HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (85B)

Karya RD. Kedum

Aku melepas pandang pada satu bintang yang lebih terang di timur. Posisinya sudah membuat kepala sedikit mendongak. Ini penanda sebentar lagi fajar tiba.

Aku segera menemui Nyi Ratih yang masih khusuk berzikir. Sejenak kupandang sekeliling. Masih seperti tadi. Pagar gaib Nini Ratu tidak ada yang rusak sedikitpun.
“Nyai…” Aku sedikit berbisik memberi kode pada beliau untuk mengakhiri zikirnya. Aku menunggu sejenak. Tak lama Nyi Ratih membuka matanya dan tersenyum padaku.
“Kanjeng sudah pulang? Bagaimana hasilnya, Kanjeng? Kanjeng berjumpa dengan Nini Ratu Bukan?” Ujarnya dengan ekspresi penuh tanya. Aku mengangguk sambil menarik tangannya untuk berdiri.
“Sudah semuanya, Nyai. Semua sudah selesai. Nini Ratu sudah menyerahkan semuanya padaku. Tinggal kita rancang bagaimana mengawali pembangunan istana yang sudah hancur ini. Bagaimana menurut Nyai, apakah kita pulang ke Dieng atau tetap bertahan di sini sementara?” Ujarku meminta pandangan Nyi Ratih. Siapa tahu beliau punya saran dan rencana yang belum kuketahui.
“Bagaimana kalau kita pulang ke Dieng terlebih dahulu, Kanjeng. Kita diskusikan dengan Eyang Guru untuk membangun kembali istana kita. Barangkali beliau punya saran untuk kita” Ujar Nyai Ratih bijak. Apa yang beliau sampaikan sepemikiran denganku. Akhirnya kami sepakat untuk pulang dulu ke Dieng.

Aku segera menyapukan tangan ke atas. Selanjutnya kuraih tangan Nyi Ratih untuk ke luar dari lingkaran istana. Di luar pagar gaib itu aku memanggil angin untuk mengantarkan kami ke Dieng. Belum selesai mantra angin kuucapkan, tiba-tiba ada sosok makhluk asral bertubuh besar, berkulit merah menghampiri kami.
“Siapa kalian? Apa keperluan kalian ke mari? Apa yang kalian cari? Berani sekali kalian masuk ke area kerajaan kami.” Suaranya menggelegar bernada tidak suka. Aku sedikit mundur ketika tongkat yang dipegangnya sedikit terkibas dan mengeluarkan tenaga.
“Paman! Paman Gola! Paman masih di sini? Aku Nyi Ratih, Paman” Suara Nyi Ratih kaget melihat sosok besar tinggi yang berdiri menantang di hadapan kami.
“Nyi Ratih? Kau jangan mempermainkan aku. Nyi Ratih tidak sepertimu. Lagi pula, Nyi Ratih telah lama gugur bersama Nyi Rara di medan perang ketika melawan orang dari Seberang. Beliau gagal menjemput ratu kami. Jadi jangan mengada-ada” Ujar sosok yang dipanggil Paman Gola. Mungkin karena sudah sepuh, beliau sudah tidak bisa membedakan suara Nyi Ratih. Nyi Ratih memang berbeda sembilan puluh derajad dari yang dulu. Jika dulu Nyi Ratih berbalut kemben, sekarang tertutup rapi dari ujung kaki hingga ujung kepala. Beliau memakai setelan celana, namun gaunnya panjang dan longgar hingga betis. Memakai kerudung mirip Eyang Guru. Bagian dalam kain yang diikat erat, lalu bagian luar kain agak panjang dibiarkannya menguntai hingga leher dan dada, berbahan yang lembut dan jatuh. Selanjutnya, cadar yang dipakai nyaris menutupi semua wajah. Yang terlihat hanya bola matanya yang indah. Aku juga memakai model yang senada. Warnanya saja yang berbeda. Biru dongker. Namun aku tidak menutup wajahku mirip cadar seperti Nyi Ratih.
“Paman Gola, aku Nyi Ratih, Paman” Nyi Ratih berusaha meyakinkan.
“Apa yang bisa kau buktikan jika engkau memang Nyi Ratih, untuk meyakinkan aku” Ujar sosok yang dipanggil Paman Gola masih tidak percaya. Tatapannya masih sinis. Akhirnya Nyi Ratih sedikit berputar, tak lama tangannya bergerak cepat sehingga terlihat tangannya banyak sekali. Ada ribuan tangan bergerak. Sebuah jurus yang luar biasa. Padahal Nyi Ratih tidak mengeluarkan tenaga dalamnya, namun aku bisa mengukur kedasyatannya.
“Paman ingat jurus ini siapa saja yang memiliki? Apakah suaraku berbeda dengan dulu, Paman?” Lanjut Nyi Ratih lagi.
“Jurus seribu tangan yang hanya dimiliki oleh Nini Ratu, Nyi Rara, dan Nyi Ratih” Suaranya bergetar. Ada rasa haru di nadanya. Tiba-tiba Paman Gola menjatuhkan badan dan sujud sedalam-dalamnya.
“Om Swastyastu, maafkan hamba Nyi Ratih. Maafkan orang tua yang tidak pandai ini. Nyi Ratih sangat berubah. Tidak seperti dulu” Paman Gola menatap Nyi Ratih. Ekspresi harunya membuat aku juga terharu. Apalagi ketika di balik matanya yang besar ada bening air mata. Bisa juga makhluk asral menangis haru. Aku membatin. “Panjang sekali jika kuceritakan, Paman. Nyi Rara memang gugur dalam perang ketika itu. Sementara aku sempat menyelamatkan diri meski terluka, dan gagal membawa Kanjeng Ratu pada waktu itu. Setelah kekalahan itu, aku disuruh Nini Ratu pergi ke gunung Ijen menemui Resi Gondo Biru, beliau petapa kawah di gunung Ijen. Tetapi beliau justru menyarankan dan mengantarkan aku ke Dieng menemui betapa perempuan yang kini menjadi guruku Resi Sahida”

“Resi Sahidah? Yang dikenal Eyang Putih, perempuan badai yang menyamar menjadi manusia tua dan jelek itu gurumu?” Paman Gola lebih kaget lagi. Nyi Ratih mengangguk cepat.
“Iya, bahkan beliau sering disebut gila oleh bangsa manusia. Beliaulah yang mendidik, menempahku hingga aku menjadi seperti ini. Sebab waktu itu beliau berkata, jika engkau ingin Ratumu kembali, bukan dengan cara menculiknya. Dia akan datang sendiri, dengan syarat kau harus seakidah dengannya. Kata Eyang guru saat itu. Demi cinta dan kesetiaanku pada kerajaan ini, aku bersyahadat Paman. Sebelumnya aku minta izin terlebih dahulu pada Nini Ratu. Beliau mengizinkan aku” Nyi Ratih menyusut air mata.
“Lalu..” Paman Gola semakin tertarik.
“Aku dididik agama terlebih dahulu, lalu beratus tahun aku disuruh bertapa, ditempah untuk dekat pada Sang Pencipta. Hingga akhirnya, niat untuk menculik Sang Ratu yang menggebu, berubah menjadi hasrat menerima takdir, dan menjalaninya dengan ikhlas. Aku hanya berdoa, dan pasrah. Ternyata apa yang disampaikan Eyang Guru ketika pertamakali menemuinya, menjadi kenyataan, Paman. Aku tidak perlu mencari dan menculik Kanjeng Ratu agar kembali ke kerajaan kita. Beliau akan datang sendiri tanpa ada yang merekayasa. Ratumu akan datang sendiri. Dan itu benar! sang Maha pencipta mengabulkan doaku. Itulah sebabnya aku sangat percaya pada takdir. Pada skenario Maha pencipta, Paman” Ujar Nyi Ratih kembali sembari menyusut air mata.

Aku terus mengamati obrolan mereka. Perasaan dan kisah masing-masing selama mereka berpisah menjadi pokok obrolan. Akibatnya sedikit banyak aku tahu bagaimana hubungan mereka dan bagaimana kesetiaan mereka selama ini pada kerajaan.
“Aku ingin melihat wajahmu, Nyi Ratih” Paman Gola bernada rindu. Nyi Ratih menatapku seakan ingin minta izin. Aku mengangguk mengizinkannya. Akhirnya Nyi Ratih membuka cadarnya sekilas demi meyakinkan orang tua itu.
“Aku seperti ini karena agamaku mengajarkan untuk menutup auratku, Paman” Lanjut Nyi Ratih lagi.

Suasana hening sejenak. Kedua orang di hadapanku kubiarkan hanyut dengan rasa kerinduan yang membuncah di dada mereka. Dapat kusimpulkan kedua makhluk ini adalah sisa kerajaan yang masih setia. Aku berharap masih ada Nyi Ratih dan Paman Gola yang lain.

“Lalu, apakah Nyi Ratih sudah bertemu, atau sudah tahu keberadaan Nini Ratu dan Kanjeng Ratu?” Paman Gola bertanya kembali. Nyi Ratih baru saja hendak berbicara, ketika Paman Gola menjerit, lalu menjatuhkan dirinya ke tanah.
“Om swastyastu Kanjeng Ratu. Ampunkan hamba yang bodoh ini, Kanjeng. Sungguh hamba tidak mengetahui jika dihadapaku adalah kanjeng Ratu. Sekali lagi maafkan Hamba, Kanjeng. Terimalah sembah hamba” Orang tua ini masih sujud tidak mengangkat-angkat tubuhnya setelah tahu ada tongkat kerajaan di betisku. Kuakui kehebatannya. “Bangkitlah Eyang. Salam. Mengapa Eyang menyebut aku Ratu Timur Laut Banyuwangi? Bukannya kita belum pernah berjumpa sebelumnya?” Ujarku menyimpan rasa kagumku. Padahal aku sudah mencoba serapi mungkin menyimpan tongkat kebesaran di betisku agar tidak dikenal lebih awal oleh siapa pun.
“Cahaya dari betis Kanjeng, itu adalah cahaya tongkat kerajaan Timur Laut Banyuwangi, Kanjeng. Hanya Raja atau Ratu saja yang bisa memegangnya. Ampunkan hamba, Kanjeng. Ampunkan ketidaktahuan hamba. Hukumlah hamba yang telah lancang, Kanjeng” Ujarnya menyesal. Aku kembali takjub. Begitu dalamnya aturan di dalam kerajaan sehingga anak kecil seperti aku disembah-sembah oleh sosok yang sudah sangat tua. Aku jadi merasa tidak enak. Malah ada perasaan bersalah, berdosa.
“Bangkitlah, Eyang. Lupakanlah. Bersikaplah biasa-biasa saja, Eyang. Aku tidak perlu dielu-elukan, dihormati sedemikian rupa. Terimakasih Eyang masih setia. Mohon bantuan Eyang untuk kembali bersama-sama, kita bangun kembali kerajaan yang sudah mati ini” Ujarku mencoba memposisikan diriku sebagai seorang pemimpin.
“Ratusan tahun sejak kerajaan ini runtuh, ditinggalkan Nini Ratu, hamba masih kerap ke mari, Kanjeng. Hamba sering melihat dan mengawasi meski tidak bisa masuk karena dipagar oleh Nini Ratu” Ujar Eyang Gola lagi. Rupanya kesetiaannya pada kerajaan membuat orang tua ini dengan ikhlas tetap menjaga meski hanya di luar area.

Aku diam sejenak. Berpikir bagaimana caranya supaya sementara waktu tidak ada yang mengenalku. Sebab belum saatnya aku mengeluarkan atribut kerajaan.
Hup! Hup!
Aku mengambil kabut hitam lalu menyapukannya pada betisku. Cahaya yang dikeluarkan oleh tongkat kebesaran tidak tembus pandang lagi. Nyi Ratih dan Eyang Gola hanya menatapku diam.

“Lama sekali kita tidak berjumpa, Paman. Sungguh aku tidak menyangka akan jumpa kembali dengan Paman. Beliau adalah salah satu ponggawa kepercayaan kerajaan, Kanjeng” Ujar Nyi Ratih.
“Tentu saja! Hamba sangat cinta dengan kerajaan ini, Nyi Ratih. Kerajaan yang dengan susah payah dibangun oleh paduka ayahanda Nini Ratu. Hamba juga terlibat membangun istana waktu itu. Hamba sangat tahu bagaimana beliau berjuang menghimpun rakyat kerajaan dari berbagai jenis dan golongan. Baik makhluk laut maupun yang di darat. Tidak mudah menyatukan dua jenis makhluk yang hidup di darat dan laut. Tapi baginda ayahanda Nini Ratu, bisa menghimpunnya” Ujarnya lagi membuatku takjub.
“Baiklah, Eyang. Maafkan jika saya memanggil Eyang. Saya butuh bantuan saran dan pemikiran Eyang untuk kembali menegakkan kerajaan kita. Saat ini, kami hendak ke Dieng menemui Eyang guru kami. Pun sama untuk meminta petunjuk mereka” Ujarku sedikit lega. Paling tidak beliau bisa menjadi referensi bagaimana bentuk kerajaan ini bisa utuh dan bangkir lagi. Nampaknya beliau makhluk yang bisa diarahkan pada kebaikan.

Akhirnya diambil kesepakatan, aku dan Nyi Ratih pulang ke Dieng, sementara Eyang Gola tetap menjaga di sini. Malam besok kami akan kembali. Aku memanggil angin dari laut. Tak lama aku dan Nyi Ratih melesat menuju Dieng, tempat Eyang Guru menunggu kami.

Sebentar lagi subuh tiba ketika aku dan Nyi Ratih menjajakan kaki di tanah. Suasana Dieng nampak sepi. Kami berdua melangkah sejajar memasuki pintu gerbang gaib tempat Eyang Guru bersemayam.

Suasana di tempat Eyang sepi. Hanya ada beberapa kakak seperguruan sedang asyik menata taman, ada yang menyapu, ada juga yang hanya duduk-duduk saja. Nyi Ratih mengucapkan salam.
Sembari terus melangkah menuju pintu masuk kediaman Eyang Guru.
“Nampak sepi, kemana para Eyang, dan kakek ya” Ujarku sambil melangkah.
“Alhamdulilah, sudah pulang Cu?” Tiba-tiba aku kaget hanya mendengar suara Eyang Putih. Mataku celingukan mencari wujudnya.
“Iya, Eyang. Alhamdulilah selamat tidak ada hambatan apa pun” Jawabku meski tidak melihat wujudnya. Aku merasa cukup aneh juga menghadapi Eyang Putih.
Usai salat subuh, kita kumpul di masjid, kita bicarakan rencanamu selanjutnya” Eyang Putih lagi seakan tahu dan menjawab segala hal yang tersimpan di benakku.
“Baik Eyang. Terimakasih” Ucapku mengangguk tanpa tahu harus menghadap ke mana. Mengapa aku tidak mendetekalsi keberadaan Eyang Putih? Batinku. Namun niat itu kubatalkan. Aku takut kelakuanku lancang.

Eyang Kuda adzan subuh di masjid gaib itu. Masya Allah aku merinding mendengarnya. Sangat patut beliau medampingi Pangeran Sentot Ali Basya, bahkan tetap setia hingga kini. Karena beliau memang sosok yang soleh. Irama azannya mirip seperti azan qori kondang di alam nyata. Benar-benar syahdu. Aku bersyukur sekali dipertemukan dengan makhluk-makhluk asral yang berbudaya itu.

Usai adzan, beliau mengumandangkan syalawat. Pun sama merdunya ketika beliau adzan. Aku melihat banyak sekali makhluk asral berduyun-duyun ke masjid untuk melaksanakan subuh berjamaah. Mereka tidak melulu menggunakan gamis serupa para Kyai. Tapi tidak sedikit yang berkain sarung, bercelana sebatas betis, bahkan ada yang berpakaian seperti pengawal-pengawal kerajaan zaman dulu, seperti rompi dan ikat kepala dengan bentuknya yang khas. Sementara yang perempuan tidak sedikit yang hanya mengandalkan baju dan jilbab panjang mereka . Rata-rata mereka berwujud dan mewujudkan diri seperti manusia.

Salat subuh diimami oleh seorang Syech. Aku tidak tahu beliau berasal darimana. Merasakan suasana seperti ini, aku serasa berada di masjid perut bukit Marcawang. Indah dan damai. Padahal di alam nyata hiruk-pikuk bangsa manusia, kerap kali mengunjungi dataran tinggi ini. Namun nampaknya tidak pengaruh, selagi mereka bisa menjaga diri dan tetap beretika.

Usai solat subuh, kami berkumpul seperti intruksi Eyang Putih di teras sebelah kanan masjid. Sebab di dalam nampaknya jamaah masih melakukan kajian agama menjelang matahari terbit. Melihat antusias makhluk asral seperti ini membuat aku iri. Mereka makhluk-makhluk yang tekun dan taat dalam menjalankan ibadah, namun tetap saja menyempatkan diri untuk memperdalam pengetahuan religi mereka.

Ketika semua berkumpul, aku diminta Eyang Putih menyampaikan pengalaman dan rencana apa yang aku lakukan. Aku ceritakan kondisi area istana, lalu menemui Nini Ratu. Termasuk lambang-lambang kebesaran kerajaan telah Nini Ratu serahkan padaku. Selanjutnya kuceritakan pula jika aku ingin membangun istananya terlebih dahulu, baru menarik pulang rakyatnya yang telah menyebar dan liar.
“Kapan rencanamu hendak memulainya, Muridku?” Ujar Eyang Putih. Kukatakan nanti malam aku ingin pembangunan istana sudah dimulai.
“Aku tidak tahu, harus mulai darimana dan bagaimana caranya, Eyang Guru” Ujarku ingin solusi. Sebab aku sadar, aku baru memliki semangat yang membara. Untuk melakukan sesuatu dari awal aku masih butuh bantuan banyak orang.

Ternyata, rencanaku disambut baik oleh semua yang hadir. Eyang Putih langsung menyatakan aku tidak usah pusing soal pembangunan istana itu.
“Eyang akan siapkan material yang dibutuhkan sekaligus perancangnya sesuai keinginanku. Eyang akan minta bantuan sahabat, murid-murid Eyang, terutama dari makhluk asral” Eyang Putri menyanggupi membuatku terkejut. Seketika beliau menghadirkan beberapa orang Kyai dan santri, konon mereka sering menemui Eyang Putih di alam gaib ini. Dari percakapan beliau, Kyai dan santri itu akan menyiapkan seribu santrinya dari makhluk asral yang memiliki keterampilan dan kemampuan untuk membantu pembangunan. Selanjutnya mereka menyatakan akan minta bantu kawan-kawan mereka untuk mengumpulkan sepuluh ribu santri yang bertugas berzikir di area istana.

Demi mendengar itu, aku rasanya ingin melompat girang. Aku tidak bisa banyangkan melihat keajaiban-keajaiban di depan mata.
“Aku akan bawa lima ribu santri malam esok” Jawab Puyang Purwataka. Selebihnya santri yang lain, akan membantu mengundang para santri gaib untuk memenuhi menjadi sepuluh ribu santri pasukan zikir.

Mataku serasa terang benderang mendengar segala kemudahan yang disampaikan di forum ini. Ternyata tidak ada yang sulit jika dibicarakan dengan baik dan disampaikan oleh orang yang baik, serta diterima pula oleh orang yang baik-baik. Semua bersedia menyumbangkan ini dan itu sesuai dengan kebutuhan. Usai diskusi dan semua dinyatakan sepakat, termasuk desain istananya aku minta bernuansa islami, lalu aku sampaikan keinginanku agar di bangun masjid dan pure berdiri sejajar, tidak jauh dari area istana. Kuceritakan jika sembilan puluh sembilan persen rakyatnya beragama hindu. Mendengar itu, beberapa orang santri yang dipanggil Eyang Putih akan memanggil seribu makhluk asral pula yang siap membantu membangun pure. Simpulannya, semua hal berkaitan dengan rencana pembangunan beres dalam waktu singkat.

Aku masih duduk timpuh di sudut musolah, sebagai bentuk utuh manusia. Aku tengah berinteraksi dengan Puyang Pekik Nyaring dan Puyang Ulu Bukit Selepah. Kuceritakan jika aku bertemu dengan Nyi Ratih peri Banyuwangi yang menculikku dulu dan hingga kini mereka menganggapku ratu mereka. Kusampaikan juga perihal pembangunan istana.
“Iya, kami sudah tahu semuanya, Cung. Puyang melihat semuanya. Insya Allah, malam nanti Puyang, Nenek, Kekekmu, akan hadir di pembangunan istanamu” Ujar Puyang Pekik Nyaring. Mendengar itu aku semakin semangat. Rasanya ingin saat ini juga aku melaksanakan amanah besar ini. Aku yakin hari ini aku tidak akan bisa tidur meski sekejap. Rencana nanti malam bukan rencana kecil. Ini adalah peristiwa paling besar pertama dalam hidupku. Bagaimana tidak, tiba-tiba aku harus menjadi ratu, memimpin dan menyatukan sebuah kerajaan yang sudah runtuh dan cerai-berai.
Sambil menghirup udara segar pegunungan, aku bangkit dari duduk di masjid. Aku ingin melihat kehidupan nyata Eyang Putih. Beliau tertawa terkeke-keke ketika tahu aku hadir di alam nyatanya.
“Kau penasaran pada gurumu, ya Cu? Inilah gurumu. Jelek dan tua” Ujarnya seperti menertawakan diri sendiri. Memang aku melihat beliau jauh terbalik dari yang kukenal. Siapa sangka beliau adalah seorang perempuan hebat yang hari-harinya selalu beliau manfaatkan untuk ibadah. Aku seperti melihat permainan teater di depan mata. Eyang Putih pemain drama hebat!
Jika ingin melihat sosoknya yang sebenarnya memang harus masuk ke alam gaib.

Akhirnya meski Eyang Putih nampak cengar-cengir kadang tertawa aku tetap serius menghadapinya. Aku juga belajar memahami karakter beliau di alam nyata.
“Kulungnuwun, mbah…” Aku segera menoleh dan menjawab salam. Seorang petani memanggul sayur dan kentang dalam keranjang bambu. Nampaknya sangat berat. Karena keranjang itu padat. Peluh mengucur dan nafasnya sedikit memburu.

Eyang Putih tidak peduli, dan tidak pula menjawab salam tamunya. Apalagi hendak menghampiri dan mengucapkan terimakasih. Pantas saja beliau dibilang kurang waras, karena memang beliau seperti tidak respon dengan tamunya.
“Darimana Pak?” Sapaku sambil tersenyum melihat Eyang diam saja.
“Dari kampung di lembah itu, Nduk. Kamu tamunya Mbah Sahida ya. Biasanya saya mengetahui jika ada tamu ke mari. Kapan datang Nduk?” Sapanya ramah. Pertanyaan beliau membuat aku sejenak bingung.
“Oh, saya datang tadi malam Pak. Maaf jika tidak sempat bertemu dengan Bapak dan warga” Ujarku salah tingkah. Si Bapak tersenyum kembali sembari meletakan bawaannya di sudut pintu gubuk Eyang Putih.
“Maaf, nampaknya kamu bukan orang Jawa, ya Nduk. Dealekmu seperti orang Melayu” Ujar Si Bapak lagi. Aku tertawa kecil mendapatkan pertanyaan itu. Kujawab saja apa adanya, jika aku berasal dari Sumatera. Si Bapak manggut-manggut.
“Habis panen ya Pak. Itu sayur-mayurnya segar dan banyak sekali. Padahal Eyang sendiri.” Ujarku.
“Iya habis panen, Nduk. Sayur-mayur ini bukan hanya dari saya. Tapi banyak juga titipan penduduk desa. Saya hanya membantu mengantarkan. Saya tahu, Mbah Sahida seringkali kedatangan tamu. Kadang ramai sekali tamunya, Nduk. Merekalah yang memasakan untuk beliau” Lanjut Bapak itu lagi. Aku kembali mengangguk dan tersenyum. Selanjutnya si Bapak mohon diri tidak lupa mengajak aku singgah ke rumahnya. Beliau bilang rumahnya pas di ujung perempatan jalan lurus dari sini. Dalam hati aku kagum dengan keramahannya. Baik sekali Bapak ini. Keramahannya membuatku seperti mengenalnya sejak lama.

“Ayo ikut aku” Ujar Eyang Putih setelah melihat Bapak yang mengantarkan sayur hilang di tikungan jalan. Aku bingung, tadi beliau diam saja rada cuek ketika ada yang datang mengantarkan sayur-mayur. Mengapa sekarang Eyang terlihat gagah dan perhatian?
“Ikut kemana, Eyang?” Bisikku lembut. Tanpa menjawab, Eyang Putih memanggul keranjang sayuran di punggungnya dan menolak kutolong. Aku terbengong melihat Eyang memanggul keranjang sayuran dengan ringannya. Perempuan tua ini membuatku bingung. Lalu beliau memegang tanganku. Tak lama beliau membaca doa-doa dan mantra. Tiba-tiba kami sudah berada di sebuah perkampungan. Aku celingukan seperti mimpi. Aku jadi bingung membedakan alam gaib dan alam nyata. Kami berada di tanah tandus, berbatu dan berpasir. Perdu yang tumbuh di beberapa bagian nampak kering. Di tengah terik dan fatamorgana aku melihat beberapa rumah-rumah kecil terbuat dari kayu. Sekeliling mereka ada hutan-hutan kecil yang gersang pula.
“Eyang, kita dimana?” Ujarku mengiring langkahnya.
“Ikut saja dulu. Hitung-hitung jalan-jalan seputaran kampung siang hari” Ujarnya berjalan cepat.

Di alam nyata, Eyang guruku, orang awam akan melihat beliau seorang perempuan kotor, dekil mirip orang tidak waras. Tapi dimataku beliau seorang perempuan tua yang cantik, gagah, dan karismatik. Aku ikut berjalan cepat mengimbangi langkahnya.
Di depan sebuah rumah kayu, Eyang mengajakku berhenti.
“Kulunuwun..Mbah…ini ada sedikit sayuran untuk masak hari ini, mbah” Eyang Putih mengeluarkan beberapa batang sawi putih dan kentang. Lalu dari balik keranjang beliau mengeluarkan sekantong beras. Ditambahnya pula selembar uang pecahan dua puluh ribu rupiah, masih anyar! Aku terbengong. Darimana beras dan uang itu?

Dari dalam seorang perempuan tua, kurus, keriput dan sedikit kusut, berjalan ngesot menuju pintu. Nampaknya beliau lumpuh sejak lama. Dari sinar matanya nampak sekali jika beliau sangat bahagia menyambut kehadiran Eyang. Dalam logat Jawa yang kental, antara terdengar dan tidak, Si Mbah mengucapkan terimakasih lalu mendoakan Eyang panjang sekali. Lalu Eyang memainkan tangannya, tak lama aku melihat air ke luar dari ujung jarinya. Tanpa disuruh aku mengambil ember yang tergeletak di dekat pintu rumah Mbah, lalu kutampung segera. Aku makin kagum dan tercengang dengan guruku ini. Masya Allah, ridho Allah akan turun pada siapapun yang dikehendakinya. Aku yakin itu. Aku membatin. Aku mohon pamit dengan si Mbah untuk mengisi ember-embernya dengan air lalu menyusunnya di dalam gubuknya. Si mbah diam saja. Nampaknya beliau tidak tahu aktivitas yang kami lakukan. Setelah selesai, Eyang pamit dengan si Mbah, barulah Si mbah sadar.
“Jangan lupa solat, eling karo gusti Allah ya Mbah” Pesan Eyang Putih. Si Mbah mengiyakan dan kembali mengucapkan terimakasih berkali-kali.

Perasaanku masih galau. Melihat kenyataan di depan mata benar-benar menumbuhkan rasa kagumku. Keajaiban-keajaiban itu masih ada di zaman sekarang dimiliki oleh orang-orang pilihan. Eyang guruku termasuk orang pilihan itu. Aku kembali menatap beliau di sampingku. Sayur yang dipanggulnya cukup berat. Tapi Eyang menolak ketika aku meminta agar aku saja yang memanggulnya.

Kami menuruni jalan kecil, licin, dan terjal. Dari gubuk Mbah yang pertama, ada beberapa gubuk yang terbuka dan berpenghuni. Tapi Eyang tidak singgah ke sana.
“Eyang, ada apa dengan gubuk-gubuk itu? Bukankah kehidupan mereka kurang lebih sama dengan Mbah yang tadi?” Lanjutku.
“Iya, sama miskinnya. Tapi mereka terlalu egois. Mereka tidak pernah memperhatikan orang tua itu. Kau tahu, Muridku. Tiga gubuk yang kita lalui itu adalah anak dan menantunya. Allah tidak akan mengangkat derajat hidup mereka. Mereka tetap akan hidup sengsara hingga turunannya. Pekerjaan mereka tidak lebih dari buruh harian. Karena beliau tidak pernah mendoakan orang tuanya, tidak pernah berusaha menyenangkan orang tuanya meski untuk sekadar melihat, menampakkan wajah. Mereka seperti tidak mengenal orang tua itu. Apalagi bertanya kebutuhkan orang tua itu. Alasan merka apa yang bisa mereka bantu sementara mereka hidup miskin. Kemiskinan itu mereka minta. Karena ketika mereka mengatakan dirinya miskin pada dasarnya mereka tengah mendoakan diri sendiri” Ujar Eyang Putih masih berjalan cepat.

Kali ini kami berdiri di depan gubuk kayu lagi. Bedanya, gubuk kayu yang ini sudah tidak layak huni. Pintunya jebol, hanya ditutup dengan karung bekas. Dindingnya demikian, hancur dimakan rayap. Atapnya juga sudah bolong-bolong. Semak belukar nyaris menutupi rumah. Semula aku mengira tidak ada kehidupan di sini. Ternyata, ada satu keluarga. Si ibu berbadan kurus dan lusuh, memangku anaknya seusia dua rahun, berperut buncit, kotor dan dekil. Nampaknya kurang gizi. Rupanya ada tiga lagi anaknya sama dekil dan kurusnya. Usia anak-anak ini seperti anak tangga, sebaya.

Eyang kembali mengeluarkan sayur, kentang, beras dan lembaran uang. Namun kali ini bukan selembar, ada tiga lembar pecahan dua puluh ribu Eyang serahkan.
“Obati anaknya yang itu, Muridku” Ujar Eyang Putih menunjuk anak yang dipangku dengan ujung bibirnya. Aku ijin dengan si Ibu untuk memegang anaknya. Nampak si anak takut-takut menatapku hendak menangis. Pertama kupegang pundakdan kepalanya. Anak ini kekurangan gizi dan cacingan. Matanya nyaris buta. Otaknya bekerja lamban. Aku segera meraba tulang belakangnya, langsung ke syaraf otaknya berusaha memperbaiki syarafnya yang telah rusak. Lalu dengan kekuatan energiku, kukeluarkan cacing di dalam perutnya hingga bersih. Kubuang ke alam gaib. selanjutnya kutransfer energi lagi pada anak kecil itu. Kuangkat agar dia bisa berdiri, lalu kubimbing untuk berjalan. Selanjutnya kusuruh dia mendekati ibunya. Si anak berlari ke pelukan ibunya sambil tertawa. Rupanya selama ini si anak tidak bisa berjalan karena kehilangan tenaga. Sang Ibu menjerit bahagia. Tangisnya pecah dan sujud-sujud pada Eyang sebagai ucapan terimakasih. Senyumku mekar. Aku bahagia sekali melihat ekspresi Si ibu dan Si anak. Akhirnya Kami pun pamit meninggalkan rumah itu.

Sayur dan kentang dalam keranjang masih ada. Kali ini Eyang mengajakku berjalan menyisir sisi gunung. Kami berjalan di sisi jurang yang di bawahnya terhampar ladang. Udara terasa dingin meski terik matahari bersinar terang. Aku tidak banyak berbicara, apalagi bertanya. Aku belajar pada apa yang dilakukan Eyang. Tak lama beliau membelok ke jalan setapak agak menanjak. Keranjang masih berisi setengah. Aku mengirim-ngintip isi keranjang untuk memastikan apakah di dalamnya ada beras? Tidak ada bungkusan beras dalam keranjang. tapi Eyang memberi beras? Bahkan Eyang juga tidak ada kantong atau dompet, tapi beliau bisa memberi uang.

Eyang kembali berhenti di depan satu rumah mirip-mirip gubuk sebelumnya. Aku membantu Eyang menurunkan keranjang sayur yang dipanggulnya.
“Assalamualaikum punten..Mbah…” Lagi-lagi orang tua yang dipanggil Eyang. Aku melongokan kepala ke dalam rumah. Rumah berlantai tanah kering nampak lenggang.
“Kulunuwun…mbah…” Kembali Eyang memanggil sambil mengeluarkan sayur dan kentang. Nampaknya meski tuan rumah tidak ada, Eyang tetap memberikan sayur, beras dan uang.

Benar saja, Eyang meletakkan pemberiannya di atas kursi bambu dekat pintu. Sekali lagi aku mau mengintip keranjang bagaimana Eyang bisa memberi beras? Demikian juga uang. Sekali lagi aku terkecoh, semuanya selalu diambil Eyang dari dalam keranjang. Padahal secara kasat mata maupun tak kasat mata yang kulihat hanya kentang dan sayur sawi putih.

Baru saja kami hendak berajak tiba-tiba dari semak-semak kering muncul seorang lelaki renta, tanpa baju memanggul ranting kayu. Melihat itu aku langsung menghampiri dan menyambar ranting kayunya.
“Maturnuwun Nduk, sopo jenengmu?” Ujarnya senang.
“Namaku Selasih, Mbah” Jawabku lalu meletakkan kayu bakarnya di dekat pintu masuk dapurnya.
“Itu ada sayur dan beras dari Eyang, mbah. Semoga manfaat” Ujarku bahagia ketika melihat ekspresi polosnya. Beliau mengucapkan terimakasih berulang-ulang sembari memengang kantong beras dan uang.
“Ngapain mbah peot ini ke mari? Mau minta-minta ya? Kalau mau minta tuuuu ke sana. Ke pasar!” Tiba-tiba seorang lelaki kira-kira berusia tiga puluhan menyembul dari tebing halaman. Tanpa tanya-tanya lagi langsung saja berbicara kasar. Mendengar ucapannya emosiku langsung naik. Apalagi dia menyebut Eyang Putih ‘mbah peot’. Ingin aku menghancurkan mulutnya seketika. Kulihat Eyang biasa saja, beliau seperti tidak mendengar.
“Apa ini! Pemberian mbah peot ini? Masak memberi sayur busuk? Ini sayur sisa sampah mau dibawa ke pasar. Hei Mbah peot, kalau menghina jangan kebangetan. Masak sayur busuk dikasih ke bapak saya” Ujarnya meradang sambil melempar kentang dan sayur ke arah kami. Bapaknya menjerit-jerit menghalangi. Wajah sumringah bahagia si Bapak berubah drastis jadi tangis. Lelaki tua itu beruarai air mata sembari berlari memunguti kembali sayur dan kentang yang sudah berserakan di halaman.

Aku menatap Eyang Putih menunggu perintah. Aku ingin sekali melihat lelaki ini hingga babak-belur. Apalagi ketika melihat Si Mbah sambil menangis dan menyumpah-nyumpah anaknya terjatuh-jatuh memungut kembali sayur yang berserak. Melihat adegan itu perasaanku hancur. Aku bingung antara ingin menolong Si Mbah, menghajar anaknya yang bajingan itu, atau langsung ikut Eyang Putih yang berjalan meninggalkan pemandangan miris di depan mata. Akhirnya aku menyusul Eyang dengan perasaan kacau. Sepanjang jalan emosiku terasa masih naik. Aku berniat balik lagi ke sini untuk menghajar anak yang sombung itu.
“Tak perlu kau risaukan anak itu. Apalagi hendak menghajarnya. Tidak penting muridku. Jangan kotori tangan dan batinmu. Jika kau sudah berbuat baik, maka ikhlaskan. Jangan pernah mengharapkan sesuatu di baliknya” Eyang seakan paham apa yang ada dalam pikiran dan apa yang akan aku lakukan.
“Biarlah si Mbah menyelesaikan masalahnya. Ini adalah takdir yang harus beliau tanggung. Cobaan untuknya demi menyadarkan batinnya. Ketika masih muda, Si Mbah kurang lebih sama arogan dengan anaknya. Bahkan kerap kali ibunya tidak jadi makan lantaran si anak suka mengamuk dan menghambur masakan yang susah paya di masak ibunya. Itu sebabnya, meski dia sudah tobat setelah tua, namun derajad hidupnya tidak berubah. Sampai sepuh seperti ini dia masih miskin dan susah, lalu dikaruniai anak yang tidak membawa rahmat pula untuknya. Semasa ibunya masih hidup, dia belum sempat minta maaf” Jelas Eyang Putih lagi. Darahku berdesir kencang. Aku jadi ingat kisah Nabi Musa berjalan mengikuti Nabi Khidir. Nabi Musa kaget ketika diperjalanan itu beliau membunuh seorang anak kecil yang tengah bermain dengan tangannya. Ketika nabi Musa bertanya mengapa anak itu dibubuh? Bukankah anak kecil itu terlahir tanpa dosa? Akhirnya pada akhir perjalanan dijawab Nabi Khidir jika anak kecil itu kelak akan menjadi anak durhaka, bahkan dia akan membunuh kedua orang tuanya. Kisah nabi itu justru terlihat di depan mataku meski tidak persis sama. Aku melihat kedurhakaan dan kesombongan seorang anak. Kata Eyang itu adalah hukuman pada Si Mbah karena masa mudanya sering abai bahkan kerap menyakiti orang tuanya.

Sebelum pulang, aku dan Eyang kembali berhenti di beberapa gubuk. Eyang membagikan sayur mayur, uang, dan beras seperti sebelumnya. Melihat isi keranjang, tinggal jatah untuk satu orang lagi. Eyang mengajakku turun. Aku salut pada guruku ini. Meski kelihatan sepuh namun tetap gagah. Kakinya sangat lincah meniti jalan curam meski tanpa alas. Mirip Nenek Kam. Bahkan masuk hutan berduri pun tanpa alas kaki.

Kali ini kami singgah di salah satu rumah terpencil, jauh dari perkampungan. Awan berarak sangat dekat di atas kepala kami. Angin terasa menyengat dingin. Matahari belum mampu menembus dingin di pegunungan. Eyang kembali mengucap salam berkali-kali di depan pintu yang terbuka. Di dalam gubuk terdengar ramai sekali. Ada suara anak menangis, berteriak, menjerit, dan sebagainya. Tak lama muncul perempuan muda berwajah kusut, sekusut pakaian yang dikenakannya. Melihat kehadiran kami nampak wajahmu sedikit takut. Namun Eyang Putih dapat menenangkan perasaannya.
“Nduk, ini sayuran untukmu dan anak-anakmu. Ini beras, dan ini uang. Segera masak nasi dan sayuran, agar anak-anakmu makan. Mereka lapar” Ujar Eyang.
Si ibu muda dengan kepolosannya mengucapkan terimakasih pada Eyang. Tak lama aku melihat tangan Eyang bergoyang-goyang seperti menarik sesuatu. Aku kaget melihat kayu bakar berterbangan dan menyusun diri di samping dapur perempuan muda itu. Eyang juga memintaku mengambil penampungan air. Aku melihat ada ember dan jerigen kosong. Kutampung air yang ke luar dari telunjuk Eyang Putih. Lagi-lagi yang punya rumah tidak tahu yang kami lakukan. Setelah selesai Eyang berkata permisi mau pulang, baru yang punya rumah sadar.
“Perempuan muda itu, janda. Usianya masih sangat muda. Dia menikah dalam keadaan yatim piatu. Ketika hamil anak ke empatnya, suaminya meninggal. Lihatlah keempat anaknya masih kecil-kecil. Dia pontang-panting sendiri untuk menghidupi anaknya. Dengan kita bantu tadi, paling tidak dia bisa menikmati istirahat beberapa saat untuk tidak ke hutan mencari kayu bakar dan mengambil air di ceruk sana.” Eyang menunjuk lembah jauh dari tempat kami berdiri. Perempuan beranak banyak ini hampir sama dengan perempuan sebelumnya. Diam-diam aku meneteskan air mata. Aku sungguh terharu dengan pembelajaran hari ini. Jiwaku seperti digebleng dengan perasaan yang saling berbenturan. Aku menyadari betapa dangkal pengetahuan dan pemahaman yang kumiliki.

Bersambung…

2 tanggapan untuk “HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (85B)

  • 10 Desember 2020 pada 18 h 12 min
    Permalink

    Masya allah,subhanallah .saya sampai menangis membaca cerita ini, mohon di lanjutkan kisah nya ,saya penggemar setia di Harimau sumatera hewan beradat
    Saya dari sumatera selatan ,saya yakin ini pembelajaran dari pada membaca manga lebih baik membaca kisah ini ,saya doakan semoga semakin maju blog ini
    Amiinn

    Balas
  • 11 Desember 2020 pada 13 h 40 min
    Permalink

    Dongeng bagus ditengah banyak ujaran yg membangkitkan kebencian…. Teruskan Dang Khedum.

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *