HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (85A)

Karya RD. Kedum

Aku dan Nyi Ratih berdiri di atas batu menatap ke darat dan bibir cadas yang menguntai ke laut. Debur ombak tidak terlalu kencang. Angin juga berhembus pelan. Di bagian barat, pantai berpasir landai berombak kecil. Desir pasir ketika dijilat ombak, nyaris tidak terdengar. Jika siang hari, pantai ini sangat indah. Aku melihat banyak jejak dan aroma tubuh manusia di sini. Aku kagum dibuatnya. Negeri ini memang sangat indah. Alam telah menyajikan berbagai keindahan bukan hanya untuk dinikmati, tapi dipelihara dan di syukuri.

Beberapa menit yang lalu aku dan Nyi Ratih ke Laut Timur Banyuwangi ini untuk memastikan dan melihat area kerajaan yang sudah runtuh. Di alam gaib, aku melihat kepingan-kepingan kayu melintang pukang ke sana ke mari. Sebagian besar sudah tertutup pasir. Di alam nyata aku melihat timbunan sampah.

Area kerajaan dipagar gaib. Menurut Nyi Ratih yang memagar wilayah kerajaan ini adalah Nini Ratu. Oleh sebab itu tidak ada makhluk yang berani mengusik apalagi menempati area kerajaan. Semua dibiarkan apa adanya. Jika sudah terbentuk seperti onggokan bukit pasir, karena memang lama sekali tak diusik.

Menyadari hal itu, aku segera berpikir. Kuabaikan segala macam tetek-bengek yang berkaitan dengan sebutan sebagai ratu. Aku hanya berniat untuk mengembalikan kerajaan yang sudah runtuh, menarik dan mengumpulkan kembali rakyatnya yang sudah menebar ke mana-mana. Tiba-tiba otakku berjejal langkah-langkah yang harus kulakukan lebih dulu. Aku harus bekerja secepatnya.

Nyi Ratih merunduk sambil berdiri. Gaun panjangnya tertiup angin. Perempuan anggun ini nampak semakin cantik ketika menghadap ke laut. Kuakui, dia makhluk yang sempurna. Pembawaannya sangat santun dan soleha. Ternyata hidayah tidak hanya milik manusia saja, namun juga pada makhluk asral jika Allah menghendaki. Contohnya Nyi Ratih, beliau memperlihatkan kesungguhan dan kesetiaannya. Bahkan demi kerajaan dan cinta pada Ratunya, dia rela melakukan apa saja.

Aku menatap punggungnya sedikit berguncang. Aku tahu, perasaannya masih hancur melihat istana yang tinggal puing. Dia menangis. Tak satu pun rakyatnya yang terlihat di sekitar area. Kerajaan Timur Laut Banyuwangi ini benar-benar lengang seperti kota mati. Nampaknya Nyi Ratih mengenang masa kejayaan kerajaan. Beliau memang saksi hidup kerajaan ini, dan banyak tahu tentang seluk-beluk pemerintahannya. Termasuk juga mengapa kerajaan kecil ini bisa hancur hingga tinggal puing. Bahkan demi menunjukkan kesetiaannya, Nyi Ratih rela bertapa kembali, berguru pada Resi Sahida di Dieng dengan penuh kesabaran demi bisa mebawaku kembali.

Kerajaan ini memang butuh figur, butuh sosok yang bisa dijadikan panutan sesuai dengan amanah pimpinan mereka. Ketika kekuatan ratu mereka kendur, mereka kehilangan ruh untuk tetap setia. Hanya beberapa ponggawa saja yang masih hidup dan bertahan setia menunggu waktu kerajaan mati ini hidup kembali. Mereka tersebar entah mana.

Di alam nyata, sisi pantai laut timur ini ramai dihuni oleh bangsa manusia. Beberapa rumah kayu teratap serdang berdiri rapi di sepanjang pantai. Meski tidak di bibir pantai persis, namun pantai ini nampak ramai siang malam. Banyak muda-mudi menghabiskan waktu menghirup angin laut malam hari. Pemandamgan alamnya yang indah, desir ombak kecil memang menjanjikan suasana romantis. Jadi sangat wajar jika tempat ini dijadikan salah satu pilihan wisata. Apalagi selain pantai ada cadas yang menonjol di laut dangkal, semakin membuat pemandangan pantai seperti surga. Namun siapa sangka, di balik keindahannya tersimpan duka. Istana yang tinggal puingnya saja.

Tiba-tiba aku melihat air laut sedikit bergejolak. Semula angin berhembus semilir tiba-tiba jadi kencang. Kuamati sekali lagi. Ini menandakan laut tengah gerah. Aku mencari tahu penyebabnya. Rupanya ada di antara golongan manusia tengah berzinah. Instingku langsung ingin mencari tahu. Tak lama dua makhluk yang berlainan jenis itu kutemukan di salah satu rumah. Ada rumah kayu beratap daun serdang dengan cahaya sedikit remang dan musik hingar-bingar tidak jauh dari area kerajaan. Di dalamnya banyak perempuan dan laki-lali tengah bercumbu di tengah musik yang memekakkan. Melihat kondisi itu, aku jijik bukan main. Ingin rasanya aku muntah melihat pesta seks di depan mata. Sementara beberapa makhluk asral ikut gembira menunggangi tiap tubuh manusia yang ada tanpa mereka sadari. Tanpa berpikir panjang, dipan sepasang manusia yang sedang mesum itu kubalik hingga keduanya tertimpa kasur dan kayu. Lalu kukerahkan kekuatan angin untuk merobohkan pondokan mesum itu. Dalam waktu singkat musik yang hingar-bingar terhenti, berubah menjadi jeritan-jeritan ketakutan dan kesakitan. Beberapa makhluk asral yang ikut berpesta-pora bersama budak-budak setan itu sebagian tertawa lepas, senang melihat tempat itu berantakan. Sebagian lagi ada yang marah padaku karena merasa terusik. Aku tidak berpikir panjang lagi, bisa jadi makhluk-makhluk asral yang liar itu adalah rakyat kerajaan Timur Laut Banyuwangi. Mereka kutangkapi semua, lalu kukurung. Rumah pinggir pantai itu rata dengan tanah.

“Kanjeng Ratu, mengapa tidak diserahkan padaku saja? Mengapa kanjeng ratu yang turun tangan? Jangan mengotori tangan Kanjeng” Nyi Ratih merasa bersalah karena belum sempat melakukan apa-apa. Aku tersenyum sendiri.
“Tidak usah merasa bersalah Nyi, aku sudah biasa melakukan sesuatu sendiri. Ada saatnya aku butuh bantuan Nyi Ratih, mau pun yang lainnya” Ujarku sedikit lembut. Nyi Ratih mengangguk hormat. Aku tahu perempuan di hadapanku ini memiliki kemampuan yang luar biasa. Eyang Putih telah menempahnya menjadi sosok berilmu tinggi. Banyak hal yang telah diubah Eyang Putih padanya. Namun di hadapanku, beliau selalu menahan diri, tidak memperlihatkan kemampuanya.

Aku mengajak Nyi Ratih mengelilingi area istana. Beberapa kali aku bertanya pada Nyi Ratih perihal bagaimana sejarah kerajaan ini bisa hancur. Mengapa Nini Ratu meninggalkannya. Cerita Nyi Ratih kuhubungkan dengan mata batinku. Batinku melihat dulu kerajaan ini ketika masa jayanya, rakyatnya banyak. Namun mereka dari golongan makhluk asral yang senantiasa mengeluarkan aura negatif. Meski di bawah pemerintahan kerajaan, banyak di antara mereka liar dan nakal di luar. Ditambah lagi tidak sedikit padepokan-padepokan yang mengajarkan ilmu-ilmu hitam, lalu meminta bantuan makhluk asral dari tepi laut ini. Benar apa yang disampaikan Eyang Guru, banyak bangsa manusia yang berkedok santri dan Kyai tapi mempraktikkan ilmu perdukunan. Sorban dan gamis hanya alat mengelabui agar orang percaya padanya. Tak sedikit memakai gelar “Gus”. Aku melihat praktik-praktik menyesatkan itu tumbuh subur.

Aku juga melihat dasar akidah sebagian masyarakat semestinya sudah sangat mumpuni. Karena masih banyak pondok dan Kyai yang lurus. Namun praktik-praktik yang mencampuradukan aktivitas animisme memang masih ada yang melakoni. Mereka lebih percaya pada roh, pada jin, pada kekuatan-kekuatan mistis. Percaya pada kekuatan benda-benda. Tanpa mereka sadari, mereka menyembah raja-raja jin yang tersebar di sepanjang pantai dengan memberikan sesajen dan lain sebagainya. Wajar banyak di antara mereka suka memancing keributan dan melakukan segala macam perbuatan maksiat. Karena mereka menjadi budak dan memperbudak bangsa jin. Praktik-praktik sebagian besar jin rakyat Timur Laut Banyuwangi ini tidak diketahui Nini Ratu. Inilah salah satu kehancuran kerajaan. Rakyatnya banyak yang berkhianat meninggalkan kerjaan, hidup enak dengan manusia.

Aku duduk sejenak. Angin membawa aroma bunga dan kemenyan menjadi satu dengan aroma laut. Aroma-aroma itu berasal dari sesajen yang dilakukan oleh para dukun ilmu hitam. Mereka menjadikan wilayah timur ini sebagai tempat berinteraksi dengan makhluk-makhluk asral tersebut. Ada aura Dewi Lanjar yang berdiam di laut utara pulau Jawa. Mereka mengadakan perjanjian pesugihan. Ada Nyi Blorong dari laut bagian selatan. Ada juga aroma Nyi Ratu Kidul. Sungguh bermacam-macam. Kekuatan magisnya pun terasa dasyat sekali.

Aku menakar-nakar berbagai macam kekuatan di sini. Jika mereka kulabrak serentak, maka pasti akan terjadi perang besar-besaran. Mereka pasti makhluk-makhluk yang tidak hanya sakti, namun juga licik. Aku harus melakukan perekrutan rakyat kerajaan dengan halus dan pelan-pelan terlebih dahulu.

Sementara aku biarkan aktivitas makhluk asral yang aktif berinteraksi dengan bangsa manusia di sini. Meski aku tahu tidak sedikit di antara bangsa jin wilayah ini mengetahui dan tidak suka keberadaanku. Namun aku belum melakukan tindakan apa-apa. Aku sudah waspada sejak awal. Biarlah mereka bebas terlebih dahulu. Aku belum punya alasan untuk menarik mereka kecuali rumah mesum tadi.

Nyi Ratih duduk diam, nampaknya beliau menunggu perintahku. Padahal aku bukan tipe seperti yang dia harapkan. Aku juga bingung harus memerintahkan apa padanya. Berkali-kali beliau hendak bicara namun tidak jadi. Termasuk memandangku diam-diam. Aku biarkan situasi itu. Bagaimana pun aku belum membutuhkan tenaga orang lain. Termasuk juga diskusi rencana membangun istana. Aku harus tahu dulu siapa Nini Ratu.

Aku memegang tangan Nyi Ratih, beliau patuh saja. Kulitnya yang lembut dan halus sangat terasa. “Mari kita masuk, Nyi” Ujarku masih menggenggam tangannya.
“Bagaimana kita masuk, Kanjeng. Tempat ini dipagar Nini Ratu. Aku akan berinteraksi dengan beliau terlebih dahulu” Ujar Nyi Ratih. Aku melarangnya. Aku segera membaca doa. Dalam sekejap aku dan Nyi Ratih sudah berada di tengah-tengah runtuhan istana.
“Masya Allah…Kanjeng Ratu hebat sekali. Tanpa merusak pagar gaib, kita bisa berada di sini. Selama ini, hamba yakin banyak makhluk sebangsaku dan bangsa manusia hendak masuk ke mari namun tidak bisa.” Suara Nyi Ratih takjub. Aku tersenyum mendengar pujiannya yang berlebihan. Meski sudah kuingatkan berkali-kali agar jangan menyebut dirinya “hamba’ namun masih saja Nyi Ratih menyebutkan dirinya ‘hamba’. Akhirnya kubiarkan saja. Asal dia senang.
“Nyi, bantu aku dengan zikir sebanyak-banyaknya. Aku akan berinteraksi dengan Nini Ratu” Ujarku setengah berbisik. Ini kulakukan sembari melatih diri agar aku tidak berbicara kencang seperti biasanya.

Aku merasakan hembusan angin lembut namun terasa dingin. Sebelum fokus berinteraksi dengan Nini Ratu aku mencoba menelusuri seluk beluk istana. Istana ini dulu tidak terlalu besar. Namun desainnya unik dan cantik. Beberapa patung dengan wajah seram dulu berdiri di depan pintu gerbang kiri dan kanan. Lalu ada taman dan semacam kolam bermata air jernih di samping pure, tempat mereka melakukan ibadah. Selebihnya aku melihat benda-benda yang terbuat dari suasa, mungkin juga ada sebagian dari emas masih berserakan di tengah runtuhan istana.

Nyi Ratih langsung melakukan perintahku. Beliau berzikir sangat khusuk. Eyang Guru telah berhasil menempah jiwanya menjadi seorang sosok yang soleha. Cahaya emas menari -nari terpancar dari tubuhnya. Aku mengangguk-angguk kagum. Salah satu kebesaran Allah yang diperlihatkan padaku.

Aku kembali duduk timpuh. Aku juga mengawali semuanya dengan doa, syalawat, dan zikir. Aku mulai mencari keberadaan Nini Ratu. Bagaimana sosoknya, di mana beliau tinggal kususuri dengan hati-hati. Semula aku hanya ingin berinteraksi batin saja. Tapi rasanya tidak pantas untuk sua perdana ini aku tidak menampakkan diri. Aku juga ingin beliau memberikan petunjuk padaku sebagai pengemban amanah secara langsung. Apakah benar aku titisannya? Aku perlu tahu. Akhirnya aku mencoba menemui beliau di tempat tapanya.

Aku benar-benar takjub ketika menyisir karang di bibir pantai. Pemandangannya luar biasa indah. Air laut yang gemerlap ketika tertimpa cahaya, lampu-lampu kecil dari kejauhan, membuat alam pantai ini seperri untain mutiara. Selanjutnya aku turun dan naik di batu-batu cadas. Ombak di laut menghembas kencang. Suara gemuruh dan buih yang melambung seperti segerombolan anak dara menari. Pekikkan camar yang sesekali menukik ke laut mengisi keindahan alam. Apakah di antara cadas yang menghadap ke laut lepas inikah tempat Nini Ratu bertapa? Aku membatin.

Aku masih mencoba mencari keberadaan beliau. Akhirnya aku sampai pada gua kecil di sisi karang menghadap ke laut. Instingku mengatakan inilah tempat tapa beliau. Walet putih sesekali memekik terbang lalu kembali ke sarang. Ketika sampai di gua, aku hanya melihat setumpuk pakaian tergeletak di samping tempat duduk. Bau harum kamboja menguap seisi gua yang berukuran kecil. Aku tidak menemukan sosok siapa pun di sini. Akhirnya aku memilih duduk lalu sekilas memberi hormat untuk permisi meski aku tahu di sini tidak ada makhluk lain selain batu dan deru angin. Aku mencoba berinteraksi dengan Nini Ratu.

Baru saja aku hendak berinteraksi, sekilas batinku terkesiap. Aku harus panggil apa dengan Nini Ratu? Apakah aku memanggilnya Nini atau Ratu saja? Atau ada panggilan lain. Aku menyesali mengapa aku tidak bertanya lebih dulu dengan Nyi Ratih?. Tiba-tiba aku merasakan angin kencang berhembus dari belakang. Ombak semakin buncah menghempas karang. Bahkan buihnya memancar hingga membasahi dalam gua. Aku segera sedikit menyingkir. Tak lama di antara ombak yang tinggi muncul seokor naga yang luar biasa besarnya. Ekornya mengibas-ngibas membuat ombak makin tinggi. Sorot matanya yang tajam, dan kumisnya yang selalu bergoyang membuat penampilannya menakutkan.
“Salam Om Swastyastu. Selamat datang di goa petilasan, wahai titisan Nini Ratu. Terimalah sembah hamba. Apakah kanjeng Ratu hendak bertemu paduka Nini Ratu? Tempat ini petilasan Kanjeng Nini. Beliau bertapa di gunung, sudah ratusan tahun lamanya. Aku akan antarkan Kanjeng ke sana” Ujar naga besar itu.
“Maaf, siapakah Eyang Naga?” Tanyaku.
“Hamba Naga, pengawal Nini Ratu, Kanjeng. Hamba bertapa di dasar laut, bawah gua ini. Bertahan-tahun lamanya hamba berdoa pada Sang Widhi agar Kanjeng Ratu datang ke mari, karena hamba juga ingin bertemu dengan kanjeng. Ternyata Hyang Widhi mengabulkan doa hamba” Ujar Eyang Naga. Suaranya yang berat dan cahaya matanya yang panas seperti lampu menyala-nyala. Hawa anyir menguap dari mulut dan tubuhnya sedikit membuat kepalaku pusing. Akhirnya kututup pancainderaku agar bisa nyaman berbicara pada beliau.
“Baiklah Eyang” Jawabku cepat. Aku naik segera ke punggung Eyang Naga sesuai perintahnya tanpa rasa curiga sedikit pun. Tak lama ekornya bergoyang, lalu kakinya bergerak. Dalam sekejap aku seperti diajak terbang.

Aku agak heran ketika tubuh besar Eyang Naga berbelok. Semula kukira beliau akan membawaku ke gunung Ijen. Rupanya di gunung Ijen hanya duplikat Nini Ratu sesekali melakukan tapa. Entah apa maksudnya, hanya beliau yang tahu. Kenyataannya beliau berada di salah satu gua gunung Rante. Gunung yang berseberangan dengan gunung Ijen. Aku menatap ke bawah, terhampar bukit batu yang terjal, hutan kecil, dan savana. Bukit, tanah berudak, dan dataran terlihat seperti lukisan dari atas. Tak lama Sang Naga menampakkan kakinya di bebatuan.
“Kita sudah di depan gua Rante, Kanjeng Ratu. Silakan masuk. Nini Ratu sudah tahu kehadiran kita” Lanjutnya. Tanpa berpikir panjang aku bergerak turun. Pemandangan sekitar gua jelas sedikit berbeda dengan alam di kampungku. Meski sama-sama berhutan tropis. Di kampungku karena curah hujan lebih tinggi membuat hutannya lebih lembab. Sedangkan di sini, hutannya lebih cendrung seperti semak belukar. Tidak ada belantaranya. Udara dan angin yang dingin membuat pucuk-pucuk edelwais berwarna putih mengangguk-angguk.

Sejenak kutatap mulut gua yang terletak di antara batu cadas. Bekas lumut kering membuat batu-batu seperti berkarat berwarna kuning kecoklatan. Namun mulut gua terlihat kecil karena tertutup semak ilalang dan pakis ghesam yang tumbuh liar. Siapa sangka di balik semak belukar itu ada gua. Aku mulai masuk sembari mengucapkan salam dalam hati. Paman Naga mengubah tubuhnya lebih kecil. Baru beberapa langkah aku dihadapanku ada sosok perempuan yang sudah sangat sepuh. Bahkan duduk pun beliau bertopang pada tongkat di genggamannya. Entah berapa ribu tahun usia beliau. Namun melihat kondisinya meski sepuh, beliau masih memiliki kemampuan interaksi yang baik.
“Salam, Nini. Terimalah sembah sujud hamba. Hamba Putri Selasih dari seberang” Ujarku berusaha beradaptasi pada budaya kerajaan.
“Salam, Om Swastyastu” Suara Nini Ratu sedikit bergetar. Tangannya melambai menyuruhku mendekat. Aku beringsut pelan mendekat pada beliau. Setelah dekat, beliau langsung memelukku erat. Dari mata rentanya, bergulir air mata.
“Akhirnya kau datang, Cucuku setelah ratusan tahun lamanya, aku bertapa menunggu kehadiranmu. Hyang Widhi mengabulkan doa-doaku” Nini Ratu masih menangis dengan suara gemetar. Aku bisa merasakan keharuan batin beliau luar biasa. Tak lama beliau merenggangkan pelukan dan ciumannya. Selanjutnya entah mengucapkan apa beliau seperti sedang membaca mantra. Lalu suara canang menggema di ruangan gua. Aku hanya diam memperhatikan bahasa tubuh Nini Ratu. Belum ada tanda-tanda akan melepaskan pelukannya. Akhirnya aku tetap bertahan di pelukannya. Rupanya beliau memanjatkan doa dan mengucapkan terimakasih pada para dewa yang telah mengabulkan doa sekaligus mendoakan keselamatanku.

“Aku sudah tahu jika kau akan datang, Cucuku. Untuk itulah Nini telah bersiap-siap menunggumu. Sebelum kau kembali ke kerajaan kita, Nini akan serahkan ini padamu. Ambillah. Tongkat kecil ini peganglah” Nini Ratu menyerahkan sebuah tongkat kecil, berkepala ular naga. Tongkat berukuran kurang lebih empat pupu centi meter ini terlihat sangat mewah karena berbalur emas. Aku melihat mata naga menyala. Ini bukan tongkat biasa. Instingku mengatakan tongkat ini bisa berubah menjadi ular naga sakti. Tanganku bergetar ketika menerimanya. Aku mencoba mengendalikannya, lalu menyinkronkannya dengan batinku. Tak lama, terasa tenang dan nyaman.

‘Tongkat ini adalah lambang kerajaan kita, Cu. Rakyat kerajaan kita semuanya bangsa jin dari berbagai macam jenis dan golongan. Mereka pasti akan kembali tunduk jika melihat tongkat yang kau pegang ini. Nini percaya padamu. Dirikanlah kembali kerajaan kita yang telah hancur. Jika kerajaan kita sudah berdiri, maka Nini ingin segera menuju nirwana. Tempat yang damai, meninggalkan dunia yang fana ini dengan tenang” Ucap Nini Ratu seakan sengaja tidak memberikan kesempatan padaku untuk bertanya siapa dirinya dan apa hubungannya denganku.

“Jadilah pemimpin yang bijak, Cucuku. Aku tahu, kau tidak sepenuhnya bisa selalu berada di kerajaan, namun Nini yakin, kau pasti bisa mengatur semuanya dengan baik” Ujar Nini Ratu. Kali ini beliau mengambil sebuah bungkusan dari kain berwarna merah dan kuning yang diikat dari ujung ke ujung.
“Ini pakaian kebesaran kerajaan untuk kau kenakan, Cucuku” Ujar Nini lagi. Aku menerimanya dengan dua tangan terbuka. Aku letakkan di pangkuanku, lalu membuka bungkusan yang berwarna merah. Ternyata isinya gaun adat lengkap dengan aksesorisnya. Lalu aku membuka bungkusan yang berwarna kuning, ternyata di sana terdapat mahkota, kalung, gelang tangan dan kaki, serta peding emas berkepala naga. Ada juga tusuk konde emas, lalu seperti selempang, pun terbuat dari emas. Aku terbelalak dibuatnya. Dua bungkusan itu kurapikan kembali. Aku kembali sujud mengucapkan terimakasih. Aku merasakan beliau sedikit terburu-buru memberikan benda-benda pusaka itu padaku. Sayang aku tidak bisa membaca situasi itu lebih dalam.

Terakhir beliau meraih tanganku, lalu meletakkan ke telapak tangannya. Aku disuruh beliau menutup mata. Pelan-pelan kurasakan ada sesuatu yang beliau salurkan sehingga tanganku yang semula biasa saja, sekarang bergetar dan hangat. Hal itu terasa cukup lama. Alam yang semula berwarna sedikit remang tiba-tiba terang benderang. Ada kekuatan terpancar hingga menembus cadas. Beliau menyalurkan kekuatannya padaku.

Aku konsentrasi dan pasrah. Ilmu Nini Ratu seperti desir angin menyusup lewat telapak tangan, seperti lapisan kulit bersusun memenuhi ruang jasadku. Tiba -tiba ada beberapa yang beliau salurkan menolak masuk ke dalam tubuhku. Bahkan mental ke sana kemari. Aku segera menyambarnya. Langit berubah menjadi hitam dan gelap, sesekali seperti cahaya menyambar-nyambar. Fenomena ini kerap terjadi jika seseorang membuang ilmunya, atau memutuskan segala hal gaib pada dirinya. Tapi ini padaku. Aku sedikit heran. Akhirnya kuhimpun energi yang menolak itu ke dalam lengan. Hanya sebatas itu. Energi itu kusimpan lebih dulu. Aku tidak ingin melihatnya terbang liar ke mana-mana. Tubuh Nini Ratu semakin lama semakin bergetar hebat. Aku balik mencoba menyalurkan energi positif padanya. Setelah selesai kulihat Nini Ratu semakin lemas. Aku segera bergerak membantunya memulihkan tenanganya kembali.
“Terimakasih, Cucuku. Semua milikku sudah kuserahkan padamu. Gunakanlah sebaik mungkin. Kerajaan Timur Laut Banyuwangi akan kembali hidup di tanganmu.” Ujar Nini dengan suara makin kecil. Nafasnya sedikit terengah. Eyang Naga kulihat menutup mata. Mungkin beliau sedang semedi.

Tak lama aku melihat Nini Ratu mengangkat tangannya ke atas kepala dengan telapak tangan mengatup. Kembali beliau berkata-kata seperti membaca mantra. Lalu pelan-pelan telapak tangannya bergoyang-goyang di atas kepalaku. Selanjutnya ada semacam air beliau percikkan ke tubuhku. Aku tidak paham apa yang beliau lakukan. Mungkin itu rangkaian ritual keagamaan Nini Ratu, aku juga tidak tahu.

Langit dan bumi terasa kembali hening. Suara gemuruh yang semula memekakkan hilang sama sekali. Ruang goa semula merah sekarang normal kembali.
“Ampun Nini, ada beberapa yang Nini Ratu transfer ditolak oleh tubuhku. Apakah itu Nini? Energi itu masih kusimpan di lenganku, Nini. Dia tidak bisa menyatu dengan tubuhku” Ujarku penuh kelembutan.
“Iya, aku tahu. Kepercayaan yang kau miliki, kesucian batinmu memang menolaknya, Cu. Itu adalah ilmu sihir andalan kerajaan kita, yang banyak diminati oleh jin-jin lain dan bangsa manusia.” Ujar beliau kembali. Aku bingung harus aku apakan ini. Jelas batinku menolak ilmu hitam warisan beliau. Ilmu itu tidak akan bisa menyatu dalam tubuhku. Ilmu-ilmu sihir ini biasa dimanfaatkan oleh tukang teluh, santet, dan lain sebagainya. Demi menghormati beliau, warisan yang beliau miliki itu akan kusimpan untuk sementara. Aku khawatir ada makhluk lain yang menyambarnya lalu digunakan untuk menyakiti sesama makhluk hidup di muka bumi ini.

“Mohon maaf Nini Ratu, ilmu warisan leluhur ini tidak semuanya bisa hamba terima. Hamba mohon izin ilmu itu hamba simpan saja, tidak hamba musnakan, atau hamba gunakan. Sebab, hamba takut jika ilmu ini disalahgunakan oleh makhluk hidup di muka bumi ini, justru akan berakibat bencana” Ujarku sedikit ragu. Aku takut jika yang kusampaikan tidak beliau terima. Ternyata beliau tersenyum manis sekali.
“Semuanya kuserahkan padamu, Cu. Lakukanlah yang menurutmu paling baik dan terbaik untuk kerajaan kita” Lanjut beliau.
“Satu lagi, Nini Ratu. Hamba memiliki keyakinan berbeda dengan Nini dan rakyat kerajaan. Apakah ini tidak akan menjadi penghambat?” Ujarku terus terang. Lagi-lagi aku melihat senyum Nini Ratu mekar. Beliau menggeleng-ngegelengkan kepala.
“Sepenuhnya kuserahkan padamu, Cu. Meski kau dan aku berbeda keyakinan, demikian rakyat kerajaan, aku yakin tidak akan menghambat selagi kau bisa mengayomi rakyatmu yang berbeda itu. Aku dulu pernah jatuh cinta pada bangsamu, Cu. Bangsa manusia. Beliau seorang Habib. Tapi karena alam yang berbeda, sulit untuk bisa bersatu. Nini sangat mencintainya hingga kini” Suara Nini Ratu sedikit tersendat. Aku jadi ikut tercekat. Beliau memiliki kisah cinta juga rupanya. Aku merasakan jika beliau menyimpan rasa cinta itu hingga kini. Sedetik aku merasakan keperihan batin Nini Ratu.
“Cinta memang tidak mesti memiliki” Ujarnya sedikit berfilsafat. Aku memaklumi pernyataan beliau. Meski usia beliau sudah ribuan tahun, namun tetap sinkron dengan kehidupan masa kini. dalam hati aku pun berucap, aku juga punya rasa cinta yang dalam pada cinta pertamaku hingga kini. Pada Guntoro. Hanya saja yang kucintai sebangsa denganku, manusia. Sedangkan Nini Ratu, beliau makhluk asral namun menyintai banga manusia. Sekilas kami sama-sama hanyut dengan perasaan masing-masing. Perasaan cinta, ternyata memiliki ruang tersendiri di dalam dada siapa pun. Luar biasa.

“Kita tengah berbicara masa depan kerajaan, mengapa berbelok ke cerita masalah cinta? Menyintai seseorang hanya membuat perasaan kita didorong keinginan untuk saling memiliki. Nafsu yang ada. Ketika kita tak mampu menggapainya maka akan luka. Perasaan luka inilah salah satu yang membuat Nini mengasingkan diri jauh dari keramaian, Cu. Nini ingin menyucikan diri dari segala hal berbau duniawi” Nini Ratu menarik nafas panjang. Sejenak aku menatap beliau dalam-dalam. Andai bisa, ingin aku menghapus rasa luka yang pernah menggores batinnya.
“Cucuku, pulanglah segera. Tugasmu sangat berat. Tapi Nini merasakan, banyak sekali yang akan membantumu. Empat penjuru angin akan berpusar, semuanya berporos padamu. Tidak salah Sang Widhi memilihmu sebagai titisanku. Ratu Laut Timur Banyuwangi” Nini Ratu dengan suara sedikit berapi. Aku merasakan bara semangat di tuturnya. Beliau perempuan hebat menurutku. Pada akhir hidupnya, lebih memilih mendekatkan diri pada Sang Widhi sesuai keyakinannya.

Aku mengumpulkan pemberian Nini Ratu. Tongkat lambang kekuasaan kerajaan kusimpan segera di betis. Seketika ke luar cahaya lembut sepanjang tongkat itu. Aku mengusapnya segera agar tidak mencolok. Melihat apa yang kulakukan Nini Ratu dan Eyang Naga mengangguk-angguk.
“Kau cerdas Cucuku. Segala kemungkinan ternyata sudah terbaca olehmu” Nini Ratu tersenyum. Selanjutnya mahkota, busana dan aksesoris sebagai ciri seorang ratu, kusimpan juga ke telapak tangan. Ketika semuanya beres, aku kembali duduk timpuh memberikan sujud mohon diri pada Nini Ratu. Beliau kembali meraih tubuhku, lalu memeluk dan menciumku.

Aku memutar badan agak ke samping. Ada Eyang Naga di sana. Aku pun memberi hormat pada beliau sebelum pamit untuk kembali ke Laut Timur Banyuwangi. Aku menolak permintaan Eyang Naga untuk naik ke punggungnya guna mengantarku.
“Eyang, maafkan saya, terimakasih Eyang telah membantu saya. Jika Eyang hendak bersamaku, mari Eyang kita berjalan bergandengan” Ujarku setelah mendengar beliau hendak membawaku agar kembali menunggang padanya.
“Naga, biarlah Putri Selasih, Cucuku melakukan tugas sesuai dengan rencananya. Kita awasi saja dulu dari sini. Suatu saat kita kunjungi istana kita” Kata Nini Ratu. Eyang Naga mengangguk setuju. Akhirnya aku mundur pelan-pelan menuju pintu gua. Aku mendekap telapak tanganku memohon diri.
“Salam Nini Ratu, Eyang Naga” Sejenak aku berdiri di pintu gua. Aku berbalik badan. Kembali menikmati pemandangan indah di hadapanku. Gundukan-gundukan yang membentuk bukit dan anak gunung kecil berlekuk-lekuk membuatku rindu gunung Dempu.
Oh! Tahukah Nenek Kam jika aku berada di tanah asing, tanah yang siap menguras energi? Kembali ke tanah seribu ilmu, konon tanah leluhurku? Membangun kembali kerajaan gaib di Laut Timur Banyuwangi. Menjadi seorang Ratu!

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *