HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (83B)
Baru saja aku meletakkan pantat di lantai hendak menyantap wajik kembali, tiba-tiba aku merasakan angin semilir. Tidak jelas dari mana asalnya. Nampaknya akan ada yang datang. Aku buru-buru minum dan menelannya. Lalu duduk bersila dan konsentrasi menyambut kehadiran tamu yang pasti sebentar lagi datang.
“Assalamualaikum Putri Selasih. Aku Kauman, sengaja menemuimu untuk menyampaikan pesan Puyang Pekik Nyaring dan menyerahkan ini padamu. Selanjutnya kamu ditunggu malam ini di Ulu. Pakailah ini untuk nanti malam. Akan ada pertemuan agung bersama puyang-puyang Besemah” Ujar Kauman mengenalkan diri dan menyebutkan tugasnya.
Aku menerima seperti selempang yang terbuat dari kulit kayu, tapi lembut dan elastis seperti kain. Ada motif rebung dan daun paku di sekelilingnya. Selempang yang hanya lebar kurang lebih lima belas centi meter dan panjang satu setengah meter ini nampak terasa berat. Padahal sangat tipis menurutku. Ada energi di dalamnya.
“Terimakasih Paman, In sya Allah aku akan datang” Ujarku sambil menerima selempang itu. Sejenak aku kembali mengamatinya. Aku takjub melihat selempang berwarna kulit ini. Lama aku menatapnya.
“Selempang ini sudah di bawa Puyang Pekik Nyaring ke tanah suci tujuh kali, dan dicuci dengan air zam-zam pun tujuh kali” Ujar Paman Kauman seakan tahu pikiranku. Aku tercengang dibuatnya. Sekali lagi aku mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Tak lama, beliau izin kembali ke Uluan. Seketika beliau lenyap dari hadapanku meninggalkan aroma wangi bunga.
Sepeninggal Paman Kauman, aku menatap selempang di tanganku berkali-kali. Kuamati setiap garis sisi pinggirnya. Aku bingung, ini dijahit apa diukir tidak bisa dibedakan. Dalam hati kagum dengan nilai seninya. Aroma harum selempang yang kupegang kuhirup dalam-dalam. Aku merasa ini benda sangat sakral karena sudah dibawa tujuh kali ke tanah suci, dan tujuh kali disiram air zam-zam oleh Puysng Pekik Nyaring. Pasti ada semacam hajat yang dilakukan Puyang Pekik Nyaring sehingga melakukan hal seperti itu.
Dalam hati aku bahagia sekali karena Puyang Pekik Nyaring berkenan memberikannya padaku. Sejak dulu aku memang tidak pernah meminta sesuatu, atau mengadu, merengek dan lain sebagainya pada beliau, mau pun pada kakek Adun, kakek Njajau dan lainnya. Bahkan saat terdesak dan nyaris mati pun aku tidak ingin membebani mereka. Padahal sudah sepantasnya aku bermanfaat pada mereka.
Selempang kubentang, dan kuangkat tinggi-tinggi. Selempang multifungsi bisa jadi syal dan sejati juga. Aku membatin. Sebelum aku mengalungkannya ke leher, aku mencoba mendalaminya. Mengapa kain yang terbuat dari kulit kayu tipis ini bisa terasa berat dan sangat padat. Kudeteksi energinya, memang terasa sekali. Telapak tanganku terasa disengat listrik. Aku mencoba mengimbangi energinya. Ketika kukombinasikan selempang ini dengan energiku justru membentuk gelombang energi baru terlihat menari-nari di udara. Tubuhku terasa sangat ringan. Secepat kilat aku mengendalikan diri. Pahamlah aku fungsi selempang ini. Ternyata bukan saja sebagai aksesoris, tapi berfungsi sebagai senjata yang maha dasyat yang dapat kugunakan kapan saja.
“Bukan hanya senjata, anak kecil. Tapi selempang ini semacam simbol jika apa yang kau miliki sudah sempurna.” Tiba-tiba Macan Kumbang berdiri di belakangku. Nadanya biasa meski memanggilku anak kecil. Selempang masih kubentang memajang.
Aku menatap Macan Kumbang penuh tanya. Apakah beliau masih dendam dan ingin mengajak duel aku? Ketika kulihat tidak ada gejala ‘iseng’nya lagi. Aku mendekati Macan Kumbang dan minta maaf atas perlakuanku tadi malam. Macan Kumbang tertawa meraih kepalaku, memeluk, dan mengusap-ngusap rambutku hingga kusut.
“Kalau bukan kau monyet kecil, sudah kulempar dan kuhanyutkan kau ke Endikat.. ” Ujar Macan Kumbang lagi. Kami pun tertawa berderai.
“Damai…damai. Aku mengaku kalah” Ujarku lagi. Melihat raut Macan Kumbang tersenyum gembira tanpa beban, legahlah batinku.
Adik Nenek Kam satu ini terlihat semakin matang. Memang sudah sangat pantas jika dia berumah tangga. Makanya sering kuejek ‘bujang lapuk’ karena menurutku sudah cukup umur untuknya mengakhiri masa lajangnya. Kata-kata itu semacam motivasi untuknya agar segera mengakhiri masa lajangnya. Sebab tidak sekali dua kali aku mendengar Nenek Kam mengingatkannya agar segera ‘bebunting’. Artinya segeralah beristri.
Tiba-tiba aku rindu Putri Bulan calon istrinya. Sekilas muncul perasaan sedih, jika Macan Kumbang dan Putri Bulan menikah. Tentu Macan Kumbang tidak akan bisa sebebas sekarang. Aku tidak bisa bermanja-manja seperti selama ini. Lalu nenek Kam bagaimana? Padahal sejak dulu Macan Kumbanglah yang selalu mendampingi kemana saja beliau pergi.
“Ndak usah dipikir, tikus kecil. Biarlah waktu berjalan apa adanya seperti air yang mengalir. Kita jalani saja skenario Allah” Macan Kumbang kali ini memanggilku tikus kecil. Tapi kubiarkan saja. Biarlah asalkan dia senang. Mau mengajaknya berantem kurang tepat momentnya.
Matahari terang benderang. Cahayanya jatuh di sela-sela daun kopi. Makin siang biasanya panas matahari makin terik. Udara lembab daun karena hujan seharian kemarin dan tadi malam sedikit menyengat. Nenek Kam belum pulang juga. Aku tidak mengetahui beliau ke mana.
“Kumbang, kita lihat buah sali yok. Siapa tahu ada yang masak” Ujarku rindu seperti dulu. Apakah ratu keghengge, semut besar berwarna merah itu masih tinggal di pohon itu? Sudah lama sekali aku tidak berkomunikasi denga satwa di dusun ini.
“Mana ada sali. Ini kan bukan musim panen kopi” Ujar Macan Kumbang. Aku jadi teringat ketika ke luang Ayek Gambegh melihat nenek gunung panen ghukam. Bagaimana dengan ghukam di kebun kakek Haji Yasir? Aku membatin.
“Ke kebun Kakek yok” Ajakku.
“Katanya ngantuk, mau tidur, kok malah ngajak jalan” Ujar Macan Kumbang.
“Ah, tanggung. Hilang semua kantukku gara-gara kejahilan bujang lapuk.” Ujarku sembari berdiri. Mendengar aku masih menyebut bujang lapuk, Macan Kumbang melotot. Aku menertawaknnya. Aku tahu beliau pura-pura marah.
Aku dan Macan Kumbang berjalan ke hilir kebun Nenek Kam terlebih dahulu sambil bercerita tentang Puyang Pekik Nyaring yang menyuruhku pulang ke Uluan malam nanti. Jika ada kaitannya dengan amalan yang kulakukan, bukankah beliau telah mengirimkan selempang sebagai simbol “selesai” kutunaikan. Menurut Macam Kumbang pasti ada hal yang sangat penting mengapa aku disuruh pulang ke Uluan. Kami masih terus berjalan pelan,
tanpa terasa kami sudah sampai di sisi pamah (rawa-rawa) di sudut kebun Nenek Kam yang ditumbuhi genjer. Yang lebih menarik, aku melihat di sini terhampar berbagai kehidupan makhluk asral. Mereka makhluk-makhluk asral air yang berdiam di pamah dengan nyaman. Kulihat tidak terlalu berefeks pada bangsa manusia yang berkebun di sekelilingnya. Menurut Macan Kumbang, pamah ini zaman dulu adalah tebat (kolam) para Puyang. Tempat Puyang memelihara ikan. Tapi sekarang, semakin banyak orang, tebat ini semakin tidak terurus. Dulu tebat akan dipelihara sama-sama dan dinikmati sama-sama pula hasilnya.Sekarang sudah jauh berubah, masyarakat lebih sibuk dengan urusan masing-masing. Banyak tebat puyang terbengkalai, bahkan sekarang dikuasai oleh satu orang dan merasa mil pribadi.
Macan Kumbang berhenti sejenak di semakin-semak. Keremunting yang berbuah lebat dan masak menarik perhatiannya. Beberapa buah dipetik dan langsung dimakannya. Melihat buah keremunting yang sudah merekah aku pun ikut memetik dan memakanannya. Buah perdu yang tumbuh di semak belukar ini terasa manis. Tangan dan mulutku berubah menjadi ungu. Aku jadi ingat masa kecilku, setiap hari akan memetik keremunting dan langsung memakannya di samping pohon. Lalu pulang, dengan gigi dan bibir berwarna ungu. Kali ini aku bersama Macan Kumbang. Rasanya aku kembali ke masa kecil. Berjalan menembus semak belukar ditemani Mang Arsun tanpa ada rasa takut sama sekali. Memetik daun pakis yang tumbuh di hutan kecil pinggir sawah, mencari belut, ikan kecil, anak ketam di siring-siring aliran sawah.
Matahari mulai terasa menyengat. Aku mencoba menutupi wajahku yang perih ditampar sinar matahari dengan daun agak lebar. Macan Kumbang sesekali menepis daun pelindungku.
“Matahari itu baik untuk bangsa manusia, Dek. Lain dengan bangsa nenek gunung, menyilaukan” Ujar Macan Kumbang.
“Tapi terasa perih dikulit, Tuan. Sementara suhu di sini masih dingin” Ujarku sambil mengunyah buah keremunting yang merekah hasil petikan Macan Kumbang.
Cukup lama kami berada di semak belukar samping pamah ini. Macan Kumbang senyum-senyum menatapku. Pasti dia hendak menertawakan karena mulut dan gigiku.
“Iiihhh” Aku nyengir selebar-lebarnya ke hadapannya. Macan Kumbang tertawa terpingkal-pingkal. Dia tidak sadar kalau wajahnya pun terlihat aneh karena gigi dan bibirnya berubah ungu kehitaman.
“Dek, kamu terlihat tiga puluh tahun lebih tua dengan gigi dan bibir hitam seperti ini. Ini tongkat” Macan Kumbang meraih ranting yang tergeletak lalu menyerahkannya padaku. Kuambil, lalu aku berjalan membungkuk sambil sengaja kubuat pengkor dan gemetar.
“Mari Cu, kita pulang. Nenek melata kepanasan. Mataalinya menyengat tekali” Suaraku kubuat bergetar dan cedal Macan Kumbang terpingkal-pingkal. Bahkan berguling-guling di semak ketika melihat aku terus berjalan dan berbicara seperti nenek tua. Aku tidak peduli melihat Macan Kumbang. Aku terus berjalan sembari pura-pura ngomel sepanjang jalan. Itung-itung berlatih akting. Sudah lama tidak berteater. Aku sudah rindu panggung.
“Apa-apaan Dek? Kamu kenapa? Tiba-tiba Nenek Kam ada di hadapanku entah muncul dari mana.
“Habis memetik buah dedughuk (keremunting), Nek. Nenek dali mana pagi-pagi sudah menghilang? Tidak tahu kalau cucu Nenek mencali sejak pagi?” Aku masih bergaya nenek-nenek. Nenek Kam malah ikut tertawa melihatku.
“Kenapa teltawa Nek, apa ada yang lucu? Jangan ikut-ikutan bujang lapuk itu” Tongkat kuarahkan pada Macan Kumbang. Melihat aku tetap berakting dan berjalan meninggalkan mereka berdua, Nenek Kam dan Macam Kumbang tertawa makin jadi. Bahkan Nenek Kam mengusap matanya dengan ujung tengkuluk karena berair mata.
“Aeeeh haiii..kenambeee” Ujar Nenek Kam sedikit keras dengan sapaan kenambe sebagai ungkapan rasa sayang yang sangat.
“Mengapa gigi dan bibirmu hitam, Dek?” Tanya Nenek Kam masih tertawa. Aku senyum-senyum dalam hati. Aku tahu Nenek Kam geli melihat tingkahdan bibirku.
“Aku habis makan silih, Nek. Cuma silih yang saya makan, silih belasal dari alam gaib” Ujarku menahan diri untuk tidak tertawa. Tawa Macan Kumbang dan Nenek Kam kembali meledak. Andai saja ada orang yang melihat, pasti mereka mengatakan aku dan Nenek Kam sudah gila. Karena Macan Kumbang tidak nampak oleh kasat mata. Keduanya masih terkekek-kekek sambil berpegangan di pohon kopi
Aku berjalan menuju pulang. Kadang sengaja aku buat seperti he dak jatuh. Nenek Kam dan Macan Kumbang nampaknya sudah berjalan di belakangku. Sepanjang jalan aku masih terus bergaya seperti nenek tua dengan tongkat di tangan.
“Nek, belok kiri, jangan nabrak-nabrak ya” Teriak Macan Kumbang dari belakang.
Aku berhenti sejenak lalu menoleh.
“Tidak usah kau ajalkan aku, Cung. Nenek masih hafal jalan pulang” Sahutku yang disabut kembali derai tawa keduanya. Biarlah mereka puas tertawa. Kapan lagi berakting lucu untuk mereka. Selama ini aku selalu serius. Bahkan sangat serius. Kadang otak dan perasaanku serasa dijejal beban yang sangat berat. Kalau sudah seperti ini aku rindu rekreasi.
Sejak pulang liburan aku merasa tidak sebanding antara sibuk di alam gaib dengan hidup di alam nyata. Makanya waktu sangat berharga bagiku. Apalagi jika ada kesempatan bersama kekek Haji Majani dan Kakek Haji Yasir. Bercerita, mendengar nasehatnya sambil minum kopi dan menghisap rokok nipah. Duduk di garang atau di dalam dekat jendela. Atau keliling kebun memperhatikan kembang dan buah kopi satu-satu. Kadang membantu mereka sekadar mencabut rumput, menarik kayu singgah (benalu) yang tumbuh di batang kopi, memancing di pauk Betelongh dan lain sebagainya. Atau membawa air kopi satu termos lalu kami nikmati di bawah pohon kopi sambil bercengkrama. Kakek akan membakar ranting membuat api kecil sekadar pengusir nyamuk. Asap akan mengepul kecil menari di antara dahan kopi. Suasana yang damai seperti itu paling kusuka.
Akhirnya kami sampai juga di pondok Nenek Kam. Ranting yang kugunakan sebagai tongkat kuletakkan di pinggir tangga.
“Tolong jaga tongkat nenek ya, jangan sampai hilang. Kalau hilang, maka kau halus cali gantinya” Aku masih bertahan dengan aktingku. Lalu naik tangga dan masuk seperti biasa. Di dalam pondok Nenek terasa dingin seketika. Aku melepaskan sepatu sembari memeriksa kakiku dari gigitan pacat.
Kening dan leherku terasa basah. Ternyata muncul juga anak peluh. Aku menyekahnya dengan handuk kecil yang sengaja kusimpan di dalam kantong jaket. Aku berniat hendak minum ketika kudengar ada yang naik tangga dapur. Aku segera membuka pintu. Ternyata ada Ibung Sanah mengantarkan makanan pesanan Nenek Kam untuk makan siang. Ibung Sanah salah satu kerabat Nenek Kam dari Uluan golongan nenek gunung atau manusia harimau. Aku menyambutnya dengan suka cita. Kuintip bawaannya. Sepertinya paisan jamur gerigit. Aroma khasnya mengundang selera. Masakan kesukaan Nenek Kam. Aku ingat petai cina di samping pondok sedang berbuah lebat. Baru saja berniat hendak mengambilnya untuk lalap makan nanti, tenyata Macan Kumbang sudah lebih dulu mengambilnya. Beliau membawa beberapa tampuk besar ke pondok. Aku menelan ludah. Rasa ingin segera mencicipi masakan dari Uluan. Paisan jamur yang dibungkus dengan daun keladi, dengan lalap petai cina. Menu Besemah yang klop. Apalagi kalau ada pighek goreng atau ikan seluang. Anganku menghayal membayangkan masakan kampung yang mengundang selera itu.
“Dek, nanti sebelum mandi kamu remas daun ini, pakai untuk bilas terakhirmu. Nanti malam kita ke Uluan” Ujar Nenek Kam.
“Jadi tunda dulu untuk pulang ke pondok kakek Haji Yasir” Ujar Nenek Kam lagi sambil menyerahkan dedaunan yang mirip daun kerinyu. Baunya khas sekali. Tapi lama-kelamaan aku pusing menciumnya. Ada beberapa macam dedaunan yang diikat Nenek Kam jadi satu.
“Kapan mandinya, Nek? Sekarang apa nanti?” Tanyaku.
“Sore nanti saja” Lanjut Nenek Kam. Aku terbayang dinginnya air pancuran. Siang terik saja airnya terasa dingin. Apalagi sore hari. Aku meletakkan daun yang diberikan Nenek Kam ke dalam ember.
Kruuuukk…kruuukk!
Perutku berbunyi krayak-kruyuk.
“Nek, makan yuk” Ujarku. Perutku terasa melilit minta makan. Pikiranku selalu ke paisan jamur. Untung Nenek Kam mengangguk. Biasanya beliau menyuruhkan makan lebih dulu. Aku segera menghidangkan makanan yang diantar Ibung Sanah tadi. Aku makan semangat sekali. Paisan jamur gerigit ludes kami santap bertiga. Ditambah pula lalap petai cina. Makan semakin terasa sempurna.
Usai makan, aku segera turun pondok. Matahari pas di atas kepala. Artinya waktu sudah tengah hari. Sebentar lagi waktu salat zohor. Untuk mengisi waktu aku turun pondok. Macan Kumbang asyik berbincang-bincang dengan Nenek Kam. Dari garang aku mendengar jelang tengah malam aku sudah harus ada di Uluan. Setengah terdengar dan tidak, kata Nenek Kam akan banyak sesepuh yang berkumpul di sana.
“Ada ritual apa Nek, apa ada kaitannya dengan Selasih?” Tanya Macan Kumbang.
“Iya, justru pulang ke Uluan itu karena ada kaitan dengan Selasih. Makanya sebelum ke sana Selasih harus mandi dengan ramuan sepulus urat. Aku bertanya-tanya dalam hati. Aku tidak paham apa ramuan sepulus urat. Pasti dedaunan yang diberikan tadi. Sayang aku banyak tidak paham nama rumput-rumputan. Tapi selain daun yang mirip dengan kerinyu, aku melihat rumput pecut kuda dan selusur urat. Ada juga daun jeruk purut, lalu daun-daun kecil keriting pada waktu aku kecil sering kugigit-gigit karena rasanya sangat asam.
“Dek, mau kemana?” Suara Macan Kumbang.
“Nyari angin, sambil metik labu siam” Ujarku berjalan ke samping pondok Nenek Kam. Aku mendongak mencari buah labu siam.
Baru saja hendak memetik buah labu siam yang terlihat sudah pantas untuk dipetik, berwarna hijau tua, tiba-tiba aku dikagetkan dengan benda bergerak-gerak warnanya persis seperti warna labu siam. Kuamati, ternyata kepala ular berwarna hijau. Instingku langsung berkata jika ular ini bukan ular biasa. Aku melihat bintik putih di kepalanya, mirip sebuah mahkota.
“Assalamualaikum Putri Selasih” Sapanya. Aku langsung menjawabnya.
“Siapa engkau sebenarnya? Mengapa siang-siang ada di sini?” Tanyaku.
“Rumahku jauh di jalan menuju luang Ayek Gambegh. Aku kemari hanya menumpang berteduh karena cuaca sangat panas, Selasih. Sekaligus ingin melihatmu dari dekat” Ujarnya lagi. Aku semakin heran. Apa yang membuatnya tertarik sehingga nekad datang ke mari dan ingin melihat aku?
“Ada apa denganku? Eh maaf aku harus panggil apa?” Pertanyaanku terputus. Kudengar si ular berdehem kecil. Lalu mengenalkan diri. Namanya Radus. Selanjutnya beliau bercerita, dia melihat apa yang aku lakukan ketika menolong warga dusun luang Ayek Gambegh. Bahkan katanya, dia juga menyaksikan bagaiman aku bertarung melawan dukun dan godhamnya.
“Mengapa kamu mengikuti aku?” Tanyaku lagi.
“Aku hanya kagum padamu. Kagum kebersihan batinmu, kagum juga dengan kepribadianmu. Jarang sekali aku menemukan bangsa manusia sepertimu. Kebanyakan yang kutemukan adalah manusia sombong dan tamak. Dukun-dukun yang memakai topeng seakan orang baik dan alim. Ketika diajak kebaikan tidak lepas untuk minta dipuji. Ketika ada yang meminta tolong untuk mencelakai seseorang, maka dia pun melakukannya dengan dalih ‘menolong’. Tentu saja dengan imbalan. Mencari nafkah dengan cara tidak benar” Ujarnya lagi.
“Tapi aku bukan dukun, Radus. Aku hanya membantu ketika ada saudaraku dari golongan makhluk halus sebabgsamu yang teraniaya” Sambungku. Radus tertawa ringan.
“Aku tahu siapa kamu, Putri Selasih. Aku juga tidak me yebutmu dukun. Kamu adalah cucu Puyang Pekik Nyaring, penguasa kerajaan Merapi gunung Dempu. Kamu juga kesayangan Nenek Kam” Ujarnya lagi. Aku memaklumi jika makhluk ini tahu segalanya. Itulah salah satu kelebihan makhluk halus, di antaranya dia bisa membaca pikiran kita, bisa membaca masa lalu dan masa yang akan datang seseorang, bisa membaca peristiwa dan lain sebagainya. Banyak juga dukun yang dianggap memiliki kepandaian seperti itu, padahal dia dibantu oleh bangsa jin sebagai ghodam pendampingnya yang membantu aktivitas perdukunannya. Namun ada juga semacam karoma yang dimiliki oleh manusia-manusia tertentu karena ketaatan dan kedekatannya pada Sang Maha pencipta. Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin di bumi ini. Termasuk juga kepandaian sebagai warisan turunan yang dibantu oleh jin-jin nasab dan lain sebagainya.
“Bagaimana setelah bertemu denganku, Radus? Lain kali jangan mengintai lagi. Sebab salah-salah kena serangan gelap nanti. Kukira maling” Kataku sambil tersenyum. Radus mengangguk sambil ikut tersenyum. Lelaki seusia Macan Kumbang ini mengeliat di antara daun labu siam yang masih muda.
“Izinkan aku lain kali main ke mari, Putri Selasih. Senang bisa mengenalmu. Sekarang, aku izin untuk pulang. Assalamualaikum” Radus turun dari pohon labu berjalan cepat dan menghilang sebelum aku selesai menjawab salamnya. Aku heran, mengapa aku tidak mengetahui kehadirannya dari awal? Akhirnya aku memetik beberapa buah labu siam akan kurebus untuk makan malam nanti.
Aku baru saja berniat naik tangga ketika angin berhembus pelan dari arah Barat. Ada apa lagi ini? Aku membatin. Sebab gejala seperti ini pasti akan ada yang datang. Aku mengurungkan naik. Labu siam yang baru kupetik kuletakkan di dalam bakul yang tergantung di bawah garang.
Ketika angin semakin kencang, aku berdiri fokus di pangkal tangga. Tak lama kulihat dua sosok turun dari punggung dua nenek gunung. Dua lelaki gagah. Setelah kutatap, satu sosok tak asing lagi, yaitu Gundak. Aku mengembangkan senyum sambil menatap lelaki gagah di sampingnya yang berjalan sambil tersenyum lebar. Aku mengira-ngira siapa dia. Rambutnya dibiarkannya tergerai ikal sampai ke bawah bahu. Tidak seperti gundak, rambut disanggulnya tinggi.
“Gundak! Tumben ke mari siang-siang!” Ujarku mengulurkan tangan.
“Iya, demi ini” Ujarnya menunjuk lelaki di sebelahnya yang terus tersenyum.
“Kamu sudah tidak kenal dia, Selasih?” Tanya Gundak. Aku menatap lekat-lekat kawannya. Mirip Gali. Tapi aku ragu. Apakah benar dia Gali? Andai benar, mengapa jauh berbeda dengan Gali dulu. Lelaki ini berbadan tegap, tinggi, rahangnya menonjol, tatapannya tajam, rambutnya panjang. Jika berdiri sama-sama, paling aku hanya sebatas ketiaknya.
“Sungguh kamu tidak kenal kawanku ini , Selasih?” Gundak kembali bertanya.
“Gali ya” Tanyaku ragu. Orang yang kusebut Gali tertawa. Setelah mendengar tawanya barulah aku sadar jika di hadapanku benar Gali. Aku segera meraih tangannya dan menyalaminya kencang sekali. Dia pun demikian. Tawanya pecah sebagai ekspresi kegembiraan pertemuan itu. Sementara Gundak langsung naik mencari Nenek Kam.
Setelah puas tertawa, bahkan saling tepuk, akhirnya aku mengajak Gali naik pondok.
“Sudah berapa lama kita tidak berjumpa, Selasih. Sudah lama sekali” Ujar Gali sambil menaiki anak tangga.
“Jika di alamku, kita tidak bertemu sekitar lima atau enam tahun, Gali. Tapi kalau di alammu, mungkin empat atau lima puluh tahun” Lanjutku asal-asalan karena malas menghitung rentang waktu alam ghaib dengan alam nyata yang memang sangat berbeda. Gali membenarkan. Sungguh rasa bermimpi aku bisa kembali berjumpa dengan Gali. Nenek Kam menyambut kedatangan Gali sambil bertanya kabar Bak, Umak, dan seorang sahabat Nenek Kam di dusunnya. Sejenak Gali dan Nenek Kam terlibat obrolan tentang orang-orang di kampungnya. Sementara Macan Kumbang dengan Gundak, asyik membicarakan persiapan pertunangan dan pernikahan.
“Itu dua calon pengantin serius sekali. Bagaimana denganmu Gali, apakah sudah berumahtangga apa belum?” Tanyaku setelah melihat Gundak dan Macan Kumbang berbincang sangat serius.
“Belum ada yang mau. Rencana mau minta carikan jodoh sama Nenek Kam” Ujarnya bercanda. Nenek Kam tertawa mendengarnya.
“Mau yang muda apa yang tua, Gali?” Nenek Kam balik bertanya.
“Yang mana saja, Nek. Yang penting cocok” Canda Gali lagi.
“Nah kalau begitu sama saya saja, sudah tua dan cocok” Nenek Kam balik bercanda. Pondok Nenek Kam seperti hendak roboh ketika kami tertawa serentak. Aku terpingkal-pingkal dibuatnya. Baru kali ini aku mendengar Nenek Kam bercanda rada genit
“Masya Allah, Nek” Ujarku tak mampu melanjutkan kata-kata saking gelinya.
“Lah iyalah, kalau mau dengan yang tua jangan tanggung-tanggung. Apalagi yang dicari? Nenek kan sendiri” Tambah Nenek Kam lagi.
“Oh! Tidak! Jangan lanjutkan lagi, Nek. Sakit perutku. Meski Nenek bercanda, tapi kedengarannya menggelikan, Nek!” Ujarku jujur. Tenyata Gali pun menyambut candaan Nenek Kam.
“Tepat sekali, Nek. Tidak masalah. Asalkan jangan terlalu besar dan banyak pintak’an (mahar). Sedekah sepetang jadilah” Tawa kami pun kembali berderai sulit untuk dihentikan. Aku dan Gundak sampai memegang perut dan rahang karena pegel. Entah setan mana yang merasuki Nenek Kam dan Gali siang ini. Ah, pertemuan yang menyenangkan.
Setelah puas tertawa, akhirnya kami bercerita panjang lebar tentang banyak hal. Dari Gali kuketahui jika kerajaan ratu ular buaya di dasar danau telah berdiri kembali. Namun mereka tidak mau lagi mengganggu bangsa manusia seperti kelakuan enam pengawalnya dulu.
“Nampaknya mereka mulai sadar ketika kerajaan mereka kau obrak-abrik. Mungkin mereka trauma, dan takut jika kembali bertemu denganmu” Ujar Gali. Aku tertawa. Padahal belum tentu aku akan menghancurkan mereka ke dua kali jika mereka tidak melakukan kesalahan merugikan orang lain atau mengganggu diriku.
Usai solat asar, Gundak dan Gali mohon diri untuk pulang. Ternyata Gali belum akan pulang ke Ranau. Dia akan menginap beberapa malam di tempat Gundak. Mendengar itu, aku berjanji akan ke sana malam besok bersama Macan Kumbang. Sebenarnya dia mengajakku malam ini, tapi ketika kusampaikan jika aku akan pulang ke Uluan, Gundak dan Gali memahami. Akhirnya keduanya kembali pulang menunggang dua nenek gunung yang gagah.
Usai Gundak dan Gali pergi, aku segera mandi dengan ramuan yang diberikan Nenek Kam. Air pancuran yang menggigit membuat darahku seperti beku seketika. Terakhir aku mandi air ramuan yang sudah kutampung dengan ember terlebih dahulu. Aroma wangi membalur tubuhku. Dalam hati aku memuji kehebatan nenek moyangku. Rumput-rumputan yang tumbuh di sekitar kita ternyata banyak yang memiliki khasiat. Buktinya campuran dedaunan rumput yang kuremas ini menghasilkan bauan khas yang tidak ada jualnya di tokoh parfum. Aromanya segar sekali.
Matahari kian condong. Banyanganku terlihat makin panjang pertanda matahari akan tergelincir. Macan Kumbang berulang kali dibangunkan Nenek Kam, tapi tetap saja ngorok. Bergerak pun enggan. Melihat tidak ada niat untuk bangun, tanganku yang masih basah kuusapkan ke wajahnya. Matanya melek sebentar lalu tidur lagi.
“Halah Nek, percuma bangunkan Kumbang. Biarkan sajalah tidak usah dibangunkan. Kita tinggalkan saja dia sendiri si sini” Ujarku. Nenek Kam Tidak menjawab, tidak mengiyakan dan tidak pula menolak. Akhirnya aku ke dapur merebus labu yang kupetik tadi siang.
Aku merasakan sedikit hangat ketika api di tungku sudah mulai menyala. Dalam waktu singkat panci berisi labu siam sudah mendidih. Aku sengaja duduk bediang menghangatkan punggung membelakangi tunggku api. Hal yang kerap dilakukan oleh orang-orang di dusunku. Bediang di perapian demi menghngatkan tubuh.
Di sela dinding pelupuh dapur yang sudah renggang, sekilas aku melihat kepakan keluang (kalong besar) menuju hulu seperti biasanya. Pertanda hari sudah petang. Burung taktarau sudah berkicau sejak tadi. Pelan-pelan bumi akan mengatup, gelap. Di timur, gajah ngesai bulu masih perpejar rapat. Aku menikmati senja membaca waktu dari sela-sela pelupuh. Pandangan yang mampu membawa anganku jauh merantau ke mana-mana. Muncul rinduku pada sekolah, teman-teman mainku, teman-teman pecinta alam, rindu pantai, dan ombak.
Aku memutar badan setelah punggungku terasa panas. Kukembang-kembangkan telapak tangan. Sesekali kaki kiri dan kanan kudekatkan dengan nyala api. Dalam waktu singkat, aku merasa. darahku mencair. Suara ngorok Macan Kumbang makin santer. Persis seperti sapi disembelih. Pikiranku masih melayang jauh. Kali ini aku ingat pengalaman-pengalaman gaibku bersama Eyang Kuda. Nyaris pantai Bengkulu sudah kami ubek-ubek berdua. Aku menjadi risau kala ingat sebentar lagi bakal menyelesaikan sekolah. Aku belum tahu akan melanjutkan ke mana. Sementara dorongan hati ingin sekali bisa melanjutkan kuliah. Dalam batin ingin sekali pergi merantau. Jauh dari Bengkulu, jauh pula dari Seberang Endikat. Tapi kala melihat Bapak dan Ibu masih terus banting tulang mencari nafkah, muncul pula perasaan kasihan. Keinginanku ciut.
Aku teringat perkataan kakek Njajau suatu ketika. Beliau mengingatkan aku dengan mengatakan seperti lelaki saja, jiwaku selalu ingin pergi merantau. Lalu kakek Andun pun pernah juga berkata, tahi lalat di telapak kaki kanan Putri Selasih merupakan petanda jika dia akan pergi dan jauh dari tanah Besemah. Kalau teringat ini, aku tersenyum sendiri. Ada kebahagian tersembunyi karena dari nada-nada itu pada dasarnya kedua kakekku sebenarnya tidak menghendaki aku jauh. Bukan karena khawatir, namun kebersamaan seperti saat ini tentu tidak akan sekerap sebelumnya.
“Taktaraw…taktaraw” Suara burung taktaraw makin lama makin kencang. Burung kecil yang tak tahu seperti apa bentuknya itu sepertinya terbang ke sana kemari. Seperti biasa burung kecil itu mengingatkan alam semesta jika magrib sudah tiba. Aku segera bangkit untuk menunaikan kewajibanku. Sementara Nenek Kam sejak menjelang magrib sudah berzikir khusuk di atas sajadah.
Sapu kusentuh-sentuhkan ke kaki Macan Kumbang. Tidak juga terbangun. Kupukul-pukulkan belum juga terbangun. Akhirnya kupukul dengan menambahkan sedikit tenaga.
“Uuuah!” Macan Kumbang terperanjat. Matanya langsung terbuka lebar dan duduk. Sekilas matanya nanar menoleh ke sana-kemari. Ekspresinya lucu sekali. Kesadarannya belum pulih seratus persen. Matanya masih kedap-kedip. Aku memerintahkannya untuk solat dengan memberi aba-aba. Macan Kumbang masih duduk seperti orang sangat lelah.
“Magrib atau apa sudah isya si?” Ujarnya mengisi wajah.
“Magrib,Kumbang. Dibangunkan dari tadi tidak terbangun-bangun juga.” Ujar Nenek Kam sambil melipat sajadah. Mendengar itu Macan Kumbang segera bangkit. Nampaknya dia pergi ke pancuran. Mungkin sekalian mandi.
Aku masih duduk di sajadah melanjutkan wirid yang belum tuntas. Di luar sudah gelap. Udara dingin dan kabut sudah mulai turun. Alam sejenak hening. Hanya sesekali suara jangkrik mengerik pendek. Di kejauhan burung limuk’an sekali mendengkur. Burung cantik berwarna abu dengan leher bergaris biru campur kuning di itu pun menjadi pertanda waktu. Dia akan mendengkur setiap pukul setengah tujuh malam, dan pukul lima pagi. Bertepatan dengan waktu magrib dan subuh di Seberang Endikat ini. Ketika aku bangkit melipat sajadah, Macan Kumbang sudah berada di sampingku. Mencium aromanya, nampaknya beliau sudah mandi. Selanjutnya aku duduk mendekati nenek Kam yang tengah menyusun lembar daun sirih. Aku ikut-ikutan membersihkan dan menyusunnya di kotak sirih Nenek Kam sembari bercerita menunggu Macan Kumbang usai solat lalu berencana makan malam.
Bersambung…
Seru bacanya, ikut merasakan bertualang, mendaki gunung, lewati lembah, baku hantam dengan siluman, sampai ikutan merasa sakti seperti Dedek 😆
Ditunggu kelanjutannya, Bunda..