HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (94A)

Karya RD. Kedum

Pagi-pagi aku masih disibukkan membantu ibu membereskan rumah. Rencana hari ini aku akan ke UNIB, melihat pengumuman, apakah aku diterima apa tidak masuk perguruan tinggi negeri. Karena aku dari jurusan IPA, maka aku punya hak untuk memilih tiga perguruan tinggi. Pilihan pertama FKIP UNIB, kedua IKIP Padang, dan yang ke tiga FKIP Riau. Apakah aku akan lulus salah satunya? Entahlah. Yang jelas aku berharap yang terbaik menurut Allah saja.

Untuk seleksi masuk Perguruan Tinggi ini, pantang bagiku mencampuradukkan kemampuanku untuk kepentingan pribadi. Makanya aku ikut daftar sesuai prosedur, ikut tes bersaing sehat dengan pelajar se-Indonesia sesuai pilihan Perguruan Tinggi masing-masing. Melihat banyak sekali umat yang bareng ikut seleksi, dalam hati aku berdecak kagum. Bagaimana tidak, stadion olahraga Sawah Lebar yang luas, penuh sesak dengan anak-anak muda, laki-laki dan perempuan bersaing dalam kemampuan intelekstual.

Mulai dari ujian Nasional, sampai test masuk Perguruan Tinggi, aku berusaha menjadi manusia normal. Kutekan perasaan untuk meminta bantuan atau memanfaatkan kemampuan. Tapi ada saja hal lucu menggodaku. Ketika ujian Nasional berlangsung demi memperlihatkan kesetiaan dan rasa sayangnya, tiba-tiba A Fung datang menghampiriku. Wah, aku panik ketika itu. Bagaimana tidak, suasana kelas hening, dihuni peserta duduk jarang-jarang, mata pengawas tidak luput memperhatikan siswa yang sedang mengerjakan soal. Bergerak sedikit diplototi, A Fung dengan santainya hilir mudik melihat jawaban kawan-kawanku lalu memberitahuku.

Ingin rasa aku mencubitnya saat itu, karena tidak bisa diam.
“Kak, cepat tulis, yang ini jawabannya a, ini c, ini e, ini b, ini b” Ujarnya menunjukkan kolom jawabanku yang masih kosong. Aku garuk-garuk kepala. Apa dia kira jawaban teman-temanku dijamin benar?
“Ayo tulislah, biar cepat selesai” Ujarnya lagi mendesakku. Akhirnya dengan terpaksa, dia kupeluk lalu kukunci. A Fung memberontak ketika itu.
“Lepaskan kak, aku ingin bantu kakak” Ujarnya lagi.
“Jangan ganggu kakak, kalau A Fung ingin membantu, cukup diam di samping kakak. Tidak usah memberikan jawaban. Ok” Ujarku. Akhirnya dia patuh. Setelah pulang kujelaskan jika perbuatan yang dia lakukan meski berniat baik tapi dia curang. Itu perbuatan tidak baik. Akhirnya keesokan hari, A Fung hanya menemaniku saja. Alasannya sengaja menemani untuk menyuport aku menghadapi ujian. Dia duduk manis bermain sendiri dari awal aku datang sampai pulang. Kadang mulutnya komat-kamit membaca ayat pendek, doa, dan lain-lain. Untung di antara kawanku tidak ada yang bisa melihat A Fung. A Fung saja sesekali ketahuan melirik Ice yang duduk di hadapanku. Mungkin dia suka melihat sosok sahabatku satu ini. Wajahnya cantik, imut, dan pandai berdandan. Ini kuketahui ketika sambil berjalan pulang, A Fung menyuruhku sesekali pakai bedak, lalu seputar mata pakai celak, dihitam-hitamkan kayak Ice. Demi mendengar itu, aku terpingkal-pingkal. Sampai lupa kalau aku sedang berjalan, dan orang tidak ada yang tahu kalau aku tertawa dengan A Fung. Akhirnya aku setengah berlari menutup malu.

Adik gaibku satu ini memang rada lucu. Katanya untuk menemuiku, penuh perjuangan panjang. Pasalnya dia harus minta izin dulu dengan sesepuhku. Pertama dengan Paman Raksasa, lalu minta izin pada Puyang Pekik Nyaring, dengan ustad pengasuhnya. Lalu menemui Macan Kumbang, Nenek Ceriwis, baru dia diizinkan menemui aku. Aku hanya tertawa mendengarnya. Padahal dia dikerjai, sebab semua senang melihatnya. Penampilannya yang menggemaskan membuat semua senang mempermainkannya. Ketika ditanya, ada perlu apa menemui Putri Selasih, jawabnya ingin membantu Kakak Selasih menghadapi Ujian Nasional. Kalau ingat itu, sampai sekarang aku masih saja ingin tertawa. Aku yang menghadapi ujian di alam nyata, di alam gaib dia yang ikut sibuk .

Sama halnya ketika aku hendak menuliskan pilihan masuk Perguruan Tinggi, aku bingung menentukan pilihan. A Fung lagi ikut campur. Katanya Kakak Selasih jadi dokter India saja. Pertama aku bingung apa maksudnya. Setelah kuingat-ingat di Pagaralam dulu ada dokter terkenal yang membuka praktik. Beliau pernah memembuka praktik tidak jauh dengan sekolah Xaveriusku dulu. Pasienya selalu banyak. Dokter itu terkenal dengan sebutan dokter India. Karena memang beliau keturunan India. A Fung inginkan aku jadi dokter. Aku hanya mengiyakan sambil menimbang-nimbang baik buruknya termasuk mengukur diri apakah cocok atau tidak dengan pilihanku. Muncul keraguan, rasa ingin ke sana rasa ingin ke sini. Aku hendak memilih apa? Sementara keinginan hati ingin sekali mengeluti seni, khususnya seni teater. Aku ingin kuliah di IKJ, atau kuliah di perguruan keren, Universitas Indonesia, Institut Bogor, UGM. Tapi demi melihat ekonomi Bapak dan ibu, aku tidak berani muluk-muluk. Bisa kuliah dan Bapak Ibu mendukung, aku sudah bersyukur. Soal akan bagaimana kelak, itu rahasia sang Maha Pencipta. Akhirnya aku menuliskan tiga Perguruan Tinggi itu dan semuanya mencetak guru. Tiga malam berturut-turut aku solat hajat dan istikoroh demi menentukan pilihan itu.

“Dek, katanya mau ke UNIB. Khairul sudah berangkat dari pagi” Madi sahabatku lewat depan rumah.
“Loh kamu sendiri kok masih di sini?” Ujarku balik bertanya. Akhirnya Madi mendekat. Katanya dia tidak yakin jika dirinya lulus. Pada waktu tes, dia sekadar menuruti keinginan Ayahnya, sekaligus senang saja rame-rame dengan kawan-kawan seperti bebek dengan gembalanya. Mendengar alasannya aku tersenyum. Memang motivasi dan tujuan tiap orang berbeda-beda. Madi memang bukan karakter pemburu ilmu pengetahuan di bangku pendidikan, dalam otaknya hanya ada uang dan uang. Makanya tamat SMA ini katanya mau mencari kerja.

Kami sejenak ngobrol ngalur-ngidul tetang berbagai kemungkinan setelah ijazah SMA sudah di tangan. Aku masih saja membujuknya untuk kuliah. Paling tidak bisa membanggakan orang tuanya.
“Sudahlah, Dek. Otakku tidak kuat makan bangku kuliah. Aku capek. Aku mau cari kerja, lalu mengumpulkan uang untuk melamarmu!” Katanya membuat tawaku meledak.
“Enak saja!” Ujarku agak malu. Kawanku yang sedikit gemulai ini tiba-tiba berubah menjadi lelaki tulen dengan kata hendak ‘melamarku’. Aku mendengarnya bukan sebagai candaan semata. Namun ada kesungguhan di sana. Sepeninggal Madi, aku jadi kepikiran candaannya. Candaan yang telak. Langsung menikam jantung. Apalagi ketika ingat ketika sedang bermain, Madi kerap mengatakan ingin punya istri sepertiku. Waktu itu aku tidak peduli. Kuanggap permainan lisannya saja. Tapi mengapa hari ini menjadi terpikir untuk menghubungkan beberapa peristiwa? Ah! Pikiran ini benar-benar tidak bisa diajak kompromi.

“Eheeem! Ggrrheeem” Aku dikagetkan suara berdehem Macan Kumbang yang tiba-tiba berdiri di belakangku. Matanya berkedip-kedip penampakan perasaan tidak bersalah. Melihat kehadirannya aku pura-pura tidak dengar dan tidak tahu. Ketika kemonceng kuayunkan sengaja kukenai tubuhnya sambil lalu.
“Iih!” Macan Kumbang menghindar. Aku terus saja berjalan menuju dalam rumah. Tiba-tiba aku merasakan kakiku sangat berat. Aku tidak mampu mengangkat kaki. Dalam hati hendak tersenyum, Macan Kumbang menggunakan ajiannya menghadangku. Akhirnya aku pura-pura keberatan dan menarik-narik kakiku akhirnya tidak mampu lagi menganggkatnya. Aku pura-pura meringis agar Macan Kumbang puas. Benar saja, dia tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan dengan jahilnya dia lompati tubuhku berkali-kali sambil mencolek kepala, kaki, tangan, terakhir mencolek hidungku.
“Silakan lepaskan diri, Ratu Selasih. Apakah baginda ratu sanggup? Jika sanggup aku akan antarkan Baginda Ratu ke UNIB, duduk si punggungku” Ujarnya memancing suatu hal yang tidak mungkin. Masak jasadku tiba-tiba sudah di UNIB siang hari? Jika ada yang menyadari aku ada si sana tiba-tiba, apa tidak jadi masalah? Dikira aku hantu muncul siang hari.

Melihat Macan Kumbang nampaknya puas dan merasa menang, akhirnya diam-diam kulepaskan diri dari ikatannya. Macan Kumbang kukejar lalu gantian kukunci dirinya.
“Ampuuuun….ampun Selasih lepaskan aku..tolong!” Macan Kumbang menjerit, persis seperti patung tapi bisa berbicara.
Aku berjalan pelan-pelan mendekatkan wajahku ke wajahnya dengan kencang aku mendengus persis dihidungnya. Dalam hati aku mau tertawa melihat Macan Kumbang mau muntah saat aku mendesah mengeluarkan aroma mulutku yang asam ke wajahnya.
“Gilaaa! Ampuuun buuaach uuueek” Wajah Macan Kumbang merah. Aku terpingkal-pingkal menertawakannya. Berkali-kali matanya melotot menahan dorongan hendak muntah.
“Ampuuun..Puyang tolong aku Puyang” Macan Kumbang merengek seperti anak kecil. Melihatnya seperti tersiksa, akhirnya kutotok bagian perutnya. Akhirnya Macan Kumbang bisa menatap normal lagi.

“Nakal! Awas kau ya!” Ancamnya. Mendengar ancamannya aku makin tertawa sambil joged-joged mengejeknya. Gimana mau balaskan dendam bergerak saja tidak bisa” Ujarku. Macan Kumbang memang tidak bisa bergerak sama sekali. Ilmu warisan pasak bumi Nini Ratu memang hebat. Salah satu ilmu untuk melumpuhkan lawan. Aku belum pernah menggunakan ilmu ini. Macan Kumbang adalah sosok pertama mencoba kehebatannya. Sekali lagi kudekati Macan Kumbang. Kali ini kugelitik-gelitik perutnya. Aku jadi ingat masa kecilku ketika bermain dengan Macan Kumbang. Aku digelitiknya sampai kejang tidak bisa bergerak sama sekali.Meski sudah minta ampun dan menangis, masih saja sigelitiknya sampai kaku. Aku setengah pingsan waktu itu. Dalam hati, dendam sekali dengan Macan Kumbang ketika itu. Pada akhirnya aku disadarkannya, lalu dipeluknya masih sambil terus bercanda. Sampai-sampai adik bujang Nenek Kam ini kena omel. “Jangan beragam suduk, Kumbang” Bentak Nenek Kam waktu itu. Tapi Macan Kumbang masih saja menertawakan aku.

Sekarang giliran Macan Kumbang yang terpasung. Kubisikkan di telinganya ingin sampai menangis atau tidak? Macan Kumbang melotot, mengatakan aku anak durhaka, tidak sopan, tidak berakhlak. Mendengar sumpah serapanya, lagi-lagi aku tertawa. Kali ini kutinggalkan Macan Kumbang sambil joged-joged.
“Selasih! Lepaskan!” Jeritnya berkali-kali bernada marah. Padahal semakin dia marah, maka pasak buminya semakin erat. Aku diam saja pura-pura tidak mendengar sambil membereskan beberapa pekerjaan dengan cepat.
“Kanjeng Ratu Putri Selasih, Cucu kesayangan leluhur Dempu, Cucu kesayangan Nenek Kam, kesayangan Macan Kumbang. Lepaskan aku, sayang.” Kali ini suara Macan Kumbang berubah. Bernada lembut seperti musik klasik. Kata-kata itu diucapkannya berulang-ulang dengan nada lembut seakan tidak ada beban.

Ajaiiib! Tiba-tiba Macan Kumbang berteriak “Merdeka”. Pasak bumiku lepas tanpa kusentuh sama sekali. Aku terbengong melihatnya.
“Mau tahu mengapa Pasak Bumimu lepas Ratu cantik?” Ujarnya lagi. Aku cemberut melihat Macan Kumbang. Aku penasaran mengapa bisa lepas tanpa kubantu sama sekali. Jika Macan Kumbang bisa melepaskan diri mengapa tidak sejak awal? Pasti ada campur tangan sosok lain. Apakah Puyang Pekik Nyaring menolong Macan Kumbang? Aku bertanya-tanya dalam hati. Kini giliran Macan Kumbang joged-joged riang.
“Merdeka..merdeka..uhuuui merdeka” Macan Kumbang melompat-lompat riang.
“Bagaimana bisa lepas? Siapa yang menolongmu Macan Kumbang?” Ujarku. Macan Kumbang tertawa sambil menggeleng-geleng.

Akhirnya aku tidak peduli. Aku kembali menyibukkan diri, beres-beres, membantu ibu menjemur beberapa lembar pakaian, sikat-sikat kamar mandi lalu berkemas untuk mandi dan pergi. Macan Kumbang tidak kupedulikan. Aku malas melihatnya bangga bisa lepas dari pasak bumiku. Meski di benak aku masih bertanya-tanya mengapa Macan Kumbang bisa lepas dengan mudah. Aku yang punya ilmu itu tapi aku sendiri tidak tahu kelemahannya.

Setelah selesai semua, aku siap-siap hendak pamit dan berangkat. Kulihat Macan Kumbang masih asyik tidur-tiduran di kamarku sambil bolak-balik membuka dan mencermati album kecilku.
“Dari sekian banyak foto ini tidak satu pun ada aku” Gumamnya terus membolak-balik album. Maksudnya dari sekian banyak foto, banyak juga makhluk astral yang terangkap kamera ikut mejeng di antara kami meski tidak terlihat nyata. Dari sekian foto memang tidak ada penampakan Macan Kumbang.
“Yang tertangkap kamera hanya yang baik-baik saja. Bukan suka iseng sepertimu” Jawabku asal saja.
“Wewww! Ini lihat makhluk bertanduk, lidahnya sampai ke perut, mata merah, rambut ijuk beberapa lembar ikutan bergaya di belakang temanmu. Kau kira ini makhluk baik-baik saja. Ini makhluk setengah iblis anak buah dajjal, loh” Ujar Macan Kumbang. Apa yang dikatakannya memang benar. Bahkan makhluk itu mengikuti temanku, akhirnya bertempur denganku karena dia tidak mau pergi waktu itu.

“Nanti kapan-kapan kita ke studio foto, kita foto-foto di sana. Di sana bebaslah mau bergaya kayak apa” Ujarku. Macan Kumbang tersenyum mendengar ajakanku seperti membujuk anak kecil.
Akhirnya dia bangkit melihat aku sudah siap hendak pergi.
“Jalan saja ya, kuantar ke kampus” Ujarnya kusambut dengan anggukan. Akhirnya aku dan Macan Kumbang berjalan menuju kampus UNIB. Jaraknya kurang lebih dua kilo meter dari rumah. Kami sengaja berjalan pelan. Macan Kumbang berjalan di sampingku. Andai ada yang bisa melihat kami, pasti mereka heran ada perempuan dikawal Macan berwana kumbang atau hitam pekat.

Di jalanan lintas Bengkulu Argamakmur hari ini nampak lebih ramai dari biasanya. Kendaraan slawar-slewer ke sana ke mari menuju dan dari kampus negeri di kota Bengkulu ini. Dari kejauhan kulihat kerumunan anak muda sibuk membuka lembaran koran yang berlipat-lipat duduk di bawah pohon-pohon besar yang tumbuh subur di seputaran kampus. Aku berjalan tetap biasa saja sambil memegang Macan Kumbang. Jalan agak menanjak setelah lewat pintu gerbang. Area kampus yang luas apalagi menghadap ke laut lepas, menjadikan udara seputar kampus terasa sejuk.

“Dedek!!” Aku melihat kak Thomas kakak kelasku berlari menghampiriku setengah berlari sambil membawa lembaran koran. Aku tersenyum menyongsongnya. Bengkulu terasa sangat terik hari ini. Aku menyekah peluh yang mengucur di kening.
“Sini..sini…” Kak Thomas sangat antusias menyeretku ke bawah pohon. Lalu di atas rumput dia bentang koran pengumuman seleksi mahasiswa baru. Aku tidak sempat bertanya apa maksudnya.
“Lihat ini Dek, ada namamu! Kau lulus di Universitas Riau!” Ujar Kak Thomas menunjuk namaku. Aku tidak langsung percaya. Kuamati nama dan nomor tesku. Oh, ternyata benar. Aku lulus. Aku hanya bisa mengucapkan Alhamdulilah.
“Selamat ya!” Kak Thomas mengajak toos. Aku mencoba menampakkan kegembiraan demi mengimbangi ekspresi kak Thomas yang sangat antusias mengamati siapa saja adik kelasnya yang lulus Perguruan Tinggi Negeri.

Sama halnya seperti pengumuman kelulusan SMA, di pelataran gedung serba guna UNIB ramai sekali. Koran pengumuman ada yang diinjak-injak berserakan di jalan dan taman. Alhasil pelataran gedung serbaguna acak-acakan seperti habis demo. Kak Thomas memberikan korannya padaku. Aku hanya menatap orang ramai, tidak paham apa yang harus kulakukan. Koran yang berisi namaku kusimpan dalam tas. Macan Kumbang hanya kedap-kedip menatap orang banyak yang tidak jelas kesibukkannya.
“Dek, isi formulir ini” Lagi-lagi kak Thomas menghampiriku dengan membawa selembar kertas formulir berisi data pertanda lulus atau apa aku tidak paham. Tapi akhirnya aku duduk di sisi taman untuk mengisi formulir yang disuguhkan. Macan Kumbang mengamati apa yang kutulis. Setelah selesai kuberikan kembali pada kak Thomas. Lalu beliau berlari ke sisi gedung. Aku baru tahu kalau di sana banyak yang antri mengambil dan menyerahkan formulir. Aku tidak tahu kak Thomas mengambil dan menyerahkan formulir lewat mana. Yang jelas aku tinggal memikirkan kapan dan bagaimana pergi ke Pekanbaru setelah ada selembar kertas keterangan dari UNIB.

Tepat tengah hari aku dan Macan Kumbang berniat pulang. Halaman gedung serba guna berangsur sepi. Setelah agak sepi barulah aku bertemu dengan kawan-kawan sekolahku. Ternyata kawan-kawan seangkatanku tidak banyak yang lulus masuk Perguruan Tinggi Negeri. Melihat namaku tertera lulus, akhirnya mereka memberikan ucapan selamat padaku.

Sejenak aku berpikir, akan kemana kawan-kawanku setelah ini? Mulai terbayang kembali rasa sepi dan rindu. Mungkin ini adalah pertemuan terakhir, lalu entah kapan akan bertemu kembali? Kalau pun hendak bertemu akan terasa sulit. Baru terasa, betapa indahnya masa sekolah. Ternyata sekolah adalah ajang silaturahmi yang paling berkesan. Susah senang berkumpul bersama kawan-kawan, akan menjadi kenangan. Tiba-tiba aku risau sendiri membayangkan hari-hari selanjutnya.

Macan Kumbang masih kedap-kedip menatapku. Kukedipkan mataku sebagai kabar gembira jika aku mampu bersaing sehat bersama ribuan peserta tes seleksi ke Perguruan Tinggi se-Indonesia. Aku tahu, Macan Kumbang tengah berpikir jika aku akan semakin jauh dari tanah Besemah. Aku merasakan getar resah di dadanya. Tapi apa yang harus kulakukan? Ini adalah salah satu takdir hidup yang harus kulakoni. Aku tidak mengetahui rahasia Allah mengapa aku harus lulus di Pekanbaru? Ada apa di negeri Lancang Kuning itu? Aku yakin, banyak hal yang akan menjadi pelajaran yang akan menempah diriku untuk menjadi lebih dewasa. Aku merasakan jika apa yang pernah diungkapkan kakek Njajau ketika berkumpul di gunung Dempu menjadi kenyataan. Beliau mengatakan aku seperti lelaki, ingin hidup bebas karena jiwa pengelana yang sangat kental. Semakin hari akan semakin jauh pula derap langkahku. Beliau seakan sudah bisa membaca masa depanku.

Sepanjang jalan pulang aku dan Macan Kumbang lebih banyak diam. Kami asyik dengan pikiran masing-masing. Aku membayangkan diriku akan menjadi mahasiswa. Aku bukan anak SMA lagi yang wajib memakai seragam abu-abu. Tapi aku bebas memakai celana panjang, pakai kemeja, pakai sepatu model lelaki, meski tetap pakai jilbab, tapi pakai tas ransel pantas saja. Sebuah warna kehidupan baru sedikit banyak akan membuat jantungku bergetar. Aku akan kos, kenal dengan orang-orang baru yang berbeda adat dan suku. Pasti aku juga akan terlambat dapat kiriman seperti cerita pengalaman orang-orang yang jauh dari keluarga. Tidak bisa berjumpa seenaknya dengan Bapak dan Ibu. Katanya jika merantau hal yang lebih menyakitkan adalah menahan rindu. Tapi kalau aku rindu Bapak Ibu, aku dapat melihat beliau, namun di alam tak kasat mata. Tidak apalah. Hal ini membuat hatiku yang bergetar sedikit lega. Mulailah aku berpikir, tidak ada yang sulit dalam hidup ini. Yang menciptakan kesulitan itu justru diri kita sendiri.

Aku merasa pintu gerbang yang akan aku lalui begitu luas. Aku akan menjadi anak dewasa, belajar mandiri.
Duk! Jantungku berdetak ketika ingat kata mandiri. Aku harus belajar memasak, mencuci sendiri, membersihkan kamar sendiri, semuanya serba sendiri. Muncul tekat dalam batin, aku memang harus belajar semuanya sendiri.
“Kok diam saja dari tadi. Perasaan kita sudah jauh berjalan” Ujarku pada Macan Kumbang yang berjalan di sampingku.
“Sedang mikirin kamu. Bakal jauh dan terus menjauh” Macan Kumbang seperti menyimpan risau. Aku tersenyum mendengarnya.
“Kan kita bisa jumpa kapan saja? Mengapa risau?” Ujarku lagi. Macan Kumbang tidak menjawab. Pandangannya lurus ke depan.

Terik matahari kota Bengkulu hari ini terasa sekali. Peluh kembali mengucur, bahkan punggung dan leherku terasa basah. Aku ingin segera mengabari Bapak dan Ibu. Beberapa waktu lalu keduanya menunggu ketika kelulusan sekolah, kali ini keduanya kembali menungguku kelulusan masuk Perguruan Tinggi. Kabar hari ini adalah hadiah untuk keduanya, sekaligus menunjukkan jika aku betul-betul ingin sekolah. Kata ibu jika aku lulus, sebelum berangkat kami harus pulang ke tanah Besemah dulu untuk menggiling kopi yang sudah kering, menjualnya untuk ongkos keberangkatanku. Diam-diam, sebenarnya ibu sudah menyiapkan kebutuhanku. Ibu memang perempuan cerdas.

Macan Kumbang masih saja enggan berjalan cepat. Dia tidak tahu kalau aku kepanasan tertimpa matahari? Di barat nampaknya akan turun hujan sebentar lagi. Panas yang menimpa kulitku terasa perih. Tidak ada angin berhembus kencang seperti biasanya. Sesekali kututup kepalaku dengan tas kecil yang kusandang sekadar melindungi matakau dari terik matahari.

Aku kaget ketika tiba-tiba Macam Kumbang berlari kencang ke arah pantai Kualo. Aku bingung untuk ikut mengejarnya dalam kondisi seperti ini. Jalan menuju pulang maaih ramai orang dan kemdaraan. Akhirnya melihat Macan Kumbang melesat cepat aku tidak peduli tanpa menoleh kiri kanan aku panggil angin langsung mengejar Macan Kumbang melintas rawa rumbia dan hutan kecil menyeberangi sungai.

Sejenak aku bingung setelah sampai di muara. Aku hanya melihat para buruh menyelam di muara dengan rakit bambunya mengambil sisa batubara yang hanyut di bawa arus sungai. Mereka menyelam, lalu muncul lagi. Air sungai nampak keruh, berwarna coklat pekat.
Sudah kulempar pandang ke segala arah. Tapi sosok Macan Kumbang belum nampak. Akhirnya aku duduk sejenak, menempelkan telingaku ke tanah. Dan menajamkan penciumanku. Busyet! Jauh sekali. Macan Kumbang berada berapa mill dari tempatku berhenti. Nampaknya dia tengah bertempur. Aku segera meluncur ke arah pantai Sungai Suci Pasar Pedati.

Setelah dekat, kulihat Macan Kumbang tengah bertarung dengan seekor ular naga berwarna emas. Dalam hati aku bertanya-tanya. Ada apa gerangan Macan Kumbang kabur tanpa pamit, tiba-tiba sudah berada di sini bertarung dengan ular naga.

Tubuhku ikut-ikutan terlonjak kala melihat Macan Kumbang melompat tinggi ke udara, mengimbangi ular naga yang bersayap. Cahaya tubuh naga yang keemasan seperti kilatan-kilatan api ketika tertimpa cahaya matahari. Kulihat Macan Kumbang tidak maksimal melawan naga siang hari. Silau matahari cukup mengganggu pandangan. Melihat itu aku tidak tinggal diam. Aku ayunkan tanganku ke atas, kupanggil awan hitam agar cahaya matahari tidak mengganggu pandangan Macan Kumbang. Tak lama awan hitam bergulung seperti akan menurunkan hujan. Area pertempuran sedikit gelap. Macan Kumbang menjadi bersemangat. Gerakkannya lincah seperti busur panah melesat cepat. Kadang seperti bola bekel melompat ke sana ke mari. Pukulan-pukulan Macan Kumbang yang berbahaya dan mematikan kerap kali berbenturan dengan serangan yang dilakukan naga berwarna emas itu.

Sambil menatap pertempuran yang nampaknya seimbang ini aku berpikir, ada persoalan apa sehingga dua sosok yang berbeda ini saling serang? Melihat ilmu yamg mereka keluarkan nampaknya bukan main-main. Tidak mungkin pula Macan Kumbang berlari lalu menemui Naga emas, mengajaknya bertempur. Pasti ada persoalan khusus. Tapi aku tidak tahu persoalan mereka. Biarlah aku menunggu mereka menyelesaikan persoalan mereka sendiri. Kali ini aku cukup jadi penonton duduk di bawah pohon ketapang yang menjuntai ke laut.

Debur ombak pantai Sungai Suci semakin tinggi. Beberapa makhluk laut ikut naik dan jadi penonton. Mereka datang seperti gelombang, menggiring air hingga ke tepi. Hempasan air seperti diguncang memekakkan telinga. Aku bangkit, makhluk-makhluk astral di sini tidak bisa dipercaya sepenuhnya.
Huuf!

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *