HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (93B)

Karya RD. Kedum

Hiiiiat!!
Alif bangkit dan berdiri memasang kuda-kuda. Aku tersenyum melihatnya sudah bugar kembali. Melihat gerakkannya sudah mantab, Alif terlihat siap untuk berlatih
“Ayo, ajari aku berkelahi, Kanjeng” Teriaknya. Mendengar kata ajari aku berkelahi, tentu saja aku tertawa.
“Memangnya hidup ini untuk berkelahi?” Ujarku lagi.
“Tapi kata Kanjeng aku harus biasa ilmu bela diri. Sekarang aku sudah bisa kuntau, mari sambil ajarkan aku bagaimana caranya menggunakan kemampuan ini” Ujarnya lagi.

Melihat keseriusannya, akhirnya aku menetralisir sekitar kami terlebih dahulu agar tidak terjadi gesekan pada yang lain. Kupagari area latiha agak luas. Alif masih memasang kuda-kuda dan siap menyerang dan siap juga diserang.
“Pusatkan dulu pikiranmu untuk mengoptimalkan kekuatan, Bang. Jika menghadapi lawan gunakan kekuatan tenaga dalam. Sekarang, silakan serang aku. Jangan ragu-ragu” Ujarku menyuruhnya menyerangku dengan tangan kosong. Alif menatapku serius. Nampaknya pemuda satu ini benar-benar ingin mengetahui bagaimana cara mengkombinasikan ilmu yang dimilikinya dengan kutau ya g baru dia dapatkan.

Tidak lama, Alif mulai mengumpulkan tenaga dalamnya. Kulihat ekspresi keseriusannya membuat wajahnya sedikit menegang. Bahkan merah tembaga. Aku menuntunnya untuk mengoptimalkan kekuatan. Kulihat tangannya sudah mengepal dan bergetar. Tubuhnya pun ikut bergetar. Kuminta dia menyerangku dengan kekuatan itu.
DuuaaRR!
Kekuatan Alif dan kekuatanku beradu. Hasilnya Alif terpental kembali. Padahal aku tidak maksimal mengeluarkan tenaga. Aku hanya menghadangnya saja. Bukan menyerangnya.

Sebelum tubuh Alif menyentuh tanah, tiba-tiba ada sosok yang menyambarnya. Aku kaget, padahal wilayah kami berlatih sudah kunetralisir. Bagaimana aku bisa kecolongan? Aku melesat mendekati sosok yang seperti kilat menyambar tubuh Alif. Untung aku tidak melakukan serangan. Ternyata Eyang Kuda yang menyambar tubuhnya lalu membantunya berdiri kembali.
“Eyang!” Teriakku kaget.
“Kok Eyang bisa masuk? Wilayah ini sudah kunetralisir” Ujarku bingung.
“Aku sudah dari tadi mengikuti dan mengawasi kalian. Eyang bersembunyi dekat batu itu. Kamu saja yang tidak melihat Eyang waktu menetralisir tempat ini” Ujarnya menunjuk tanah yang mengeras sehingga mirip batu.
Aku tidak menyangka orang tua ini mengawasi dan mengikuti perjalanan kami malam ini. Melihat senyumnya mekar dan menatap Alif, pahamlah aku. Nampaknya Eyang bersimpati pada anak soleh satu ini. Dugaanku tidak salah. Beliau menepuk pundak Alif, lalu bertanya apakah siap menjadi muridnya? Tentu saja Alif menyambut gembira. Dia menjatuhkan diri sujud pada Eyang Kuda.
“Mulai sekarang, kau menjadi muridku dan akan kugembleng!” Lanjut Eyang Kuda cepat. Kembali Alif sujud memberi hormat.
“Aku gimana, Eyang? Kok dari dulu tidak diangkat jadi muridmu?” Aku pura-pura protes. Eyang Kuda tertawa renyah.
“Mengapa aku menjadikan Alif muridku?, karena itu lebih pantas daripada jadi muridmu. Meski ilmumu lebih tinggi mengalahkan ilmuku. Tapi aku menang tua. Kamu anak ingusan baru kemarin lahir. Masak anak kecil udah mau dipanggil suhu? Tahu dirilah” Ujar Eyang Kuda lagi. Mendengar kata-katanya aku tertawa terpingkal-pingkal. Baru kali ini aku mendengar candaan sekaligus sikap tegas Eyang Kuda. Setelah kupikir memang benar, akan ada rasa canggung kami berdua jika saling mengisi.

Akhirnya, aku menyerah sekaligus bahagia, karena Alif mendapatkan guru yang tepat. Aku yakin Eyang Kuda serius hendak mengangkat Alif menjadi muridnya. Hal yang ratusan tahun tidak dilakukannya. Pengetahuan dan kekuatan beliau pernah diberikannya padaku. Tapi itu hanya beberapa ketika beliau menganggap penting dan berguna untuk mendampingiku. Secara tersirat beliau sebenarnya adalah guruku. Hanya saja kami dibatasi seperti Cucu dan Eyang. Beliau menyayangiku, tulus sejak berjumpa dulu.

Kami duduk melingkar bertiga. Pasir pantai terasa lembab. Eyang Kuda lurus berhadapan pada Alif. Nampaknya Eyang sangat serius ingin menurunkan kemampuannya pada Alief.
“Hal yang tidak boleh kau lakukan adalah, berbuat zina dan musyrik, lalu tidak pamer dengan keilmuanmu. Tetap rendah hati dan perbanyak ibadah. Semakin banyak kau ibadah, maka semakin berilmulah kamu. Maka semakin sempurnalah kemampuan yang kau punya. Namun sebelumnya, kau harus amalkan zikir untuk menyinkronkan jiwamu pada apa yang akan aku berikan. Sekaligus melatih diri untuk selalu dekat pada Sang Maha hidup” Ujar Eyang Kuda mengarahkan.

Alif anak yang cerdas. Semua arahan Eyang kuda mudah dia terima dan tangkap. Apalagi dasar-dasar keilmuan dan kekuatan batin sudah Alif miliki. Kukira dia tidak akan lama mempelajari. Kecuali ada hal khusus yang harus dilaksanakan. Ini pasti memakan waktu lama. Aku melihat ada energi yang ke luar dari tubuh ke duanya seperti cahaya lembut memukau. Sesekali aku membantu membulatkan energi mereka berdua kala menyebar dan melebar.

Alif sangat tekun mengikuti petunjuk Eyang Kuda. Perbatasan pantai Jakat dan Tapak Padri ini menjadi wadah latihan sejenak antara Eyang Kuda dan Alif. Di tempat ini aku dan kawan-kawanku sering latihan teater. Berteriak-teriak, latihan vokal, penafasan, blocking, gestur dan sebagainya. Suasananya yang tenang, sepi, memang sangat pas untuk melakukan latihan. Apalagi bagian mirip ceruk ini berombak tenang.

Tidak jauh dari tempat kami bertiga, di atas bukit yang terletak di belakang kami ada pemakaman masyarakat yang sudah tua. Batu-batu nisan yang menonjol di tanah keras, berdiri kokoh meski ada yang posisinya tidak lurus lagi. Banyak sekali makhluk astral yang menatap kami dari jauh. Mereka seperti menonton teater arena saja. Aku hanya menatap mereka sambil mengawasi bahaya atau tidak. Ternyata hingga sekarang mereka benar-benar seperti penonton. Kulambaikan tangan menyapa mereka. Sebagian mereka nyengir namun justru ketika mereka ‘nyengir’ semakin menyeramkan. Akhirnya aku memalingkan wajah ke tempat lain.

Aku memperhatikan bagaimana Eyang Kuda menggembleng Alif. Penggemblengan awal sepertinya Eyang menyelaraskan energi antar mereka. Mereka tengah membuat semacam jembatan yang dapat menghubungkan keduanya kapan saja. Bersyukur Alif anak yang cerdas, nampaknya dia tidak mendapatkan kesulitan berarti menerima berbagai petunjuk dan masukan. Aku melihat kecocokan keduanya. Beruntung sekali dia menjadi murid Eyang Kuda tanpa diminta. Yang pertama nampaknya Alif diminta mengamalkan zikir tertentu yang harus dulakoninya setiap malam. Lalu disuruh perbanyak solat malam, solat tobat, solat hajat dan masih banyak lagi menjadi tugas Alif yang harus diamalkannya siang malam. Termasuk juga sadakoh dalam bentuk apa pun.

Setelah menunggu cukup lama, Eyang Kuda menoleh padaku.
“Bagaimana, Nduk? Apakah kamu ingin seperti Alif? Kalau mau, sini” Eyang Kuda bercanda. Aku hanya menyambutnya dengan derai tawa.
“Dirimu sudah lebih dari cukup. Tidak usah mencari guru lagi. Sudah terlalu banyak” Lanjut Eyang Kuda lagi. Lagi-lagi aku tertawa. Alif menatapku ingin bertanya siapa saja guruku? Kujawab guru yang paling utama adalah Sang Pencipta alam semesta. Selebihnya adalah orang-orang yang selalu mengajakku untuk berbuat kebaikan agar hidup ini berarti. Yang selalu menjaga dan mengingatkan aku jika aku salah, orang-orang yang menyayangi dan percaya padaku untuk menjalankan amanah. Siapa pun itu, tidak terbatas. Merekalah guru-guruku yang ikhlas. Eyang Kuda mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil mendengar penjelasnnya.
“Kalau kau ingin belajar tentang hidup, dan perpetualangan dunia nyata dan dunia gaib, bergurulah dengan Putri Selasih, Alif” Lagi-lagi Eyang Kuda bercanda membuat aku sedikit tersipu. Candaan Eyang Kuda kali ini agak berlebihan. Seolah-olah aku hebat sekali. Padahal usiaku baru seumur jagung. Tanpa sosok-sosok yang menjaga dan menyayangiku, termasuk dirinya, mustahil aku seperti ini.

Usai berbincang-bincang, Eyang Kuda mohon diri. Tak lupa beliau meminta Alif menemuinya di masjid Jamik setiap bakda salat isya. Jika menemui beliau dilarang berdua atau ditemani.
“Lanjutkan pelajaranmu dengan Putri Selisih, Alif. Kau akan dapatkan banyak hal jika berjalan padanya. Dan itu baik untukmu. Eyang saya tunggu dirimu setiap bakda isya” Ujar Eyang Kuda.
Belum sempat aku bersamamu dan Alif mengucapkan terimakasih pada Eyang gurunya, Eyang Kuda Sudah lenyap di hadapan kami. Nampak sekali wajah Alif takjub dengan peristiwa yang dialaminya barusan. Dia sungguh tidak menduga secepat itu mendapatkan guru soleh dan sehebat Eyang Kuda. Selanjutnya Alif banyak bertanya tentang siapa Eyang Kuda sebenarnya padaku. Bagaimana aku bisa kenal beliau? Lalu mengapa beliau ada di tanah Rafflesia ini. Setelah kuceritakan selintas, Alif makin takjub. Sungguh dia tidak menyangka akan menjadi pewaris ilmu ya g dimiliki pendamping pahlawan Nasional Pangeran Sentot Ali Basya. Mendengar ceritaku, hatinya semakin mantap untuk mengikuti petunjuk guru barunya itu.

Aku dan Alif kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini dari Tapak Paderi, terus meniti pantai arah Kampung Cina. Di sini kami mendengar suara camar riuh dari bangunan-bangunan tua sisa Belanda. Burung-burung camar itu bersarang di bangunan-bangunan tua yang dibiarkan seperti akan roboh. Menjadi salah satu usaha warga keturunan Tiong Hwa. Dari parit kecil sisi jalan, beberapa biawak ke luar mencari mangsa. Aroma anyir ikan yang berasal dari kapal-kapal nelayan menyeruak terbawa agin laut yang semilir.

Air laut pada bagian ini cukup dalam. Kapan-kapal nelayan yang ditambatkan nampak mengapung agak tengah. Karena posisi bagian pantai ini agak menikung, ombaknya tidak terlalu tinggi. Hanya anginnya saja kadang terasa kencang.

Rumah-rumah sederhana beratap serdang berdiri persis di bibir pantai. Hamparan ikan laut digerai di atas bidai bambu besar dan kecil. Salah satu usaha masyarakat lokal membuat ikan asin. Aroma ikan asin inilah kerap kali berhembus ke arah kota meski masih terlihat sepi.

Sampai di pantai Nala, kami berdua berhenti sejenak. Di dekat tebing, tidak jauh dari perkampungan gaib Putri Gading Cempaka, ada sebatang pohon asam tua tinggi sekali. Di bawah pohon asam itu ada sumber mata air. Di sana ada kerajaan gaib yang indah. Di alam nyata tempat ini berupa bukit kecil menghadapi ke laut, berawa yang ditumbuhi semak belukar. Jika bergeser sedikit ke Selatan maka kita akan melihat desain tiang, pintu gerbang istana Putri Gading Cempaka seperti bangunan , gabungan Palembang, Sumbar, dan Eropa. Khas dan kental sekali nuansa melayu islaminya. Ukiran-ukiran tiang, bawah atap, pintu, jendela, dinding beranda, tentu semuanya ada filosofinya.

Bagiku yang menarik bukan istana itu. Tapi yang menarik adalah sepasang rajawali laut yang bertengger di atas pohon asam tua itu. Di alam nyata pohon itu tidak saja terlihat subur. Namun tidak ada satupun yang sanggup menebangnya sejak dulu. Sesekali sepasang Rajawali laut yang berbeda warna itu menampakkan diri di alam nyata. Jika dia menampakkan diri dan terlihat nyata oleh manusia, dan manusia tidak kuat, maka manusia itu akan sakit.
“Siapa sosok Rajawali itu, Kanjeng. Apa mereka ada tugas, atau pemilik istana itu?” Tanya Alif setelah mendengar ceritaku. Kujelaskan, jika makhluk itu penjaga tanah dan lautan Rafflesia ini. Dia adalah penjaga perkasa sesuai dengan namanya Rajawali.

“Bang Alif mau kenalan dengan mereka?” Tanyaku. Alif menolak. Alasannya dia belum siap menerima keadaan. Batinnya masih kaget-kaget, antara percaya dan tidak terhadap apa yang dialaminya sekarang. Apalagi ketika melihat berderet rumah adat menghadap ke pantai. Alif makin heran. Rupanya efeks tidak pernah berani berjalan jauh-jauh, sendiei, apalagi tanpa pengawasan gurunya. Membuat Alif seperti anak ayam baru ke luar dari kandang. Rasa takut, berani dan ragu-ragu menjadi satu.

Pengakuan Alif, ketika dia menemuiku di alam gaib, kerab diawasi gurunya dari jauh. Kecuali malam ini, dia nekat ingin pergi meski dilarang. Perjalanan ke Timur Laut Banyuwangi tempo hari jika tidak bersamaku mustahil dia diizinkan. Kecuali kalau didampingi gurunya.
“Kalau begitu ceritanya, mari ikut aku” Ajakku. Alif kuajak ke taman pemandian Putri Gading Cempaka. Lalu kami berjalan di jembatan yang dialiri air bening sekali. Beberapa sosok ada yang mandi, ada yang membersihkan taman, ada juga yang melintas di jalan-jalan kecil menuju rumah-rumah panggung yang menghadap ke pantai.

Sebelum masuk ke wilayah perkampungan itu, aku sudah kontak batin dengan Mak Uncu Leha, salah satu pendamping Putri Gading Cempaka. Selintas kujelaskan pada Alif siapa Gading Cempaka. Selama ini Alif hanya tahu nama putri itu di legenda-legenda yang tersebar di masyarakat asli Bengkulu. Setelah melihat bagian belakang istananya saja sangat indah, baru dia berdecak kagum. Alif baru tahu jika Putri Gading Cempaka pernah hidup sebagaimana manusia biasa pada zamannya.
“Yaa Allah…pai kemano ajo anak gadis koh, lah lamo nian dak tetengok. Ambo kiro lah lupo kek Mak Uncu” Dari tangga kayu Mak Uncu Leha buru-buru turun sambil menjijing kain. Perempuan separuh baya ini nampak sangat riang menyebutku anak gadis. Beliau mengatakan sudah lama sekali tidak bertemu. Dia kira aku lupa padanya. Setelah dekat Mak Uncu Leha langsung memelukku erat sekali. Setelah puas baru beliau menoleh pada Alif.
“Siapo namo anak bujang koh? Calon kau?” Mata Mak Uncu Leha menatap Alif penuh selidik. Aku dan Alif hanya tertawa melihat kekocakkannya. Akhirnya kami ngobrol ngalur ngidul duduk di jenjang tangga.

Perempuan sepuh ini masih terlihat cantik. Aroma wangi pandan menyebar ke mana-mana. Beliau memang sangat rajin berbedak beras. Bedak yang dibuatnya sendiri, terbuat dari tepung beras, lalu ditambahkannya irisan halus daun pandan. Setiap hari beliau pakai bedak itu. Alasannya bedak beras tidak saja menghaluskan namun juga mengencangkan kulitnya. Hasilnya memang terlihat, meski Mak Uncu Leha sudah sepuh namun masih terlihat cantik.

Ketika Mak Uncu Leha bercerita akan pergi ke hajatan salah satu kerabatnya, Alif memandang heran.
“Bagaimana bentuk hajatan di alam ini, Mak Uncu? Apakah sama dengan di alam manusia?” Tanya Alif. Mak Uncu, menjelaskan benguk hajatan tidak jauh berbeda, yang berbeda hanya bentuk makanannya saja. Jika di hajatan di beberapa dusun tetap sama seperti di alam manusia. Karena dulu beberapa dusun itu memang di alam nyata. Bahkan sebagian kerabat mereka masih ada di alam nyata. Sebagian makan kembang dan lain-lain” Lanjut Mak Uncu Leha lagi.

Lagi-lagi Alif heran. Beliau baru tahu jika di Bengkulu ada kampung yang gaib. Akhirnya aku juga ikut menjelaskan, beberapa kampung yang hilang atau gaib itu sebagian besar memiliki kekerabatan dengan Datuk Ratu Agung, orang tua Putri Gading Cempaka. Lama mata Alief menatapku dan Mak Uncu Leha. Di benaknya muncul rasa tidak percaya dan kembali takjub luar biasa. Dia tidak menyangka jika aku banyak tahu hal ini.
“Kalau begitu, izinkan aku selalu ikut Kanjeng, ajari aku belajar mengenal semesta ini, Kanjeng. Ternyata banyak sekali keajaiban-keajaiban yang sulit diterima oleh akal manusia. Masya Allah” Ujarnya kembali membuat aku tersenyum mendengarnya.

Dari tempat Mak Uncu Leha, aku dan Alif kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini kami sudah di pantai panjang. Dari kejauhan mercucuar pulau Baii terlihat sangat dekat dan rendah. Padahal entah berapa mill untuk sampai ke sana. Aku mengajak Alif berjalan sampai ke ujung pantai pasir putih. Tempat yang paling sepi jika di alam nyata.
Sebenarnya aku ingin mengajaknya untuk sekadar melihat tempatku pertama kali bergabung dengan Ratu Samban Hiking Club. Tempat pertama kali aku dannkawanku digembleng sebelum bergabung dengan organisasi Pencipta Alam satu-satunya yang ada di Bengkulu. Waktu itu aku bersua dengan Ratu Buaya Putih, sekelompok pocong, makhluk astral berbentuk ular dan lain sebagainya. Aku jadi senyum sendiri ketika ingat bagaimana senior menghukumku berendam sampai leher di muara, disuruh mencari kayu bakar tengah malam buta sendiri. Akhirnya kukerjai mereka, kayu bakar yang dipegangnya kuubah menjadi ular.

Baru saja aku dan Alif hendak melangkah menuju ujung pantai, tiba-tiba kuurungkan. Aku melihat awan tebal dari arah Selatan. Awan hitam itu bergumpal seperti gerakan kuda yang berjalan cepat. Sepertinya ada pasukan kerajaan hendak lewat. Hal ini terlihat dari pakaian yang mereka kenakan.Aku mengajak Alif untuk menyingkir. Kulihat makhluk lain banyak juga yang menyingkir, sengaja memberikan ruang untuk pasukan itu lewat. Alif menggeser tempat berdiri. Dia memilih berdiri paling depan agar bisa memperhatikan pasukan yang lewat lebih dekat.

Tidak lama, benar saja. Ada pasukan kerajaan lewat dengan gagah. Apakah Raja, atau Pangeran sulit kupastikan. Yang jelas dia seorang lelaki yang sangat gagah di atas kuda. Pakaiannya berbeda dengan lainnya. Di samping dan belakangnya, prajurit berkuda lengkap dengan senjata. Pasukan kudanya banyak sekali. Pantas saja dari kejauhan mereka seperti awan hitam yang bergulung.

Jika di alam nyata kita akan melihat kuda berlari di daratan, di atas tanah, padang rumput atau di jalanan berbatu. Namun pasukan ini justru berlari di atas air. Air laut seperti jalan berbatu yang menyebarkan debu. Buih dan ombak seperti pecahan mutiara yang tertimpa matahari. Memancar kiri kanan sehingga menampakkan pemandangan indah sekali. Tak sedikit makhluk astral terbengong menatap pasukan yang gagah itu. Mereka lewat memunculkan kesan luar biasa. Aroma wangi tersebar cukup lama.
“Siapakah beliau Kanjeng? Pasukan kuda itu luar biasa gagah. Selama ini aku hanya melihat dalam gambar dan mendengar cerita saja tentang pasukan berkuda di alam tak kasat mata. Tapi kali ini semua terlihat nyata” Ujar Alif di tengah kekagumannya. Kujawab aku tidak tahu pasti siapa mereka. Bisa jadi mereka salah satu pasukan anak Datuk Ratu Agung, saudara Putri Gading Cempaka yang memiliki kerajaan-kerajaan kecil di beberapa daerah di Bengkulu ini.

“Kanjeng! Awas!” Tiba-tiba Alif berteriak histeria ketika melihat dua sosok harimau belang berlari dan melompat tinggi seakan hendak menerkamku dari belakang. Aku segera menoleh. Ternyata keduanya adalah dua nenek gunung dari Tanah Tinggi Sebakas,
“Masya Allah! Kita bertemu di sini? Apa kabar adik-adik yang ganteng?” Aku juga tak kalah kagetnya. Di hadapanku berdiri dua sosok makhluk astral berbentuk harimau. Keduanya pernah berjumpa denganku ketika aku dan kawan-kawan pecinta alam berkunjung ke Dusun Tinggi Sebakas. Kami berpelukkan melepas rindu.
“Masya Allah, rasanya baru kemarin aku melihat kalian masih asyik bermain, kejar-kejaran, lalu kalian menitikkan air mata, menangis mengantarkan aku diperbatasan. Sekarang kalian terlihat dewasa, gagah” Ujarku sembari mengelus kepala keduanya.
“Mengapa Dang Selasih tidak kembali ke Sebakas? Padahal lama kami menunggu kedatangan Dang, merindukan Dang” Ujarnya menagih janji. Mereka benar, aku pernah berjanji akan Kembali mengunjungi kampung mereka. Berjumpa dengan sesepuh Sebakas di sana.
“Maafkan Dang, adik-adikku. Dang sibuk, nyaris tidak punya waktu untuk melancong ke Sebakas. Insya Allah, suatu saat akan kembali ke sana. Jika tidak dalam wujud nyata, dalam wujud seperti ini. Apa kabar semuanya? Semua sehat bukan?” Tanyaku lagi. Aku jadi terbayang pengalaman -pengalaman seru ketika berada di dusun itu. Membebaskan salah satu sahabatku yang ditahan oleh makhluk astral yang disumpah Bapaknya menjadi ular. Beberapa kali aku melakukan peretempuran. Berjumpa dengan penduduk-penduduk dusun gaib yang ramah di sepanjang jalan. Lalu berkunjung ke sebuah kampung yang kehidupannya persis kehidupan di alam nyata. Konon kampung itu dulu ada di alam nyata. Namun demi menghindar dan melindungi warganya dari penjajah, sang pemimpin meraibkan dusun menjadi tak kasat mata. Di situ juga aku berjumpa dengan sosok seorang gadis cantik berwajah bule dan Pastur keturunan Belanda, menyebarkan agama, dan menjaga umatnya di sana. Beberapa kali ke dusun nenek gunung, golongan manusia harimau yang menetap di sana.
“Semua sehat Dang. Alhamdulilah” Jawab salah satu mereka.

Saking asyiknya berjumpa dan teringat kenangan selama di sana aku nyaris lupa jika aku tidak sendiri. Akhirnya dua sosok harimau Sebakas kukenalkan pada Alif yang berdiri memandang kami.
Semua Alif menampakkan rasa takut. Dia kira keduanya adalah makhluk astral bersosok harimau yang jahat. Setelah melihat keakraban kami, akhirnya wajah cemasnya berubah menjadi senyum.
“Jika pergi ke Sebakas, izinkan aku ikut ya, Kanjeng” Ujarnya lagi. Kami semua tersenyum. Aku menganguk mengiyakan. Entah kapan akan ke sana. Sementara Alif rencananya akan pergi ke Yaman untuk melanjutkan kuliahnya. Setelah ini dia akan sibuk pula melaksanakan perintah Eyang Kuda gurunya untuk berguru.

Akhirnya kami duduk di pasir bersama. Dalam obrolan bersama dua sosok harimau di hadapanku, kudapat kabar jika Sebakas semakin hari semakin ramai didatangi oleh pengunjung yang hendak berziara. Terutama ketika musim kemarau. Karena untuk menyeberang ke Dataran Tinggi itu tidak ada jembatan. Pengunjung harus menyeberangi sungai. Di tambah lagi sungai semakin lama semakin lebar karena sering kali ‘rawang’. Sisi sungai tidak ada lagi kekuatannya, karena pohon besar dan bambu sudah tidak ada sebagai penahan tanah. Pohon-pohon banyak yang ditebang menjadi ladang dan kebun sawit.

Tiba-tiba aku dikagetkan suara mengaji samar-samar terdengar dari mubungan masjid. Sebentar lagi subuh. Akhirnya kami sepakat untuk pulang. Dua sosok nenek gunung dari Sebakas berniat ingin ikut denganku. Melihat ekspresi polos mereka akhirnya aku izinkan. Dengan syarat, mereka tidak boleh melakukan aktivitas yang akan membuat Bapak dan Ibu takut. Apalagi jika menampakkan diri. Akhirnya keduanya sepakat. Aku memanggil angin untuk membawa kami pulang. Lalu kami pengantar Alif ke pondoknya terlebih dahulu, baru melanjutkan pulang ke rumahku.

Langit masih gelap dan udara terasa dingin. Bintang timur masih gemerlap terang. Aku mempercepat perjalanan. Khawatir masih diperjalanan, azan berkumandang. Dua makhluk yang ikut denganku ini pasti akan kerepotan akan pergi ke masjid mana.
“Kalian tunggulah solat subuh di sini, baru nanti ke rumah Dang” Ujarku pada keduanya di depan masjid Akbar yang letakknya persisi di seberang simpang menuju rumahku. Kukatakan usai solat langsung saja menuju rumah mengikuti jalan ini. Atau akan kujemput saja. Akhirnya demi keamanan keduanya, kami sepakat usai solat subuh aku akan jemput mereka.

Tok! Tok! Tok!
Pintu kamarku ada yang mengetuk. Aku baru saja bangkit dari duduk.
“Dedek! Bangun…bangun….solat subuh” Suara Bapak di depan pintu. Aku pura-pura baru bangun, sambil menjawab iya. Bapak tidak mengetahui jika malam ini perjalananku berliku-liku bersama Alif. Andai beliau tahu? Iih! Pasti aku kena marah. Mengapa jalan-jalan malam hari? Kecuali pergi bersama Nenek Kam.
“Maafkan aku Bapak” aku membatin sambil mencuci tangan mengawali bersuci diri untuk berserah pada-Nya.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *