuk..” Seorang anak kecil menghadangku sambil membawa kendi air dari labu.
“Isilah botol minuman ayuk. Aku disuruh Datuk Sliman mengantarkan ini untuk mengisi botol minuman Ayuk.” Ujarnya ramah. Aku tersenyum memandangnya. Gadis kecil ini sangat manis. Rambutnya panjang dikepang dua. Pipinya berkulit putih mulus. Alisnya melengkung indah. Bibirnya halus merah muda.
“Alhamdulilah, adik kecil, Siapa namamu cantik?” Aku mengelus wajahnya.
“Putri Delima,” ujarnya masih tersenyum. Aku tak tahan melihatnya. Hidungku langsung menempel di pipinya. Gadis kecil ini menggemaskan sekali. Putri Delima menuangkan air di dalam kendi labunya ke dalam botol minumanku. Aku coba meminumnya seteguk ketika botolku diisinya penuh. Masya Allah, segar dan dingin ketika melalui tenggorokanku.
“Terimakasih adik cantik. Sampaikan terimakasih pada Datuk Sliman. Kamu siapanya Datuk?” Tanyaku sedikit menunduk.
“Aku kemenakannya, Yuk.” Ujarnya sopan. Tak lama dia mohon diri. Aku menatapnya dengan senyum bahagia. Pelan-pelan dia lenyap dari pandanganku. Aku masih terbayang-bayang dengan wajah polos dan manisnya.
“Hoii…senyum-senyum sendiri! Ngucap! Ayoooo…dari tadi ngapain si Dek! Bikin aku takut aja. Kita di hutan…di hutan Dek. Jangan banyak melamun. Nanti kamu tersesat di sambar wak Sumai!” Ujar Budiansya menarik tangaku. Nyaris botol yang kupegang terlepas. Aku tertawa mendengarnya menyebut wak Sumai. Akhirnya aku berjalan sejajar dengannya. Berharap tidak ada yang menyapaku lagi di jalan seperti tadi. Kasihan, lama-lama Budiansya yang akan takut benaran.
Dari tempat yang rendah, aku melihat kawan-kawanku berjalan pelan beriringan meniti bukit kecil yang lantang. Sesekali mereka melegahkan pinggang sambil menghadap ke belakang. Aku tahu mereka sudah kelelahan. Sementara sabana yang disebutkan Datuk Sliman masih jauh. Budiansyah kali ini berceloteh tentang masa kecilnya sering ikut orang tuanya masuk hutan dan membantu mereka di kebun. Lalu bertemu dengan segala macam hewan. Mandi di sungai dan lain sebagainya. Intinya dia mengatakan jika dia sudah sangat biasa di alam terbuka dan tidak ada rasa takut sama sekali. Aku hanya mengangguk. Sengaja aku tidak mau banyak bicara agar tidak mudah lelah. Bagaimanapun melakukan perjalan jauh seperti ini kita harus bisa mengatur pernafasan sedemikian rupa agar jantung kita tetap stabil, darah pun juga demikian.
Semakin petang matahari semakin terik. Punggung serasa di bakar. Beberapa kali aku meneguk air yang diberikan Putri Delima. Melihat aku minum rupanya Budiansya juga haus.
“Dek, airmu masih banyak. Aku minta ya,” Budianyah menyodorkan botol minumannya sambil ngos-ngosan. Kutuang separuh airku ke botolnya. Sambil mengingatkannya agar jangan banyak bicara karena perjalanan masih jauh.
“Airmu segar sekali. Seperti baru ke luar dari kulkas.” Ujarnya heran. Aku hanya mengangkat alis tanpa penjelasan. Yang penting Budiansyah sembuh hausnya.
Melihat jarak antara kami berdua dengan kawan-kawan sudah terlalu jauh, aku segera mengamit Budiansyah agar mempercepat langkahnya. Dari sekian jam berjalan, yang paling banyak kutemui hutan yang baru di tebang. Kadang kami harus melompati kayu yang melintang ke jalan, Kadang harus menunduk. Kayu-kayu yang berdiameter dua kali lingakaran tangan orang dewasa berserakan di mana-mana. Sebagian lagi ada yang dibakar. Asap membumbung dan suara gemeletak kayu dan ranting yang terbakar mengisi ruang jauh dari pemukiman. Beberapa makhluk asral kulihat menari-nari di sisi api. Entah apa yang mereka lakukan. Aku berusaha tidak melihat mereka. Aku terus berjalan meniti jalan, tanah liat yang berkapur. Suara gemeletak api membakar kayu semakin lama semakin samar. Angin berhembus sangat pelan.
Bersambung…