HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (82A)

Karya RD. Kedum

Langit gelap pekat. Di antara daun pohon petai cina tua yang menjadi pelindung kopi, nampak kedap-kedip seperti mata mengantuk. Kata nenek Kam malam ini bulan ke tujuh. Malam waktunya bujang gadis bangsa nenek gunung ‘ngibal’. Maka disarankan anak gadis dan bujang, sebaiknya jangan pergi ke air tengah hari. Sekarang sudah masuk kemarau, tapi tidak heran jika tiba-tiba hujan panas. Kalau tidak ‘ndepatkah bunting’, ya ‘ngampak bunting’. Maksudnya kalau tidak menjemput pengantin ya menyambut pengantin.

Mendengar cerita nenek Kam aku jadi ingat Gundak. Beberapa minggu lagi beliau akan ‘ndepatkah bunting’. Kabar yang kuterima, penduduk dusun sudah mulai sibuk mengumpulkan kayu bakar untuk bagok’an (hajatan). Tradisi turun temurun sejak dulu. Kaum perempuan akan meluangkan waktu untuk membantu yang punya hajat mengambil kayu bakar. Semakin dekat, biasanya semakin sibuk. Apalagi jika masih ada hubungan kerabat. Semua hasil kebun biasanya sudah mereka kumpulkan untuk meringankan beban sang punya hajat. Sebuah tradisi yang menurutku patut dipertahankan.

Aku melonjorkan kaki di garang. Udara belum terlalu terasa dingin. Tapi bisa dipastikan beberapa jam lagi angin akan berhembus, udara akan semakin dingin diiringi kabut dari bukit. Nenek Kam masih sayik ngobrol dengan nenek gunung dari gunung Dempu. Entah apa yang mereka obrolkan, aku tidak tertarik dengan obrolan kaum tua itu. Capek jadi pendengar saja.
“Ayo, Dek ikut” Aku kaget tiba-tiba nenek Kam sudah ke luar pintu dan menutupnya.
“Kemana, Nek?” Ujarku sembari bangkit. Seperti biasa tidak dijawabnya langsung. Nenek mengambil kampek pughun yang tergantung di sudut garang. Lalu memasukan penumbuk sirih ke dalamnya. Kupikir pasti tidak akan jauh, soalnya nenek Kam masih memekai baju kurung, berkain, dan tengkulok. Tanpa alas kaki beliau mulai menuruni anak tangga.

Aku ragu antara mau memakai alas kaki dengan tidak. Sementara nenek Kam sudah turun duluan. Akhirnya aku ikut ‘nyeker’. Di halaman pondok tiga nenek gunung berwarna loreng sudah menunggu. Macan Kumbang tidak terlihat batang hidungnya sejak Pagi. Kemana adik bujang Nenek Kam tersebut? Konon dia sudah mau bertunangan dengan Putri Bulan. Tinggal menunggu bulan yang baik, kata Nenek Kam. Entah bulan apa yang dikatakan baik dan yang dikatakan tidak baik, aku tidak tahu. Menurutku semua hari dan bulan baik semua. Rupanya ada kaitannya dengan hitungan bintang. Jadi yang mereka pakai ilmu perbintangan. Entah bagaimana menghitungnya aku juga tidak paham.

Aku masih mengiring di belakang Nenek Kam. Tiga nenek gunung berjalan lebih dulu berbarengan. Kami tidak meniti jalan yang dilalui orang pada umumnya, tapi lewat kebun kopi. Mencari jalan pintas ke timur. Sesekali aku menunduk menghindari buah kopi yang masih muda, takut runtuh. Gemeretak ranting kering yang kami injak mengagetkan satwa malam yang sedang mencari makan. Beberapa sosok makhluk asral mengintai, mengamati gerak-gerik kami. Sesekali mereka menakuti aku menampakkan ekspresi mereka yang serem-serem.
Aku tersenyum melihatnya. Mereka umumnya sudah tua, tapi dengan menakut-nakuti itu seperti anak kecil.
“Weeeeek!” Aku menggoda mereka sambil mengeluarkan lidah, lalu tertawa cekikikan sendiri.
“Kurang kerjaan” Nenek Kam menoleh sambil tersenyum. Ternyata mereka makin menjadi. Kali ini kubalas dengan jalan sambil joged-joged. Daripada bertarung? Mending saling goda. Lumayan mengisi suasana agar tidak tegang. Habis aku tidak tahu akan dibawa ke mana.
“Tolooooong, tolong aku… ” Suara menyayat minta tolong. Nenek Kam biasa saja, beliau tidak peduli. Akulah yang penasaran ingin tahu siapa dia.
“Astaghfirullahal adziim. Asem!” Aku nyaris berteriak. Rupanya kuntilanak menangis sedih menyayat sekali. Ketika aku melihat padanya malah dia berubah seketika, tertawa cekikikan. Ingin rasanya kulempar melihat dia kabur melayang dari pohon ke pohon. Kuntilanak ikut-ikutan menggoda.
Dus!!!
Selendangku sengaja kuhantamkan ke batu sehingga mengeluarkan suara membuat makhluk yang menggodaku kaget. Rupanya begitu makhluk asral kaget. Kalau kita manusia pegang dada yang berdegup kencang, makhluk asral malah mental ke sana kemari. Akhirnya aku tertawa ngakak tak bisa kutahan. Nenek Kam hanya menoleh sekilas padaku. Demikian juga tiga nenek gunung yang berjalan lebih dulu.

Kali ini kami menembus kabut. Udara terasa lembab. Kami sudah memasuki hutan belantara, bukan perkebunan lagi. Hanya saja aku tidak tahu lagi kami menuju ke mana, selatan, utara, barat, apa timur. Aku pikir mengapa tidak mengendarai angin atau naik ke punggung nenek gunung saja biar cepat. Ini berjalan, otomatis banyak penampakan. Sedang asyik menoleh sana-sini melihat perkampungan gaib, nyaris aku ditabrak nenek-nenek bongkok berjalannya lurus saja sambil mengacungkan tongkat. Beliau berjalan tidak melihat apa yang ada di depan. Persis robot. Anehnya meski sudah tua tapi jalannya cepat sekali.
“Uf, awas Nek, menabrak.” Ujarku melihatnya maju terus seperti tidak punya rem.
“Aku mau pulang” Ujarnya.
“Iya silakan, Nek. Hati-hati. Kukira nenek kebelet pipis.” Godaku. Si Nenek langsung menoleh.
“Kamu anak manusia, pandai juga menggoda bangsa kami.” Ujarnya. Aku senyum-senyum sendiri.

Awal yang aneh memang. Biasanya jika berjalan malam seperti ini aku akan serius. Apalagi jika mengiring Nenek Kam. Tapi entah mengapa kali ini aku lebih banyak tertawa sendiri. Jika diperhatikan dengan saksama ternyata makhluk asral tidak semuanya mengerikan, menyeramkan. Tergantung kita memandangnya dari sudut mana. Buktinya kuntilanak, pocong, genderowo, dan jenis-jenis lainnya bisa diajak bercanda. Mereka sengaja menakut-nakuti, ketika ditakuti balik mereka bengong juga. Mungkin dia pikir “ada juga bangsa manusia tidak mempan ditakut-takuti. Malah balik menakuti?”

Aku sedikit hati-hati ketika meniti jalan agak curam. Akar, semak yang licin nampaknya tidak pernah dilalui manusia. Tidak ada lagi yang menggoda, membuat aku mulai serius mengamati jalan. Aku tidak peduli lagi dengan perkampungan-perkampungan gaib sepanjang jalan. Ya seperti kehidupan manusia, ada yang rumahnya bagus, tapi ada juga yang rumahnya mirip-mirip perkampungan kumuh, tidur di sembarangan tempat, malas-malasan. Ada yang tidak peduli dengan kami, namun ada juga yang iseng mendekat bahkan mencoba menyerangku dengan melemparkan sesuatu.

Sesekali terpaksa kami harus sedikit melompat ketika ada yang seenaknya tidur melintang di tengah jalan bersama anak-anaknya. Hal seperti ini seringkali terjadi gesekan bangsa manusia dengan makhluk asral. Bangsa manusia tidak melihat sosok mereka lalu. Semwntara mereka dapat melihat bangsa manusia. Lalu salah satu mereka ada yang terinjak, atau tertendang. Akibatnya mereka marah, lalu mereka buat manusia jadi sakit sebagai bentuk pembalasan. Sementara manusia tidak menyadari kesalahannya. Banyak sekali yang kutemui kasus-kasus seperti itu.
“Bibik, bisa pindah ke agak pinggir agar tidak kena senggol atau kena tabrak?” Sapaku pada sosok perempuan yang tengah menyusui anaknya. Padahal di benakku tengah memikirkan beberapa pengalaman tentang salah satu terjadinya gesekan antara manusia dengan makhluk asral.
“Kalian yang jalan pinggir atau jangan lewat sini” Ujarnya marah. Aku segera minta maaf, lalu melompat-lompat mencari sela agar tidak mengenai mereka. Nenek Kam tertawa ringan melihat aku dimarahi oleh emak-emak jin.

Dari kejauhan aku melihat ada perkampungan kecil di lembah. Aku heran mengapa nenek gunung dan nenek Kam masih mengajak jalan kaki? Bukankah seharusnya secepat angin bisa langsung sampai ke tempat. Dari tadi aku hanya ikut tidak jelas, karena memang aku tidak tahu tujuan diajak.
“Nek, itu buah ghukam !” Ujarku menunjuk satu pohon di tengah semak yang berbuah lebat masih agak jauh di lembah.
“Sebentar lagi juga banyak yang ngambil” Jawab Nenek Kam. Betul sekali. Setelah agak dekat suara gemerusuk ramai sekali. Ternyata ada sekitar lima nenek gunung tengah mucung, ada yang naik pohon ghukam dann memetiknya langsung. Oh! Mereka panen rupanya. Melihat warnanya yang segar mengundang seleraku ingin menyicipinya. Tapi aku tidak berani minta. Akhirnya kami lewat saja sambil menelan ludah.

“Dusun apa ini namanya, Nek? Kita dimana?” Ujarku karena memang terasa asing.
“Kita di luang Ayek Gambegh.” Ujar Nenek Kam. Luang itu jurang maksudnya. Ayek Gambegh? Bukankah daerah ini dulunya kebun Bapak? Terus menurut Bapak dulu di sini ada talang, artinya daerah perkebunan lalu berdiri beberapa pondok. Bahkan di Ayek Gambegh ini hingga sekarang masih ada bekas ‘paok-paok’ orang zaman dulu. Sekarang talang dan kebun Bapak sudah membelukar. Puluhan tahun tidak digarap karena tidak ada tenaga yang bisa mengolahnya. Aku bertanya-tanya dalam hati. Ada apa gerangan dengan Ayek Gambegh ini. Waktu aku kecil beberapa kali ke mari diajak Kakek Haji Yasir, dan Bapak.
“Nek, aku mencium nenek gunung di sini… ” Ujarku setengah berisik.
“Iya, tempat ini adalah pelintasan nenek gunung. Mereka kerap berburu dan keliling area sini sekadar untuk melihat keamanan tanah seberang ini.” Ujar Nenek Kam kembali.

Sekitar pertengahan antara tebing dan kampung gaib yang kulihat, kami berhenti. Aku yang berada di barisan belakang, turut berhenti memegang akar yang menjuntai. Udara terasa makin lembab. Mata air yang ke luar dari dinding tebing mengalir dingin menyisir telapak kakiku. Kudengar tiga nenek gunung di depan kami berbincang-bincang setengah berbisik menggunakan bahasa mereka. Aku sulit untuk tahu apa yang mereka bicarakan karena tidak terdengar pembicaraan mereka. Akhirnya aku diam saja, menunggu perintah dari Nenek Kam.

Aku ikut turun ketika mendapat aba-aba. Kami berbelok ke kanan, bukan lurus menuju perkampungan kecil di lembah. Di bawah rumpun buluh duri yang tumbuh liar, tiga nenek gunung segera menyingkirkan batang-batang yang berserakan. Dalam waktu singkat, area pohon nampak bersih. Salah satu nenek gunung meletakkan daun jarak di tanah. Daun jarak di susun melingkar. Selanjutnya nenek Kam menyuruh kami semua duduk di atas jarak yang sudah disediakan. Aku jadi teringat ketika aku digembleng oleh Puyang Ulu Bukit Selepah dan Kakek Njajau ketika aku masih kecil. Sebelum aku merasa dijadikan bulan-bulanan, semua nenek gunung duduk di atas daun jarak. Persis seperti ini. Aku menghitung daun jarak yang terbentang. Ada tujuh. Sementara kami lima orang. Untuk siapa dua lagi itu?

Aku duduk bersila, memilih bagian paling pinggir. Semua terlihat diam seakan menunggu seseorang. Hingga saat ini aku masih belum paham mengapa aku diajak kemari. Ada apa dengan nenek Kam dan ke tiga nenek gunung ini. Tidak ada yang bersuara padahal kami sudah duduk berhadapan.

Lama sekali kami saling diam. Aku mencoba mengisi waktu dengan diam, memejamkan mata, berzikir dalam hati. Kunikmati sejenak. Kucoba mengalirkannya ke seluruh nadi. Tak lama aku sudah masuk ke wilayah yang paling nyaman. Suasana hening di sisi jurang ini sangat membantu. Jiwaku terasa terangkat ke atas. Pusaran cahaya makin lama makin kecil seakan ujung tombak yang membuka pintu alam lain. Aku melayang menikmati suasananya. Langit seperti terbuka.

Angin berdesir pelan. Udara lembab terasa makin kental. Aku belum merasakan ada tanda-tanda suasana diam ini akan pecah. Nenek Kam dan tiga nenek gunung masih diam. Mereka nampaknya melakukan meditasi juga. Bedanya, jika aku larut dalam zikir, mereka tengah melakukan interaksi batin dengan beberapa orang. Termasuk juga nenek Kam tengah ngobrol dengan seseorang entah di mana.

Grrrrrhhh…grrrhh
Tidak jauh dari tempat kami duduk aku mendengar nafas dan suara berat nenek gunung. Rupanya ada dua ekor nenek gunung lewat. Mungkin mereka tengah berburu. Aku masih fokus pada zikirku.

Dari kejauhan terdengar suara desis. Angin membawa aroma anyir hingga ke sisi tebing tempat kami duduk. Sebenarnya aku ingin menyisir asal aroma itu. Tapi aku merasa tidak enak dengan tiga nenek gunung dan nenek Kam. Akhirnya kuurungkan. Padahal banyak hal yang membuatku tertarik dengan sisi tebing ini. Mulai dari melihat dari jauh ada dusun ternyata setelah agak dekat, sunyi. Bau anyir ular menyengat hingga ke sisi tebing ini. Kerap kali aku bertemu ular. Namun jarang-jarang baunya seperti ini. Padahal mereka makhluk yang sama. Makhluk asral.

Tak lama aku mendengar suara gemerisik daun kering yang diinjak daro jauh. Karena masih larut dengan zikir aku mengabaikan suara-suara itu. Makin lama langkah gemerisik makin ramai, pertanda langkah itu makin dekat. Mendengar langkahnya, yang menuju ke mari tidak hanya satu. Tapi beberapa sosok. Pelan-pelan aku membuka mata, menatap arah langkah yang semakin dekat. Di balik rimbun daun, empat sosok menyembul, dan mengucapkan salam. Kami menjawab serentak. Nenek Kam langsung berdiri dan meyilakan empat sosok duduk. Karena daun jarak kurang, maka aku ikut berdiri menyilakan mereka duduk menggantikan tempat dudukku.

Aku memilih duduk di bagian belakang lingkaran. Nenek Kam kuambilkan daun kering yang agak lebar lalu menyilakan beliau duduk di atas daun bambu. Beliau menuruti kemauanku.
“Maafkan sanak, keterlambatan kami ke mari. Ada beberapa hal menjadi hambatan ketika hendak ke mari.” Ujar salah satu nenek gunung yang datang. Suaranya terdengar berat dan bulat. Dari vokalnya yang biasa saja aku merasakan sebuah kekuatan mistis. Vokalnya berenergi.
“Tidak apa-apa, Kang Damuk. Kami juga belum lama sampai di sini.” Ujar salah satu nenek gunung lalu diiringi dengan tawa ringan. Tak lama sosok yang dipanggil Kang Damuk mulai berbicara menyampaikan inti pertemuan hari ini.

“Seperti yang pernah saya sampaikan sanak, sejak beberapa hari lalu telah terjadi perang di dusun Lembak itu. Dusun itu telah menjadi dusun penyedihkan, karena penghuninya baik perempuan maupun laki-laki dalam penyiksaan,” ujar Kang Damuk. Mendengar itu aku sangat terkejut. Rasa ingin tahu persoalan membuatku memepetkan tempat duduk ke nenek Kam. Dusun menyedihkan? Penyiksaan?
“Sebenarnya, kami sudah coba membantu membebaskan dusun itu dari lingkungan pengacau, tapi karena mereka memiliki hubungan darah, leluhurnya, memunculkam ketidaknyamanan ketika kita hendak ikut campur tangan.” Ujar Kang Damuk lagi. Rasa ingin tahuku makin tinggi. Sebenarnya aku ingin bertanya. Namun kuurungkan melihat mereka masih antusias untuk menceritakan kembali peristiwa yang mereka alami.
“Sejak malam kemarin, penduduk dusun itu telah dililit ular besar. Ular besar itu adalah peliharaan leluhur mereka. Dia diperintahkan mengikat semua penduduk dusun karena dianggap telah melanggar janji. Anak kepala dusun itu telah melakukan perjanjian dengan golongan manusia.” Ujar Kang Damuk.
“Iya, yang jadi persoalan, satu yang melakukan kesalahan, mengapa imbasnya satu dusun?” Ujar nenek gunung lagi.

Mendengar masalah itu, pahamlah aku. Memang sangat rumit menyelesaikan persoalan antar makhluk asral ini kalau sudah bicara soal janji dan harga diri. Umumnya, mereka yang beradat memiliki kesetiaan sejati. Mereka tidak pernah ingkar janji. Bertahun-tahun dan turun menurun mereka akan terus menjaga etika dan budaya. Sebenarnya bisa saja diputuskan perjanjian itu. Tapi yang jadi persoalan, bangsa makhluk asral ini bukan tidak bisa melakukan pemutusan, namun banyak sekali hal yang menjadi penghambat. Mereka pasti akan bertarung dengan ular leluhur tersebut, tentu akan menjadi persoalan tidak saja dengan ularnya tapi juga dengan leluhurnya. Imbasnya pasti luar biasa, akan terjadi perpecahan pada koloni mereka dan ini bahaya untuk keturunan mereka. Hal ini justru akan membuat makhluk lain mudah merebut wilayah dan mengacau mereka.
“Untuk itulah, Relingin kami ngajak datang ke sini. Kami berharap dengan ngah Cucung dengahlah ye pacak nyelesaikahnye” Ujar nenek gunung yang dipanggil Kang Damuk. Nenek Kam berdehem-dehem seperti mengusir seret di tenggerokannya. Aku menduga, Nenek Kam pasti akan berkata, tugaskulah yang akan menyelesaikan masalah mereka. Ternyata benar. Belum sempat aku berpikir yang lain, nenek Kam berkata dengan suara khasnya, seperti orang malas berbicara dan menganggap masalah seperti ini kecil.
“Cucungku Putri Selasih akan membantu kalian. Biarlah kita serahkan padanya menyelesaikan masalah ini. Kita cukup mengawasinya di sini. Malam ini juga semuanya akan selesai.” Ujar nenek Kam begitu yakin. Mendengar itu, aku menatap wajah nenek Kam untuk meyakinkan. Apa alasannya? Aku ingin tahu.
“Mengapa diserahkan padaku, Nek? Memangnya aku bisa apa?” Ujarku memegang tangan Nek Kam.
“Karena bangsa kitalah yang bisa membantu mereka dan efeksnya tidak serumit jika yang menyelesaikannya bangsa mereka. Kitalah yang dapat membantu memutuskan hubungannya dengan manusia. Leluhur mereka marah karena ada anak cucunya menjadi budak dan memperbudak manusia. Sebab tidak lazim untuk golongan mereka seperti itu. Itu sama halnya menjadi penjahat. Mereka malu.” Kata Nenek Kam meyakinkan aku. Aku mulai berpikir sejenak. Aku harus mulai darimana?

Akhirnya aku menyatakan diri siap untuk membantu. Aku akan dilepas sendiri. Sementara mereka tetap berada di sini. Aku diam sejenak mempelajari terlebih dahulu apa yang harus aku lakukan. Apakah aku harus menemui langsung bangsa mereka yang sudah membuat perjanjian dengan manusia, atau aku langsung menemui manusianya dulu? Lalu perjanjian yang bagaimana yang mereka lakukan?

Dalam meditasiku, kutemukan bangsa manusia melakukan ritual memanggil bangsa jin di dekat luang ini. Beliau membawa sesaji berupa kembang, darah ayam, dan kemenyan. Aku tidak kenal siapa manusia itu. Namun dari matra yang dibacakannya aku mendengar bahasa jawa yang sangat halus sembari menyebut-nyebut kanjeng-kanjeng. Salah satu kanjeng yang disebutnya ada kanjeng Ratu Laut Kidul. Selebihnya aku tidak paham, apa yang diucapkannya.

Bersambung….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *