Politisi Hijau UNI Eropa Tidak Peduli Nasib Petani Sawit
Nasib petani sawit Indonesia tidak menjadi perhatian politisi hijau dengan adanya kebijakan pembatasan masuk produk sawit Indonesia ke pasar Uni Eropa sejak 2019.
Hal ini terlihat dari nihilnya respon anggota Parlemen Eropa pada diskusi virtual bertajuk “Expanding Labour Migration to Europe: A Multi-stakeholder Vision” pada 17 Februari 2021 saat wakil dari GAPKI dan KBRI Berlin mengajukan pertanyaan apakah Uni Eropa bisa memfasilitasi penyerapan lebih dari 10 juta pekerja sektor sawit Indonesia untuk bekerja di sektor pertanian Uni Eropa karena mereka berpotensi kehilangan pekerjaan akibat kebijakan pembatasan produk sawit Indonesia di pasar Eropa.
Latar belakang penyelenggaraan diskusi ini adalah proposal New Pact on Migration and Asylum dari Komisi Eropa pada September 2020 yang berisi ide perombakan kebijakan penanganan migran di Uni Eropa, termasuk cara meningkatkan jumlah pekerja migran dari negara non-UE dengan menciptakan jalur migrasi yang sah.
Damian Boeselager adalah anggota Parlemen Eropa dari Jerman dan penggerak Green/European Free Aliance (EFA), yaitu sebuah inisiatif yang berfokus pada isu-isu kesejahteraan sosial dan lingkungan hidup di Parlemen Eropa. Ia hadir sebagai salah satu narasumber di diskusi ini namun tidak dapat, atau tidak ingin, memberikan jawaban atas pertanyaaan dari GAPKI dan KBRI Berlin.
Di sesi diskusi pleno, wakil KBRI Berlin kembali menyatakan bahwa akan menjadi sebuah win-win solution bagi Uni Eropa dan Indonesia jika Uni Eropa bersedia menyerap lebih dari 10 juta pekerja sawit Indonesia kedalam sektor pertaniannya, karena akan mengatasi masalah keberadaan produk sawit Indonesia di pasar Eropa yang selama ini ditentang Uni Eropa dan di lain pihak juga akan membantu Indonesia dalam hal penyerapan tenaga kerja.
Sayangnya Damian Boeselager maupun narasumber lain yang terdiri dari para politisi, pakar dan penggiat isu sosial dan migrasi tersebut tidak merespon pertanyaan ini. Hal ini jelas menunjukkan politisi hijau Uni Eropa tidak menunjukkan kepedulian atas dampak sosial dan ekonomi bagi para pekerja sektor sawit yang akan timbul sebagai akibat penerapan kebijakan pembatasan masuk produk sawit Indonesia ke pasar Eropa.
Kebijakan tersebut bersifat one-sided dan tidak komprehensif mempertimbangkan segala aspek dan dampak lanjutannya.Para narasumber dan peserta diskusi lebih tertarik membahas isu normatif kewenangan UE dan negara anggota dalam hal pekerja migran, kepentingan politik populis anti imigran di beberapa negara anggota UE, dan perlindungan HAM bagi migran dan pencari suaka.
Uniknya, jawaban atas pertanyaan GAPKI dan KBRI Berlin mungkin bisa didapat dari moderator diskusi, Shada Islam, yang menyampaikan pendapat belum matangnya kebijakan penanganan migran di Uni Eropa.
“Kita tidak bisa mencapai titik temu penyusunan kebijakan terkait migran dan pencari suaka. Parlemen Eropa harus lebih progresif dalam menentukan langkah terkait isu ini. Pendekatan kepada negara anggota dan sektor swasta dapat menjadi pilihan agar kebijakan tepat sasaran,” ungkap Shada Islam.
Diskusi virtual ini diselenggarakan oleh sejumlah lembaga konsultan kebijakan publik dan think tank Eropa yaitu Ashoka Germany, Overseas Development Institute, porCausa dan Center for Global Development. Diskusi ini dihadiri oleh sekitar 120 peserta dari sejumlah negara anggota Uni Eropa.
Sejak akhir 2019 Indonesia dan Uni Eropa bersengketa di WTO terkait kebijakan penolakan Uni Eropa atas masuknya produk biodiesel asal minyak sawit ke pasar Eropa. Indonesia melakukan perlawanan dengan memberlakukan kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang sangat diperlukan oleh industri-industri baja di UE. Namun Indonesia tidak sendirian dalam perseteruannya dengan UE. Tercatat beberapa negara produsen sawit seperti Kolombia, Kosta Rika, Guatemala, Malaysia dan Thailand ikut bergabung dalam konsultasi dengan WTO.