HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (69A)
Angin berhembus pelan sekali. Cahaya matahari terasa sedikit menyengat. Aku merapatkan topi rimbaku demi menghindari sinar matahari yang pas menerpa wajah. Dari lembah, aku dan kawan-kawan sudah melihat bubungan rumah dan ujung musolah di pinggang bukit. Semangat kawan-kawan makin membara.
Dalam benak Ina sudah terencana harus memasak ini itu untuk makan siang sekaligus makan malam teman-teman. Ina memang team andalan, juru masak kami. Selain kerjanya cepat, dialah yang mengajukan diri khusus untuk masak. Maka untuk meringankan kerjanya, kawan-kawan rela membawakan barang-barang Ina, dengan alasan agar Ina tidak capek.
“Kalau tukang masak capek, kasihan rakyatnya bisa terlantar semuanya,” ujar Bang Iwan rela membawa dua ransel. Sementara yang lain membawa bahan masakan sesuai menu sederhana permintaan Ina.
“Saya akan masak istimewa hari ini. Sebagai pengganti makan siang yang terlewat, dan makan malam yang belum sampai. Siapa yang kelaparan nanti malam, silakan masak mie masing-masing. Mak Ina tidak akan memasakan mie untuk kalian, karena tidak masuk dalam kontrak kerja Emak.” Ujar Ina menyebut dirinya Emak. Kawan-kawan serentak menjawab, “Siap Mak!”
Aku menatap jam yang melingkar di tanganku. Kuperkirakan kami baru bisa makan pas usai salat asar. Untung perut sudah diganjal makanan yang memang sudah kami persiapan sebelumnya. Telur rebus, roti, dan makanan kecil lainnya. Rully salah satu senior kami yang cekatan waktu istirahat, mandi, dan solat, dia sempat memasak air di pinggir sungai sehingga kami bisa minum air hangat untuk memulihkan energi dan mengusir rasa lapar. Bahkan beberapa kawan sempat membuat kopi dan minumnya berjamaah. Artinya satu cangkir dinikmati sama-sama. Sudah jadi istilah kawan-kawan, kalau makan satu piring sama-sama, kami sebut makan berjamaah. Dan ini nikmat!
Setelah berjalan kurang lebih satu jam, aku dan kawan-kawan menginjakkan kaki di tangga yang berlumut. Aku mengucapkan salam pada semua penghuni perbukitan. Kami telah sampai di pinggang bukit. Termasuk minta izin untuk bermalam di area ini. Dua nenek gunung penjaga pintu gerbang menyambut salamku. Mereka berdua hanya sebagai penjaga, mengizinkan semua yang hendak masuk ke wilayah Sebakas. Namun jika hendak masuk ke alam gaibnya, nampaknya beliau tidak mengizinkan begitu saja. Mata keduanya menatapku tajam tanpa bertanya. Kubalas saja dengan senyum. Belum waktunya aku berkenan demgan keduanya.
Aku berdiri sejenak di pangkal tangga menatap rumah panggung satu-satunya di pinggang bukit ini. Aku menarik nafas lega. Rumah panggung yang cukup besar ini nampaknya dibangun oleh anak cucu yang turunan dari puyang Sebakas. Rumah panggung ini sengaja dibangun untuk tempat istirahat para pengunjung atau lebih tepatnya para peziarah. Aku menyisir area rumah yang cukup luas dengan mataku, menaiki jenjang tangga kayu satu-satu. Setelah sampai di beranda, aku melihat ruangan luas seperti barak. Ada beberapa pintu kamar, nampaknya terkunci rapat. Aku tidak tahu apa isinya. Di ruangan luas seperti barak inilah semua tamu beristirahat. Hampir setiap sudut berisi tumpukan tas para pendatang. Kami meletakkan ransel dan barang di sudut ruang yang masih kosong. Sebagian kawan-kawan rebahan sejenak. Ada yang sekadar selonjoran sambil saling sapa dengan pengunjung lainnya. Aku memilih menghampiri seorang perempuan yang sedang duduk selonjor menyusun daun sirih dan gambir. Setelah menyalaminya dan memperkenalkan diri, aku ikut memilih-milih daun sirih sambil bercakap-cakap. Dari nenek kuketahui, katanya ‘ramuan sirih’ ini salah satu bahan yang wajib untuk persedekahan. Sebab roh nenek moyang, membutuhkan ‘ramuan sirih’ lengkap, begitu juga dengan ‘rukok guyang’ pelengkap serkai dan punjung. Maksudnya untuk persedekahan itu, mereka menyiapkan sirih dan rokok sebagai perlengkapan sesembahan atau sajen. Aku mengangguk-angguk mendemgarkan cerita si nenek sembari menolak energi yang tiba-tiba seakan menarik-narik aku dari arah barat. Berhubung hari masih petang, dan orang masih ramai, aku lebih memilih menolak dan menghindar tarikan energi itu. Aku tahu, energi yang hendak menarikku bukan energi yang baik. Tapi lebih pada menyerangku.
“Kau jangan coba-coba menghalangi serkai yang sudah disiapkan oleh bangsa manusia itu untuk kami. Urus saja dirimu. Jangan turut campur urusan kami, jika kau masih mau hidup!” Ancaman itu begitu tegas. Aku hanya tersenyum tanpa menanggapinya. Belum waktunya aku melayaninya, batinku. Masih banyak hal yang ingin kuketahui tentang berbagai macam tradisi warisan nenek moyang ini. Aku minta izin turun untuk melihat-lihat sekitar bukit pada si nenek. Kulangkahkan kaki menuruni anak tangga satu-satu.
Beberapa orang kulihat menyapu area rumah panggung. Ada juga yang menyapu musolah. Meski tidak ada petugas khusus, namun nampaknya kesadaran para pengunjunglah yang bersama-sama menjaga kebersihan area ini. Ada beberapa kelompok pengunjung duduk-duduk di bawah rumah dan teras musolah. Nampaknya mereka datang lebih pagi. Tiga perempuan saparuh baya, sibuk masak di dapur umum yang terpisah dengan rumah panggung. Lauk yang mereka masak banyak sekali. Ada daging. Kalau memcium aromanya daging kambing. Ada gulai umbut, nangka campur ayam. Mirip seperti persiapan hajatan. Setelah kutanya pada beberapa orang yang duduk-duduk di teras musolah, mereka mengatakan sengaja datang ke sini untuk menyampaikan niat, maksudnya membayar nazar. Mereka memotong kambing. Lalu menggulainya untuk dimakan bersama. Orang ramai itu adalah bagian keluarga yang akan bersedekah. Termasuk nenek yang menyusun sirih tadi. Aku tidak tahu bagaimana bentuk ritual mereka. Apakah sama seperti yang dilakukan oleh Wak Lidin tetanggaku? Lalu makan-makannya dimana? Tempat yang dikeramatkannya di mana? Batinku terus bertanya.
Tepat di halaman rumah panggung, aku melihat ada serupa makam yang dipagar rapat. Di tengah makam ada satu batu mirip batu nisan makam-makam keramat pada umumnya. Apakah ini makam atau hanya sebuah petilasan, aku juga belum tahu. Aku tidak berani melakukan penelusuran sesuka hati. Khawatir ada yang tidak berkenan. Namun yang jelas, aku melihat sosok seorang lelaki tua dari awal sudah menyambut kedatangan kami. Aku memperkirakan beliu adalah penghuni atau juga penjaga area ini. Nampaknya beliau sedikit pendiam. Atau karena terlalu sering melihat pengunjung yang tidak henti datang ke mari membuat beliau tidak terlalu antusias? Atau beliau merasa terganggu? Entahlah. Sesekali matanya menatapku.
Ketika kutanya makam siapa yang dipagar tersebut pada orang-orang yang duduk, tidak ada yang bisa menjelaskan secara detil, kecuali menyebutnya makam ‘puyang’. Puyang apa, terus leluhurnya siapa? Apa aktivitas semasa hidupnya? Masih menjadi pertanyaan dalam batinku.
Sejenak aku melemparkan pandang jauh dari hadapan rumah panggung dari pinggang bukit Sebakas ini. Di lembah rumah-rumah penduduk terhampar di antara bukit yang hijau. Hamparan kebun sawit juga terlihat seperti permadani. Sementara di alam gaib, aku melihat bentangan sawah dan ladang. Namun hening, tidak kulihat aktivitas makhluk yang bekerja. Di atas bukit ada bangunan-bangunan yang terlihat rapat. Kuperkirakan di sana perkampungan yang ramai. Begitu juga di sekeliling bukit yang terlihat curam jika dilihat secara kasat mata. Tapi di alam tak kasat mata, di situ perkampungan yang ramai. Rumah-rumah yang berjajar rapi menghadap matahari terbit.
Aku terus berkeliling di area rumah persinggahan ini. Di pojok dapur umum ada kamar kecil tempat para tamu mandi dan buang air. Halaman yang luas, ditumbuhi rumput-rumput kecil dan berlumut. Udara perbukitan terasa dingin meski matahari masih terik. aku berdiri di depan tangga jalan menuju puncak bukit.
“Ini lawang menuju penarakan.” Tiba-tiba kakek yang berkeliling-keliling di area rumah berdiri di sampingku.
“O ya, penarakan? Maksudnya apa nek Nang?” Sapaku dengan sebutan daerah ‘nek nang’ kata lain kakek.
“Puncak bukit ini disebut juga penarakan. Penarakan itu tempat orang ‘tarak’ atau menyepikan diri mencari wangsit, bertapa, minta petunjuk, tirakat dan lain sebagainya.” Nek Nang menjelaskan. Aku baru paham di sini pun memakai istilah ‘tarak’. Ternyata tidak jauh berbeda dengan di tanah Besemah. Namun yang aku tahu, di Besemah orang ‘tarak’ di lakukannya di kuburan, di tempat-tempat yang dianggap keramat dan memiliki kekuatan gaib. Biasanya aktivitas ini dilakukan oleh orang-orang tidak beriman, pemalas, untuk minta nomor ‘nalo’. Nalo itu sejenis judi yang teroganisir. Disukai oleh pemimpi-pemimpi yang ingin kaya mendadak. Mereka yang suka pasang nomor atau ‘nalo’ di kampungku umumnya tukang becak, kuli, buruh, tukang jaking, supir angdes, petani-petani miskin. Apakah di sini sama? Aku jadi ingat nek Kam yang suka iseng menakuti setiap orang yang ‘tarak’. Ketika mereka duduk bersilah dan membakar kemenyan, nenek Kam melemparnya dengan pasir dan kerikil berkali-kali hingga mereka kabur ketakutan. Begitu juga dengan nenek Pagarjaya, ibu dari Bapakku. Semasa hidupnya seringkali beliau menghalau para penarak di kaki gunung Dempu dengan cara menakut-nakutinya. Tidak saja melempar mereka dengan batu, tapi kadang disuruhnya temannya dalam sosok harimau duduk dekat para penarak.
“Umumnya apa yang diminta di penarakan itu, nek Nang?” Ujarku pelan ingin tahu.
“Macam-macam. Ada yang ingin hajatnya tercapai, ingin jadi pejabat, agar selalu terlihat berwibawa, disegani anak buah atau atasan, sukses dalam mencapai cita-cita, usaha, ada juga yang ingin minta pegangan, semacam ilmu, dan lain sebagainya. Nah, jika tercapai mereka membayar semacam perjanjian yang mereka buat sendiri, ada yang memotong kambing, kerbau, bahkan ada juga ayam pucat kuning, ayam kumbang, sebagai ucapan terimakasih dan menepati janji mereka,” urai nek Nang.
“Mereka itu minta dengan siapa, nek Nang? Dengan leluhur yang bermakam yang dianggap keramat atau dengan siapa?” Ujarku kembali penasaran. Nek Nang hanya menggeleng. Beliau enggan menjawab. Hanya saja beliau berkata, sebenarnya kamu sudah tahu siapa yang menerima sesedekahan itu tanpa saya jelaskan. Aku sedikit bingung. Apa maksud nek Nang ini? Bukankah aku belum pernah melihat mereka yang ‘tarak’ maupun yang sedekah? Akhirnya aku balik bertanya-tanya seputar rumah yang dibangun ini. Lalu minta izin untuk bermalam bersama kawan-kawanku malam ini, esok pagi rencana kami akan naik ke puncak dusun Tinggi Sebakas tempat yang disebut-sebut orang penuh misteri. Beliau mengangguk menyetujui.
“Saya yakin denganmu dan kawan-kawan. Kalian adalah pecinta alam tulen. Sopan dan tahu etika, dekat dan sayang dengan alam semesta. Kalian aman sampai ke atas. Saya bisa membaca hati kalian, kalian bukan ingin tarak. Termasuk rasa ingin tahumu, saya juga tahu,” nek Nang terkekek-kekek. Aku tersenyum menatapnya. Ternyata nek Nang bisa juga tertawa. Padahal dari tadi aku melihat ekspresinya kaku dan seperti tidak suka.
“Eh, siapa namamu?” Tanya nek Nang sambil menunduk menatap wajahku.
“Aku Putri Selasih, nek Nang. Aku berasal dari Besemah.” Ujarku menunduk pula. Nek Nang langsung menarik tanganku untuk menatap ke arah timur.
“Di balik bukit itu, ada gunung Dempu. Sepanjang bukit yang berjajar setelah bukit itu, wilayah tanah Besemah. Kau tahu, di gunung Dempu bagian barat ke arah sini, ada sesepuh kami berdiam di sana. Pada dasarnya kita berdekatan Hanya beda suku saja. Bahkan beberapa nenek moyang kalian, sama dengan nenek Moyang beberapa dusun di daerah ini. Kalian sepuyang.” Lanjut nek Nang lagi. Ada salah satu dusun di Manna ini sepuyang dengan suku Besemah? Oh mungkin maksudnya zaman dahulu nenek moyang kami melintas di bukit Barisan hingga saling menyeberang ada yang ke sana ada juga yang ke sini. Bisa jadi, karena bukit-bukit di sini bersisihan. Baru saja aku hendak bertanya nama dusun dan puyang apa, termasuk soal dusun yang digaibkan, nek Nang buru-buru minta izin untuk menunaikan salat asar di musolah. Rupanya suara azan dari masjid pemukiman bangsa manusia di lembah samar-samar terdengar dari sini.
Aku mengingatkan kawan-kawanku waktu salat asar telah masuk. Akhirnya bersama kawan-kawan dan beberapa pengunjung yang lain kami melaksanakan salat asar. Kulihat banyak juga pengunjung yang tetap berleha-leha di sekitaran musolah tidak menunaikan salat wajib. Baik muda maupun tua, baik perempuan mau pun laki-laki. Di alam gaib, nek Nang azan. Suaranya merdu sekali. Aku seperti mendengar irama azan di televisi-televisi. Nafas nek Nang meski sudah sepuh ternyata panjang juga. Ah! Tiba-tiba aku rindu kakek haji Majani. Lebih kurang suara azan nek Nang sama dengan suara kakek Haji Majani. Jika dilihat dari wajah bangsa manusia, usia mereka sama. Tapi jika di alam tak kadar mata, bisa jadi usia nek Nang sudah ratusan tahun.
Aku sengaja tidak salat sendiri seperti teman-temanku dan pengunjung yang lain. Aku ingin salat berjamaah bersama nek Nang. Belum selesai beliau azan, aku melihat banyak yang datang dari seputaran bukit. Mereka para nenek gunung! Padahal dari tadi ketika aku mulai naik, aku belum melihat bangsa mereka. Perempuan laki-laki, anak kecil, dan muda menunaikan salat berjamaah. Aku ikut menjadi makmum di antara mereka. Sebagian lagi jamaahnya bangsa jin muslim. Yang lelaki, mereka ada yang bergamis, ada juga memakai baju kemeja berbahan tebal seperti wall dan pamatex. Rata-rata berwarna gelap. Memakai kain sarung gantung (digulung sebatas dengkul). Sementara yang perempuan memakai baju pokok (mirip kebaya minimalis) bermotif kembang, berkain sarung. Sebagian lagi mereka kulihat seperti makhluk asral yang kutemui di lembah, berbaju serba hitan, bahan belacu, mengikat kepala dengan warna hitam pula. Bedanya, di sini semua kulihat memakai baju.
Aku dengan khusuk mendengarkan setiap takbir yang diucapkan Nek Nang. Rupanya beliau imamnya. Ada sekitar tujuh orang perempuan bangsa nenek gunung yang ikut berjajar bersamaku. Lalu tiga orang bangsa jin. Selesai berdoa, ketujuh nenek gunung perempuan langsung mengerubungi aku. Kami bersalaman. Mereka menyapaku ramah.
“Dari mana, Dis?” Sapa di antara mereka yang kulihat perempuan separuh baya. Memanggilku dengan sapaan ‘Dis’ singkatan dari kata “gadis’. Masih dalam posisi duduk, aku memperkenalkan diri pada mereka. Kuceritakan tujuan kami datang kemari.
“Oh, bukan rombongan yang hendak sedekah itu ya?” Lanjut salah satu mereka lagi. Aku menggeleng. Selanjutnya mereka bercerita jika kampung mereka ada di balik lereng sebelah selatan. Kebetulan mereka bersawah di lembah, makanya mereka solat di sini. Aku menoleh lembah yang ditunjuknya. Oh, rupanya ladang dan sawah itu milik mereka. Kukira milik bangsa makhluk asral dekat sungai tadi. Dengan ramah mereka mengundangku untuk singgah ke rumah mereka. Tak berapa lama mereka mohon diri untuk melanjutkan pekerjaan mereka.
“Sawah kami dang calau, melah amu nak singgah,” ujar perempuan separuh baya dalam bahasa daerah, menyeritakan jika beliau sedang membersihkan rumput sawahnya, lalu mengajakku untuk singgah. Aku hanya bisa mengucapkan terimakasih dan bahagia berjumpa mereka. Dalam sekejab mereka hilang dalam pandanganku.
“Selasih, sini dulu” Tiba-tiba nek Nang memanggilku. Di sampingnya berdiri tiga orang sepuh menatapku dengan senyum. Aku segera menunduk dan mencium tangan mereka.
“Selasih, ini sesepuh keluarga ‘jurai tuau’ dari dusun Sebakas. Mereka salat di sini kebetulan lewat, dan melihat dirimu di antara tamu yang datang “. Ujar nek Nang. Aku paham. Kepekaan batin mereka, langsung bersenergi dengan batinku, meski aku bukan seratus persen dari golongan mereka.
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatu. Kenalkan Puyang, aku Putri Selasih, asalku dari gunung Dempu Besemah.” Ujarku sambil menunduk. Mereka serentak menjawab salamku. Aroma harum minyak wangi terasa menyegarkan. Wajah mereka sangat teduh dan karismatik. Bergamis putih, sorban diikat di kepala, tasbih melingkar di lehernya. Jenggotnya yang panjang bergoyang-goyang diterpa angin. Tangan kirinya memegang tongkat rotan yang berukuran sebesar lengan anak kecil. Beliau sengaja kupanggil Puyang karena mereka keluarga besar ‘jurai tuau’ dari dusun Sebakas. Artinya yang dihadapanku adalah sesepuh secara silsilah memiliki kedekatan yang paling tinggi dengan leluhur dusun ini. Hanya saja mereka dari golongan manusia harimau.
“Ada keterkaitan batin antara Puyang Sebakas dengan Puyangmu, Selasih. Baik puyang gaibmu, maupun Puyang zahirmu. Sejak awal melihatmu, aku sudah mencium bau Puyang Pekik Nyaring dari kerajaan kecil di lereng Merapi gunung Dempu. Aku juga mencium bau puyang Kedum Tengah Laman, gelar Puyang Kincir Ali mengalir deras di tubuhmu. Dua puyang itu sosok karismatik yang disegani banyak orang. Ah! Sudah lama aku tidak bertemu dengan puyang Pekik Nyaring. Semoga beliau tetap sehat. Beliau orang soleh.” Ujar lelaki sepuh yang kusapa Puyang. Aku menunduk mendengarkan ucapan beliau.
“Terimakasih Puyang, mohon maaf jika kehadiranku dan kawan-kawanku mengusik ketenangan di dusun ini. Kami hanya tertarik melihat hutan dan segala hal yang mungkin ada yang bisa kami pelajari kaitannya dengan sejarah peradaban manusia.” Ujarku.
“Iya, saya paham. Kamu akan menemukan tiga golongan bangsa kami di sini, Selasih. Satu golongan nenek gunung yang kamu lihat seperti kami dihadapanmu. Tidak jauh berbeda dengan sesepuhmu di gunung Dempu. Sebagian kami juga golongan ahli ibadah. Tirakat yang kami lakukan semata-mata mendekatkan diri kepada Allah Subhanallah Wata’alah. Golongan yang ke dua, mereka yang melakukan tirakat untuk memperdalam kebatinan, mengasah ilmu-ilmu warisan. Dan itu bisa kau lihat itu, saudara kami yang seperti pendekar itu.” Puyang menunjuk salah satu jamaah mirip pendekar, berbaju hitam, celana hitam, dan ikat kepala hitam yang mereka sebut ‘gitar’. Dia sedang berdiri menghadap ke lembah sambil berbincang-bincang antar mereka.
“Orang Besemah menyebut kami orang Besisir. Meski banyak di antara kami tinggal di perbukitan. Mungkin karena perbukitan Selatan ini menghadap ke laut, maka sekali sebut Besisir. Golongan ke dua itu kulit mereka umumnya kering dan agak bersisik. Itu bukan penyakit, tapi menunjukkan kedalaman dan tingginya ilmu yang mereka miliki. Mereka selalu memperdalam dan mengasah ilmu kebatinan dan sileak. Mereka pun terbagi dua golongan, ada yang memanfaatkan kemampuan mereka demi kebaikan, pengobatan, menolong orang yang butuh pertolongan. Lalu satu golongan lagi siapa pun minta tolong baik untuk kebaikan maupun untuk menyakiti dia lakukan semuanya. Tentu saja dibantu oleh golongan lain, bisa manusia bangsamu, bisa juga jin, mereka bekerjasama.” Lanjut Puyang lagi. Aku terperangah. Apakah ada di antara mereka ini yang ikut membantu manusia menyerangku tempo hari? Aku membatin.
“Ada satu golongan nenek gunung lagi, yaitu golongan yang sombong, gila pujian, senang dipuja. Mereka bersekutu dengan bangsa jin kafir, suka mengaku-ngaku menjadi si A, atau si B, menyesatkan golongan manusia, menggiring manusia untuk tersesat demi keuntungan mereka pribadi. Mereka adalah makhluk -makhluk malas bekerja. Lebih senang membuat keributan daripada kedamaian. Mereka akan kau temui, dan pasti salah satu mereka akan menghadangmu karena mereka tidak suka melihat orang asing. Apalagi sepertimu. Mereka kasar, dan rata-rata berilmu tinggi.” Lanjut Puyang panjang lebar. Aku seperti mendapatkan pelajaran singkat dari sesepuh Sebakas ini. Apa yang beliau jelaskan, sungguh pengetahuan yang sangat berharga bagiku. Yang membuat aku salut adalah, meski mereka terbagi tiga golongan namun tetap bisa hidup berdampingan. Menurut Puyang mereka bangsa mereka menghuni lereng-lereng bukit Sebakas hingga ke lembah bagian barat dan Selatan. Lalu Puyang menunjuk beberapa bukit yang terlihat dari musolah, di sana perkampungan bangsa manusia harimau, bahkan menurut Puyang bersebelahan dengan dusun jin berbentuk manusia seperti yang berjumpa denganku siang tadi. Ketika aku baru hendak bertanya lebih dalam tentang sejarah dusun Sebakas, beliau mohon diri karena masih ada urusan katanya. Selanjutnya beliau berjanji nanti malam ada yang akan menjemputku di sini, mengajakku untuk berkunjung ke dusunnya. Aku menyetujui. Ada rasa dak dik duk menendang-nendang dadaku. Aku diajak berkunjung ke dusun mereka? Dusun nenek gunung di Selatan ini? Masya Allah, aku tak sabar menunggu malam.
“Dedek, Dedek, ayo kita makan dulu!” Bang Iwan memanggilku. Wajahnya nampak agak aneh. Ada apa gerangan? Aku segera mengemas sajadah dan mukenaku lalu menghampiri kawan-kawanku. Masakan Ina petang ini memang istimewah, ada sambal tempuyak, sayur kol mentah untuk lalapan, ikan asin, dan telur dadar. Jarang-jarang kami makan telur. Biasanya setiap kali jelajah alam, pantang membawa telur. Karena beresiko, takut pecah di jalan.
“Dari tadi aku perhatikan usai salat kamu seperti sedang bercengkrama. Berbicara dengan siapa, Dek? Berkali-kali dipanggil jangankan menjawab, menoleh pun tidak,” ujar Bang Iwan sambil menyolet sambal tempuyak dengan lalap kol. Kujawab aku berzikir dulu, meski aku yakin alasanku tidak mereka percayai sepenuhnya.
Suasana hening, yang ada hanya suara decap mulut kawan-kawanku yang kelaparan, sambil sesekali berdesah kepedasan. Suapan mereka rata-rata besar sekali. Nampak sekali mereka kelaparan. Beberapa orang yang lalu-lalang kami tawari makan bersama. Demikian juga tamu yang lain. Mereka tidak ada yang mau bergabung, karena mereka membawa bekal masing-masing. Sementara kelompok yang hendak sedekah sudah berangkat ke bukit, dusun Tinggi membawa semua perbekalan mereka. Pantas suasana sekitar ini agak sepi.
Selesai makan aku baru sadar jika Rully salah satu team kami tidak ada.
“Rully mana?” Ujarku mencari-cari. Yang lain juga baru sadar jika anggota kami kurang satu. Aku segera berlari ke rumah panggung memastikan keberadaannya. Instingku mengatakan ada sesuatu yang terjadi pada Rully. Aku menaiki jenjang tangga setengah berlari, siapa tahu Rully tertidur di atas karena lelah. Sampai di atas aku tidak melihat orang tidur. Sebab mereka yang istirahat di sini tadi rata-rata keluarga yang hendak sedekah itu. Aku turun kembali memberitahu kawan-kawan jika Rully tidak ada. Semua mulai mencari di area rumah. Tapi karena tempat ini lantang, tidak ada pohon, atau sekat yang menghambati pandangan siapapun mudah terlihat. Dan tidak ada bagian yang tersembunyi kecuali kamar mandi. Kami semua masih berpikiran positif. Berharap Rully hanya jalan-jalan masuk hutan di sekitar rumah singgah ini dan segera kembali. Atau dia ke atas puncak bukit bersama rombongan yang sedekah tadi. Kami tetap menunggu meski rasa cemas tetap kami sembunyikan. Ina menyimpan dan mengasingkan makanan untuk Rully sembari ngomel mengapa tidak pamit kalau mau pergi.
Diam-diam aku kembali ke musolah, kulihat di sudut musolah nek Nang duduk, khusuk berzikir. Aku melihat gelombang energi seperti cahaya membalut tubuhnya. Aku segera duduk timpuh, mencoba fokus mencari Rully. Kutelusuri ke mana kawan kami satu ini. Rully termasuk senior dalam team maka tidak mungkin dia pergi begitu saja di luar rencana. Aku mulai berjalan, kulihat ada energi yang menarik Rully dari lembah. Sebelumnya aku mengira Rully berjalan ke arah bukit. Ternyata turun ke lembah. Aku mulai menapak sembari terus memfokuskan diri mengejar bayangan Rully. Dari aura yang kurasakan, mengingatkan aku untuk waspada. Angin yang semula semilir, makin lama makin kencang. Daun-daun semua bergoyang. Aku mulai mengencangkan zikir dalam batin. Beberapa sosok menatapku tajam bahkan ada yang memanggil-manggil dan hendak menggapai. Makin lama angin makin kencang seakan menghalangiku mengejar Rully. Kuayunkan tangan, kubaca mantra angin, sejenak di hadapanku kulihat angin berputar saling gulung bersama energi yang tidak kutahu berasal dari mana.
Bersambung….