HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAB VI (98B)

Aku terperanjat mendengar ledakan yang maha dasyat itu. Aku belum sempat memperkirakan darimana asal ledakan ketika melihat percikan api menyambar ke mana-mana. Area jurang yang gelap tiba-tiba menjadi terang benderang. Percikan api tidak hanya mengeluarkan suara gemelitik, tapi juga mendesis seperti bara kena air. Aku mundur beberapa langkah ketika percikan api seperti hendak mengenai tubuhku. Meski tidak seberapa tapi hawa panas cukup terasa. Belum lagi suara tawa menggelegar Datuk gila yang sampai sekarang tidak muncul batang hidungnya. Rupanya dia memakai ilmu silam sehingga lawan tidak bisa melihat wujudnya. Melihat kondisi seperti ini, aku makin meningkatkan kepekaan batinku. Bisa jadi dia menyerangku tiba-tiba. Meski beberapa kali aku mencoba untuk masuk ke dalam alamya, namun selalu gagal. Perisai yang dimiliki Datuk sinting benar-benar kuat. Dalam hati aku bertanya-tanya, ilmu dari mana bisa silam ini. Nampaknya baru kali ini aku menemukan sesuatu yang aneh di Tanah Sumatera ini. Ada juga aku mengenal ilmu silam baik oleh manusia mau pun bangsa jin. Tapi dengan kepekaan yang kumiliki tetap saja batinku bisa melihatnya. Menghadapi Datuk satu ini aku selalu gagal. Belum hilang rasa pukauku pada ledakan dan percikan api yang cukup lama, tiba-tiba bermunculanlah api seperti obor yang terbang dan tergantung di udara. Banaspati! Aku membatin. Wujud jin api yang memiliki kemampuan luar biasa, sering dipuja oleh bangsa manusia untuk mendapatkan kekuatannya. Sehingga rata-rata manusia yang memiliki banaspati ini akan terlihat sakti mandraguna. Mereka akan memuja iblis dan dajjal bersekutu dalam kehancuran. Sejenak aku terheran-heran. Rupanya di tanah Sumatera ada juga banaspati. Selama ini kuketahui paling banyak penganut ilmu banaspati ini para petapa-petapa sepanjang pesisir kerajaanku, Timur Laut Banyuwangi. Dan beberapa perguruan yang tersebar di Pulau Jawa.

“Bagaimana anak gadiah, masih penasaran denganku? Setiap makhluk yang datang ke mari, hanya dua pilihan, mati atau menjadi pengikutku” Suara Datuk misterius serak. Kujawab ancamannya dengan tawa lebih menggelegar dari tadi. “Datuk gilo! Dengar, pasang talingo Datuk tajam-tajam! Aku tidak akan ke mari kalau tidak punya nyalih. Menghadapi iblis seperti Datuk, tidak akan membuatku mundur. Aku ke mari, pertama mengingatkanmu. Datuk telah kurang ajar, meremehkan Macan Kumbang calon suami Putri Bulan. Dan meremehkan Putri Bulan calon istri Macan Kumbang. Aku akan buat perhitungan atas nama mereka berdua. Selanjutnya, seperti janjiku, aku ingin mencuci atau menyumpal mulut kotormu!” Ujarku tak kalah kencangnya. Suaraku sampai menggema di jurang. “Mengapa harus kau, Piak. Mana Macan Kumbang dan Putri Bulan pujaanku, calon istriku? Biarkan kami bangsa gaib menyelesaikan masalah kami sendiri. Kau bangsa manusia, tidak usah ikut campur!” Datuk misterius menjawab. Kali ini kudengar suaranya dari arah Timur. Berarti beliau sudah ke luar dari goa. Sementara api yang menggantung masih terus menyala seperti terpaku di udara. Namun aku tidak mau terkecoh. Aku membaca desir angin sembari berpikir bagaimana untuk mewujudkan. Mengalahkan ilmu silamnya. “Tak perlu keduanya mengotori tangan mereka untuk menghadapimu, Tuk. Cukup aku saja” Jawabku lagi. Melihat api yang bergantung di udara mulai bergerak, aku semakin waspada. Ilmu iblis ini tidak bisa dianggap remeh. Apalagi jumlahnya tidak sedikit. Aku yakin area jurang ini akan hancur karena kekuatannya. Getar-getar halus tanah yang kuinjak sudah mulai kurasakan. Berulang kali aku menepis semacam kabut yang berusaha menutupi daya pandang yang kumiliki. “Untuk menghadapi seorang perempuan saja, sampai sebegitunya Tuk? Silakan keluarkan semua banaspatimu. Agar kalian tidak mati penasaran” Sahutku sembari memecah diri jadi enam sosok. Enam sosokku sudah kupagari dan masing-masing kubekali senjata. Sang Datuk tertawa lebar lalu menjawab, di alamnya tidak ada aturan tidak boleh melawan seorang perempuan. Itu hanya ada di alam manusia saja. Di alam gaib semua sama. Perempuan dan laki-laki adalah lawan jika sudah bersentuhan dengan keilmuan. Aku membenarkan apa yang disampaikan beliau. Apalagi seperti golongan makhluk satu ini, mana ada etika, tata krama dan lain sebagainya. Yang penting baginya ingin disegani dan diakui tersakti. Mereka tidak suka jika ada yang menyaingi. Jika ada yang memiliki kemampuan lebih, maka wajib dijajal. Kalau kalah maka jadi pengikutnya atau sebaliknya. Hukum rimba masih berlaku. Aku berusaha berpikir cepat untuk bertindak. Bayanganku kukerahkan untuk melawan banaspati. Keenamnya sudah duduk bersila menghadap ke bibir jurang siap adu kekuatan menghadapi banaspati. Keenam bayanganku mulai membaca doa dan berzikir. Padahal zikir baru saja di mulai. Namun energi banaspati mulai terasa menggetarkan. Bahkan sangat kencang. Dua energi saling beradu seperti gelombang dengan warna yang berbeda. Enam banyanganku mengeluarkan cahaya putih hingga seperti cahaya yang menyilaukan. Sementara banaspati mengelurkan cahaya berwarna kuning kadang oren. Aku masih fokus mencari sosok Datuk sinting yang masih tak mau menampakkan diri, ketika api yang menyala mulai mendekat ke arah enam bayanganku. Enam bayangaku tak bergeming dari tempat duduknya. Kepala mereka menunduk dengan mata terpejam pertanda mereka tengah khusuk. Banaspati bergoyang-goyang di udara. Ada yang bergerak ke atas seperti hendak menyerang dari atas, ada yang bergerak lurus, ada yang berputar dengan cepat seperti gasing. Kekuatan iblis ini memang luar biasa. Belum menyerang saja energinya sudah membentur kemana-mana.Lagi-lagi Datuk misterius itu tertawa terpingkal-pingkal sambil terus meremehkan aku. Aku tidak peduli dengan ejekannya. Aku fokus dengan arah suaranya. Sekarang aku baru sadar jika suaranya di Timur maka dia ada di Barat. Begitu juga sebaliknya. Setelah mengetahui rahasia silamnya, aku mulai mengerahkan kekuatan halimun sutra. Halimun yang tidak akan disadari oleh lawan, dan akan mengepung dan membekuknya. Pelan-pelan kugulung dan kukerahkan kekuatan. Aku berharap, halimunku tidak salah sasaran. Namun benar-benar dapat mengurung tubuh Datuk misterius itu.

“Pantek! Lepaskan aku kucing aia. Kurang ajar! Kau berani membekuk dari belakang. Curang!” Teriaknya kembali sambil menyumpahiku dengan kata-kata kotor. Lagi-lagi aku tidak peduli. Aku merasakan dia melakukan perlawanan berusaha menyingkirkan halimun sutraku yang telah berhasil mengepungnya. Kudengar dia cukup kerepotan juga melawan halimun meski beberapa kali kulihat ada percikan api. Dua kekuatan beradu, kekuatan halimun dengan kekuatan Datuk bermulut kotor itu. Melihat percikan api, meyakinkan aku posisi Datuk misterius. Paling tidak itu menjadi titik penanda meski fisiknya belum juga bisa kulihat nyata. DUAR! DUARRRR!Ledakan besar berasal dari kekuatan Datuk melawan halimun sutra terjadi. Hasilnya, percikan api berubah menjadi bola-bola yang menyala, menjelma menjadi banaspati lagi. Aku terbelalak dibuatnya. Mengapa banaspatinya seperti tidak bisa mati? Jika diperhatikan yang bertarung dengan enam sosokku apinya berwarna kuning. Sementara yang kuhadapi berwarna ungu. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah warna banaspati yang berbeda ini mencirikan tingkat keilmuan yang berbeda pula? Entahlah. Aku belum sempat untuk memikirkannya lebih jauh. Apa lagi melihat gerakan-gerakan banaspati makin lama makin liar. Aku cukup kerepotan menghadapinya. Kukembangkan segera selendangku lalu kusapu berkali-kali. Kembali ledakan-ledakan terjadi memekakkan. Di tengah gemuruh angin, ledakan-ledakan dan percikan api, Sang Datuk tidak bersuara. Beliau bisa lolos dari cengkraman halimun sutraku. Beliau diam karena aku mengetahui rahasia sosoknya meski tidak nampak. Dengan diamnya Datuk gila ini justru membuat konsentrasi kembali terpecah. Aku harus fokus dengan gerakan angin yang sangat halus. Kutebar kembali halimun sutraku ke arah gerakan angin. Tak lama suara serak Datuk menggelegar kembali. Dia menggerutu mendapatkan serangan halimun sutraku yang kukombinasikan dengan jaring Eyang Putih. Sementara beberapa banaspati berhasil kutangkap dan kumusnakan. Lalu yang lain tiba-tiba menjauh namun masih seperti tergantung di udara dalam posisi diam. Di antara percikan api dan nyala banaspati, samar-samar aku melihat melihat sosok kurus kering, bermata cekung dengan ikat kepala berwarna hitam tanpa baju. Wajahnya berbrewok menutupi tulang belulang pipinya yang menonjol. Tungkainya yang panjang tidak seimbang menunjang tubuhnya yang sedang. Rambutnya panjang kusut dan keras seperti ijuk. Makin lama sosoknya makin jelas. Melihat sosoknya yang aneh, Sang Datuk kutertawakan dengan maksud untuk memancing emosinya. “Datuk, Datuk. Sayang di alammu tidak ada cermin. Kalau ada cermin, baiknya Datuk bercermin agar Datuk tahu wajah asli Datuk itu seperti apa. Wajah Datuk menyeramkan seperti iblis. Pantas Datuk menyamar jadi pemuda tampan untuk mengelabui makhluk lain. Mereka bisa Datuk kelabui. Tapi tidak denganku. Rupanya Datuk sadar jika wajah Datuk jelek” Lanjutku sambil mengembangkan telapak tangan, lalu kuarahkan padanya. Telapak tanganku kuubah menjadi cermin.

Ooohwww! Aggghhh!! Tiba-tiba Datuk menutup wajah dan membanting dirinya ke sana ke mari. Dia nampak kesakitan. Semula kukira dia marah karena melihat wajahnya yang jelek. Ternyata dia kesakitan karena pantulan tubuh dan wajahnya balik menyerang. Di tengah tubuhnya mengeliat ke sana ke mari, dalam ikatan jaringku beliau masih mampu melakukan perlawanan. Aku justru tercengang melihat keajaiban di depanku. Pantulan cermin bisa menyerang. Bayangan sosoknya dalam cermin balik menyerangnya bertubi-tubi. Semakin sempurna bayangannya muncul, maka semakin ganas pula menyerang balik padanya.Mengetahui kelemahannya, akhirnya selendangku kuubah menjadi cermin yang bergerak mengikuti tubuhnya. Alhasil Datuk tidak bisa bergerak bebas untuk menyerang selain bertahan dari pukulan-pukulan ganas dirinya. Dalam hati aku bersyukur sekali mendapatkan senjata secara kebetulan ini. Datuk misterius ini takut dengan cermin rupanya.Ah ternyata gampang sekali untuk melawan Datuk sinting ini. Aku membatin. Cukup dengan cermin. Dengan mudah selendangku kupecah jadi beberapa untuk berwujud jadi cermin juga. Beberapa detik, Datuk aneh telah terkurung oleh cerminku. Kulihat beliau tidak berdaya diserang balik oleh kemampuannya itu. Mulutnya yang nyeracau sebelumnya penuh sumpah serapa berubah menjadi jeritan; aduh, ah, oh, hugkk, kkkkkkaak. Kadang terdengar jeritannya panjang dan meyeramkan. Berkali-kali mulutnya menyemburkan darah. Beliau luka dalam cukup parah. Dalam kesempatan ketika mulutnya menganga, kulempar dengan tanah. Akhirnya mulutnya tersumpal dan tidak bisa berteriak lagi. Tapi bukan Datuk jahat namanya jika tidak bisa melakukan perlawanan. Dalam usahanya melepaskan diri dan menghindar dari cermin, banaspati-banaspatinya berusaha menolong dengan cara memecahkan kaca. Beberapa kaca ada yang pecah dihantam kekuatan banaspatinya.Wusssss! Wussss! Wussss! Tiba-tiba sambaran api berwarna ungu menyerangku dari belakang. Kobaran yang cukup besar ini sempat membuatku terjungkal berkali-kali dan membuat dadaku sesak. Aku segera bangkit. Baru anginnya saja aku seperti melawan berton-ton batu. Apalagi jika berhasil menyentuhku. Aku pasti akan remuk dan terbakar. Tubuhku bisa dibuatnya meleleh. Aku kembali mengerahkan kekuatan untuk melawannya. Gerakkannya sangat liar ke sana kemari. Aku mencoba memagari diri. Aku tidak mau mati sia-sia di sini. Banaspati ungu ini harus kukalahkan. Breeeet!! Wuuusss! Hantaman bola salju dan angin badai menggulung kukerahkan. Kobaran api seperti tubuh penari meliuk-liuk menjauh lalu kembali meluncur menyerangku. Segera kutingkatkan kekuatan. Saat kobaran api itu mendekat persis di hadapanku dengan cepat kuserang dengan salju dan kekuatan badaiku. Al hasil bisa kutangkap dan kuleburkan. Seiring dengan itu, Datuk misterius menjerit tinggi hingga kembali sisi jurang menjadi hingar bingar segala macam suara muncul seketika.Hawa seputaran jurang terasa sangat panas. Pantulan cahaya banaspati tertimpa cermin mengeluarkan cahaya yang membuat udara berubah menjadi berlipat-lipat panasnya. Aku kembali menggerakkan kekuatan dari bibir jurang. Menarik kembali selendangku yang telah berubah mejadi cermin-cermin. Sebagian lagi banaspati menjauh seperti menghindar takut terkena serangan balik bayangan Datuk misterius. Satu kesempatan, sosok banaspati yang lebih besar meluncur lagi ke arahku. Aku segera menghalanginya dengan halimun dinginku. Banaspati terpental jauh lalu kembali bergantung-gantung di udara siap menyerang kembali. Sementara bayanganku terus melakukan perlawanan dan meningkatkan zikir. Beberapa bagian jurang semakin lebar karena tanahnya longsor akibat hentakan-hentakan yang dilakukan. Pohon-pohon, tumbang, suara berderak-derak, gemuruh angin, jeritan, auman semua menjadi satu menyeramkan. Tidak sedikit batu bergulingan jatuh ke jurang mengeluarkan suara berdedebum-debum. Belum lagi erangan dan auman makhluk astral yang ada di sekitar jurang yang merasa terganggu dan terancam. Tak sedikit aku melihat sosok-sosok yang melesat menghindar dari sasaran pukulan bayanganku. Suara zikir keenam bayanganku cukup membuat pusing semua makhluk di area ini. Bahkan mereka melakukan perlawanan dan ikut menyerang karena ketidaksukaannya. Melihat pertempuran yang makin dasyat dan lawan yang super tangguh itu, akhirnya kukeluarkan senjata dari betisku. Lalu kuperintahkam untuk azan. Tak lama mengalunlah suara azan yang merdu membuat bulu kuduk siapa pun yang mendengarnya merinding. Dalam sekejap area jurang belantara bukit Barisan di ranah Minang ini berubah seperti jurang neraka. Jeritan demi jeritan berahut-sahutan mengerikan kembali menggema. Bahkan lebih ngeri dari sebelumnya. Mereka tidak ada yang mampu menyerang kembali. Ada yang mengerang sambil memegang telinga, bergulingan-guling hingga jatuh, mengeliat-liat kepanasan dan lain sebagainya.”Hentikan!! Hentikan pantek! Mari lawan aku secara ksatria!” Si Datuk rupanya berhasil mengeluarkan tanah yang menyumpal mulutnya. Aku tertawa menanggapinya. Bagaimana dia mengatakan ksatria, dia saja dari awal sudah berusaha menyembunyikan wujudnya? Kulihat tubuhnya sudah babak belur usai berkelahi dengan bayangannya sendiri. Cermin-cerminku sudah kutarik kembali. Aku ingin melihat si Datuk dengan awas. Sebagian pakaiannya sudah compang camping. Tangannya patah dan terkulai. Rupanya beliau tidak punya kekuatan lagi untuk mengembalikan tangannya utuh kembali.

Hiiiat! Bluk Heeeek!! Suara Datuk seperti terjepit ketika kupaksa duduk. Tubuhnya terhenyak seketika. “Gaciak! Rupanya kuat juga anak daro sorang koh. Ah! Pantek!” Nafasnya terengah-engah. Matanya nanar ke sana ke mari menatap banaspatinya tak ada yang menyala lagi. Tinggal kedipan-kedipan cahaya makin kecil. Sebentar lagi akan mati. Srrrrreeeeek!Aku segera membalut tubuhnya dengan jaring laba-laba hingga kepala. Hanya bagian matanya saja yang kubiarkan terbuka. Si Datuk tidak bisa bergerak lagi. Kukunci dengan mantra halimun gunung Slamet. Sang Datuk akan membeku selamanya. Setelah terasa sedikit aman, aku menarik semua senjata dan bayanganku. Kami sudah menyatu kembali. Bau amis darah dan pengap bercampur dengan aroma tanah dan pohon tumbang menyeruak dari dasar jurang. Suasana sedikit hening. Hanya sesekali terdengar erangan dari makhluk-makhluk yang terluka dan terjebak di bawah tanah dan batu yang sengaja kumantrai agar mereka tidak bisa ke luar. Area itu kuubah semacam penjara untuk makhluk-makhluk astral yang negatif ini. Baru saja aku berpikir hendak menanam tubuh Datuk misterius di cadas tebing jurang, tiba-tiba dari kejauhan aku mendengar suara halus sekali. “Tunggu Putri Selasih, tunggu Datuk akan ke sana” Suara itu seperti aku pernah mendengarnya. Tapi aku lupa siapa dan di mana. Tak lama aku melihat angin bertiup pelan dari Barat. Aku menunggu sejenak. Tak lama sosok lelaki berpakaian hitam, dengan ikat kepala dan baju terbuka berdiri di hadapanku. Seorang pendekar! Sejenak aku menatap wajahnya, berusaha mengenalinya. Senyumnya mekar ketika menatapku.

“Saya Datuk Sutan Balimau, Putri Selasih. Penguasa air lembah Arau. Beberapa tahun lalu Datuk pernah berkunjung ke gunung Dempu memenuhi undangan Puyang Pekik Nyaring. Di sana Datuk melihatmu. Waktu itu kau masih kecil, masih tidur-tiduran di pangkuan Puyang Pekik Nyaring” Ujarnya. Aku langsung duduk sujud dan mencium tangannya. Datuk yang berwujud asli nenek gunung ini rupanya penguasa hutan dan air di Lembah Arau. Aku bingung dimana letaknya. Sebab banyak sekali bukit dan lembah di ranah Minang ini. Sejenak kami bercerita dan beliau banyak bertanya tentang Puyang Pekik Nyaring. Terakhir kusampaikan jika aku hendak menanam tubuh Datuk misterius itu ke dinding cadas jurang. “Biarlah Datuk yang menanam tubuh iblis Angkiang itu Putri Selasih. Dia salah satu pembuat keonaran di ranah Minang ini. Tidak sedikit golongan manusia yang disesatkannya dengan ilmu hitamnya. Anak buahnya banyak tersebar di Pasisiah. Selama ini, kami tidak pernah bisa menangkapnya, karena dia punya ilmu silam, lenyap dari pandangan” Lanjut Datuk Sutan Balimau. Lelaki tua berwajah wibawa ini nampak masih gagah. Dari urat-urat lengannya bisa kupastikan beliau berilmu tinggi. Meski sudah terbilang tua, namun gerakannya masih terlihat gesit. “Maafkan saya jika sampai ke mari, Datuk. Saya sengaja mendatangi beliau karena dia hendak menghancurkan pernikahan Macan Kumbang dan Putri Bulan. Karena saya tak menginginkan terjadi perang besar-besaran makanya saya datang sendiri ke mari” Ujarku. Beliau kembali tersenyum menatapku. Baru kuketahuai Datuk misterius tersebut bernama Datuk Angkiang. Nama yang aneh! Seaneh dirinya.”Sekarang giliran Datuk menghukum Datuk Angkiang. Agar sebagai penduduk Minang, Datuk punya andil mengamankan ranah ini menjadi lebih baik” Sambung Datuk Sutan Balimau lagi. Aku mengangguk setuju. Tak lama beliau megangkat tangannya tinggi-tinggi. Lalu berputar seperti melubangi langit. Pusaran angin yang diambilnya dari alam diarahkannya ke dinding jurang. Tak lama dinding jurang berlubang sebesar tubuh Datuk Angkiang. Dengan kekuatan energinya diangkatnya tubuh Datuk Angkiang lalu diletakkannya ke dalam lubang. Tak lama ditutupnya kembali. Datuk Angkiang dikuburnya hidup-hidup.Mata Datuk Angkiang sempat melotot menatap kami. Tak lama aku melihat cahaya ungu, kuning dan merah membalut area Datuk Angkiang dikubur. Aku terus mengamati kerja Datuk Sutan Balimau. Apa maksudnya cahaya itu aku belum tahu. Terakhir baru kuketahui cahaya itu adalah cahaya pelumpuh untuk menarik semua kemampuan yang dimiliki Datuk Angkiang. Alasan beliau agar Datuk Angkiang tidak bisa berbuat jahat lagi, dan tidak menjadikan hukuman ini menjadi tapanya untuk memperdalam ilmunya kembali. Selanjutnya agar tidak ada satu makhluk pun yang melepaskannya, maka dikuncinya. Sementara kuncinya Datuk Sutan Balimau lemparkan ke dasar danau Maninjau. Duh! Jauh sekali. Datuk Angkiang akan tertanam di sini sampai kiamat nanti. Ketika tiga cahaya Datuk Sutan Balimau mulai bekerja, tiba-tiba langit yang gelap makin gelap. Suara gemuruh seperti hendak meruntuhkan langit dan bumi memekakkan telinga. Bumi pun terasa seperti akan amblas. Tak lama jilatan api menyambar-nyambar dari langit. Suasana seperti siang. Aku menguatkan pijakkan agar tak goyah apalagi jatuh. Suara gemuruh makin menjadi. Sekarang diiringi kilatan api dan suara kencang angin. Beberapa batu dan pohon seperti api unggun yang berkobar. Lalu seperti kapas terbang ke mana-mana. Luar biasa! Aku hanya berusaha menghindar, lalu diam tak bergeming. Berusaha tidak terkena radiasi energinya.Kerja Datuk Sutan Balimau sungguh rapi. Area jurang ini semua dinetralisirnya menjadi penjara yang tidak bisa dimasuki oleh siapa saja. Banaspati yang masih menyala langsung dimusnakannya. Setelah semua dianggapnya aman, beliau mundur dan kembali berdiri di sampingku.”Bagaimana Selasih, apakah menurutmu masih ada sela makhluk lain bisa masuk ke sini?” Tanyanya. Aku sedikit tersipu. Menurutku beliau sudah melakukan yang terbaik namun masih minta pendapat anak kecil sepertiku. “Datuk hebat sekali! Tidak ada sela bagi makhluk lain untuk bisa masuk. Saya akan tambahkan lagi penguncinya Tuk. Tuk, bagaimana kalau tempat ini disilamkan. Maksudku agar tempat ini tidak terlihat oleh makhluk astral tertentu apalagi oleh bangsa manusia” saranku. Sebab aku khawatir meski bukan secara fisik, namun masih ada manusia yang mencoba membebaskan Datuk yang jahat ini. Ternyata saranku diterima beliau. Akhirnya dengan kemampuan warisan dari Timur Laut Banyuwangi, kusilamkan area jurang ini agar tidak terlihat oleh siapa pun yang hendak berbuat jahat. Lalu kukunci kembali sebagai benteng terakhir. Setelah selesai Datuk Sutan Balimau terbelalak. “Onde! Sabana kalam Piak!!” Ujarnya mengatakan benar-benar hilang. Senyum rasa puasnya mekar. Mata beliau menatapku penuh rasa syukur. “Tidak salah kau menjadi cucu Puyang Pekik Nyaring, sesepuh tanah Sumatera ini. Terimakasih, Selasih telah ikut menyebarkan kebaikan di sini. Semoga anak buah Datuk Angkiang yang sudah tersebar di mana-mana tidak bertambah dan berkembang seperti selama ini” Ujar Datak Sutan Balimau kembali. Aku sungguh bersyukur masih ada sosok gaib berkenan menjaga dan menyebar kebaikan seperti Datuk Sutan Balimau. Membantu golongan manusia agar tidak tersesat dan tergoda godaan makhluk astral. Menurut Datuk Sutan Balimau, masih banyak pemuja setan yang memanfaatkan kekuatan iblis, misalnya semacam santet, teluh, pengasihan, penglaris, mengisi ilmu-ilmu pandeka yang semata-mata ingin disebut hebat, dan lain sebagainya. Praktik-praktik ilmu kuno ini masih tersebar di beberapa daerah. Mereka dibantu oleh bangsa makhluk astral, bangsa jin pemuja iblis. Akhirnya aku juga bercerita, tidak hanya di ranah Minang manusia tersesat pemuja iblis ini. Beberapa daerah di Sumatera ini mulai dari Lampung hingga Aceh, beberapa titik memiliki kemampuan sebagai ciri khas daerah masing-masing. Di beberapa daerah banyak supranaturanya. Mereka kebanyang para pendatang. Semula hanya sebagai bekal merantau, tapi lama kelamaan berkembang menjadi padepokan dan perguruan lalu tak sedikit mereka memperdalam ilmu kembali sampai ke pelosok dan gunung di pulau Jawa. Bahkan aku bingung, antara syi’ar agama dicampuradukakan dengan ilmu perdukunan dan menyebut para muridnya sebagai ‘santri’. “Kalau dulu santri itu sebutan untuk orang-orang yang menuntut ilmu agama, ya Tuk. Sekarang makna santri telah dikaburkan, Tuk” Ujarku. Datuk mengangguk kembali. Matanya lurus menatap ke depan.”Di tanah Minang ini, banyak surau sepi. Tidak seperti dulu. Surau-surau penuh dengan pemuda mengaji, dan mengkaji. Bahkan surau dijadikan tempat bermalam demi mendapat ilmu dari Angku guru. Sekarang budaya itu sudah hilang” Sambung Datuk Sutan Balimau dengan mata makin menyipit. Sekarang kami berdua memilih duduk di atas batu lebar di sisi jurang. Mendengar penuturanku tentang daerah-daerah yang banyak penganut ilmu setan, Datuk Sutan Balimau tertawa terkekeh-kekeh. Beliau membenarkan beberapa daerah para dukun dibantu oleh jin air, jin gunung, dan jin laut. Tergantung di mana mereka berguru. “Budaya dan warisan nenek moyangmu. Zaman dulu kehidupan bangsamu memang sangat dekat dengan kehidupan gaib,” Datuk Sutan Balimau menambahkan.Setelah cukup lama berbincang-bincang, mengulik tentang ilmu-ilmu yang berkembang saat ini dan kekhawatiran kami tentang ilmu-ilmu kuno jatuh di tangan-tangan orang yang tidak bertanggungjawab, akhirnya kami sepakat meninggalkan area belantara yang gelap ini. Aku menolak halus ketika Datuk Sutan Balimau mengajakku jalan-jalan ke lembah Arau, ke tempat tinggalnya.

“Maafkan saya Tuk, jika kali ini saya menolak karena saya tidak pamit ke mari kepada Nenek Kam dan Macan Kumbang. In syaa Allah suatu saat saya akan singgah, Tuk” Ujarku mencium tangannya. Datuk Sutan Balimau memaklumi. Beliau melepasku dengan senyum. Tak lupa beliau titip salam untuk leluhurku. Akhirnya aku kami bertolak belakang, melangkah pergi dengan lega. “Selamat menerima kemenangan Baginda Ratu. Terimakasih atas pembelaan Baginda. Terimalah sembah sujud hamba.” Macan Kumbang sujud ketika aku mulai masuk pondok. Melihat tingkahnya aku pura-pura tidak peduli. Dalam hati aku menggerutu ternyata adik Nenek Kam satu ini tahu kemana aku pergi. Padahal sebelumnya aku sudah membaca mantra untuk menghilangkan jejak, agar tidak tercium oleh siapa pun.Kupandang Nenek Kam pura-pura tidak mempedulikan kami berdua. Beliau sedang sibuk menata makanan di bawah tudung saji. Tiba-tiba aku merasa sangat lapar. Aku baru ingat jika aku belum makan sejak pagi. “Yok! Makan! Nek, lapar. Kita makan ya” Aku menarik tangan Macan Kumbang. Aksi dramatisnya buyar seketika. Kami bertiga duduk melingkar di atas tikar. Aku langsung menuangkan nasi dan lauk ke piring Nenek Kam. Macan Kumbang menyodorkan piringnya. Kupukul piringnya sebelum kuisi. Tidak tahu dia kalau perutku sudah tidak sabar minta diisi.”Bagus sekali kalungmu, Dek. Itu batu safir tua yang usianya ratusan tahun. Pasti yang memberikannya padamu seorang yang istimewa. Karena tidak sembarang orang punya koleksi batu ini. Apalagi bentuknya natural seperti ini” Nenek Kam memegang liontin batu safir yang menjuntai di leherku. Bentuknya bersegi tak beraturan. Aku kaget bukan main. Sebab aku merasa tidak ada seorangpun memberiku kalung dengan liontin safir ini. Aku menatap wajah Nenek Kam dan Macan Kumbang bergantian. “Datuk Sutan Balimau” Lirihku. Aku tidak menyangka Datuk Sutan Balimau mengalungkan kalung ini padaku tanpa kusadari sedikit pun. Jantungku sedikit bergetar. Aku kagum dengan Datuk Sutan Balimau. “Halus sekali permainan beliau. Sampai-sampai seorang Putri Selasih tidak menyadari diberi kalung ini” Ujarku yang langsung mendapat jitakan dari Macan Kumbang. Sejenak aku tertawa sambil menangkis tangannya. Aku tahu Macan Kumbang tidak suka mendengar nadaku yang sombong.Akibat saling mengelak, nyaris gobokan cuci tangan di hadapanku tumpah tersenggol. Seketika pertikaian terhenti. Aku dan Macam Kumbang senyum-senyum kecil takut kena marah Nenek Kam yang sudah menyuap nasi pertamanya. Sambal ‘umbut unji’ dicampur ‘balor ikan sepat’ memancing selera makanku untuk segera menyantapnya siang ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *