Malam Pesona Jawa Timur Di Paris Meraup Sukses!

Malam Pesona Jawa Timur yang merupakan besutan asosiasi Pasar Malam dan asosiasi Khatulistiwa pada Sabtu malam, 13 November 2021 rupanya menjadi obat rindu masyarakat pada acara-acara budaya Indonesia yang terpaksa mandeg hampir dua tahun akibat pandemi COVID19.

Terbukti dari membludagnya pengunjung. Ruangan berkapasitas hampir 80 tempat duduk tak menyisakan satupun kursi kosong. Panitia pun dengan berat hati harus menolak mereka yang melakukan reservasi pada detik-detik terakhir.

Acara budaya yang dihadiri baik oleh masyarakat Indonesia maupun Prancis ini diawali dengan sekapur sirih dari Prof. Warsito, atase pendidikan dan kebudayaan KBRI Paris dan ibu Dheti Silvidah Gani, koordinator Penerangan Sosial Budaya. Keduanya menyatakan dukungannya atas kegiatan-kegiatan seni budaya kerjasama Prancis-Indonesia yang diselenggarakan oleh berbagai asosiasi Franco-Indonesia, termasuk asosiasi Pasar Malam yang telah eksis sejak tahun 2002. Jika menilik ke belakang, acara budaya malam itu merupakan kerjasama kedua antara asosiasi Pasar Malam dan asosiasi Khatulistiwa. Kerjasama pertama adalah saat menggelar acara workshopSeni sehat menurut tradisi Jawa, di Institut des cultures d’islam di Paris awal Desember tahun 2018.

Arie Widiastuti Drean, pecinta wastra nusantara khususnya batik, yang menjadi nara sumber diskusi tentang batik Jawa Timur berhasil menyedot perhatian penuh para hadirin. Dengan seksama mereka mendengarkan paparan narasumber mengenai perbedaan batik Jawa Timur dan batik Jawa Tengah yang selama ini lebih dikenal di kalangan masyarakat luas. Padahal batik Jawa Timur tak kalah eloknya baik dari segi motif, warna maupun jenis kain yang digunakan dibandingkan dengan batik Jawa Tengah.

Masyarakat Tuban, misalnya, menggunakan tenun gedhog sebagai media membatik. Apabila acap kali motif dan warna batik dari beberapa kota di Jawa Timur terkesan lebih hidup, tentu tak lepas dari karakter masyarakatnya yang pada umumnya lebih ekspresif. Contohnya batik Madura yang warnanya sering terlihat berwarna-warni. 

Masker yang harus tetap dikenakan sepanjang acara tak menghalangi antusiasme hadirin bertanya. Mengingat terbatasnya waktu, Yita Dharma Hillyard, ketua baru Asosiasi Pasar Malam, yang bertindak sebagai moderator, terpaksa membatasi pertanyaan. Proyektor yang mendadak tak bisa difungsikan tak membuat malam itu kehilangan gregetnya. Belasan batik Jawa Timur yang indah dan tak ternilai harganya koleksi pribadi Arie Drean diperagakan oleh tiga belas peraga pria, wanita, ibu hamil, remaja dan anak-anak. Beberapa di antara koleksi yang dipamerkan itu merupakan batik warisan keluarga yang telah berusia hampir seratus tahun. 

Satu persatu para peraga mendekati para hadirin agar bisa melihat dengan jelas motif, bahkan menyentuh kain batik saat Arie Drean yang mulai menari sejak usia balita, menjelaskan sejarah, pemakaian dan makna nama serta motif masing-masing batik. 

Berkat diskusi yang hangat, santai namun lengkap tak membuat ruangan terasa dingin meski jendela ruangan terbuka sepanjang acara untuk menjaga perputaran udara dalam ruangan. Terkadang lontaran-lontaran anekdot dari narasumber yang merupakan putri seorang seniman tari asal Jawa Timur itu, menimbulkan gelak tawa para hadirin. Di akhir sesi tanya jawab, dengan arahan Henny Torrel, mantan peragawati profesional, ketiga belas peraga batik berlenggak-lenggok bak peragawati dan peragawan profesional diiringi alunan musik tradisional Banyuwangi yang dikemas secara apik dengan sentuhan modern.

Suasana makin meriah saat vocal group asosiasi IKFI (Asosiasi Ikatan Keluarga Franco-Indonesia) tampil membawakan beberapa lagu dari Surabaya dan pulau garam Madura. Lebih gayeng lagi saat masyarakat Indonesia yang hadir malam itu secara spontan ikut menyanyi saat lagu legendaris Rek Ayo Rek dari kota pahlawan itu dilantunkan oleh enam penyanyi dengan penuh kegembiraan.

Di penghujung acara, Arie Drean, yang juga seorang penari profesional yang sejak remaja telah menjadi langganan juara di berbagai lomba tari daerah dan teater monolog di wilayah DKI Jakarta, tampil memukau membawakan tari Jathilan, salah satu tarian yang mengawali arak-arakan reog Ponorogo. 

Malam Jawa Timuran tentu tidak akan lengkap jika tak ada sajian kuliner khas Jawa Timur. Nasi krawu, masakan khas kota Gresik, olahan Levinia Cossais dan pecel dengan bumbu ala Blitar, racikan tangan Farida, koki andal salah sebuah restoran masakan Indonesia terkenal di Paris, menjadi sajian utama. Nasi krawu yang terdiri dari daging sapi suwir dan srundeng kelapa warna kuning dan oranye, sengaja dipilih karena pada kenyataannya nasi krawu belum banyak dikenal masyrakat, termasuk di kalangan orang Indonesia sendiri. Hanya yang pernah tinggal atau berasal dari Gresik dan Surabaya yang mengenalnya.

Inilah kesempatan emas untuk memperkenalkan kuliner Indonesia lainnya. Nasi krawu sangat berpotensi menjadi masakan Indonesia favorit tingkat dunia, sejajar dengan nasi goreng, sate dan rendang daging yang sudah terlebih dahulu menginternasional. Terbukti malam itu banyak orang Prancis yang memuji kelezatan nasi krawu.

Malam minggu itu juga menjadi ajang berbelanja aneka produk Jawa Timur dan buku-buku yang berkaitan dengan Indonesia. Para hadirin diajak menjelajah dan mengenal Jawa Timur melalui stand-stand yang menjajakan tenun gedog Tuban, batik, aneka jajan pasar, rujak cingur, rawon, kopi dari Dampit dan teh dari Malang. 

Terlihat para hadirin yang hampir separuhnya adalah orang Prancis, pulang dengan wajah sumringah. 

Di lain kesempatan, mengapa tidak kita memperkenalkan aspek seni, sosial budaya, kuliner dan potensi ekonomi daerah-daerah yang lain? Terutama daerah-daerah yang belum banyak dikenal masyarakat Prancis. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *