HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (83C)
Aku masih khusuk berzikir sesuai perintah Puyang Pekik Nyaring. Waktu baru menunjukkan pukul sembilan malam. Satu jam lagi, aku akan dijemput, lalu bersama Macan Kumbang dan Nenek Kam akan berangkat ke Uluan. Sejenak aku terpikir, busana apa yang harus aku kenakan malam ini? Apakah aku harus pakai busana yang diperoleh dari masjid di perut bukit usai tirakat tempo hari? Ingin bertanya dengan Macan Kumbang dan Nenek Kam mereka juga sedang khusuk ibadah. Namun yang jelas, selempang yang diantarkan Paman Kauman pagi tadi, sudah bertengger di leherku. Aku merasakan tubuhku semakin ringan. Bahkan sangat ringan.
Tepat pukul sepuluh, aku merasakan ada hawa yang akan datang. Aku memperkirakan yang datang adalah utusan dari Uluan. Macan Kumbang dan Nenek Kam sudah siap-siap. Mereka berdua memakai pakai kebesaran masing-masing. Macan Kumbang dengan mantel gelapnya, sedangkan Nenek Kam dengan mantel lorengnya. Keduanya sudah berubah menjadi nenek gunung yang gagah.
“Assalamualaikum, Nek Kam” Suara dari bawah pondok. Kami menjawab serentak. Macan Kumbang segera membuka pintu. Di antara cahaya lampu cubok yang remang-remang, aku melihat bayangan seorang lelaki besar tinggi seperti pendekar. Setelah dekat, tahulah aku. Beliau adalah salah satu pengawal di kerajaan kecil Puyang Pekik Nyaring.
“Aku disuruh menjemput kalian, Nek. Putri Selasih bersamaku. Ini bajumu, Selasih” Ujar Paman penjaga sembari memberikan pakaian yang dibungkus dengan kain sutra bermotif pelangi. Aku mengucapkan terimakasih, sambil membuka bungkusannya. Ternyata pakaianku sejak dulu. Setahuku baju ini ada dengan nenek Ceriwis yang kupakai ketika aku masih kecil dulu untuk melawan tiga dukun dari Banten. Aku sedikit ragu, apakah pakaian ini masih muat pada tubuhku? Aku bukan anak kecil lagi, tapi sudah remaja. Sebentar lagi akan kuliah.
“Pakailah, Selasih. Baju ini memang milikmu. Baju ini tindakan kebesaran atau kekecilan. Karena milikmu, maka selamanya jadi milikmu. Hanya saja selama ini masih disimpan di Uluan, sekarang baru boleh kau simpan sendiri” Lanjut Paman pengawal lembut. Aku segera mengenakannya. Masya Allah! Benar! Baju ini tetap muat di tubuhku. Aku telah berubah menjadi sosok seperti pendekar perempuan dibungkus baju loreng berwarna putih lengkap dengan ikat kepala dan aksesoris lainnya, gelang dari akar, ikat kepala seperti kulit kayu. Dulu aku sangat bangga mengenakannya. Pakaian ini sangat cocok dengan karakter. Ringkas dan simpel.
Setelah semuanya beres kami ke luar pondok. Aku mengiring di belakang paman penjaga. Menyusul Macam Kumbang dan Nenek Kam. Kabut dari bukit sudah mulai turun. Aku langsung naik ke punggung Paman pengawal, mendekap pundaknya. Tak lama aku seperti diajak melayang menembus kabut dan hutan. Nenek Kam dan Macan Kumbang di belakang kami, berbarengan.
Sebenarnya aku kurang suka diperlakukan seperti ini. Aku ingin pergi dan pulang sendiri tanpa harus diatur itu ini. Apalagi harus dikawal segala. Aku kurang suka suasana formal dan berlebihan. Apalagi jika berhadapn denganku, ada yang kikuk dan segan, bahkan m3ncium tangan. Justru aku dibuatnya kikuk. Aku selalu ingat pesan Kakek Andun bahwa jangan bangga ketika kita dipuji dan dimuliakan. Siapa tahu pujian dan sikap memuliakan itu adalah ujian. Pujian dan kehormatan dapat membuat kita terlena, lupa diri, pongah. Ketika berjalan jangan lupa dengan rumput di bumi. Selanjutnya, jika kita bisa melakukan segala sesuatu sendiri, maka jangan pernah meminta apalagi menyusahkan orang lain. Ketika ada orang yang terpuruk, maka janganlah sesekali kamu hina, jika tidak bisa menolong maka doakanlah. Kemudian, bantulah seseorang yang butuh bantuanmu dengan ikhlas, sesuatu kemampuanmu. Dan jangan pernah meminta balasan atau imbalan. Yakinlah, jika kau mampu menjaga dan mengendalikan diri, niscaya seisi alam semesta akan mendoakanmu. Demikian suatu kali kakek Andun menasehati aku. Aku selalu ingat itu. Demikian juga nasihat Puyang Pekik Nyaring dan Puyang Ulu Bukit Selepah. Untuk itulah ketika dijemput membuatku tidak nyaman. Aku takut perlakuan istimewa ini terselip rasa bangga di hati.
Akhirnya untuk hari ini, aku pasrah saja. Aku mencoba mengikuti aturan dari Uluan. Aku akan patuh sesuai perintah Puyang Pekik Nyaring. Apalagi katanya malam ini adalah malam khusus untukku. Sudah terlalu sering aku diistimewahkan.
Dalam waktu tak berapa lama, kami telah sampai di kerajaan kecil Puyang Pekik Nyaring. Aku kaget melihat banyak orang. Pintu istana terbuka lebar. Lampu terang benderang. Para sesepuh duduk berderet menyambut kedatangan kami. Dari kejauhan aku mendengar irama hadroh. Aku yakin di antara yang hadroh pasti ada adik gaibku, A Fung. Kebersamaan kami terhambat karena padatnya kegiatan yang dia lakukan. Kajian, amalan, mengaji, dan lain-lain. A Fung sudah seperti tokoh agama. Namun dia tetap anak-anak yang menggemaskan.
Kami langsung menuju ruangan tengah tempat para tamu berkumpul. Ketika kami duduk terpisah antara perempuan dan laki-laki, aku belum melihat Puyang Pekik Nyaring. Tempat duduknya masih kosong. Demikian juga bagian mirip balkon menghadap ke ruang tengah. Aku hanya melihat tempat duduk dengan bantal kecil untuk alas. Beberapa makanan kecil terhidangan di tiap hadapan bantal.
Aku mengamati beberapa bantal tempat duduk berjejer persis di hadapanku. Setelah kuhitung ada tujuh. Tempat duduk siapa saja aku membatin. Sementara di atas tempat duduk Puyang Pekik Nyaring bersama sesepuh dan kerabat masih kosong. Ingin bertanya dengan Nenek Kam, segan. Karena Nenek Lam masih asyik bercerita dengan kawannya salah satu tamu bangsa manusia.
Aku beralih memperhatikan suasana. Seorang perempuan menghampiriku.
“Putri Selasih, kamu duduk di sana, tempat khusus untukmu” Ujarnya menunjuk tempat kosong paling ujung barisan Puyang Pekik Nyaring.
“Siapa yang menyediakan tempat khusus untukku, Bibi? Mengapa harus tempat khusus?” Tanyaku penasaran. Bagaimana pun aku segan meninggalkan Nenek Kam di sini meski beliau banyak temannya.
“Acara malam ini untukmu Selasih. Jadi kamu harus duduk di sana. Patuhlah” Ujar Nenek Kam.
Mendengar perintah Nenek Kam akhirnya aku bangkit dam pindah duduk di tempat yang ditentukan.
“Disebut apa acara malam ini, Bi? Aku akan diapakan?”Ujarku penasaran.
“Semacam pengukuhan untukmu, Putri Selasih. Selanjutnya kau akan mendapatkan amanah yang harus kau sanggupi mirip perjanjian dan abah para Puyang” Ujar Bibi yang mengantarkan aku ke tempat duduk yang disediakan.
Aku mengamati sekelililng ruangan. Para nenek gunung asyik ngobrol sesama mereka. Di antara nenek gunung yang hadir aku melihat ada bangsa manusia. Mereka pasti para undangan yang sengaja datang seperti Nenek Kam. Tak lama aku melihat satu rombongan panjang masuk dan menunduk-nunduk melintas di tengah-tengah ruangan memberi hormat. Rombongan yang baru masuk ini ada perempuan ada juga yang laki-laki. Bedanya tidak ada anak-anak, kecuali rombongan hadroh, marawis, yang duduk di pojok ruangan. Aku melihat ada A Fung dan teman sebayanya bersyalawat sambil mengoyang-goyangkan tubuh.
Aku memegang ujung selempang yang kuubah menjadi syal dan kulilitkan di leher. Aku kikuk ketika menjadi perhatian banyak mata. Sementara untuk mengalihkan perasaan kikukku tidak ada. Akhirnya aku menunduk, mengubah posisi duduk, aku mengisi waktu dengan zikir.
Entah berapa lama. Aku merasa diriku masih hanyut dengan zikir dan tidak terasa jika aku ada di lingkungan yang ramai. Tidak lama hadroh berhenti sejenak ketika semua mata tertuju ke dalam. Aku ikut menoleh. Ternyata Puyang Pekik Nyaring dan rombongan ke luar dari dalam. Aroma wangi semerbak mengisi semua ruangan. Puyang Pekik Nyaring tersenyum sambil melambaikan tagan menyapa semua tamu. Lengan bajunya yang longgar sedikit terangkat memperlihatkan tangan Puyang yang mulus putih. Rupanya mereka baru pulang dari masjid tidak jauh dari tempat tinggal ini. Posisinya ada di arah barat. Puyang Pekik Nyaring memamg senang solat di masjid yang terbuat dari kayu itu daripada solat di dalam istananya sendiri.
Aku segera berdiri menyambut Puyang Pekik Nyaring. Beliau langsung menghampiriku terlebih dahulu. Seperti biasa aku akan mencium tangannya dalam-dalam dan dengan lembut beliau mengelus-elus kepala dan setengah memelukku. Demikian juga Puyang Ulu Bukit Selepah. Ada kakek Andun, dan Kakek Njajau. Beberapa orang tak kukenal mengiring di belakangnya. Semuanya memakai baju putih.
Aku tertegun ketika ada satu perempuan di antaranya. Perempuan itu meski sudah sangat sepuh namun masih terlihat gagah. Wajahnya nampak berseri, bekulit putih kemerah-merahan. Kepalanya berbalut kain panjang sehingga membentuk bulat seperti lilitan sorban, lalu ditutup selendang putih berbahan jatuh, bermotif kembang yang sangat sepadan. Cantik dan mewah.
Sementara satu kelompok lagi aku melihat ada Kakek Ghabok, Nenek Ceriwis, dan beberapa sosok yang sering kulihat dari dusun sebelah kawah, kerajaan gunung Dempu. Aku membatin kemana Paman Raksasa?
“Aku ada di sini, Putri Selasih. Di dekat pintu masuk sebelah Selatan. Menunggu tamu datang. Alhamdulilah, kau beruntung mendapatkan kasih sayang dan perhatian penuh dari puyang-puyang, Selasih. Paman ikut bahagia” Suara Paman Raksasa dibawa angin, berhembus semilir.
Ketika kami sudah duduk, beberapa anak bujang ‘ngubeng’ mengantarkan makanan kecil dan minuman di hadapan para tamu. Aku hanya melihat dua macam kue yang di bungkus daun pisang kuali. Entah kue apa. Sepertinya baru kali ini aku melihatnya. Aku kagum juga dengan kampung ghaib nenek gunung Dempu ini. Mereka memiliki budaya yang tinggi. Termasuk juga menu khas Besemah justru kutemukan banyak di sini.
Dari balik tirai ruang samping, aku melihat banyak anak bujang yang bergegas membuat hidangan makan. Ini acara luar biasa? Aku membatin. Nampaknya Puyang mengundang tamu-tamu penting. Suara orang berbicara seperti lebah berdengung. Tak lama, Puyang Pekik Nyaring berbicara dengan bahasa Uluan. Bahasa nenek gunung. Aku segera membaca mantra agar aku paham maknanya. Rupanya beliau menyampaikan ucapan terimakasih dan tujuan berkumpul malam ini.
Usai sambutan Puyang dan doa, para tamu segera menuju ruang sebelah untuk santap malam. Para tamu berduyun-duyun ke ruang sebelah. Sebagian lagi aku lihat ada yang menuju sudut ruangan satu lagi. Bisa dipastikan, di sana disajikan minyak wangi, kembang, kopi pahit, teh pahit, kemenyan dan lain-lain. Sengaja disajikan untuk para tamu dari golongan lain. Sementara para Puyang, disediakan hidangan tidak jauh dari tempat kami duduk. Pun tidak semua tamu khusus Puyang yang ikut makan di hidangan yang sudah disediakan. Sebagian pergi ke sudut menikmati menu berbeda.
Aku ikut bergabung dengan para perempuan. Satu hidangan dengan dengan nenek Kam dan Nenek Ceriwis. Aku mengambil sepotong malmbi, sambal nanas, dan nasi samin. Aromanya menguap wangi.
Beberapa saat selesai santap malam, aku kembali diarahkan oleh seorang Paman menuju ruang tengah. Aku mengiring beliau dari belakang. Tak lama beliau minta duduk di tengah-tengah. Ada semacam ambal bulat, lalu si atas ambal ada dua nampan yang terbuat dari suasa. Aku tidak tahu apa isinya. Nampan itu ditutup kain beludru berwarna merah lalu berhias manik-manik seperti busana pengantin Palembang. Di sampingnya ada seperti vas bunga yang biasa disebut peridon. Itu pun ditutup. Jadi aku memang tidak tahu isinya.
Aku duduk diam, bingung apa yang hendak dilakukan. Akhirnya aku melempar pandang ke seluruh ruangan. Di ruang yang tak seberapa besar ini, terasa dingin dan sejuk. Puyang Pekik Nyaring belum nampak ke mari. Demikian juga nenek kakekku yang lain. Aku hanya melihat kesibukan beberapa orang menyiapkan sesuatu yang juga tidak aku ketahui.
Aku melempar pandang ke arah pintu ketika mendengar suara orang ngobrol sambil bercanda. Benar dugaanku, Puyang Pekik Nyaring dan rombongan masuk sambil ngobrol sana sini.
“Waaiii rupanya cucungku sudah duluan kemari” Puyang Pekik Nyaring mengembangkan senyum. Para pengiringnya disilakannya duduk di tempat yang sudah disediakan. Enam orang duduk persis di hadapanku. Di antaranya kakek Njajau, kakek Andun, lalu satu sosok yang belum kuketahui namanya, serta nenek cantik yang berkerudung putih. Tinggal satu bantal yang kosong, entah tempat duduk siapa. Sementara yang baru masuk memilih duduk bersandar mengelilingi ruangan. Rupanya Puyang Pekik Nyaring ikut duduk tidak jauh di hadapanku. Beliau duduk persis di sebelah Puyang Ulu Bukit Selepah.
Setelah puyang Pekik Nyaring duduk suasana hening.
“Putri Selasa, Cucungku. Malam ini malam penutup dari segala rangkaian yang pernah Puyang-puyang dan Kekek berikan padamu. Kau sudah cukup dewasa. Akan lebih banyak hal yang kau hadapi. Maka akan banyak pula amanah yang harus kau laksanakan dengan penuh tanggujawab. Malam ini Puyang-puyangmu akan menyempurnakan apa yang sudah kau peroleh sesuai petunjuk Puyang selama ini, Cung”. Puyang Pekik Nyaring menatapku lembut.
“Kemampuan yang telah puyang dan kakek serta leluhur wariskan, bukan tanpa alasan. Kami percaya padamu, Cung. Gunakan kemampuanmu untuk membantu sesama dengan ikhlas. Jangan pernah melakukan sesuatu atas dorongan nafsu untuk menampakkan kemampuan, sehingga akan muncul rasa sombong di batinmu. Tetaplah pakai ilmu padi. Hati-hati bertindak dan berucap. Kau harus membantu ‘adeng beradeng’ yang di Uluan, menjaga kelestarian para nenek gunung dengan caramu sepanjang. bukit barisan ini. Mereka adalah saudaramu, Putri Selasih. Jangan kau beda-bedakan meski dari suku yang berbeda” Lanjut Puyang Pekik Nyaring lagi. Aku mendengarkan semua nasehat dan pesan beliau, dan menyimpannya dalam-dalam. Berkali-kali aku mengangguk.
“Apakah kau merasa keberatan dengan apa yang Puyang sampaikan Cung?” Tanya Puyang Pekik Nyaring. Aku segera menggeleng.
“Sungguh tidak ada yang membuatku keberatan, Puyang. Terimakasih sudah mengingatkan. Selanjutnya, mohon tegur aku jika sewaktu-waktu aku ada salah, dan lalai dalam melangkah, Puyang. Aku selalu mengharapkan bimbingan, dimana pun, dan kapan pun” Ujarku sungguh-sungguh. Meski kerap kali aku mendapatkan nasehat tidak saja dari Puyang Pekik Nyaring, Puyang Ulu Bukit Selepah, tapi ada juga Kekek Andun, Kakek Njajau dan seluruh sesepuh yang kerap membuatku bahagia dan selalu rindu mendengarkan nasehat mereka. Bagiku, mereka adalah lentera yang senantiasa berbagi cahaya sehingga gelap pekat pun dapat ditembusnya. Nasehat mereka ibarat embun, sejuk menyentuh daun.
Usai menasehati, selanjutnya Puyang Pekik Nyaring menyampaikan tujuan mengapa mereka berjajar di hadapanku. Aku tetap diminta duduk di tempat. Sejak awal aku memang belum tahu sepenuhnya apa pertemuan malam ini dan mengapa aku duduk di sini.
“Putri Selasih, dua Puyang yang duduk di ujung itu, Resi Parwataka dan Resi Saadah. Mereka petapa dari negeri seberang, sudah Puyang anggap saudara sendiri. Mereka sengaja datang ke mari berkeinginan menjadi gurumu, Selasih. Malam ini, mereka hendak mewarisikan anjian andalan mereka padamu. Ilmu mereka, beliau percayakan padamu. Satu kehormatan bagi saya, Resi Saadah dan Resi Parwaraka berkenan memilih cucungku, mewarisi keilmuan yang mereka miliki. Aku tahu, hingga saat ini, kedua ilmu yang dimiliki saudaraku ini belum ada tandingannya” Ujar Puyang Pekik Nyaring.
Mendengar itu aku terkejut. Aku buru-buru menundukkan kepala pada keduanya. Sungguh suatu hal tidak pernah kuduga jika ada petapa sakti seperti mereka hendak mewariskan ilmunya padaku. Apalagi kata Puyang Pekik Nyaring belum ada yang menandingi ilmu pamungkas mereka.
“Sebelumnya, saya haturkan Terimakasih Puyang Saadah dan Puyang Parwataka” Ujarku tak berani menatap keduanya.
“Eiit! Panggil aku Puyang Timur saja. Hanya orang-orang tertentu saja tahu Parwataka” Ujar beliau setengah berbisik.
“Aku juga! panggil Aku Eyang Putih, cukup sahabat-sahabat dekatku saja yang tahu Saadah” Ujar Nenek petapa. Suaranya manja dan lembut.
“Mengapa kau ikut-ikutan Resi Putih?” Protes Resi Parwataka atau Puyang Timur.
“Tidak ikut-ikutan, Eyang. Tapi nama kecilku memang Putih. Bukan nyamar sepertimu” Lanjut Nenek yang menyebut dirinya Eyang Putih. Yang lain tersenyum melihat perdebatan kecil orang tua ini.
“Kalau begitu, izinkan aku memanggil dengan sebutan Eyang dan Puyang Guru saja” Ujarku pelan. Ternyata pernyataanku memancing tawa semuanya.
Selanjutnya aku disuruh duduk lurus dengan mereka berdua. Setelah lurus kembali keduanya berdebat.
“Aku duluan ya” Ujar Puyang Timur.
“Eiiit, aku dulu. Perempuan harus di depan baru diikuti laki-laki. Eyang Putih protes. Keduanya kembali berebut minta lebih dulu.
“Agar adil, kita minta calon murid para Reai saja yang menentukan” Kata kakek Andun setengah tertawa dibenarkan kakek Njajau. Puyang Pekik Nyaring dan Puyang Ulu Bukit Selepah hanya bisa tersenyum melihat rekannya seperti anak kecil.
“Memang semakin tua, akan semakin bertingkah seperti anak-anak. Jadi wajar jika berantem. Ini contoh nyata” Lanjut Puyang Pekik Nyaring yang disambut tawa semuanya.
“Maaf Puyang Timur, izinkan aku memilih Eyang Putih lebih dulu” Ujarku takut sekali mereka tersinggung.
“Baik, pilihanmu bijak sekali, muridku” Ujar Puyang Timur. Dadaku langsung bergetar ketika beliau menyebutku muridnya. Selama ini, belum pernah aku mendapatkan orang tua yang membimbing dengan sebutan guru dan murid. Padahal di hadapanku ini pada dasarnya adalah guru-guruku. Merekalah yang telah membentuk dan memngasuhku hingga kini. Tapi mereka lebih senang disebut Kakek dan Nenekku.
“Terimakasih Puyang”Jawabku berusaha mengendalikan diri. “Putri Selasih, muridku. Kuwariskan kemampuan andalanku ini padamu. Gunakanlah untuk membantu siapa pun yang teraniaya. Jangan pernah kau gunakan untuk menyakiti orang. Tapi gunakan untuk mengobati orang. Sekali saja kau melakukan kesalahan, maka ajian ini akan meninggalkanmu. Sebab ajian ini tidak mau bersama orang yang berhati kotor, apalagi munafik. Eyang percaya padamu, Selasih” Lanjut Eyang Putih lagi. Suaranya yang lembut sangat menentramkan.
Tak lama aku disuruh beliu bertasbih sembari pasrah. Aku melakukan apa yang beliau perintahkan. Dalam waktu singkat aku merasakan ada energi mendorong jasadku namun herannya ada yang menahan belakangku. Energi hangat mengalir cepat lewat ubun-ubunku. Aku merasakan energi itu seperti air segera menyatu dengan darahku. Selanjutnya lidahku terasa ada yang menggerakkan tanpa mampu kuhalangi. Lalu merapal doa dan mantra yang belum pernah kupelajari sebelumnya. Aku begitu fasih mengucapkan mantra-mantra itu. Sementara jantung dan hatiku terus bertasbih. Semakin lama aku merasakan energi yang masuk dalam darahku terasa makin mengental. Tak lama tubuhku tersentak.
“Sinkronkan sendiri ke dalam tubuhmu. Ikuti rasa hangatnya, Muridku” Ujar Eyang Putih. Selanjutnya dua telapak tangan kami beradu. Saat beradu puyang dan kakekku serentak berzikir.
Lagi-lagi aku merasakan ada energi yang masuk ke dalam tubuhku. Kali ini energi itu seperti membalut seluruh tubuh. Aku melihat sosokku seperti kepompong dibalut lapisan tipis yang transparan. Ternyata zikir yang dilantunkan pelan-pelan membuat lapisan itu semakin tebal.
Setelah selesai aku merasakan ada pelapis dalam tubuhku. Lapisan ini semacam tameng kekuatan paling luar, yang kuyakini sebagai perisai ketika bertarung. Namun energi sebelumnya bisa kugunakan untuk mengobatan. Dua bentuk ajian yang sepadan. Meski keduanya belum kugunakan, namun aku merasakan energinya luar biasa. Aku sangat memakluminya, karena ajian ini beliau peroleh selama bertapa bertahun-tahun. Sungguh aku tidak menyangka jika beliau mewariskannya padaku. Pelan-pelan zikir berhenti, pertanda Eyang Putih selesai mentransfer ilmunya.
Aku membuka mata pelan-pelan. Tubuhku berpeluh. Kulihat Eyang Putih juga berpeluh. Aku melihat serupa asap masih ke luar dari tubuh beliau. Aku tidak paham, mengapa bisa demikian. Apakah efeks energi beliau, aku tidak tahu. Wajah yang sebelumnya bening putih sekarang berubah mejadi lebih kemerahan.
Aku mengubah posisi duduk, dengan tetap bersila. Kali ini giliran Puyang Timur. Beliau tersenyum menatapku.
“Sekarang giliran Puyang Timur, muridku. Bersiap-siaplah. Puyang berharap, manfaatkan apa yang kau dan akan kau miliki sesuai dengan kebutuhan. Harapan Puyang tidak jauh berbeda dengan Puyangmu yang lain, berharap kau tidak bertindak di luar batas. Saat kau memanfaatkan ajian ini ke jalan yang salah, jalan yang tidak diridhoi sang Maha, maka dia akan berbalik padamu. Mengapa Puyang percaya mewariskannya padamu? Karena Puyang yakin kau mampu. Puyang percaya karena kau sudah digembleng oleh Puyang dan Kakekku sebelumnya. Pesan Puyang, Kau harus pandai mengendalikan emosimu, tetaplah menjadi pribadi yang bersembunyi di balik kecemerlangan cahaya yang melingkari tubuhmu. Muridku, hidup kita akan bahagia kala apa yang kita miliki bisa bermanfaat pada orang lain. Namun kita tetap harus bijak mengukur kemampuan kita. Hiduplah sesuai kemampuan, bukan berdasarkan keinginan” Ujar Puyang Timur. Intinya aku harus Pandai bersyukur, memanfaatkan kemampuan sesuai kapasitas, dan jangan pernah dikendalikan oleh nafsu.
Aku mendengarkan apa yang disampaikan Puyang Timur dengan seksama.
“Terimakasih Puyang guru, aku akan ingat selalu pesan Puyang guru” Ujarku penuh kagum. Puyang Timur tersenyum puas. Beliau nampaknya senang sekali ketika kusebut Puyang guru. Padahal aku hanya sekadar mengimbangi beliau karena menyebut aku “murid” beliau.
Seperti ajian yang sudah diberikan oleh Puyang, kakek, dan Eyang Putih, ajian yang diberikan pun memiliki nama. Puyang Timur menyebutkan akan memberikan ajian bernama tari lembayung dan pegat tetak. Apa kelebihan aja-aja ini aku belum tahu. Apakah kekuatannya pada pukulan untuk kupakai bertarung atau pengobatan.
“Puluhan tahun ilmu ini Puyang kaji, dan puluhan tahun pula aku mencari orang yang tepat untuk kuwariskan. Meski aku memiliki beberapa murid, dan mereka menunggu untuk minta ilmu ini padaku, aku tidak memberikannya. Karena mereka belum menjadi orang yang tepat. Ajian ini hanya bisa turun pada orang-orang yang berhati bersih, dan pandai menyembunyikan kemampuannya. Sebab, sedikit saja dibawa untuk kesombongan, maka kau akan merasakan sakit karena dia akan memberontak” Ujar Puyang Timur kembali. Aku menerimanya dengan anggukan siap melaksanakan sesuai petuah beliau.
“Aku tahu, kau pasti bisa, muridku” Kata Puyang Timur membuatku serasa melambung dan paling disayang.
Tidak lama Puyang Timur mengangkat tangan lalu memutarnya. Aku kembali fokus, pasrah. Tak lama muncul cahaya berwarna pelangi semua seperti tombak runcing ke atas. Lama kelamaan mengembang seperti payung. Lambat laun cahaya seperti pelangi itu menyusup ke tubuhku melalui pori-pori. Aku menggigil seketika. Rasa dingin luar biasa. Aku tetap bertahan pasrah ketika tubuhku makin kencang bergetar. Lambat laun aku mendengar zikir “Huu Allah…Huu Allah..Huu Allah”. Aku menyinkronkan zikir ke seluruh jiwa raga. Jantung dan hatiku seakan bergetar. Cahaya seperti pelangi itu masih terus menyusup ke tubuhku. Mungkin inilah yang beliau katakan ajian tari lembayung. Tinggal ajian pegat tetak lagi.
Tiba-tiba dari ujung jari Puyang muncul lagi cahaya berwarna ungu lalu seperti angin puyuh berputar dari langit. Makin lama semakin kencang. Tidak lama cahaya seperti pusaran angin itu mengecil hingga membentuk sebuah bola. Pelan-pelan cahaya berbentuk bolah tersebut disusupkan Puyang Timur melalui kepalaku. Seketika aku merasakan kepalaku sebesar bukit. Terasa mengembang seperti adonan roti. Lalu kembali mengecil.
Aku masih berzikir mengikuti dengungnya yang kian menggaung. Suara ‘Allah. Allah” seperti bisikan yang sangat dekat dengan urat leher. Kali ini Puyang Timur melompat lalu berputar. Selanjutnya aku merasakan beliau ada di atas kepalaku lalu berputar sesuai arah jam. Aku merasakan ada gelombang seperti deru air menghantam-hantam dadaku. Beberapa kali aku merasa terdorong. Aku tetap pasrah dan terus berusaha bertahan dari awal sampai akhir. Jika tadi aku menggigil kedinginan, ketika menerima pegat tetak aku seperti dihantam godam berulang-ulang. Peluh mulai menganak sungai. Aku merasakan tubuhku terasa panas sangat. Untung tidak lama. Kalau lama seluruh tubuhku terasa meledak.
Setelah semuanya selesai, kulihat Puyang Timur berdiri dengan tangan bersedekap. Nampaknya beliau tengah mengumpulkna energinya. Suara zikir pan-pelan makin mengecil hingga tidak terdengar sama sekali.
Aku menelan ludah. Tenggorokanku terasa kering. Aku juga berusaha mengembalikan energiku yang ikut terkuras. Ada perasaan baru yang kurasakan. Apalagi ketika ketujuh tangan Puyang, Kekek, dan Eyang mengembang ke arahku. Aku melihat seperti jaring laba-laba, pelan-pelan membalut tubuhku.
“Allah…Allah…Allah..” Puyang Pekik Nyaring memimpin yang lainnya. Asma Allah yang diucapkan bebarengan tersebut membuat suasana menjadi terang benderang. Kekuatan Asma itu seakan sengaja dihimpun jadi satu lalu berpusat pada tubuhku.
Angin terasa kencang menerpa tubuhku dan tujuh guruku. Aku mendengar petir menyambar-nyambar diikuti suara guruh. Aku sedikit kaget mendengarnya. Ada kekhawatiran sesaat. Hatiku kembali damai ketika suara petir dan gemuruh di luar istana berhenti. Rupanya petir itu semacam peringatan jika semuanya berjalan lancar. Terakhir, nampan di hadapanku dibuka. Rupanya isinya adalah makanan dan minuman yang harus kucicipi.
Semua rangkaian acara sudah selesai dilaksanakan. Tujuh kekuatan yang digabung menjadi satu membuat tubuhku makin enteng. Aku sujud berterimakahi pada puyang, dan kakekku. Kulihat Nenek Kam tersenyum lebar. Nampak sekali wajah beliau puas dan bangga. Mata kecilnya bersinar-sinar menatapku. Beliau juga guruku. Banyak hal yang ajarkan sejak aku kecil. Demikian juga Macan Kumbang, Nenek Ceriwis, dan masih banyak lagi.
“Bersyukur Cung, dirimu didampingi dan dibimbing oleh orang-orang luar biasa. Setelah digabungkan kekuatan itu seperti kekuatan tujuh gunung, tujuh laut, dan tujuh lapis tanah. Tanggungjawabmu akan makin bertambah, Cung. Manfaatkan sebaik mungkin” Lanjut Nenek Kam.
Pelan-pelan Kakek Njajau melantunkan salawat dikuti oleh tamu lainnya. Aku merinding ketika salawat pelan-pelan menyatukan irama dan suara yang hadir. Bahkan ingin menangis saking harunya. Suasana di ruangan ini semakin lama terasa lain. Ada nuansa mistis yang sulit untuk kulukiskan. Aku terhanyut dibuatnya.
Bersambung…
Seruuuu euy…
Di tunggu lanjutannya…
Oh iya sodara, mengenai nyai ratih dari kerajaan banyuwangi gimana kabarnya, masih ada niatan untuk mengejar dedek gak ya?
Terimakasih