HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (94B)

Karya RD. Kedum

Aku segera membuat sebuah lingkaran besar mengelilingi area tempur Macan Kumbang dan naga emas, untuk menghindari campurtangan makhluk astral dari luar. Apalagi ketika melihat cahaya mata makhluk astral rata-rata berkilat-kilat seperti cahaya api.
“Mengapa kau pagari area pertempuran itu cucu Adam? Apa maksudmu?” Salah satu makhluk astral menegurku sambil menghampiri dengan langkah seperti angin bertiup kencang. Melihat dia berjalan penuh energi sebenarnya aku ingin bangkit. Namun akhirnya aku bertahan duduk tanpa menjawab pertanyaannya. Namun sebelumnya, kupagari juga diriku demi menghindari serangan jahil makhluk-makhluk di sekitarku. Mereka tahu jika aku bisa berada satu frekuensi dengan mereka meski jasadku utuh sebagai manusia.
Duk!!
Hantaman tongkat digenggamannya membuat tubuhku terlonjak. Hebat juga makhluk laut ini. Dia marah karena aku tidak menjawab pertanyaannya.
“Hei! Anak manusia. Kau dengar pertanyaanku? Mengapa kau pagari area pertempuran itu? Apakah karena kau berasal dari gunung? Lalu ikut-ikutan membela harimau jelek itu?” Ujarnya lagi. Aku langsung melotot menatapnya ketika mendengar sebutan harimau jelek. Apa tidak salah? Padahal secara fisik meski terlihat besar tinggi gagah, tapi tampangnya sangat jelek. Tidak ada sempurnanya meski mirip-mirip bangsa manusia.
“Apa urusanmu soal pemagaran itu? Sengaja kupagar karena aku tahu kelicikkan kalian. Kalau tidak ada apa-apanya mengapa kamu harus bertanya?” Ujarku balik. Rupanya dia langsung mengirimkan pukulan padaku. Tapi karena pukulannya setengah-setengah, langsung mental setelah menghantam dindingku.

Awan hitam masih bertahan di langit tempat kami berkumpul. Hingga kini aku belum tahu apa persoalan pertarungan naga emas dan Macan Kumbang. Pertempuran sangat seru. Aku melihat keduanya mempertahankan hidup dan mati. Serangan-serangan mematikan terlihat seleweran, bahkan nyaris beberapa pukulan tidak bisa dilihat dengan mata.

Perhatianku beralih pada makhluk laut yang mendekat dan berusaha memukulku. Melihat pukulannya mental dia makin marah.
“Dasar pecundang! Tahunya hanya melindungi diri. Anak manusia tidak ada gunanya. Pandainya hanya pagar, ke pagar! Kalau kau sakti ke luar!” Ujarnya lagi. Aku kembali menatapnya tajam. Ingin rasanya kugulung saat itu juga. Tapi aku belum tahu motif pertempuran Macan Kumbang dan naga emas. Aku masih membaca situasi untuk bertindak.

Akhirnya aku fokus dengan Macan Kumbang. Dia lebih penting dibandingkan dengan makhluk laut yang menghentak-hentakkan tongkat karena tidak bisa berbuat apa-apa. Tiba-tiba aku melihat makhluk astral berupa naga emas itu mengeluarkan api dari mulut berbarengan dengan ekornya menyebat ke arah Macan Kumbang ditambah energi dalamnya yang luar biasa. Melihat situasi itu, aku tidak bisa diam. Spontanitas kukirimkan pukulan untuk menghalangi semburan api ganas dari mulutnya. Benturan menjadi ledakan-ledakan. Api dari mulut naga berbalik arah ke wajahnya. Aroma gosong seketika menyeruak. Kumis naga emas terbakar.

Uuuggggrrrhhh!!
Mengetahui dirinya terbakar, Naga emas marah. Matanya beralih mentapku tajam. Situasi itu dijadikan kesempatan Macan Kumbang melakukan pemukulan.
Booom!!!
Suara seperti bom jatuh, membiarkan air memercik ke mana-mana. Aku memperhatikan akan seperti apa hasilnya. Apakah naga berwarna emas itu akan mati terapung atau bagaimana? Habis mengirimkan pukulan, Macan Kumbang ikut terlempar. Melihat tubuhnya terhuyung, aku langsung mengirimkan energi untukmu agar dia bisa berdiri gagah kembali.

“Hai! Cucu Adam! Ternyata kau licik! Lawan aku. Keluarlah dari lingkaran pelindungmu” Lagi-lagi aku dibentak makhluk laut yang bermata tajam ini. Kembali tubuhku terlonjak ketika dia memukulkan tongkatnya ke tanah. Melihat dia seperti tidak puas, kukirimkan pukulan dengan cepat. Pukulanku mengenai bagian perutnya dengan telak. Akibatnya makhluk laut itu terlempar jauh tanpa sempat bertahan, atau mengelak dari seranganku.
“Kurang Ajar! Keluar kau manusia sialan!” Makhluk laut itu kembali melesat mendakati aku. Sekarang dia tidak sendiri. Tapi di samping dan belakangnya telah berdiri puluhan sosok yang siap membantunya. Aku hanya menatap dan mengukur kemampuan mereka. Mereka hendak mengeroyokku, menyamakan energi lalu bersama-sama menyerangku.

Melihat makhluk laut hendak menyerang, aku kembali mengayunkan tangan. Langit kembali kugelapkan agar aku pun tidak silau melihat mereka. Kusalurkan energi lewat seluru tubuh masih sambil duduk. Tak lama benar saja, seperti diberendong ratusan sejata api, kekuatan lawan mulai mengarah semua padaku. Pagar dan energi yang kukeluarkan seperti menyerang lawan. Semua pukulan yang diarahkan padaku balik memukul mereka. Mereka jadi kalang kabut. Bingung harus berbuat apa. Tak lama pasir yang kududuki seperti terangkat. Ribuan sosok seperti menyundul karet hendak menembus masuk dari bawah pasir. Melihat tonjolan-tonjolan kepala akhirnya dengan cepat kuinjak sembari mengirimkan dorongan seperti hentakan menghantam kepala-kepala mereka dengan cepat. Tak lama kulihat ada seperti cahaya melesat kembali di luar pagarku. Mereka makhluk-makhluk astral yang telah terluka. Bahkan kepala mereka ada yang remuk dan pecah.

Melihat kondisi kawan mereka ada terluka dan tewas, kembali makhluk laut ini menyatukan kekuatan. Kali ini mereka menyerang dari atas. Kekuatan yang mereka himpun kurasakan semakin kuat. Bahkan tiga kali lipat dari sebelumnya. Aku terhempas ke sana ke mari dalam pagar yang kubuat. Melihat aku terbanting ke sana ke mari, mereka semakin gencar melakukan serangan. Semua senjata mereka keluarkan dan dipakai untuk menyerangku. Akhirnya aku berusaha duduk. Aku tidak mungkin melawan mereka dengan fisik seperti ini. Aku segera bersedekap, lalu ke luar dari dari jasadku. Kutinggalkan jasadku yang duduk sambil berzikir.
Hiiiiiiat!!
Aku ke luar dari pagar, membalas serangan-serangan lawan.

Melihat aku ke luar dari pagar, secepat kilat mereka bergerak hendak menyambar tubuhku dengan pukulan dan kilatan sejata pusaka mereka. Beruntung aku segera meraih selendangku, lalu menyapukannya hingga terjadi benturan-benturan yang mengeluarkan percikkan api. Aku memainkan selendang sesukaku. Kadang kubuat seperti mainan sekadar untuk memancing mereka agar energinya terkuras namun tidak menghasilkan apa-apa.
“Kau jangan telalu sombong anak manusia. Sejak zaman nenek moyangmu Adam, kami tidak pernah takut melawan bangsa kalian. Kau jangan coba-coba mempermainkan kami. Apa kamu tidak tahu jika jumlah bangsamu di muka bumi ini lebih dari separuh menjadi pengikut kami. Kelak mereka menjadi budak dan kawan kami di neraka” Ujar salah satu makhluk astral yang paling perkasa. Mungkin sosok ini adalah raja jin laut atau ponggawanya. Ilmunya sangat tinggi. Mendengar ocehannya kutertawakan saja.
“Silahkan, aku tidak peduli meski katamu bangsaku banyak yang bersekutu, bahkan menyembah bangsa kalian. Tapi masih banyak bangsaku yang beriman, yang kalian takuti. Satu orang bangsaku yang beriman, dapat memusnahkan seribu sosok kalian dalam waktu singkat. Berbeda dengan kalian, untuk menakhlukan satu orang, butuh proses yang panjang. Kalian makhluk licik, pantas jika disebut kafir. Karena kalian tidak kenal dengan Tuhan Allah SWT, yang menciptakan alam semesta, menciptakan jin dan manusia” Jawabku.

Mendengar aku meremehkan mereka, kembali suara menggeram dan marah. Tatapan mata mereka kembali menyala. Mulailah serangan-serangan gaib mereka kirimkan lalu kusambut dengan bentangan selendang kemudian kuhentak kembali ke arah mereka. Tak lama suara jeritan kematian bercampur baur dengan jeritan menyerang. Beberapa sosok makhluk astral tumbang.

Sebenarnya aku tidak paham sepenuhnya motivasi mereka menyerang dan hendak membunuh ini. Pukulan-pukulan yang mereka kirimkan bukan pukulan hendak melumpuhkan. Namun lebih pada nafsu membunuh. Hawa panas mulai melingkari area pantai Sungai Suci ini. Debur ombak makin tinggi. Di kejauhan kulihat beberapa makhluk astral menjadi penonton. Bahkan yang berdiri di atas kami pun seperti bayang-bayang banyak yang mengawasi.

Melihat serangan mereka makin kuat, akhirnya kubaca mantra bayu segoro warisan leluhur Timur Laut Banyuwangi. Tak lama makhluk-makhluk astral yang berasal dari laut itu digulung angin kencang. Tubuh-tubuh mereka seperti daun disambar angin, lalu diputar dalam kecepatan tinggi. Kadang melebar, kadang memgerucut seperti angin puyuh. Tak lama, kubuat anginnya seperti bor lalu ujungnya yang mengerucut seperti menggali bumi. Kudorong sosok-sosok itu masuk ke dalam perut bumi lalu kukunci dengan kalimat Allah dari berbagai sisi. Dalam waktu singkat, suasana pantai Sungai Suci sedikit lengang. Hanya suara Macan Kumbang dan ular naga berwarna emas saja yang masih bertempur saling serang.

“Perlu kubantukah?” Aku berusaha berkomunikasi dengan Macan Kumbang. Pertemanan masih terlihatbseimbang meski ular naga berwarna emas itu sudah terluka.
“Tidak usah. Sebentar lagi aku akan akhiri pertempuran” Jawab Macan Kumbang. Akhirnya aku kembali menyatu dengan jasadku, mengawasi Macan Kumbang dari dalam pagar gaibku.

Pertempuran ke duanya makin meningkat. Kulihat Macan Kumbang turun ke pasir, kalau menggeram dan menggali pasir dengan cepat. Aku melihat akan terjadi satu benturan hebat dari kekuatan Macan Kumbang. Tak lama tubuh Macan Kumbang mulai melengkung. Kali ke dua aku melihat Macan Kumbang mengeluarkan ajian warisan leluhur gunung Dempu ini. Pertama ketika beliau melawan pasukan Banyuwangi yang sakti, saat mereka hendak menculikku dulu. Lalu sekarang melawan naga emas dari laut Sungai Suci.

Aaaaauuuugggghhh!
Macan Kumbang menjerit sembari mengumpulkan kekuatan langit dan bumi. Aku berusaha mengendalikan diri agar tidak kena radiasi kekuatannya. Tak lama benar saja, aku melihat kekuatan langit dan bumi seperti gunung yang bergulung di tangan Macan Kumbang. Sementara naga berwarna emas pun mengumpulkan kekuatan baru untuk melawan Macan Kumbang.

Tiba-tiba aku mendengar suara gemuruh seakan meruntuhkan apa saja yang ada di lingkungan pantai. Sementara ular naga berwarna emas tak kalah dasyatnya. Dia gulung ombak menjadi kekuatan yang akan dia jadikan tameng menolak kekuatan Macan Kumbang. Aku membayangkan akan terjadi benturan hebat. Saat kedua kekuatan itu meluncur berhadapan, bumi bergetar seperti gempa. Diikuti desau angin yang luar biasa melebihi kekuatan badai. Batu dan pasir mulai terangkat. Tubuhku pun ikut terangkat meski bibirku terus melafaskan zikir.
DUAAARRR!!
Benar saja, benturan hebat itu membuat area pantai Sungai Suci tidak karuan. Angin, air, tanah, batu, seperti lebah berdengung dan terbang ke sana kemari. Suasana alam menjadi gelap gulita. Ternyata dalam suasana gelap Macan Kumbang belum mengakhiri serangannya. Begitu juga ular naga berwarna emas itu. Keduanya kembali mengirimkan pukulan-pukulan susulan. Al hasil bumi seperti kiamat. Dalam kegelapan sambil terus berzikir aku fokus memerhatikan Macan Kumbang. Aku tidak ingin Macan Kumbang terluka.

Ternyata zikir yang kulafaskan cukup membantu. Serangan-serangan naga berwarna emas nyaris tidak berimbas pada Macan Kumbang. Batu, pasir, dan air laut ikut bertasbih bersama bulu-bulu Macan Kumbang. Melihat kekuatan itu aku merinding. Betapa dasyatnya ketika Sang Maha pencipta dilisankan. Benturan ke dua pun terjadi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Kekuatan tenaga dalam yang ke luar justru memacu zikir semakin cepat. Aku menyesuaikan diri dengan nada dan suara yang halus itu. Air laut pun ikut bertasbih meski membucah karena kena hantaman dua kekuatan makhluk yang sama saktinya.
GgggarRRrr!
Macam Kumbang menggeram sekali lagi. Tak lama sekelebat kilatan cahaya seperti menyerang naga berwarna emas. Naga emas melengking tinggi dan memberontak. Tak berselang lama, aku melihat kabut hitam bergulung di area pertempuran. Aku berusaha menembusnya untuk memastikan Macan Kumbang tidak apa-apa. Tak lama kulihat naga berwarna emas berubah menjadi asap berwarna kuning, lalu dengan cepat menyusup ke bawah pasir. Naga berwarna emas melarikan diri melalui bawah tanah lalu masuk ke dasar laut. Ketika alam terang kembali, Macan Kumbang mencari-cari sosok naga berwarna emas itu. Rupanya pagarku tidak sampai ke kulit bumi. Aku memang hanya memagar luarnya saja sebatas pasir sekadar menghindari gangguan makhluk lain yang berniat membokong Macan Kumbang dari belakang. Makanya naga berwarna emas itu bisa kabur dari serangan Macan Kumbang.
“Dia sudah melarikan diri ke dasar laut, Kumbang. Siapa dia? Mengapa kalian bertempur mati-matian? Siang bolong lagi?” Ujarku. Siang hari saja pertempuran mereka luar biasa. Apalagi jika dua makhluk tadi bertempur malam hari.
“Aaaah! Kurang ajar! Lolos lagi!” Macan Kumbang seperti sangat kecewa. Lama aku menatapnya berharap Macan Kumbang memberi penjelasan motif pertempuran ini.
“Kau tahu, Selasih. Naga berwarna emas itu adalah jelmaan Aji Galangga. Raja zolim yang berambisi hendak menguasai daratan dan sisi pantai yang menghadap ke Samudera Hindia ini. Bahkan dia pernah mengacak-ngacak bagian selatan Bengkulu hingga ke gunung Dempu. Dia sangat licik. Waktu itu dia melarikan diri juga ketika hendak dibekuk ” Ujar Macan Kumbang. Oh! Rupanya dia pernah mengacak-ngacak gunung Dempu. Pantas Macan Kumbang sangat serius bertempur dengannya. Sayang aku baru tahu. Kalau aku tahu dari awal, akan dibantu Macan Kumbang membekuknya. Aku malah menahan bala tentaranya.
“Tapi makhluk itu sudah terluka loh” Ujarku lagi.
“Tapi dia bisa memulihkan diri setelah bertapa” Sambung Macan Kumbang. Ketika aku berniat mengejar dan mencarinya di dasar laut, Macan Kumbang melarangku. Alasannya terlalu berbahaya. Aku segera meraih lengan Macan Kumbang, kusatukan telapak tanganku ke tangannya, lalu kuangkat tinggi-tinggi. Macan Kumbang patuh saja. Kusatukan kekuatan Macan Kumbang dan kekuatan yang kupunya. Aku membaca mantra-mantra untuk menyibakkan air laut. Tak lama, setelah tangan kami berdua kuturunkan, dan kuarahkan ke laut, tiba-tiba air laut seperti terbelah. Air menyingkir ke kiri dan kanan beberapa puluh meter hingga dasar laut terlihat jelas, persis seperti lembah dan bukit. Aku segera menajamkan instingku mencium keberadaan naga berwarna emas. Beberapa kali kutajamkan penciumanku, namun tidak juga kutemukan. Akhirnya kupusatkan pikiranku. Kuikuti sosok asap yang menyusup ke dalam pasir, rupanya beliau berlari dan berlindung di sebuah istana jauh di tengah samudera. Di bawah laut itu ada gunung merapi yang sangat tinggi, melebihi ketinggian gunung Dempu. Di sanalah naga berwarna emas itu kembali. Aku memperkirakan dia adalah salah satu hulubalang dikerjaan gunung merapi bawah laut itu.

Pelan-pelan, kutarik tanganku dan tangan Macan Kumbang. Air yang semula terpisah, berangsur-angsur menyatu. Laut kembali seperti semua. Dataran rendah dan baru karang serupa bukit tertutup kembali. Aku membuka mata dan melihat Macan Kumbang seperti kelelahan.
“Masya Allah! Nyaris aku mati tidak kuat ketika menahan air laut bersisihan. Sementara kamu biasa-biasa saja. iiih!” Macan Kumbang menyentil hidungku. Aku terbahak melihat wajahnya sedikit kecut.
Plak!
Aku tempelkan lenganku di punggungnya. Kucoba mentransfer energi pada Macan Kumbang. Tak lama ekspresinya normal kembali. Sekarang gantian aku menyentil hidungnya.

Setelah pagar area tempur kubuka, langit terang kembali, dan para makhluk astral yang menonton kembali ke tempat mereka masing-masing, tinggallah aku dan Macan Kumbang berdiri di bibir pantai yang curam. Menatap ombak bergulung dari kejauhan. Aku masih membayangkan ada gunung merapi di bawah laut. Kalau bukan siang hari, aku sangat ingin bisa melancong ke sana. Meski baru melihatnya sekilas, istananya nampak megah dan indah.

Akhirnya aku dan Macan Kumbang memutuskan untuk pulang. Aku segera melompat dan memeluk punggung Macan Kumbang tanpa pamit lebih dulu. Kali ini aku enggan berjalan. Panas yang terik membuatku ingin segera sampai rumah.
“Anak nakal! Turun! Jalan kaki!” Ujar Macan Kumbang. Aku pura-pura tidak mendengar. Justru kurebahkan tubuhku memeluk punggungnya seerat mungkin. Tak lama aku merasa angin mendesing. Macan Kumbang telah melompat dan melayang didorong angin. Aku menikmati kenyamanan di punggungnya. Kebiasaan ketika aku masih kecil, sudah lama sekali kutinggalkan. Dulu aku selalu dipanggulnya tiap kali akan pergi. Baru beberapa menit, aku telah sampai di halaman rumah. Untung Bapak dan Ibu sedang berada di dalam rumah. Jika mereka sedang duduk di teras, mereka pasti kaget melihat aku tiba-tiba sudah ada di halaman.

Aku segera masuk sambil mengucapkan salam, sedikit berteriak memanggil mereka berdua. Rupanya Bapak dan Ibu sedang asyik ngobrol di dapur. Aku segera mengabarkan jika aku lulus seleksi masuk Perguruan Tinggi dan diterima di Universita Riau, sambil menyodorkan koran pengumuman. Ibu langsung berteriak dan mengucapkan ‘Alhamdulilah’ berkali-kali. Nampak sekali kegembiraan pada wajahnya. Sinar mata Ibu berkaca-kaca. Air muka Bapak pun nampak ceria. Aku memeluk keduanya.
“Hei! Kok kaki, bajumu, berpasir? Kamu dari pantai?” Tiba-tiba Ibu sedikit mendorong tubuhku untuk memastikan benar atau tidak pasir laut. Aku kaget sendiri. Ternyata banyak pasir yang menempel di kaki, celana panjang, dan bajuku. Bahkan pasir yang menempel masih basah. Aku bingung mau menjawab apa. Seperti biasa Macan Kumbang akan tertawa menggodaku sambil melet-melet dan joget-joget gembira, berharap aku gelagapan menjawab pertanyaan Bapak dan Ibu yang penuh selidik. Ingin rasanya aku membekuknya. Tapi berhubung ada Bapak dan Ibu, tidak mungkin aku melakukannya, Macan Kumbang semakin menjadi-jadi.
“Iya, Bu. Tadi aku ke pantai dulu” Jawabku sambil berharap tidak ada pertanyaan lanjutan.
“Pantai mana? Dari UNIB kan? Kan jauh dengan pantai?” kali ini Bapak yang bertanya. Lagi-lagi melihat Bapak yang bertanya Macan Kumbang kembali melompat-lompat girang. Akhirnya aku pura-pura tidak melihat padanya.
“Weeeek! Syukurin. Terus Pak, tanyain! Jalan-jalan ke mana anak gadis Bapak. Dia ini bandel loh, Pak” Macan Kumbang melet-melet lagi, lalu mendekati Bapak dengan gaya seperti orang melapor. Sementara Bapak tidak tahu menahu jika Macan Kumbang berdiri di hadapannya. Akhirnya aku tidak bisa menahan diri tertawa.

Mendengar aku tertawa, Bapak dan Ibu kaget. Keduanya saling pandang. Ibu mengusap-ngusap tangannya pertanda merinding. Lalu bersamaan keduanya menatap padaku. Aku segera mengatupkan kedua tangan minta maaf pada mereka. Aku mengedipkan mata pada Bapak. Bapak langsung mengerti dan ekspresinya langsung berubah. Giliran ibu yang heran melihat kami berdua.
“Ada apa si kedip-kedip mata? Ada kawanmu, Dek? Si A Fung anak Tiong Hwa itu ya?” Tanya Ibu sambil masih mengusap lengan dan tengkuknya. Aku hanya menggeleng tidak berani menjawab. Ibu langsung menempel dekat Bapak. Padahal Macan Kumbang sangat dekat dengannya. Akhirnya Macan Kumbang hanya bisa menahan tawa sambil menutup mulutnya.

“Aku sudah harus berangkat untuk daftar ulang ke UNRI, dua minggu lagi, Bu” Aku mencoba mencairkan suasana sembari mengalihkan obrolan. Ibu menatapku serius.
“Besok kita pulang ke Seberang Endikat, Pak. Kita giling kopi, dan jual untuk kebutuhan Dedek” Lanjut Ibu. Kulihat Bapak mengangguk sambil berpikir bagaimana caranya aku bisa sampai ke Pekanbaru.

Akhirnya setelah diskusi, aku akan diantar kakak sulungku, Syahrial Hasan berangkat ke Pekanbaru. Beliau akan mengantarku hingga aku selesai daftar ulang dan mendapatkan tempat kos. Nyaris bermalam-malam aku tidak dapat tidur nyenyak karena aku akan tinggal sendiri jauh dari keluarga. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa kampus UNRI dan kota Pekanbaru. Tidak banyak kuketahui negeri lancang kuning itu, selain mengetahui di pelajaran bahwa Riau adalah negeri kaya karena kilang minyak buminya yang dikelolah caltex. Memiliki wilayah yang luas daratan dan kepulauan hingga perbatasan dengan negeri jiran, Singapura dan Malaysia. Dorongan untuk merantau jauh menghentak-hentak dadaku. Tidak ada kekhawatiranku sama sekali. Justru muncul satu tekad, aku harus berhasil mewujudkan cita-cita dan harapan kedua orang tuaku. Aku selalu ingat kata kakek Haji Yasir, jika ibu Bapakmu makan tanah, maka kau harus mengubahnya makan roti. Maksudnya jika orang tua kita pertani, maka kita harus mangubah nasib, mengangkat derajat orang tua kita.
“Malam nanti kita jalan-jalan ke kota Pekanbaru. Negeri Lancang Kuning, tempat bersemayamnya Datuk Sembilan Pangkah. Beliau penguasa bukit Barisan bagian Utara pulau Sumatera perbatasan dengan Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Jambi. Hmmm…sebuah petualangan yang indah” Ujar Macan Kumbang memacu semangatku membuat aku semakin bulat ingin merantau.
“Beliau bangsa apa, Kumbang? Manusia harimaukah? Sebangsa dengan nenek gunung Dempukah?” Tanyaku penasaran. Macan Kumbang hanya mengangkat alis tidak mengiyakan tidak pula menolak. Akhirnya aku mengambil simpulan, nanti juga akan bertemu.

Macan Kumbang menatapku lekat-lekat. Aku tersenyum karena aku tahu dia tengah membaca pikiranku. Iya, aku memang sedang berencana hendak mengajak Alif ikut bersama Macan Kumbang malam nanti jalan-jalan ke Riau. Tak lama, Macan Kumbang mengangguk pertanda setuju. Aku langsung berlari memeluknya. Sambil mengusap kepalaku Macan Kumbang berkata, kadang dirinya lupa kalau Putri Selasih telah tumbuh menjadi remaja dewasa.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *