HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (60)

Karya RD. Kedum

Sudah dua hari aku tidak sekolah. Seluruh tubuhku terasa nyilu. Aku demam, kepala berat dan nyeri, terkadang rasa ingin muntah, nafsu makan hilang sama sekali. Entahlah, apakah masuk angin, atau memang ada penyakit lain. Aku enggan memirkannya. Aku juga enggan memeriksakan diri ke mantri atau ke dokter.

Aku sudah alergi ke dokter dan makan obat. Cukuplah waktu kakiku patah dahulu, empat bulan lamanya, minimal sehari dua kali diinjeksi. Sampai perawat dan dokter bingung mau menyuntik bagian mana karena paha dan pinggulku sudah kisut semua. Belum lagi tablet dan kapsul sekali telan delapan biji, ada yang tiga kali sehari, ada yang empat jam sekali, ada yang tiga kali sehari. Sampai ibu ikut pusing dimana-mana bau obat. Jika dihitung, entah sudah berapa kantong obat-obat itu masuk ke perutku.

Sebenarnya dalam hati aku agak was-was juga. Pasalnya demam berdarah mulai mewabah di Bengkulu dan sekitarnya. Pasca hujan terus menerus masih menggenangkan air di rawa-rawa. Tempat yang paling nyaman nyamuk aedes aegypti dan aedes albocpictus berkembangbiak. Konon, semua rumah sakit penuh penderita demam berdarah. Hal ini membuat aku semakin enggan untuk berobat. Aku tidak mau lagi nginap di rumah sakit. Cukuplah dulu!

Akhirnya aku memilih diam dalam kamar. Memejamkan mata antara tidur dan tidak. Sambil menahan kepala yang menyut-menyut, sambil menghitung-hitung kapan kapan libur. Libur kenaikan kelas nanti aku ingin pulang ke seberang Endikat. Konon kabarnya jalannya sudah diperbaiki. Sudah ada satu angdes yang bolak-balik menjemput penumpang ke Simpang Bandar. Keinginanku ini sudah disampaikan pada ibu dan Bapak. Kabar terakhir dari Ibu, kakek Haji Majani seringkali jatuh sakit. Salah satu yang mendorongku ingin pulang pun karena ingin menjenguk kakek Haji Majani. Nenek Kam juga, nampaknya tidak akan lama lagi pun akan berpulang. Pasalnya banyak sekali pesan-pesan beliau yang harus ditunaikan sebelum dia pergi. Termasuk berpesan sama ibu, kalau dia meninggal maka dia minta ibu yang memandikan.
“Pokoknya, kalau aku meninggal, aku tidak mau dimandikan orang lain. Tapi aku minta dimandikan oleh Luhai, anak Salilal. Mandikan aku bersih-bersih, pelan-pelan, sambil didoakan,” pesan seperti itu kerap kali disampaikan nek Kam pada hampir setiap orang. Anak Salilal itu maksudnya Ibuku. Sapaan Nek Kam pada Ibu.

Mendapat amanah itu, membuat ibu selalu was-was. Ibu jadi takut pergi jauh-jauh. Apalagi kalau terdengar nek Kam sudah sakit-sakitan. Maka ibu akan gelisah takut amanah nek Kam tidak terlaksana. Maka ibu akan menemui nek Kam lalu bertanya.
“Nek, sudah dekat apa belum? Kalau sudah dekat, aku akan tunggu, jangan terlalu lama. Tapi kalau masih lama, izinkan aku ke Bengkulu dulu. Tapi janji ya Nek, kalau mau meninggal, tunggu aku pulang dulu” Ujar Ibu pada nenek Kam. Aku senyum-senyum mendengar itu. Apa mati bisa buat perjanjian seperti itu? Jangan mati dulu, tunda dulu matinya, tunggu aku? Enak betul. Ah! Itu kan cerita ibu saja. Aku berharap nenek Kam jangan mati dulu. Aku masih butuh beliau meski jarak memisahkan kami untuk selalu bersama.

Aku membuang nafas. Serasa ingin memuntahkan uneg-uneg yang berjejal di kepala. Berbagai keinginan muncul. Ingin pulang ke Seberang Endikat, berjumpa Macan Kumbang, kakek Andun, kakek Njajau, Puyang Pekik Nyaring, Puyang Ulu Bukit Selepah, Kakek Haji Majani, Kakek Haji Yasir, nenek Kam, Nenek Ceriwis, lalu Gali. Apa kabar anak Ranau tersebut? Sudah lama sekali aku tidak bersua. Gundak? O iya..apakah Gundak jadi menikah dengan gadis pilihan ibunya? A Fung…oh! Aku tercekat kala teringat anak kecil yang manja itu. Mengapa kemarin aku tidak sempat bertanya dengan paman Raksasa tentang A Fung? Ada rasa rindu tiba-tiba menyusup dalam dada. Sangat rindu.
“A Fung…A Fung adikku…apa kabarmu dik?” Aku membatin dengan perasaan tidak sabar. Aku sangat ingin berjumpa dengannya. Lama kutunggu, belum ada jawaban. Lalu kutingkatkan konsentrasiku memanggilnya kembali.
“A Fung, kakak rindu” Ujarku hampir menangis. Tak lama berselang aku merasakan angin berdesir pelan. Tiba-tiba di hadapanku berdiri anak kecil bergamis, memakai sorban. Wajahnya bersih dan teduh. Nyaris aku tidak mengenalnya jika dia adalah A Fung, hantu kecil yang bersyahadat dengan paman Raksasa.
“A Fung?” Aku terlonjak dari tempat tidur. A Fung langsung memelukku. Kami berpukkan lama sekali. Kami sama-sama menitikkan air mata.
“Kamu semakin ganteng dengan pakaian seperti ini A Fung. Sungguh, kakak pangling melihatmu. Wajahmu makin berseri.” Ujarku kagum. Lama aku menatapnya tak percaya. A Fung tersenyum sambil berair mata.
“Lama sekali kakak baru memanggilku. Padahal aku sangat rindu” Ujarnya masih memegang lenganku. Aku tak mampu menjawabnya. A Fung kembali kupeluk. Kuusap punggungnya dengan penuh kasih sayang.

Akhirnya A Fung bercerita jika hari-harinya diasuh paman Raksasa dan diajak berbagai macam hal kajian oleh para guru. Mendengar itu aku bangga sekali padanya. Jin qorim ini ternyata bisa total ketika mendapatkan hidayah.
“Kakak sakit ya?” Ujarnya manja. Aku menjawabnya dengan anggukan. Walau rasa pusingku sudah hilang. Semula untuk duduk saja aku rasanya tidak kuat. Sekarang aku bangkit berdiri memeluk A Fung. Akhirnya akulah yang paling banyak bertanya tentang hari-hari A Fung.
“Fung, masih makan gaharu tidak?” Tanyaku sambil tersenyum di sela obrolan kami. A Fung menyambar lenganku manja.
“Tidak lagi kak. Makanku dengan zikir saja.” Jawabnya. Kebahagiaanku kembali berbunga tak dapat kuungkapkan dengan kata. Apalagi melihat A Fung sangat bersemangat bercerita setiap bulan dia akan berjumpa dengan jin-jin kecil dari Timur Tengah, belajar tari rumi, lalu berkenalan dengan jin-jin kecil dari pulau jawa, belajar hadro dan lain sebagainya. Kulihat kebahagian A Fung sungguh jauh berbeda dengan pertama aku jumpa dengannya. Matanya yang dulu kosong kini nampak bersinar. Apakah memang seperti itu? Meski pun makhluk asral bisa berubah? Dalam hati aku bertanya-tanya. Selanjutnya kusampaikan pada A Fung, kerinduanku ingin berkunjung ke kampung lereng Dempu, ingin menikmati deru Endikat yang telah banyak mengajarkan aku tentang kehidupan dan alam semesta. Yang jelas ingin jumpa dengan leluhur dan kerabat yang telah banyak menempah diriku seperti ini. A Fung menyambut keinginanku dengan senyum mengembang.
“Lalu berjumpa denganku. Dan aku akan ikut kakak terus kalau kakak pulang ke Besemah.” Ujarnya. Aku mengangguk mengiyakan.

Tak lama ada yang mengetuk pintu kamarku. Aku segera membuka pintu. Rupanya Bapak menongolkan kepala sembari membawa segelas teh hangat.
“Ini minum tehnya, Dek. Sudah sehat ya? Perasaan tadi Bapak mendengar suara kamu bercakap-cakap. Kamu berbicara sendiri?” Tanya Bapak sedikit curiga.Kubalas dengan gelengan.
“Aku sedang ngobrol dengan sahabat kecilku, A Fung. Anak Tionghoa yang pernah kuceritakan itu. Itu dia duduk di atas tempat tidur” Ujarku menunjuk A Fung.
“Ih! Memangnya Bapak bisa melihatnya apa? Dasar Kam kecil! Bikin takut saja” Bapak berlalu menutup pintu kembali. Aku dan A Fung tertawa mendengar Bapak menyebutku nenek Kam kecil. Coba ada nenek Kam di sini, pasti Bapak akan kena omel nenek Kam karena mengejek dan menyebut-nyebut namanya.

Malam semakin larut, nampaknya A Fung masih betah bersamaku. Belum ada tanda-tanda dia hendak pulang. Aku juga tidak berani menyuruhnya pulang. Takut dia ngambek. Nampaknya dia sangat menikmati kebersamaan denganku. Membuka-buka bukuku. Duduk selonjoran sambil menyenandungkan asma Allah. Suaranya merdu sekali. Fasih dan cengkokannya itu membuat aku tidak percaya jika yang menyenandungkannya seorang A Fung. A Fung seperti santri-santri taafiz yang kudengar di radio-radio jelang magrib dan subuh.

Tepat pukul 01.00 Wib, A Fung mohon diri. Dia merasa takut ketinggalan kajian baru malam ini. Akhirnya kulepas juga setelah aku terlelap sekejap ditunggui A Fung. Kembali kupeluk sebelum berpisah. Dan aku menitip salam untuk paman Raksasa dan kawan-kawannya. Dalam sekejap, A Fung hilang dalam pandanganku. Suasana jadi sepi kembali. Hanya suara jangkrik yang mengerik, dan kelelawar sesekali. Aku berniat melanjutkan tidurku yang terpotong. Baru saja terlelap, tiba-tiba aku merasakan ada yang meniup kepalaku pelan sekali. Aku masih enggan membuka mata. Kunikmati angin sejuk yang menjalar ke tubuhku. Punggung yang nyeri, pinggang sampai ke kaki yang serasa mau lepas, mata yang berat, tiba-tiba terasa ringan. Aku merasakan punggung dan pinggang hingga kaki seakan diurut. Nyaman sekali. Makanya kunikmati sampai enggan membuka mata. Aku tahu ada seseorang yang melakukannya padaku. Bau harum tubuhnya sangat aku kenal. Aroma seribu bunga yang tidak membuat aku bosan menciumnya.

“Ih! Keenakan! Sampai enggan buka mata. Dasar anak nakal. Nggak sopan.” Pipiku dicubit sampai terasa perih. Aku mengaduh menahan perih. Siapa lagi kalau bukan nenek Ceriwis. Sebenarnya aku sudah tahu dari aromanya. Tidak menyangka saja, dalam keadaan tidak sehat pun nenek satu ini masih tega mencubitku.
“Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarakatu, nenekku yang cantik. Apa kabar?” Ujarku langsung bangkit mencium tangannya dan memelukknya. Aku berterimakasih karena beliau berkenan datang mengobati demamku. Mendengar ucapan terimakasihku, bibirnya mencibir. Biasa menghadapi nenekku satu ini jangan terlalu serius dan siap-siap kena semprot dan siap-siap pula merasakan cubitannya yang super pedih.
“Kenapa sampai sakit? Itu gara-gara kamu tidak pulang-pulang ke tanah leluhurmu, tahu. Kamu dah sombong, merasa sudah mendapat teman baru dan kenal banyak orang di sini. Lupa dengan tanah Besemah, tanah lahirmu. Jangankan berkunjung ke huluan, menyapa saja tidak. Tapi kalau sudah berhadapan dengan musuh, kontak ke semua leluhur. Dasar curang!” Mulut Nenek Ceriwis nyerocos saja kayak gas elpiji bocor.

Ada-ada saja kesalahanku. Demi berdamai akhirnya aku memohon-mohon minta maaf. Kukatakan tidak sedikitpun aku lupa tanah leluhur, Justru aku ingin pulang berlama-lama ketika liburan semester kelak agar biasa berjumpa dengan semua. Ujarku sambil menatap matanya. Wajah nenek Ceriwis masih nampak meremehkan aku. Dalam hati harusnya ada Macan Kumbang di sini agar aku tidak salah tingkah dibuatnya.
“Nek, makasih sudah berkenan datang. Aku rindu Nenek.” Ujarku memegang tanganny. Hatiku sedikit damai ketika tangannya meraih tubuhku lalu memeluk dan kembali meniup kepalaku.
“Ada bau A Fung di sini.” Ujar nenek Ceriwis mengembang-ngembangkan daun hidung. Aku tersenyum melihat ekspresinya. Kukatakan kalau A Fung baru saja pulang ke huluan setelah kupangggil karena rindu dengannya. Nenek Ceriwis mengangguk-angguk pelan.
“Anak itu pinter dan rajin.” Ujar Nenek Ceriwis singkat. Selebihnya nenek Ceriwis mengajakku ke luar. Beliau ingin jalan-jalan. Aku berpikir sejenak. Jalan-jalan kemana kecuali ke pantai.
“Aku sedang demam kan Nek? Jalan kemana Nek? Ke pantai? Nanti banyak yang menggoda nenek di sana, aku tidak tanggujawab loh.” Godaku. Nyaris cubitan mendarat ke lenganku. Akhirnya dini hari ini aku ke luar bersama nenek Ceriwis. Kuajak nenek Ceriwis berjalan mulai dari pantai Kualo Pasar Bengkulu. Langit nampak suram. Dari kejauhan aku melihat bintang satu-satu. Sejenak kami berdua duduk menikmati laut yang mendeburkan ombak. Kuceritakan jika di pantai ini kakek Andun pernah bertarung dengan makhluk dari laut. Lalu paman Raksasa juga.
“Siapa lelaki blangkon yang berjalan denganmu di pantai ini waktu itu?” Tanya Nenek Ceriwis lagi. Kujelaskan beliau adalah kuda tunggangan seorang tokoh pemuda yang soleh berasal dari pulau Jawa, pahlawan Nasional yang dimakamkan di Bengkulu ini. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan menyisir pantai. Banyak sekali makhluk asral yang beraktivitas di sepanjang pantai dini hari. Kami terus berjalan tidak mepedulikan mereka. Meski aku tahu beberapa makhluk hendak menghadang kami berdua. Namun selalu kugagalkan.

Sampai di tapak Paderi, aku ceritakan kalau tempat ini adalah tempat aku latihan teater bersama guru seniku. Di sini pula asal makhluk asral yang telah menculik anak tetanggaku beberapa waktu yang lalu. Nenek Ceriwis manggut-manggut. Kami berhenti sejenak memandang ke laut. Di kejauhan kapal nelayan nampak kelap-kelip, bergoyang-goyang dimainkan ombak. Aku dan nenek Ceriwis melompati karang, naik ke atas tanah yang sedikit menjulang. Aku dan nenek Ceriwis memilih duduk sejenak dengan kaki menjuntai di tebing menghadap ke laut.
Di sisi kiri belakang kami, berdiri benteng Marlborough. Aku ceritakan dengan nenek Ceriwis jika Benteng ini didirikan oleh East India Company pada 1714-1719 di bawah pimpinan Gubernur Joseph Callet. Joseph Collett adalah Gubernur Jenderal yang berkuasa. Benteng ini menjadi basis pertahanan yang amat tangguh di British Bencoolen. Benteng pertahanan Inggris ini didirikan di atas bukit buatan, menghadap ke arah Kota Bengkulu dan memunggungi Samudra Hindia.
“Hallaaa susah betul menyebutnya benteng Malaboroh malboro apa benteng mal..mal….Mal apa? Terus siapa nama gubernurnya Josep Calen?” Tanya Nenek Ceriwis.
“Marlboroug dan gubernur Joseph Callet, Nek. Benteng ini menjadi benteng terkuat kedua Inggris di wilayah timur setelah Fort St. George di Madras, India. Fort Marlborough merupakan basis pertahanan Inggris di tanah Nusantara dan menjadi benteng peninggalan Inggris terbesar di kawasan Asia Tenggara.” Ujarku sambil mengeja pelan-pelan beberapa kata asing. Sebenarnya penjelasanku tentang sejarah benteng ini pada nenek Ceriwis tidak terlalu penting. Tapi demi berbagi pengetahuanku tentang sejarah, dan agar nenek tahu, kusebutkan latar belakang berdirinya dan siapa saja gebernurnya. Inilah salah satu bukti jika negeri ini pernah dijajah Inggris, selain Belanda, dan Jepang.
“Pantas dari tadi aku melihat banyak Belanda.” Ujar Nenek Ceriwis lagi. Aku tertawa mendengarnya. Maksud nenek Ceriwis, yang dimaksud banyak orang Belanda itu banyak orang asing, wajahnya berbeda dengan orang ASIA, rambutnya keriting dan merah. Mungkin faktor terlalu lama dijajah Belanda, sehingga nyaris setiap melihat orang berkulit putih, tinggi, berambut pirang, hidung mancung, selalu mereka sebut Belanda. Ternyata tidak penduduk pedalaman Besemah saja menyebut Belanda pada setiap orang asing meski dari negara yang berbeda, bangsa manusia harimau pun demikian. Orang asing itu tahunya Belanda. Terus kalau berkulit hitam mereka sebutan orang negro, jika melihat yang bermata cipit disebutnya Cina.
“Yang kurus tinggi, rata-rata berambut keriting, pirang itu, orang Inggris, Nek. Lihat itu, mereka tentara-tentara berkebangsaan Inggris yang mati di ketika perang melawan masyarakat Bengkulu.” Aku menunjuk ke belakang, ke benteng Marlborough. Ada juga perempuan bergaun putih dengan rambut di ikat seadanya ke belakang berkeliaran ke sana kemari. Ada lagi makhluk laut, dan dan makhluk sebangsa genderowo, kuntilanak, siluman macan, yang menghuni bilik-bilik ruangan benteng yang lembab mengubah diri mereka menjadi tentara-tentara Inggris. Apalagi ruang bawah tanah tempat Soerkarno di tahan dahulu, banyak sekali jin qorim. Mereka rata-rata tahanan politik yang mati di bunuh Inggris, ada juga tahanan Belanda yang mati di bantai di tahanan bawah tanah. Dengan kaki dan leher diikat rantai, berjalan terseok-seok. Aku memejamkan mata. Terasa tidak kuat melihat kekejaman Belanda menyiksa para tahanan dengan kejam.

“Mari kita pergi dari sini, Nenek juga tidak tahan mencium bau amis darah dari Benteng itu.” Kata nenek Ceriwis bangkit. Akhirnya aku dan nenek kembali menyisir pantai. Kami berjalan di pantai Berkas, memandang perahu-perahu nelayang yang terapung tidak jauh dari pantai, selanjutnya terus berjalan menuju pantai Panjang. Pohon cemara nampak jarang-jarang. Hamparan pasir putih berundak-undak tertiup angin kencang. Rumput-rumput liar dan pandan berduri tumbuh di beberapa sisi daratan. Kami berdua tidak peduli dengan aktivitas makhluk asral sepanjang pantai. Untung angin bertiup tidak terlalu kencang.
“Nek, ini pantai Panjang namanya. Bagaimana menurut nenek, Indah bukan?” Tanyaku sambil menggandeng tangannya. Baru saja kami hendak melangkahkan kaki menuju pantai Pasir Putih, rencanaku ingin memperlihatkan pada nenek tempat aku latihan bersama komunita pencinta alam, tiba-tiba ada yang menyapa kami.
“Assalamualaikum, mau kemana sanak” Seorang perempuan paruh baya berkebaya, berkain batik dengan kerudung menempel seadanya. Senyumnya mengembang ramah. Mendengar dialeknya beliau orang Bengkulu asli. Aku dan nenek Ceriwis menjawab salamnya hampir bersamaan.
“Hanya sekadar jalan-jalan, sanak. Di ajak cucuku melihat pantai yang indah ini. Kenalkan, saya Putri Kuning, dan ini cucuku Putri Selasih.” Sambut nenek Ceriwis sembari menjabat tangan perempuan paruh baya yang ramah itu. Aku juga ikut menyalaminya.
“Panggil Aku Mak Limah. Aku salah satu pengasuh Putri Gading Cempaka, Putri bungsu Datuk Ratu Agung. Aku abdi di istana beliau” Ujarnya. Aku mencari-cari dimana istananya? Dari tadi aku tidak melihat berdiri istana kecuali beberapa rumah adat Bengkulu bubungan lima. Lalu di atas bukit, ada rumah adat bubungan lima ada satu nampak lebih luas dibandingkan dengan rumah lainnya. Tidak jauh dari kami berdiri kira-kira dua ratus meter, aku melihat seperti ada kolam tempat pemandian. Ada pancuran yang didesain sedemikain rupa, air mengalir bening. Tempat pemadian itu dihubungkan tangga yang berkelok menuju rumah bermubungan lima di atas dataran tinggi. Rumah bubungan lima itu berendonya menghadap ke laut. Tidak dapat kubayangkan, kalau petang hari, saat matahari tenggelam, akan memberikan pemandangan yang luar biasa indah dari berendo.
“Apakah itu tempat pemandian Putri Gading Cempaka, Mak Limah?” Tanyaku. Mak Limah mengaguk pelan. Beberapa perempuan aku lihat ada yang sibuk bersih-bersih di sekitar rumah. Beberapa pohon tumbuh di halaman membuat sekitar rumah bubungan lima nampak asri. Sayang waktu kami terbatas, dan Mak Lima juga tidak mengajak kami singgah. Padahal aku sangat ingin melihat rumah bubungan lima tempat tinggal Putri Gading Cempaka dari dekat.

Dua perempuan ini terlibat obrolan tentang berbagai aktivitas, mata pencaharian dan sebagainya. Mereka layaknya seperti dua sahabat kental yang sudah lama tidak berjumpa. Rencanaku mengajak nenek Ceriwis sampai ke ujung pantai nampaknya batal. Akhirnya aku asyik mendengarkan dua makhluk ini bercengkrama. Satu bangsa jin, satu lagi manusia harimau. Mereka terlihat akrab dan mengobrol hangat sambil duduk di pasir putih yang kering.

Dari kejauhan aku mendengar suara mengaji dari bubungan masjid, pertanda fajar dan sebentar lagi subuh. Aku mengingatkan nenek Ceriwis dan mak Limah. Keduanya seperti kaget. Nampaknya keduanya kekurangan waktu untuk bercengkrama. Lalu berjanji suatu saat untuk berjumpa lagi dan akan saling mengunjungi.
“Saya titip cucu saya di bumi selengek ini, mak Limah. Semoga suatu saat kita bisa berjumpa lagi. Saya tidak sengaja datang ke Bengkulu ini, kebetulan saya melihat Selasih demam tinggi, makanya saya datang mengobatinya” Nenek Ceriwis sedikit menjelaskan. Mak Limah menatapku sambil tersenyum. Beliau mengangguk dan berharap suatu saat kami singgah ke rumahnya, di samping rumah bubungan lima istana Putri Gading Cempaka. Akhirnya kami mohon diri. Kami berpisah di pantai panjang dengan Mak Limah. Aku diantar nenek Ceriwis sampai ke rumah. Selajutnya beliau minta izin pulang ke gunung Dempu. Aku menarik nafas panjang. Tubuhku benar-benar terasa sehat. Aku rebahan sejenak sembari mengenang pertemuan singkat dengan nenek Ceriwis dan mak Limah. Mataku kedap-kedip. Rasa kantuk sudah mulai datang. Sementara azan subuh yang kutunggu belum juga berkumandang. Akhirny aku bangkit ke belakang, berwudu berharap segar air dapat mengusir kantuk yang sudah mulai datang.
“Uuuaaaahh” Aku menguap lebar. Ternyata mengalahkan kantuk tidak mudah.
“Dek.” Tiba-tiba pintu kamar di dorong. Aku kaget. Bapak menongolkan kepala dengan maksud membangunkan aku salat subuh. Hmm..rupanya dengan cara ini Allah menegurku. Rasa kaget membuat mataku melek dan kantuk hilang seketika. Kupasrahkan diriku hanyut dalam doa dan zikir menguak fajar menuju pagi. Allahu Akbar.

bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *