HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT V (74B)

Karya RD. Kedum

“Apa-apaan, Dek? Kalau mau kuntau tu di bawah, lapangan luas,” ujar Ibu melihat aku bergerak seperti sedang menangkap dan menangkis. Aku senyum-senyum jadinya. Demikian juga Bapak dan Kakek Haji Yasir. Mereka menatapku sambil bertanya dalam hati.
“Kuntau dengan siapa, Dek?” Tanya kakek.
“Bersama Macan Kumbang, Kek.” Ujarku. Mendengar itu Ibu terperanjat. Matanya melotot.
“Jangan main-main, Dek. Macan Kumbang kesayangan nek Kam maksudmu? Jadi dia ada di sini? Menemani kamu?” Ibu makin melotot yang kujawab dengan anggukan. Macan Kumbang kembali mendorong kepalaku, kutangkap dan kupelintir lagi. Kali ini aku melompat turun tangga mengejar Macan Kumbang. Di bawah aku dan Macan Kumbang saling serang dengan kuntau. Ternyata Bapak dan kakek menonton. Kadang keduanya tepuk tangan melihat gerakan-gerakan kuntau yang kumainkan. Mungkin mereka kira aku tengah memamerkan jurus-jurus kuntau, padahal aku tengah saling serang dengan Macan Kumbang.

Tak lama kakiku kena sapu, aku terjatuh dan terkunci. Macan Kumbang tertawa ngakak melihat aku menepuk-nepuk tanah, minta ampun tanda menyerah. Akhirnya aku berdiri lalu memberi hormat pada Macan Kumbang menyudahi pertarungan. Aku kembali ke pondok.
“Kenapa berhenti? Kan belum selesai. Kamu baru mengeluarkan jurus……” Ujar kakek belum puas. Aku tahu, kakek pasti ingat masa mudanya ketika beliau masih aktif mejadi prajurit ikut memanggul senjata melawan penjajah. Aku tertawa sambil memegang tangannya dengan alasan capek. Sementara Macan Kumbang nampak tertawa bangga mengejekku.

Aku menarik nafas lega setelah masuk pondok kakek. Dari sudut ke sudut kuperiksa semua. Di balik pintu dapur aku menemukan pisang kepok diperam. Kupencet sudah mateng. Begini cara kakek memeram pisang, pisang dibalut plastik, dimasukannya beberapa tangkai daun basiah, lalu dibalutnya kembali dengan karung. Beberapa hari baru dibuka, dan diperkirakan mateng. Dulu waktu kecil, aku pernah juga melihat kakek memeram pisang dengan cara membuat lubang di tanah, lalu pisang dibungkus daun pisang, dimasukan dalam karung, lalu dikubur beberapa hari. Hasilnya pisang masak merata. Aku masih ingat, peraman pisang kakek Haji Yasir ini tiap kali selesai bermain, sering kali kubuka bersama teman-temanku. Kami makan, tanpa menceritakan kakek.

Aku mengambil sesisir pisang kepok. Ibu segera menyalakan api di tungku memasak air, untuk membuat kopi. Sambil menunggu api menyala, kubantu ibu mengeluarkan barang-barang bawan kami.
“Masak apa ya untuk makan malam kita” Tanya Ibu sambil mikir selesai menyusun kaleng berisi gula dan kopi di atas rak.
“Bu, kita buat sambal picak, aku akan petik daun singkong, dan cungkedire, di depan juga ada cipir, kita rebus. Lalu kita goreng ikan asin. Kan beres. Hmmm…dingin-dingin, makan sambal picak, cipir dan daun singkong rebus, nasinya hangat. Pasti sedap sekali.” Ujarku membayangkan masakan kebun itu. Ibu mengangguk setuju

Belum terlalu petang, namun udara sudah terasa dingin. Matahari masih bersinar terang. Aku memakai jaket sekadar mengusir rasa dingin tiba-tiba, sambil membantu ibu di dapur. Ibu mulai menarik kayu api lalu meratakan bara untuk mengeringkan nasi di periuk, aku menyusun pisang kepok di atasnya. Sambil sedikit dikipas, kubolak-balik agar matang merata. Tidak lama pisang bakarku mateng. Kusuguhkan untuk minum kopi bersama kakek, dan Bapak. Ternyata nikmat sekali. Suasana seperti inilah yang selalu membuatku rindu dusun. Bersama keluarga, menikmati kopi panas, sembari mendengarkan satwa hutan.

Di dapur, suara ibu memirik cabe membuat pondok serasa ikut bergoyang. Batu yang beradu seperti irama musik asyik sekali; sreeek sreeek sreek tuk sreeek sreeek tuk sreeeek! Sudah bisa dipastikan ibu tengah membuat sambal picak, cabe merah, bawang putih dan bawang merah secukupnya, lalu cungkedire yang sudah masak, bubuhkan garam, semuanya digiling halus. Liurku sudah berkumpul membayangkan sambel mentah yang segar, pedas, asem, dan asin.

Usai menyeruput kopi, aku turun pondok membawa jerigen dan sambang menuju pancuran. Aku rindu dengan pancuran bambu di ujung kebun. Macan Kumbang ikut berjalan bersamaku. Padahal dia tadi sudah lebih dulu menuju pancuran, nampaknya wudu dan solat asar.
Kuhirup udara dalam-dalam. Aroma uap kebun kopi sungguh nikmat sekali. Beberapa kutilang berkicau di atas pohon mangga.
“Aku ingin bertemu nek Kam segera. Nanti kita ke sana ya.” Ujarku pada Macan Kumbang.
“Wew..beliau aja sudah ada di pondok” Katanya.
“Mosok?” Aku heran. Kapan dia datang? Orang aku saja baru turun dari pondok. Dalam hati aku ngedumel, Macan Kumbang becanda saja.
“Duh, tidak percaya. Tadi waktu aku menghilang sejenak, aku jemput nenek Kam. Terus beliau minta diturunkan dari depan jarau. Kita ke sini, nenek Kam sampai di pondok” Ujarnya.
“Kukira Macan Kumbang solat asar” Jawabku.
“Iya, solat. Tidak perlu laporan sama kamu” Ujar Macan Kumbang lagi. Kali ini dengan cepat kupukul punggungnya dengan jerigen kosong.
Buk!!!
Suara jerigen cukup keras. Aku tertawa melihat Macan Kumbang kaget dan tidak sempat menghindar.

Wow! Aku terkesima melihat pacuran masih seperti dulu. Deras dan jernih. Aku segera mengisi sambang dan derigen sampai penuh. Setelah selesai buru-buru pulang. Setengah berlari aku telah sampai di pondok. Macan Kumbang entah kemana kutinggalkan saja dia di pancuran.

Benar saja, samar-samar terdengar suara nenek Kam sedang ngobrol dengan Bapak dan Kakek. Tawanya yang khas aku kenal betul.
“Assalamualaikum, Nenek!” Aku tidak sabar lagi meletakkan sambang dan jerigen. Sambang yang kutenteng nyaris jatuh dan tumpah karena buru-buru meletakkannya di sudut garang. Nenek Kam langsung berdiri, kami berpelukkan erat sekali. Kucium pipinya yang berkulit kering dan keriput. Berulang kali tangannya yang kurus mengelus-ngelus wajahku.
“Aku rinduuuuuu sekali, Nek!” Ujarku sembari memijat-mijat kakinya ketika duduk. Mata cipitnya menatapku dalam sambil tersenyum.
“Nenek juga rindu. Meski nenek sering juga melihatmu walau kita tidak ngobrol” Katanya. Aku menatapnya lekat-lekat.
“Berarti nenek Kam suka ngintip aku, dong” Ujarku disambut tawa Bapak dan kakek.
“Nek Kam di lawan, Bengkulu Pagaralam cukup sekejap mata dah sampai dia. Kamu saja tidak diwarisi nek Kam ilmu itu.” Ujar Bapak. Aku jadi ikut tertawa.
“Betul, Pak. Nek Kam tidak mau memberikan ilmu itu. Coba kalau aku bisa kayak nek Kam, bisa setiap saat aku pulang melihat nek Kam, kakek Haji Yasir, kakek Haji Majani.” Ujarku lagi. Nenek Kam hanya membalas candaanku dengan nyengir.

“Selasih, ke mari” Suara Macan Kumbang dari bawah. Hanya aku dan nenek Kam yang mendengarnya. Aku menatap nenek Kam. Dengan bahasa isyarat beliau menyuruhku menemui Macan Kumbang di bawah. Aku langsung ke luar. Betapa terkejutnya aku ketika melihat Macan Kumbang membawa dua ekor ayam hutan yang sudah disembelih.
“Dari mana?” Tanyaku kaget.
“Berburu di Ulu Endikat, ini masaklah, biar kita bisa makan ramai-ramai.” Ujar Macan Kumbang sambil memberikan dua ekor ayam. Aku menyambarnya sambil kebingungan. Bagaimana menjelaskannya pada ibu? Kupandang Macan Kumbang dengan wajah bingung. Otakku segera berpikir menyusun kata-kata agar Ibu bisa menerima.
“Ibu, ini ada dua ekor ayam hutan titipan kawan nek Kam, sudah di potong. Katanya untuk lauk kita malam ini.” Ujarku.
“Buat gulai yang enak, Luhai. Bepati (=santan) biar sedap.” Ujar nek Kam.

Benar saja dugaanku, Ibu paling banyak bertanya.
“Teman Nek Kam yang mana? Manusia apa nenek gunung, si Dek. Kalian berdua ini kalau sudah kumpul horor terus.” Ibu jadi ikutan duduk usai meletakkan ayam di dalam baskom.
“Nek, kami tadi, dari Bandar ke Danau cuma butuh waktu lima belas menit berjalan kaki. Heran, mengapa sampai bisa begitu. Lalu, kegita berjalan beriringan, Dedek jauh ada di belakang kami, tahu-tahu pas sampai sini, barang-barangnya sudah sampai duluan dari kami, dia sudah di kebun dengan kakek. Lalu dia teriak-teriak kuntau sendiri sampai turun ke tengah laman (=halaman) seperti orang kesurupan. Sekarang, bawa dua ekor ayam sudah dipotong, katanya dari kawan nek Kam. Herannya pula, Bapak sama kakek malah kesenangan melihat yang aneh-aneh kayak gini. Iiih… ” Ibu menggigil menahan takut apa ngeri, entahlah. Nenek Kam tertawa lebar mendengar keluhan ibu.
“Biasa saja, tidak ada yang aneh.” Ujar nek Kam ringan. Ibu bangkit sambil cemberut.
“Dek, tugasmu bersihkan ayamnya. Cuci di pancuran.” Ujar Ibu setengah kesal. Akhirnya aku bangkit, kubawa pisau dan baskom berisi ayam. Sementara ibu menyiapkan bumbu gulai. Meski sambil ngomel, tapi tetap saja ibu kerjakan.
“Nek, kata nenek tadi gulai pakai santan? Di pondok ini tidak ada kelapa, Nek. Tunggu hari ‘kalangan’ baru bisa beli kelapa,” kata ibu sambil menongolkan kepalanya di pintu tengah.
“Itu di pojok garang dapur, sudah di antar kawan Nenek lima butir kelapa tua. Kurang apalagi?” Ujar nek Kam.
“Apa? Mati aku! Kawan nenek Kam yang mana? Macan Kumbang lagi? Aduh!” Ibu lari mendekat ke nenek Kam. Bapak dan Kakek nampak biasa-biasa saja. Tidak aneh menurut mereka.
“Halah dari dulu kamu ini berani kambing” Lanjut nek Kam lagi.

Sampai di pancuran, aku langsung membersihkan ayam dan memotongnya sesuai ukuran untuk gulai. Macan Kumbang membantuku mencucinya. Tak berapa lama, ayam sudah bersih. Aku segera pulang.
“Sibuk sekali gadis desa satu ini ya” Kata Macan Kumbang berjalan di belakangku.
“Preet! Maunya aku tidur. Aku masih capek. Baru saja duduk dan ngobrol dengan nenek, eh disodori ayam bulat-bulat. Ibu marah karena takut. Apa tidak dengar mulut ibu merepet kayak trompet?” Kataku sambil sesekali melepas daun kering yang lengket di betisku yang basah.
“Kata Nenek, Ibu itu berani kambing. Artinya kadang berani tapi ada rasa takut juga. Kadang takut, tapi nekat dan akhirnya berani juga. Semoga saja Ibu tidak seperti dulu, ketika beliau ditakuti kak Arsito dengan ular karet, beliau kalap saking takutnya, dia sedang pegang pisau, tanpa sengaja dilemparnya ke kak Arsito. Untung tidak kena.” Lanjut Macan Kumbang. Aku tertawa membayangkan hal lucu itu sambil naik tangga dapur.
“Nah, tetawa sama siapa pula si Dek? Ibu lihat sendirian saja, tapi nada suaramu seperti sedang ngobrol bersahut-sahutan. Jangan bikin Ibu takuuuut!” Ibu menjerit. Aku segera mendekati beliau sambil mengelus-ngelus punggungnya.
“Ibu, tidak ada yang meski ditakuti di alam ini. Takut sajalah pada Sang Maha pencipta. Mengapa Ibu jadi risau begini seperti tidak biasa? Bukankah sejak dulu Ibu sering cerita hal aneh-aneh tentang nek Kam?” Ujarku masih mengelus punggungnya. Tiba-tiba nek Kam berdiri di tengah pintu sambil tertawa kecil.
“Obati Ibumu, Dek. Biar dia tidak ketakutan dan merepet” Lanjut nek Kam. Ibu hanya ngedumel sambil mengiris bawang merah. Bapak baru saja selesai mengupas kelapa tua, nampak ya baru saja dipetik. Hal ini terlihat dari kulitnya masih sangat segar. Siapa yang membawanya ke mari? Mengapa aku tidak tahu ya? Sambil berpikir aku membantu ibu memarut kelapa pelan-pelan.

Waktu sudah berangsur petang. Bapak dan Kakek nampaknya sudah ke pancuran mandi dan wudu. Angin petang mulai terasa semakin dingin. Langit berawan jingga kena pantulan cahaya matahari yang hendak tenggelam. Aku duduk di beranda memandang ke langit melihat kelelawar besar terbang ke hulu beramai-ramai seperti mengejar matahari yang hendak tenggelam. Pemandangan yang tidak pernah berubah di langit senja Besemah. Aku bisa memastikan, sebentar lagi akan ada suara burung taktaraw pertanda ambang magrib tiba selanjutnya langit akan gelap.

“Darimana ayam ini, Nek? Berburu tidak, jerat tidak, tapi kita bisa makan ayam hutan sudah disembelih pula.” Ujar Bapak sambil mengambil sepotong gulai ayam lalu memindahkannya ke pinggan nasinya.
“Seperti tidak tahu saja, ya kawankulah yang ngantarkan kemari. Tahu kita tidak ada “gulai liut” Ujar nenek Kam sembari menyomot sambal picak lalu meletakkannya di pinggir pinggannya. Nenek Kam sudah tidak bisa ngunyah ayam yang keras, beliau tidak memakannya. Malah memilih ikan asin.
“Nenek tidak makan ayam? Biar saya iris tipis-tipis ya.. ” Kata ibu. Dijawab langsung nenek Kam dengan menggeleng dan angkat tangan tanda menolak. Kakek tersenyum melihat penolakan nek Kam.
“Sudahlah, tidak usah ditawari. Relingin tidak ‘kelalah’ makan ayam. Setiap hari dia bisa makan apa saja. Mau kijang, rusa, burung, apalagi ayam.” Sambung kekek. Nenek Kam tertawa sampai terbatuk.

Macan Kumbang ikut makan duduk di sebelah nenek Kam. Tidak ada yang tahu kecuali aku dan nenek jika Macan Kumbang dua kali nambah.
“Lapar ya?” Aku menggodanya. Macan Kumbang menyekah peluh saking semangatnya. Sementara aku terasa mau beku karena dingin.
“Gulai masakan Ibu enak, pas di lidah. Mirip masakan Umak di Ulu ya Nek?” Tanya Macan Kumbang sambil cuci tangan di gobokan.
“Perasaan tadi air gobokan ini bersih, belum dipakai. Sekarang kok berminyak-minyak?!” Bapak kaget. Ibu yang lebih kaget lagi karena melihat belum ada yang selesai makan. Aku diam saja. Bapak memandang nenek Kam. Tatapan Bapak minta penjelasan.
“Loh kita kan berenam. Kumbang juga ikut makan. Masak dia yang bawa ayam, dia tidak maka? Enak betul kita.” Jawab Nenek Kam membuat ibu hampir melompat. Kali ini Ibu menahan diri, diam saja. Tidak merepet lagi seperti biasanya.

Macan Kumbang duduk bersandar dan sendawa. Suaranya sendawanya memancing Bapak menoleh, karena memang terdengar besar sekali.
“Ayo Macan Kumbang, jangan menampakan diri atau memberi tanda-tanda kalau kamu ada di sini. Lihat Ibu hampir mati berdiri karena takut.” Goda Bapak disambut ibu cemberut sebesar bakul. Macam Kumbang senyum-senyum sendiri di sudut.

Nenek Kam memang melarang Macan Kumbang menampakan diri baik dalam bentuk harimau maupun dalam sosok manusia. Ketika kutanya mengapa dilarang? Rupanya jika bersua dalam bentuk apapun pada manusia, bangsa manusia harimau arau nenek gunung, mereka harus puasa. Dan setiap pulang ke dusun Uluan, gigi mereka harus diperiksa, apakah ada yang patah atau tidak? Lalu mereka harus puasa selama empat puluh hari. Kecuali jika mereka bersua dengan ‘orang-orang damai’ atau orang-orang pilihan yang ditakdirkan dekat dengan bangsa mereka.

“Malam ini kita pergi.. ” Ujar nenek Kam setengah berbisik. Aku mengangguk setuju. Rasa kantukku hilang. Tapi pasti seperti biasa, nenek akan mengajakku pergi setelah semua tidur lelap. Rasa dingin makin menggigit. Aku membungkus kakiku dengan selimut. Kulihat Macan Kumbang sudah lelap, masih di atas sajadah. Nenek Kam, kakek, Bapak dan Ibu masih asyik terlibat cerita berbagai macam hal. Aku tidur-tiduran dekat kakek Haji Yasir.

Lampu cubuk di hadapan kami bergoyang-goyang. Semua wajah kulihat remang-remang. Hanya mata mereka seperti bintang, menyala terkena cahaya lampu yang bergoyang. Namun itu tidak mengurangi kemesraan orang-orang yang kucintai ini. Makin malam makin asyik saja cerita mereka. Apalagi ibu menyuguhkan kopi dan makanan ringan. Cuma nenek Kam terlihat sambil duduk sesekali terpejam.

Sebenarnya aku juga mengantuk. Berhubung nenek Kam mengajakku pergi malam ini, aku usir rasa kantuk itu. Aku takut baru terlelap terus diajak pergi bisa kehilangan mood. Macan Kumbang sudah bangun sejak tadi. Tapi dia masih duduk di atas sajadah. Sepertinya melanjutkan zikir sembari menunggu tengah malam. Menjelang tengah malam, nenek Kam memantrai Ibu, kakek dan Bapak agar mereka segera tidur. Melihat Bapak, Ibu dan Kakek sudah siap-siap akan tidur, aku juga sudah siap-siap untuk pergi. Macam Kumbang juga sudah melipat sajadahnya.
“Kemana kita, Nek?” Tanyaku.
“Jalan-jalan. Sudah lama tidak mengajakmu pergi. Malam ini kita pergi agak jauh.” Jawab nenek Kam sambil mengikat tengkuluknya yang panjang. Jalan-jalan ke tempat agak jauh. Aku tidak berani lagi bertanya. Biasanya dalam perjalanan seperti ini, nenek Kam akan mengajari aku tentang berbagi hal.

Aku dan Macan Kumbang lebih dulu turun tangga. Bapak, Kakek, dan Ibu sudah lelap. Dengkur ketiganya terdengar pelan. Lampu cubok berkedip-kedip ketika ditiup angin, diletakkan ibu di tengah-tengah ruangan. Tak lama, nenek Kam menyusul. Aku melihat sosokku dan nek Kam berselimut tebal. Aku miring ke sebelah kanan, nenek Kam telentang.
“Nek, kenapa kita pergi terkesan diam-diam. Tidak boleh ada yang tahu?” Tanyaku pelan.
“Kalau Ibumu tahu, nanti dia khawatir. Begitu juga dengan kakek dan Bapakmu. Jasad kita seperti tidur, jadi perasaan mereka lebih tenang melihat kita. Tidak ada rasa khawatir dan sebagainya. Lagi pula, pekerjaan kita ini kan tidak masuk akal manusia. Daripada membuat mereka susah memikirkannnya? Cukuplah mereka tahu jika nenek tidak ada, mereka akan bilang pasti nek Kam sedang di dusunnya di gunung Dempu. Selesai urusan.” Nek Kam terkekek.

Baru beberapa langkah, ternyata di bawah sudah ada empat nenek gunung menunggu.
“Wah, bakalan ramai kalau begini.” Ujarku senang. Aku menyalami mereka. Satu yang kukenal karena pernah bertemu di dusun Uluan. Sedangkan yang tiga lagi baru kuketahui beliau dari bukit Sedepa, jauh ke arah Selatan.

Aku disuruh nenek Kam naik di antara mereka. Sementara nenek Kam bersama Macan Kumbang. Akhirnya aku patuh saja. Meski aku sebenarnya lebih nyaman pakai selendangku sendiri daripada menunggangi nenek gunung. Kami berjalan ke arah Timur. Perasaanku banyak sekali sungai yang kami lalui. Baik kecil maupun besar. Yang jarang kutemui adalah belantara. Jika tidak tanah yang gundul karena habis ditebang penduduk menjadi kebun pertanian, ada juga kebun sawit dan karet. Lalu hamparan rawa terbentang luas yang semula kukira sawah. Rupanya rawa-rawa yang tidak produktif. Segala makhluk asral terlihat melintas di beberapa tempat. Dari sekian banyak yang kulihat adalah siluman-siluman air. Baik dalam bentuk ular, buaya, antu banyu, ikan, dan lain-lain.

Selanjutnya kami melalui kebun sawit dan kebun karet, selajutnya melalui bukit-bukit. Aku bernafas lega, karena bukitnya nampak hijau dan rimbun. Tapi aku heran, mengapa di tengah belantara ini ada bagian yang botak. Aku menajamkan pandangan. Aku melihat seperti tanah longsor?
“Nek, kita akan kemana? Ini di mana?” Tanyaku penasaran. Kita masih tetap di Bukit barisan, Selasih. Tapi kita agak jauh dari tanah Besemah. Kita akan membantu saudara kita di perbatasan Lebong dengan Kabupaten Mura. Lihatlah itu, bukit-bukit yang dulunya hijau sekarang melereng. Gersang dan tandus. Suara mesin di tengah hutan ini setiap hari selalu berputar, pengeboran dan lorong-lorong seperti jalan tikus banyak sekali. Bahkan itu bagian itu dulunya bukit, sekarang telah berubah menjadi danau, hasil galian liar para penduduk. Kita bukan mengurusi penambang liar itu. Mereka tidak mudah untuk disadarkan. Nafsu mereka mendulang emas itu sudah sampai ke puncak otak. Mereka tidak punya pengetahuan tentang menjaga lingkungan. Lihatlah limbah mereka buang sembarangan. Mengotori air yang menjadi sumber kehidupan makhluk di sepanjang sungai. Bangsa manusia telah mengubah sepanjang aliran sungai megandung racun. Air bermercuri.” Kata Nenek gunung yang kutunggangi.

Aku turun dari punggungnya. Kami berdiri di sisi jurang yang dalam.
“Tempat apa ini, Nek?” Tanyaku.
“Ini tempat masyarakat menggali emas. Konon tanah yang kita ini ini mengadung emas. Dulu jurang ini adalah bukit. Lebih tinggi dari tempat kita berdiri sekarang. Tapi lihatlah bukit ini pelan-pelan menjadi jurang. Itu ‘cam’ tempat penduduk bermalam. Selain menjadi penambang liar, mereka juga kerap berburu. Tak sedikit kijang, kancil, rusa, kambing hutan mereka buru dan jerat. Di cam itu, ada anak bangsa kami yang dikurung oleh bangsa manusia. Itu mereka yang berjaga-jaga dengan kecepek itu, mereka sedang mengawasi jika ada induk bangsa kami, akan mereka tembak.” Ujar nenek gunung menunjuk beberapa orang yang sedang asyik merokok dengan senjata di tangan. Mereka membuat semacam menara pengintai sekaligus tempat berlindung dari serangan binatang buas terbuat dari kayu.

Mendengar penuturan itu emosiku langsung naik.
“Nek, kalian tetap di sini, akan aku selesaikan mereka.” Ujarku langsung berlalu tanpa minta persetujuan mereka lagi. Aku tahu, bangsa nenek gunung bukan tidak bisa menyelamatkan bangsanya di tangan manusia itu, namun mereka menghindari masalah besar sebab pasti akan berefeks dan memunculkan bentrokan berantai. Demi menghindari itu, bangsa nenek gunung meminta bantuan nenek Kam.

Nenek Kam mengingatkan aku agar hari-hati.
“Baca mantra untuk melengahkan mereka Selasih.” Nenek Kam memberikan petunjuk. Aku segera membaca mantra. Tak lama tiga penjaga itu terlelap. Kujatuhkan ketiganya dari menara pengintainya yang tinggi ke tanah. Aku langsung mendekati, melucuti dan meremuk senjata mereka, lalu kuhamburkan kuhamburkan di atas tubuh mereka. Dengan geram, kucakar tanah sekitar membentuk cakaran harimau. Agar mereka tahu jika bangsa nenek gunung marah. Lalu dinding kayu mereka pun kucakar dalam-dalam. Aku langsung masuk ke dalam ruangan sempit tempat mereka mengurung anak nenek gunung. Aku terkejut, ternyata ada sepasang balita nenek gunung dalam keadaan lesu karena depresi. Kubuka kunci kandang mereka lalu kuhancurkan. Dua anak nenek gunung langsung kugendong dan kuserahkan pada rombongan yang masih menunggu di sisi jurang. Bukan main terharunya aku melihat pertemuan itu. Ternyata di antara rombongan kami ada kakeknya.

Aku minta izin kembali balik ke cam para penambang emas liar sekaligus pemburu itu. Kali ini aku rusak mesin yang mereka gunakan untuk memisahkan butiran emas dan tanah. Air di dalam derum-derum besar kutumpahkan. Sehingga bunyinya persis hujan yang melongsorkan tanah mengalir di siring-siring yang telah berbentuk jurang. Derum-derum besar itu turut kugulingkan ke jurang. Alat-alat mereka tak luput dari amukanku. Kulempar jauh-jauh, sebagian lagi kuhancurkan. Ban pemutar mesin mereka kuputuskan lalu kupotong -potong. Beberapa besi mirip roda kuhantam dengan mantra matahari, sebingga besi yang bulat itu sebagian cair, sebagian lagi penyok. Tempat perapian yang mereka gunakan untuk membakar butiran emas kutimbun dengan tanah yang menonjol di sampingnya. Menara pengintai mereka, tak luput dari amukanku. Kupatahkan tiangnya hingga miring dan tidak bisa digunakan lagi.

Setelah semuanya kurasakan beres, baru aku meluruskan pinggang sembari menarik nafas lega. Baru saja hendak melangkah, tiba-tiba aku melihat beberapa orang yang tinggal di dalam cam ke luar. Rupanya mendengar suara berisik membuat mereka terjaga dari tidur. Mereka teriak-teriak saling panggil sembari menyalakan senter seperti lampu sorot ke mana-mana. Tidak kurang sepuluh orang ada di dalam cam itu. Kuhampiri mereka lalu serentak lutampar pipi mereka. Mereka kaget dan menjerit karena merasa dipukul tapi tak nampak wujud si pemukulnya. Aku menggeram seperti harimau lapar. Sengaja kudekatkan pada mereka. Aku mencakar tanah. Kuperlihatkan tanah cakaran hingga mengenai mereka. Mereka makin ketakutan. Lelaki-laki yang kelihatannya kekar dan garang ini berkumpul saling pegang dan berpelukan. Ada yang pingsan, ada yang terkencing-kencing, ada juga sambil gemetaran berucap”Ampun Nenek, Puyang, Datuk, Inyiak” sambil sujud-sujud tidak jelas.
“Jika kalian berani lagi mengganggu anak harimau dan semua hewan dilindungi di hutan ini, kami akan datang dan membunuh kalian. Ingat itu. Tidak ada ampun pada kalian. Akan kumakan kalian hidup-hidup!” Bentakku lagi. Mereka segera menjawab dengan suara bergetar “Iya Puyang, Datuk, Inyiak, Nenek, ampunkan anak cucu, kami mengaku salah. Ampunkan kami, kami tidak lagi melakukan ini… ” Ujarnya. Ingin sekali aku meludahi wajah mereka. Inilah sifat asli manusia, saat merasa takut, maka segala bentuk penyesalan ditampakkan. Banci!

Rasanya batinku belum puas mengingatkan mereka. Selanjutnya aku menghantam cam mereka. Sekali hantaman semua atapnya terbuka. Kuangkat atapnya beberapa lembar, lalu kubuat melayang-layang, kuperlihatkan pada mereka. Melihat atap bergerak sendiri, akhirnya semuanya pingsan.
“Sudah, sudah Selasih. Cukup! Mudah-mudahan mereka kapok. Kita lihat saja reaksinya besok. Mereka akan siuman besok pagi. Aku yakin mereka tidak akan berani lagi ke mari.” Ujar nenek Kam. Sekali lagi aku melihat sekitar. Semua sudah kubuat porak-poranda.
“Ini baru asli harimau Sumatera yang marah.. ” Macan Kumbang berbisik padaku. Nafasku masih setengah memburu.
“Kalau bukan takut dosa, sudah kubunuh mereka ini. Mereka hanya beberapa orang, Macan Kumbang. Tapi telah meracuni jutaan bahkan miliaran makhluk hidup sepanjang sungai. Lihatlah, berapa hektar hutan yang rusak akibat keserakahan mereka. Mereka tidak memikirkan keselamatan dan kelangsungan hidup orang banyak. Butuh puluhan bahkan ratusan tahun untuk menjadikan hutan ini kembali belantara. Air sungai ini dimanfaatkan segala macam oleh saudara-saudaraku di hilir sana untuk mengaliri sawah-sawah mereka, kolam ikan, bahkan untuk mandi, cuci, dan minum. Saudara-saudaraku di hilir, tahu air ini telah tercemar, namun mereka tidak ada pilihan. Bahkan mereka saking menerima, menganggap ini tidak ada. Padahal, berapa tahun ke depan akan muncul berbagai penyakit aneh pada anak cucu mereka akibat zat kimia yang telah mencemari semua air dari hutan ini” Ujarku sedih.
“Benar, hal yang paling nampak musibah di depan mata adalah tanah longsor.” Sambung Nenek Kam.

Aku melepaskan pandang ke Utara. Ternyata, tidak hanya satu tempat ini. Tapi ada beberapa titik penggalian liar. Mereka berkelompok-kelompok mengklim wilayah galian. Tanpa pikir panjang dan minta persetujuan nenek Kam, aku langsung berkelebat ke cam-cam itu. Hal yang pertama kulakukan adalah menghancurkan mesin-mesin mereka, mengggulingkan dan membuang drum-drum mereka, menghancurkan tempat-tempat perapian dan semua alat yang mereka gunakan. Mendengar suara gaduh, para penambang terbangun dari tidur mereka. Mereka serantak ke luar dengan senjata di tangan. Aku merampas dan melebur senjata mereka satu-satu. Wajah mereka ketakutan luar biasa karena senjata mereka dirampas tapi tidak terlihat sosok perampasnya. Cam mereka pun kuhancurkan. Seperti kelompok sebelumnya, mereka ada yang pingsan, ada yang terkencing, ada yang lari naik pohon. Apalagi ketika mendengar aku mengaum dan mencakar dinding cam mereka yang berantakan. Kuhantam dengan ilmu badaiku. Semua yang kuhantam seperti melayang. Dan itu di depan mata dan kepala para penambang. Beberapa orang kulihat mengap-mengap seperti mulut ikan susah bernafas. Mungkin jantungnya kumat. Pada cam selanjutnya aku tidak mau pikir panjang. Kuporakporandakan agar semua alat tambang mereka tidak bisa digunakan lagi. Mereka yang masih nyenyak tertidur, kuangkat dan kujejerkan di luar. Mereka sengaja kubuat tidur nyenyak. Lalu kuambil akar, kuikat kaki dan tangan mereka sambung – menyambung antara satu dan lainnya kuat-kuat. Lalu kuporakporandakan pula tempat mereka, tak lupa kuberi tanda cakaran harimau di beberapa tempat.
“Sudah, Selasih. Tahan kemarahanmu, Cung. Sudah lebih dari cukup memberi pelajaran pada manusia-manusia tamak ini” Nenek Kam mengingatkan. Akhirnya aku berkumpul kembali dengan rombongan.
“Iya, Nek. Kurasa cukup untuk kali ini. Kapan-kapan aku ingin kembali lagi ke mari.” Ujarku.

Sementara nenek gunung yang baru bersua dengan sepasang cucunya masih berpelukan melepas rindu. Sang kakek masih mengelus-ngelus mereka penuh kasih sayang. Tak henti-henti sang kekek menciumi keduanya sampai tidak peduli apa yang terjadi lingkungannya.
“Mari Abas, kami akan antar kalian dan dua anak ini bertemu dengan kedua orang tuanya,” Nenek Kam menyebut nama kakek sepasang anak nenek gunung itu.

Kami memasuki belantara yang gelap. Anak nenek gunung di punggung masing-masing nenek gunung rombongan kami. Keduanya nampak bahagia meski terlihat sangat lelah. Tak lama kami sampai di sebuah perkampungan kecil.
“Apa nama kampung ini, Nek? Kita berada di mana?” Tanyaku pada nenek Kam setelah melihat perkampungan kecil yang padat. Rumah-rumah panggung sederhana dengan ornamen mirip motif sumbar, Bengkulu, Jambi, Palembang, bahkan ada juga nuansa Lampungnya.

“Kita masih di punggung bukit Barisan. Itu seberang sana, Bukit ke perbatasan Rejang Lebong Bengkulu, ke arah itu perbatasan dengan Singkut Jambi, itu perbatasan dengan Sumatera Selatan. Kita berada di tiga titik pertemuan.” Jelas kakek Abas. Mendengar penjelasan itu aku jadi berpikir. Ternyata perjalanan kami lumayan jauh. Dan saat ini aku berada di tiga titik pertemuan perbatasan tiga daerah?

Rupanya kehadiran kami sudah ditunggu-tunggu oleh warga. Mengetahui kehadiran kami semua masyarakat kampung ini berduyun-duyun mengiring di belakang. Dari bahasa yang mereka tuturkan, ada yang aku mengerti, namun ada juga yang tidak. Aku tidak sepenuhnya tahu bahasa apa yang mereka ucapkan. Ada mirip-mirip bahasa Rejang, tapi bukan. Mau di ilang bahasa daerah Jambi juga bukan. Apalagi bahasa Sumsel, juga bukan. Nampaknya mereka punya bahasa sendiri. Dan aku sedikit asing mendengarnya.

Pertemuan dua anak nenek gunung dengan kedua orangtuanya sungguh mengharukan. Sang ibu memeluk kedua anaknya sambil menangis dan meratap. Entah apa yang diratapinya. Suara dan iramanya sungguh menyayat. Kucubit Macan Kumbang. Ternyata sama saja denganku, dia pun tidak paham.
“Bukankah kamu mewarisi pemahaman bahasa, Selasih? Jangan kan bahasa manusia harimau, bahasa tungau saja kau paham. Manfaatkanlah kemampuanmu” Ujar Macan Kumbang.
“Jika aku mengaktifkan kemampuan itu, maka akan terdengar semua suara makhluk hidup yang kecil dan yang besar. Ada yang minta tolong, ada yang menangis, ada yang berzikir, ada juga yang bertanya segala macam. Aku tak sanggup mendengarnya. Lama-lama, sakit kepalaku. Kecuali jika aku sangat terdesak baru kumanfaatkan.” Ujarku lagi. Setelah lama kami mendengarkan tangis dan ratap si Ibu, dilanjutkan oleh neneknya yang meratap penuh penghayatan.
“Ini tradisi kami, Selasih. Apa yang Ibu anak itu lakukan, disebut meratap. Yang mereka ratapi adalah penyesalan karena telah lengah menjaga anaknya. Jadi dia melampiaskannya dengan irama seperti pantun dengan nada sedih.

Sekarang giliran neneknya menyatakan maaf dan menyesal karena dia merasa gagal mengasuh anaknya menjadi ibu yang bertanggungjawab. Mestinya anak itu dikeloni, ditemani, diperhatikan, dididik, dan sebagainya. Kira-kira itulah arti yang mereka ucapkan.” Penjelasan salah satu nenek gunung yang mendampingi kami tadi. Aku mengangguk angguk ketika di antara ratap itu ada menyebut-nyebut namaku, menyebut-nyebut nama Besemah, dan lain-lain.

Beberapa perempuan sibuk menyediakan makan untuk kami. Aku memandang nenek Kam. Sebenarnya aku tidak selera makan. Aku masih terbayang dengan cam penambang liar yang kuporak-porandakan. Ingin sekali berlama-lama melihat para penambang itu, bagaimana reaksi mereka ketika sadar dan menyadari keadaan mereka?

Usai berbincang-bincang, akhirnya kami izin untuk pulang. berkali-kali kedua orang tua sepasang anak kecil itu mengucapkan terimakasih.
“Terima kasih, Putri Selasih. Kami tidak bisa membalas kebaikanmu. Kalau bukan karena Puyang Pekik Nyaring yang menyuruh Datuk Abas menemuimu dan nenek Kam, mungkin malam ini telah terjadi pertumpahdarahan. Karena sejak tahu ketika siang tadi anakku dijerat, semua masyarakat dusun ini sudah hendak menyatakan perang” Ujar Bapak sepasang anak kecil itu. Aku menunduk mengucapkan terima kasih kembali. Apalagi di antara mereka banyak sesepuhnya. Aku tidak berani mengangkat kepala lama-lama. Khawatir sikapku tidak sopan dan terkesan sombong. Aku tidak bicara jika mereka tidak bertanya. Aku hanya menjawab terima kasih kembali.

Rupanya kami bertiga diantar oleh dua orang nenek gunung. Mereka sengaja di utus meski nenek Kam berulang kali menyatakan tidak usah di antar. Kami berjalan pelan menuruni bukit. Udara dingin dan kabut seperti awan menerpa wajah kami. Kami masih berjalan melalui belantara. Nampaknya belantara ini masih perawan, belum ada manusia yang menginjakkan kaki di sini. Selanjutnya Aku sengaja diajak menyisir sungai yang berhulu di atas bukit tempat penambang-penambang liar itu. Sesekali kami berhenti ketika nenek gunung yang mengantar kami mengambil buah rotan yang lebat. Beliau mengambil buah rotan yang bertandan-tandan itu.

Di lembah, aku melihat kerlap-kerlip lampu penerangan masyarakat. Artinya di sana ada perkampungan.
“Apa nama dusun itu, Paman?” Tanyaku pada salah satu yang hendak mengantarkan kami pulang.
“Itu dusun yang terlihat kecil itu namanya Muara Kulam, Selasih. Di hilirnya lagi yang itu dusun Pulau Kidak sampai ke Muara Rupit.” Lanjutnya lagi.

Tak lama kami kembali melintasi belantara, selebihnya kebun sawit dan kebun karet, bukir-bukit yang gundul, sungai yang keruh. Dalam sekejab, aku merasakan sudah berada di tanah Besemah lagi. Tahu-tahu kami sudah berada di depan pondok kakek Haji Yasir. Kedua paman nenek gunung langsung mohon izin pulang. Setelah bersalaman, beliau langsung menghilang.

Aku segera masuk pondok setelah wudu terlebih dahulu. Aku dan nenek Kam kembali menyatu dengan jasad kami masing-masing. Ayam sudah berkokok pertanda fajar sudah datang. Sebentar lagi subuh. Aku sudah tak sanggup melawan kantuk. Aku menguap berulang kali dan terlelap.

Bersambung…

2 tanggapan untuk “HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT V (74B)

  • 9 September 2020 pada 0 h 37 min
    Permalink

    Ini yg edisi 74 A nya kok gak ada ya? Langsung 74 B

    Balas
    • 9 September 2020 pada 15 h 52 min
      Permalink

      RB Lukman,
      terima kasih atas perhatiannya.
      Kesalahan ada pada redaksi saat menuliskan judul.
      Sudah kami koreksi 73 A tertulis sampai 2 kali yang seharusnya 74A ditulis ulang 73A.

      Salam hangat.

      Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *