HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VII (102A)

Karya RD. Kedum

Tubuhku bergerak ringan seperti kapas ketika Syech Zakir mengibaskan sorbannya yang wangi. Nyaris satu jam lamanya aku disuruh duduk menghadap kiblat lalu berzikir sebanyak mungkin. Sementara Syech Zakir duduk bersila di belakangku. Telapak tangannya terbuka lebar ke arah punggungku. Sementara para puyang dan kakekku, termasuk Eyang Kuda dan Alif duduk di sebelah Barat khusuk pula berzikir. Ruangan yang luas ini tiba-tiba menyebarkan harum wangi bunga. Aku menghirupnya dalam-dalam. Batinku serasa berada di alam lain. Sangat tenang. Padahal aku masih duduk di rumah panggung Puyang di sisi bukit Mercawang ini. Suasana hening membuat zikir para sesepuh semakin khusuk.

Di mana-mana aku melihat cahaya berpendar lembut. Semua efeks zikir yang memancar dari seleuruh tubuh para sesepuh. Lagi-lagi aku merasakan dasyatnya ternyata seisi alam turut berzikir. Jika selama ini aku tidak mendengar awan, bintang, angin berzikir, malam ini aku mendengar semuanya. Suara halus pelan dan syahdu itu menggetarkan jiwa. Andai aku sekarang berada di dunia nyata, bisa kuyakini aku akan menangis tersedu-sedu, dan seluruh tubuhku merinding. Di sini aku hanya merasakan hawa dingin yang sejuk, saat batinku sangat terharu maka akan berguncang seperti orang yang menggigil. Menurut Syech Zakir, malam ini adalah waktu yang sangat tepat jika dihitung dari tahun, bulan, dan hari berdasarkan hitungan Arab. Rabiul Awal bulan ketiga dalam penanggalan Hijriyah merupakan bulan kelahiran Rasulullah. Beliau hendak mengajakku entah ke mana. Ritual ini semacam pembersihan batinku sebagai makhluk manusia agar bisa sinergi dengan alam lain. Sulit untuk kujelaskan suasana batin dan suasana di sekelilingku saat ini. Tiba-tiba cahaya putih-cahaya putih yang bertaburan itu mirip seperti sosok manusia. Namun aku tidak bisa pasti melihat wajahnya. Wajah-wajah mereka semua bercahaya. Aku tidak tahu mereka makhluk apa. Apakah bangsa jin, atau ada makhluk lain ciptaan-Nya. Sebab jika mereka bangsa jin fasik, siluman, atau iblis yang menyamar, pasti akan ketahuan oleh para sesepuh dan Puyangku. Mereka akan terpental sendiri dari sini dengan tubuh terpotong-potong. Aku masih duduk sembari merundukkan kepala. Entah apalagi yang akan aku terima sebagai pembelajaran malam ini. Suara berat Syech Zakir terdengar menggema seperti menggunakan michrophon saja. Padahal beliau sedang berbicara biasa. Namun tenaga dalamnya yang sempurna membuat siapa pun yang mendengarnya ikut bergetar. Karismatik suaranya menghipnotis.

“Mahkluk yang mendekatkan diri kepada Allah pada level-level tertentu, akan tetapi masih ada rasa ego-nya, masih ada ke-akuanya, masih mengaku jika dirinya sudah dekat pada Allah, maka pada dasarnya yang berbicara itu adalah egonya. Ketika kita berdzikir menarik nafas dan menghembuskannya, maka semestinya pengakuan ego itu dihilangkan, benar-benar berserah dirilah. Tarik napas sambil menyebut Huu, lalu mengehembuskan napas ke luar sambil menyebut Allah. Jika kita benar-benar sampai pada masa berserah diri, maka kita akan mengalami fana, ketika fana itulah nafi isbat yaitu peniadaan semua, yang ada adalah Allah, semua kekuatan adalah kekuatan Allah. Belajar spiritual dengan dzikir napas tidak akan wahdatul wujud atau manunggaling kawulo gusti, tapi kita akan wahdatul syuhud atau penyaksian kepada Allah dan itulah yang kita sebut dengan bersyahadat, kebersaksian kepada Allah.” Lanjut Syech Zakir lagi. Tak sedikit aku melihat kepala yang manggut-manggut sambil mengelus-elus janggut, yang perempuan mengunyah-nguyah sirih pelan sembari mendengarkan apa yang beliau sampaikan. “Malam ini, izinkan aku mengajak Putri Selasih, Ratu Timur Laut Banyuwangi ke atas. Sudah waktunya dia mengetahui dan kenal dengan lapisan alam dan tingkatannya. Bagaimana pun, amanah ini harus kujalankan sebelum ajal menjemput kita” Ujarnya lagi. Aku jadi berpikir, aku akan diajak ke atas, ke lapisan alam, dan ini adalah amanah? Ke lapisan alam yang mana? Siapa yang mengamanahkan ini pada beliau? Apa amanah itu? Aku terhenti bertanya dalam hati ketika nyaris serentak para Puyang menjawab mengizinkan. “Silakan Syech Zakir. Kami percaya pada Antum. Jika cucu kami sudah layak, semoga terbuka luas pengetahuannya. Bersih juga batinnya.” Lanjut Puyang Bukit Selepah menimpali. Kulihat Macan Kumbang tersenyum sambil berkaca-kaca. Mungkin dia terharu mendengar dua sesepuh Puyang membicarakan dan mengajakku untuk mengenal lapisan semesta. Di mana lapisan itu, aku juga tidak tahu. Selama ini para Puyang dan sesepuhku tidak ada yang memberi tahuku tentang lapisan alam dan kehidupannya. Yang aku tahu aku terlahir sebagai bangsa manusia, hidup di alam nyata. Memiliki leluhur yang sangat dekat dengan kehidupan nenek gunung. Di sayangi nenek Kam, nenek Pagar Jaya, Konon ada juga nenek Bakek yang belum sempat kukenal sepenuhnya. Lalu di dalam diriku ada Putri Selasih titisan dari kerajaan Pekik Nyaring, kerajaan kecil yang berada gugusan gunung Merapi, sisi gunung Dempu. Puyang Pekik Nyaring memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan penguasa di puncak Dempu. Aku juga sangat dekat dengan kehidupan para nenek gunung yang mendiami sepanjang Bukit Barisan, dinobatkan menjadi Ratu di Timur Laut Banyuwangi, konon aku juga titisan penguasa Timur Laut Banyuwangi. Aku bisa pulang dan pergi ke alam nyata dan alam gaib kapan saja aku suka. Aku tidak merasa jika apa yang kualami, kumiliki adalah sebuah kelebihan. Sebab sebagai manusia aku masih suka iseng, rasa ingin tahu dan penasaranku juga dominan, aku masih ingin bergaul denagn teman sebayaku. Aku juga punya rasa rindu dan cinta layaknya manusia. Dan yang tidak bisa kuhindari adalah. aku masih suka berkelahi terutama dengan makhluk astral. Paling benci dengan makhluk astral yang fasik, yang suka menjerumuskan manusia. Aku tidak pernah menampakkan diri pada sesama manusia, bahkan menolong mereka pun kulakukan diam-diam. Ibu kandungku sendiri tidak mengetahui sepenuhnya siapa aku. Ketika Syech Zakir menyuruhku berdiri, aku bangkit. Di atas sajadah aku seperti melihat tubuhku duduk tafakur. Aku menoleh ke sana ke mari untuk memastikan diriku. Aku mempunyai kemampuan memecah diri menjadi tujuh. Tapi kali ini berbeda. Diriku yang sekarang serupa benda plastik yang sangat tipis dan transparan. Ketika berjalan pelan meninggalkan tubuhku yang duduk, terasa sekali jika cara berjalanku seperti melayang. Tapi berbeda rasanya ketika aku mengendarai angin. Yang membuatku makin heran adalah busana yang kupakai. Busana putih tipis ini seperti liukan angin bergelombang tiap kali bergerak. Aku merasa diriku sangat anggun. Benar-benar wujud seorang perempuan.Kakiku dan kaki Syech Zakir mulai bergerak seperti menaiki anak tangga menuju langit. Padahal aku tidak melihat jenjang tangga di sini. Semakin lama pemandangan di bawah semakin kecil. Dan itu cepat sekali. Rasanya baru beberapa jenjang tangga jika dihitung, tapi nampaknya sudah sangat jauh. Bahkan semakin kecil, semakin kecil dan menghilang. Ribuan bintang yang semula kukira sangat dekat, setelah aku ikut Syech Zakir justru semakin jauh. Bahkan sangat jauh. Namun meski jauh, suara zikir dari bawah masih terdengar jelas. Suara zikir itu bukan mengantarkan aku, tapi memang semesta yang tak putus berzikir.Tak lama kami seperti memasuki pintu gerbang yang sangat luas. Pintu gerbang yang ditata sedemikan rupa. Sangat megah dan indah. Ornamennya seperti ukiran-ukiran Bali, cermat dan rumit. Entahlah hiasan apa pernak-perniknya banyak sekali. Namun yang jelas akau merasakan aura yang sangat berbeda antara bagian dalam pintu gerbang dengan bagian luarnya. Pintu gerbang ini menuju ke mana, aku tidak tahu. Lagit seperti atap melingkar seakan sangat dekat berwarna biru tua. Aku tidak mempuyai kemampuan untuk bertanya. Mulutku terasa terkunci.

Demi melihat pintu gerbang yang sangat indah aku hanya bisa menyebut asma Allah dalam batin. Aku dan Syech Zakir melewati pintu gerbang yang dijaga oleh beberapa orang yang mirip tentara kerajaan. Melihat Syech Zakir, penjaga-penjaga itu memberi salam dan hormat sangat dalam. Syech Zakir membalasnya dengan merundukkan kepala lalu melanjutkan perjalanan. Jalan yang kami lalui seperti berjalan di atas permukaan air. Jadi ingat cerita kakek Haji Yasir tentang Ratu Balqis ketika memasuki istana baginda Nabi Sulaiman, beliau mengangkat gaunnya sampai batas betis sehingga betisnya yang halus mulus terlihat nyata. Beliau megira dirinya berjalan di atas air. Dan ternyata aku melihat dan merasakannya. Apakah aku tengah berjalan di kerajaan nabi Sulaiman? Entahlah.Aku memalingkan wajah ke arah Syech Zakir. Beliau hanya tersenyum tanpa memberikan jawaban mengapa aku tidak bisa berbicara. Akhirnya aku hanya menyapu dan merasakan apa yang kulihat, merekamnya dalam-dalam agar tidak lupa dan dapat menceritakannya pada siapa saja yang ingin tahu tentang kehidupan di alam semesta. Meski aku sendiri sebenarnya tidak tahu berada di mana. Tapi kuyakini saja ini adalah bagian kecil kebesaran Sang Maha yang tidak ada bandingnya. Belum lama kami berjalan, tak lama kami melintasi sebuah perkampungan yang sangat ramai. Aku melihat sosok-sosok seperti manusia. Ramai sekali. Kehidupan makhluk di sini sama seperti kehidupan manusia. Mereka ada yang berniaga, berinteraksi layaknya kehidupan di bumi. Ada lelaki dan perempuan. Yang membedakan dengan di alam nyata di antaranya adalah lelaki dan perempuan di sini nyaris serupa. Yang lelaki gagah dan tampan. Sementara yang perempuan tampak cantik luar biasa. Sosok yang lelaki mengenakan pakaian mirip seperti orang India. Mewah dan halus gemerlap seperti bertabur emas. Yang wanita dililit kain-kain tipis beraneka warna. Aku jadi berpikir apakah aku berada di negeri India? Ornamen dan tulisan sansekerta menghiasi beberapa sudut yang tak kupahami apa maknanya. Rumah-rumah mirip istana dengan mubungan lancip mirip-mirip kubah kecil. Warnanya-warnanya meski ceria tapi tetap enak dipandang. Tapi kala kusadari jika aku tengah mengadakan perjalanan bersama Puyang Syech Zakir, aku meyakinkan diri jika aku tidak berada di India. Apalagi ketika kulihat awan berarak pelan melintasi perkampungan yang teduh. Burung-burung beraneka warna terbang rendah. Membuat perkampungan ini semakin indah. Aku turut berhenti ketika Puyang Syech Zakir menyapa seseorang yang kebetulan melintas di dekat kami. Sambil memberi salam dan mencium tangan Syech Zakir beliau menjawab, jika ia hendak pergi bekerja. Beberapa sosok yang melihat Puyang Syech Zakir berjalan, serentak berhenti dan memberi hormat. Mereka tidak bergerak kalau Puyang Syech Zakir belum melintasi mereka. Lagi-lagi aku terkagum dan menyebut asma Allah. Tak berapa lama aku melihat bangunan yang cukup menonjol dibandingkan dengan bangunan sekelilignya. Bangunan yang letaknya agak terasing dari pemukiman itu terletak di sisi tanah yang mirip seperti bukit, lalu ada goa-goa kecil, berpohon rindang yang dibawahanya tumbuh rumput berwarna hijau dan kuning. Semuanya seperti di tata sedemikian rupa. Sehingga bangunan yang besar itu semakin asri, Bahkan bangunan yang indah itu mirip sebuah lukisan karena di sekelilingnya memang pemandangannya sangat indah. Di balik bangunan itu ternyata ada laut tenang tanpa ombak. Airnya berwarna biru tua memancarkan cahaya keperakkan. Pantainya yang landai, berpasir putih dan dihiasai batu permata warna-warni menjuntai hingga ke bibir laut.

Demi melihat pemandangan yang maha indah ini aku makin berdecak kagum dalam hati. Aku seperti bermimpi. Seumur hidup baru kali ini aku daiajak berkunjung ke tempat yang menurutku jika dibandingkan dengan keindahan di bumi, belum ada apa-apanya. “Kau lihat di hadapanmu, Selasih’’ Syech Zakir mengajakku berhenti sejenak. Aku diam berdiri di sasmpingnya. Aku segera memandang lurus pada bagian yang ditunjuk beliau. Sebuah bangunan tua namun terlihat koko dan terawat mirip-mirip tempat ibadah. “Itu adalah mandira terbesar di negeri ini. Kita tengah berada di lapisan semesta yang paling bawah. Penduduk di sini dua puluh lima persen penganut Hindu. Selebihnya muslim. Ribuan tahun yang lalu, penduduknya lapisan ini seratus persen menganut Hindu. Makanya ada mandira tua di sini. Usia mandira itu pun ribuan tahun. Mereka adalah makhluk yang masih menjunjung tinggi dan tetap setia mejaga warisan nenek moyang mereka. Makanya mereka mengisolir diri di sudut negeri ini” Puyang Syech Zakir menjelaskan. Aku baru paham jika mandira itu tempat ibadah agama Hindu setelah beliau menyebut-nyebut muslim dan Hindu. Baru aku sadari ketika melihat banyak sosok tengah melakukan ritual. Aroma bunga canang sari dan asap dupa menyebar pelan. Mereka tengah menghadapt tempat sesembahan mereka yang berdiri tinggiAku kembali berjalan mengikuti langkah Syech Zakir. Kali ini kami menyusuri jalan agak menikung. Ketika masuk ke wilayah ini, aku seperti ke luar dari pintu gerbang yang berwarna abu-abu. Lalu masuk ke pintu gerbang yang bercahaya putih. Bangunan-bangunan di sini semuanya terlihat megah. Tiang-tiang tinggi dan besar, menyanggah bangunan-bangunan yang kokoh. Halaman yang luas dan hijau dihiasi pohon yang sama tinggi. Warna alami tiap bangunan, membuat aku seperti berada di alam dongeng. Meski baru berjalan beberapa detik, namun sudah bisa kupastikan perjalanan bersama Syech Zakir sudah jauh dari mandira.

Jika tadi aku melihat tempat ibadah Hindu yang sangat luas, kali ini di hadapanku seperti di alam Timur Tengah. Aku mengingat-ingat jika kami berdua belum naik menanjak seperti menaiki anak tangga. Artinya kami tidak pindah dari alam semesta semula. Aku masih di lapisan yang sama. Tapi mengapa suasananya sangat berbeda? Dari kejauhan aku melihat bangunan-bangunan klasik berwarna alam. Burung dara terbang ke sana ke mari sangat gembira. Bulu-bulu mereka mengkilap dan halus. Tidak ada rasa takut sama sekali ketika ada yang berjalan di antara mereka.

Jika sebelumnya aku dan Syech Zakir menyususri jalan seperti di atas air, kali ini kami menyusuri jalan persis seperti di atas sungai. Di bawah kakiku, air mengalirsangat bening. Bahkan batu, pasir, ikan, anak kepiting yang lalu lalang terlihat dengan jelas. Bahkan aku serasa akan jatuh ketika menjajakkan kaki. Ternyata kakiku tidak menjajak sungai. Aku makin heran. Lalu iseng aku segera jongkok memegang lantai seperti aliran sungai. Allahu Akbar! Saat aku meletakkan tangan, tanganku seperti mencelup air yang sangat sejuk. Ketika kuangkat, kering. Kumasukan lagi tanganku, kembali seperti memegang air sungai. Bahkan aku mencoba memegang bebatuannya yang hitam. Ketika aku menarik tangan ke atas, seketika tanganku kembali kering. Mulutku terbuka saking takjubnya. Melihat isyarat bahasa tubuh Syech Zakir, aku bangkit lalu melangkah mendekat padanya. Aku masih keheranaan dengan keajaiban barusan. Mengapa ketika tanganku mengulur ke bawah justru aku merasakan benar-bernar air, bebetauan, pasir. Tapi ketika berjalan, permukaan sungai seperti datar dan biasa saja meski airnya beriak dan mengalir. Kaki kami tidak basah sama sekali. Rasa kagum dan heranku kusimpan dulu. Aku tidak juga bisa bertanya tentang hal ini. Aku akan nikmati saja. Aku serasa menjadi manusia paling bodoh melihat keajaiban-keajaiban di alam semesta ini. Selintas dalam hati aku bertanya, apakah aku masih hidup sebagai manusia? Atau aku sudah berpindah alam untuk selamanya? Belum sempat benakku bertanya tentang banyak hal yang membingungkan, aku kembali terperanga melihat pemandangan di hadapanku. Allahu Akbar. Bangunan Masjid! Ornamen Timur Tengahnya sangat kental. Kuba besar yang terletak di tengah-tengah, nampak berdiri kokoh. Warna keemasannya memancarkan cahaya jauh hingga ke atas langit. Lalu di sekelilingnya dihiasi kuba-kuba kecil yang sama besar dan tinggi. Lalu ornamen membentuk setengah lingkaran seperti lengkung pintu besar dan lebar dengan ornamen yang sama dan warnanya pun sama. Mataku tertumpu pada dinding dan dekorasi manuskrip, furnitur, dan tembikar yang diterangi cahaya kuning yang lembut. Lampu hias yang tergantung terlihat sangat mewah. Tidak ada sisi bangunan ini yang tidak sempurna.Aku menatap lekat pada dinding yang berukir. Setahuku motif seperti ini disebut seni arabes. Pengetahuan ini kudapat ketika aku berada di masjid perut bukit Selepah. Ornamennya diadaptasi dari unsur dekoratif tumbuhan karena di dalam Islam, penggambaran makhluk bernyawa seperti hewan dan manusia merupakan hal yang dilarang. Ingin sekali aku mengelus-ngelus setiap lekuk ukiran yang menghiasi dinding dan bagian yang mirip jendela.

Ukiran bermotif bunga dan daun yang menempel pada batang terlihat rapi dan sama besar. Ada juga motif tumbuhan seperti sulur, daun, cabang, atau pohon, semua lekuknya terlihat rumit dan rapi. Di dalam mau pun pelataran masjid, aku melihat banyak sekali sosok yang tengah beribadah. Iya, semuanya dalam keadaan beribadah. Ada yang solat, dzikir, ada juga yang tengah berhadap-hadapan membaca Al quran. Di bagian Selatan masjid aku melihat seperti gerombolan anak sekolah, oh bukan kelompok mahasiswa. Mereka ke luar masuk gedung yang ornamennya juga mirip masjid. Masing-masing mereka seperti memeluk dan menenteng apakah buku atau semacam laptop jika di alam manusia. Semua makhluk di sini mengenakan pakaian warna putih. Sehingga tubuh mereka yang bercahaya semakin terang. Selintas kulihat raut mereka yang lelaki sangat tampan, besar tinggi dan ideal. Wajah mereka seperti sebaya. Aku tidak melihat sosok yang lebih tua atau sosok yang lebih muda. Selanjutnya yang wanita pun demikian. Wajah mereka cantik-cantik dan nyaris terlihat sebaya, dan mirip juga.Aku kembali mengingat-ingat ketika mulai masuk ke alam ini, kulihat aktivitas penghuni alam ini seperti layaknya kehidupan manusia. Artinya mereka menikah, punya keluarga, beranak-pinak juga. Tapi dari tadi aku belum melihat sosok anak kecil, apalagi sosok orang tua seperti Syech Zakir. Baru kusadari wajah mereka semuanya seperti berusia dua puluh lima tahun. Masya Allah. Kembali aku berdecak kagum. Jika dibandingkan dengan wajahku, mungkin kecantikanku sebagai wanita tak mencapai nol koma lima persen. Dalam hati aku senyum sendiri membayangkan bila bersanding dengan mereka pasti akan terlihat seperti bumi dengan langit. Aku segera istighfar menyadari kesalahanku.

Mengapa aku membandingkan diriku pada makhluk di sini seakan-akan aku tidak mensyukuri apa yang telah Sang Maha Khalik berikan? Akhirnya aku kembali memperhatikan aktivitas dan bangunan masjid di hadapanku. Kali ini aku mengikuti langkah Syech Zakir memasuki pelataran masjid. Syech Zakir mengayunkan tangannya agar aku memasuki pintu sebelah kanan, di sana berkerumun kaum hawa yang tengah ibadah. Sementara Syech Zakir menuju pintu sebelah kiri, di sana kaum adam yang juga melakukan ibadah. Suasana tenang dan nyaman. Meski orangnya ramai namun tidak ada suara berisik, apalagi berdengung seperti ratusan lebah. Kembali aku membatin alam apa ini? Di sebut apa alam ini? Kaum hawa yang tengah ibadah mengenakan semacam mukena yang langsung menutup kepala hingga ke kaki. Tidak sama dengan mukena di alam nyata, di alam manusia. Wanita yang mengantarku membantuku menyarungkan mukena yang dibawanya. Masya Allah, nyaman sekali. Meski tubuhnku berbalut kain putih dari ujung kepala hingga menutup kaki, namun sungguh tidak terasa berat sama sekali. Justru sangat nyaman.“Solatlah, Selasih. Kau tidak perlu wudu, karena dirimu dalam keadaan suci” Suara halus merdu seorang wanita menghampiriku sambil tersenyum. Batinku ingin sekali menyapanya, mengucapkan terimakasih, dan ingin berbicara layaknya seperti di alam manusia. Namun aku justru seperti kerbau dicocok hidung, patuh saja ketika tangannya lembut menyentuh pundakku. Lagi-lagi wangi bunga yang tak mampu kujelaskan. Aroma yang tidak pernah kucium sebelumnya. Kami berjalan menuju tempat kaum hawa ibadah. Hamparan sajadah warna-warni tidak membuat dalam masjid megah ini terkesan norak. Tetap saja indah dan menyejukkan. Aku menuju sajadah warna hijau yang terbentang di antara sajadah warna kuning dan merah. Tanpa canggung aku merunduk dan tersenyum sebagai ucapan terimakasih pada wanita yang mengantarku. Dia pun membalas sikapku sambil terus tersenyum. Aku mulai melaksanakan shalat qabliyyah. Masya Allah, ketika aku mengangkat tangan, dan takbir, tidak ada kedamaian yang kurasakan seperti saat ini. Segala beban dalam hidup ini raib sama sekali. Aku seperti tidak memiliki persoalan apa pun. Apalagi ketika aku menunaikan solat tobat, solat hajat, bersyalawat sesuai dengan cara dan pengetahuanku. Aku merasakan batinku sangat dekat dengan Sang Maha Pencipta. Hilanglah semua rasa keinginan-keinginan dalam batin. Aku menjadi insan yang sangat pasrah. Aku kembali bangkit dan berniat ke luar pintu ketika merasakan Syech Zakir memanggilku. Tak lupa sambil berjalan menikmati ornamen dalam masjid yang luar biasa indahnya. Aku merasa sangat kecil berada di dalam masjid ini. Lagi-lagi seorang wanita menghampiriku dengan senyum, mengantarku sampai ke pintu. Aku menatapnya untuk memastikan apakah dia wanita yang tadi atau yang lain lagi? Aku tidak bisa membedakannya. Sebab wajah mereka semuanya mirip, badan mereka juga sama besar. Bahkan gerak-geriknya pun sama. Aku memberi hormat sebagai ungkapan terimakasih padanya meski tidak berkata-kata. Dia memeluk dan mencium pipiku. Yaa Allah, meski tubuhku sudah lengket dengan tubuhnya, namun aku tidak merasakan kulitku bersentuhan. Padahal aku ingin sekali merasakan sentuhan tangannya yang halus bening itu.

Pelan-pelan aku meninggalkan pelataran masjid yang sangat luas, kembali berjalan berdampingan dengan Syech Zakir. Kali ini kami melalui lorong-lorong besar di antara bangunan-bangunan tinggi. Lagi-lagi aku merasa sangat kerdil. Tekhnologi di sini luar biasa canggih. Ini terlihat dari kendaraan yang mereka gunakan bisa bergerak secepat angin. Jika di bumi, kendaraan darat yang tercepat adalah kereta listrik yang kecepatannya bisa mencapai 220-230 kilometer per jam. Tapi di sini hanya sekali kedipan mata, kita sudah sampai. Di balik gedung-gedung yang tinggi, aku melihat hamparan tanah pertanian yang sangat luas. Kebun jagung berbuah lebat dan besar-besar, aneka sayur mayur yang sangat subur, kebun buah yang beraneka pun terhampar luas. Semua aneka buah ada di sini. Bahkan ada buah yang unik, belum pernah aku melihatnya di bumi, seperti markisah, namun bentuknya seperti jantung, berwarna ungu, aromanya segar sekali. Meski berbiji namun bisa ditelan seperti biji buah naga. Adalagi buah yang permukaannya berbulu-bulu halus seperti miang bambu. Aku memperrkirakan ini buah kiwi, tapi ternyata setelah dibuka tidak sama, karena isinya berwarna merah tua. Anggur, kurma, semuanya ada bahkan puluhan bentuk dan jenisnya. Namun herannya aku tidak ada nafsu hendak mencicipinya. Tetapi aku dapat merasakan manis dan aromanya. Selintas aku berpikir, apakah ini adalah bagian dari surga. Jadi ingat ketika masa kecilku ketika aku bersama Kakek Haji Majani di pondok kebun kopi Bapak, beliau selalu bercerita tentang surga di sela-sela ketika beliau mengajarkan syalawat dan doa-doa. Beliau mengatakan jika di surga air yang mengalir di sungainya ada air susu, anggur, dan air apa saja ada. Semuanya bersih bisa diminum langsung tanpa haris dimasak lebih dulu. Apa yang kita kehendaki semuanya ada. Jika kita menginginkan anggur yang paling manis dan ranum, maka akan segera diantarkan oleh bidadari pada kita, jika kita minta coklat, es mambo, sebelum kamu berkata, semuanya sudah terhidang dihadapanmu. Bukan main bahagianya aku kala itu.

Aku menatap ingin pada kakek Haji Majani yang bercerita sambil tersenyum. “Tapi jika kau ingin masuk surga ada syaratnya. Kau harus rajin ibadah, solat, puasa, sadakoh, dan menyanyagi anak yatim. Menolong tanpa pamri, mencintai alam semesta dengan ikhlas, mencintai makhluk-Nya pun dengan ikhlas, dan beribadah pun dengan ikhlas. Perbanyak amal, tidak boleh berbohong, tidak boleh mencuri, apalagi durhaka dengan orang tua” Ujarnya. Kakekku satu itu memang sangat pandai. Wajar saja kalau beliau banyak gelar diberikan oleh para jamaahnya. Cara beliau menggiring orang untuk menjadi baik bergitu lembut dan menyentuh. Tiba-tiba aku melihat wajah beliau seperti tersenyum di atara awan. Beliau melambaikan tangannya padaku. Cahaya putih memancar dari tubuhnya. Aku terkesima. Batinku menjerit memanggilnya. Aku sangat bahagia melihatnya. Namun sekilas saja, bayangan Kakek Haji Majani tiba-tiba hilang. Belum tuntas aku memikirkan kejadian barusan, kali ini kami berjalan di antara lereng gunung yang berhutan lebat, namun pohon yang tumbuh tertatah rapi. Meski pohon-pohonnya berdaun rimbun, namun aku tidak melihat daun kering dan ranting yang berjatuhan. Jalan setapaknya seperti dipel saking bersih dan licinnya. Demikian pula pohon-pohon yang berjejer hingga jauh ke dalam. Ada pohon tembesu, pulai, ulin, bengkirai, jati, kamper, sonokeling, tingginya entah berapa puluh meter, Aku melihatnya sangat menjulang. Diameter lingkaran pohonnya mungkin sepuluh lingkaran tangan orang dewasa. Pohon-pohon itu pun seperti dibersihkan satu-satu sehingga kulit pohon terlihat mengkilap. Cicit burung yang terdenganr sesekali, dan semilir angin membuat suasana alam makin asri. Dikejauhan gemericik air terdengar menakjubkan. Aku menoleh ke sana ke mari melihat keindahan hutannya. Tak seberapa lama, kami seperti sampai di ujung jalan. Masya Allah, di sebelah kanan hutan ada telaga berdiding cadas yang ditumbuhi lumut berwarna hijau cerah. Air telaganya bening. Namun yang membuat aku kagum adalah dasar telaga warnanya berbeda-beda. Ada yang berwarna merah muda, ada yang kuning, hijau dan biru. Mataku terbebelalak ketika melihat sisi telaga berdiri rumah-rumah kecil klasik yang unik, mungkin jika di alam manusia ini adalah gubuk-gubuk di tengah hutan. Melihat semua tertatah rapi dan bersih membuatku tak henti-henti menyebut nama Allah. Udaranya yang segar kuhirup dalam-dalam. Aku yakin tidak ada sedikit pun debu yang menempel di pohon, di jalan, di air, cadas, mau pun di daun-daun. Sulit sekali untuk mendapatkan bagian yang kotor di sini. Tidak ada! Aku yakin semua penghuni semesta ini adalah orang-orang suci. Sekarang aku dan Syech Zaki berdiri menghadap telaga. Di puncak dinding cadas yang ditumbuhi lumut berwarna hijau menjuntai daun seperti beludu. Cahaya yang memantul di sana seperti pantulan mahari. Tapi aku tidak melihat matahari mencalak seperti di bumi. Belum selesai aku mengagumi keindahan alamnya, tiba-tiba tiga bayangan wanita turun dari puncak bukit seperti melayang mendekati kami berdua. Tiga wanita cantik yang melayang turun bergerak lembut seperti penari. Padahal masing-masing wanita itu membawa sebuah nampan berwarna emas ditutup dengan kain tebal bersulam emas pula. Rambut mereka yang panjang tergerai seperti ombak kecil di lautan yang teduh. Demikian juga gaun dan selendang panjang yang mereka pakai, pun seperti bayangan asap yang meliuk ketika ditiup angin. Apakah ini yang disebut bidadari. Apalagi ketika mereka sudah berdiri di hadapan kami, aroma semerbak wangi menyebar seketika dari tubuh-tubuh mereka. Ketiganya berjalan mendekat. Langkah mereka sangat anggun. Ketiganya tidak memakai alas kaki, maka terlihatlah betapa mulus kaki mereka. Tidak ada bagian otot yang ke luar, atau bekas goresan luka seperti di kakiku. Wajah tirus mereka seperti boneka. Mata mereka berwarna coklat keemasan, berkilat-kilat seperti bintang. Senyum manis tersungging di bibir mereka yang tipis dan berwarna merah jambu. Masya Allah, sempurna sekali mereka. “Selamat datang di kahyangan lapisan satu, Kanjeng Ratu Utara Laut Banyuwangi. Terimakalah ini persembahan baginda penguasa kayangan lapisan satu, untuk Syech Zakir dan Ratu Utara Laut Banyuwangi. Baginda merasa tersanjung dengan kehadiran kalian berdua. Beliau memerintahkan kami untuk mengantarkan hidangan pada kalian. Ini menu terbaik di lapis kahyangan ini. Silakan dinikmati” Ujar salah satu mereka dengan sikap hormat, setelah membentangkan karpet lembut di atas rumput tebal seperti busah. Selajutnya mereka mundur dan duduk layaknya seperti dayang-dayang dengan tangan di dada dan kepala merunduk. Aku melihat nampan yang mereka bawa berisi aneka buah dan minuman, ditambah lagi ada semacam roti, aromanya memancing siapa pun pasti ingin segera menyantapnya. Syech Zakir membalas dengan memberi hormat juga. Aku ikut melakukan hal yang sama meski terasa sangat kaku karena takjub. Jadi kami berada di kahyangan lapisan pertama? Aku membatin. Dan mereka adalah bidadari? “Benar, Kanjeng Ratu, Saat ini Kanjeng Ratu besama Syech Zakir berada di Kahyangan lapisan pertama. Di atas, masih ada ratusan lapisan lagi. Setiap lapisan punya kelebihan masing-masing. Lapisan pertama ini adalah lapisan yang paling rendah. Kami adalah kasta yang paling rendah, Kanjeng Ratu” Ujarnya lembut. Aku kembali bingung, jadi lapisan kahyangan ada hubungannya dengan derajad hidup makhluk yang menghuninya? Lapisan satu ini semuanya berkasta paling rendah? Kalau di bumi, utamanya di Bali mungkin kasta yang terendah ini adalah kaum sudra, atau kaum paria? “Benar Kanjeng Ratu. Meski pengkastaan tersebut sudah ratusan tahun kami tinggalkan sejak baginda kami mendapatkan hidayah di bawah bimbingan Sang Hyang Agung, lalu atas bimbingan Maha guru yang menuntun kami mendapatkan hidayah bersama baginda Raja Kahyangan lapisan satu ini, Kanjeng Ratu” Lagi-lagi bidadari di hadapanku menjelaskan. Aku hanya menggangguk-angguk dalam hati. Sebab dia berbicara melalui batin. Secara fisik matanya menatapku dengan tenang dan senyum. Tapi secara fisik kami sama-sama diam.Masya Allah. Aku yakin tidak semua bangsa manusia yang bisa sampai ke sini.“Hanya orang-orang pilihan yang bisa sampai ke mari, Kanjeng Ratu. Apalagi dari bangsa manusia. Jika batinnya tidak bersih, dan tingkat kedekatannya pada Sang Maha tidak ikhlas, Mustahil akan sampai ke mari. Kanjeng adalah bangsa manusia yang ke sembilan ratus sembilan puluh sembilan setelah gurumu Eyang Putih. Kalau pun ada bangsa manusia yang mencapai kemari selain sembilan ratus sembilan puluh sembilan tersebut, mereka hanya sampai sebatas pintu gerbang dan melihat isi kahyangan selintas, tidak berinteraksi dengan kami di sini, lalu mereka akan kami lempar kembali ke bumi. Biasanya mereka-mereka ini bangsa manusia yang mencoba untuk mengamalkan ilmu kebatinan karena mengamalkan hal tertentu, tetapi mereka menyebutnya ilmu laduni. Padahal bukan. Ilmu laduni hanya dimiliki oleh prang-orang yang suci batinnya, dan itu anugerah Allah Swt langsung tanpa perantara.” Lajut wanita yang satu lagi. Suaranya lebih merdu dan manja. “Jadi para wali umumnya sudah pernah ke mari?” Batinku lagi. “Betul. Mereka pernah singgah ke mari, meski para wali tempatnya di lapisan kahyangan ke sepuluh. Mereka adalah orang-orang pilihan yang memiliki batin yang suci, dan sangat dekat dengan Allah Swt. Yang semasa hidupnya menyebarkan agama, menebar kebaikan-kebaikan di muka bumi” Jelasnya lagi. Aku menganguk-angguk penuh makna. Sungguh sebuah perjalanan yang memberikan pelajaran sangat berarti. Mungkin inilah yang dinamakan dengan rahasia Allah. Baru sedikit saja pengetahuanku tentang-Nya, mungkin tidak sebesar biji zahrah, namun aku merasakan sebuah kedasyatan yang luar biasa.

Dadaku terasa sesak berisi rasa kagum tak henti-hentinya. Selama ini di bumi, aku menganggap kehidupan kahyangan itu tidak ada. Hanya alusinasi bangsa manusia. Tetap setelah sampai ke mari, ternyata tidak benar. Kehidupan kahyangan itu sama dengan kehidupan di muka bumi. Mereka punya pemerintahan, punya tekhnologi, bersosialisasi, mereka juga belajar, bercocok tanam dan lain sebagainya. Hanya saja kualitasnya berbeda. Di sini waktu berjalan sangat cepat. Ibaratnya, ketika mereka menanam anggur. Baru saja menanam benih maka seketika anggur itu langsung berbuah dan siap panen. Jika hal ini terjadi di bumi, maka pasti masyarakat bumi akan menyebutnya sihir. Padahal demensi waktu antara alam gaib dengan alam nyata sangat berbeda. Aku dan Syech Zakir mencicipi minuman yang dituang oleh salah satu bidadari kahyangan lapisan satu ini. Cawan emas yang berukuran kecil ini terasa ringan. Ketika aku berdoa dan mencicipinya, aku melihat minuman yang kuminum mengalir pelan dan menyebar ke seluruh tubuhku. Dan ini terlihat olehku. Demikian juga ketika Syech Zakir menelannya, aku melihat air itu pun mengalir dan meyenbar segera ke seluruh tubuhnya. Beberapa buah kucoba satu-satu meski sebelum mencicipinya aku sudah merasakan ranumnya. Memang rasa dan aromanya tidak sebanding dengan semua buah yang ada di bumi. Demikian juga roti yang disajikan. Aku memilih potongan yang lebih kecil, lalu mengunyahnya. Aku tidak tahu terbuat dari tepung apa roti ini. Namun renyah dan aromanya tidak ada yang sama dengan roti buatan manusia. Sebenarnya, aku tidak ada merasakan haus atau lapar. Demikian juga ketika minum dan makan tidak juga merasa kenyang. Namun semuanya terasa nyaman-nyaman saja. Meski perutku sudah berisi anekah buah, minum, dan makan roti, namun rasanya masih seperti semula. Yang kurasakan adalah nikmat-Nya yang membuatku semakin mengagumi-Nya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *