Reog Ponorogo Menyapa Paris
Editor : Dini Kusmana Massabuau
Menghadirkan pertunjukan reog tentu bukan perkara yang sederhana. Tak hanya masalah jumlah anggota rombongan yang cukup besar, tapi mendatangkan “dadak merak” atau topeng berkepala singa bermahkotakan bulu-bulu burung merak bukan masalah yang sederhana.
Selain ukurannya yang sangat besar, urusan perijinan mendatangkan dadak merak itu sendiri tidak gampang. Hal itu terkait bahan dasar yang digunakan untuk membuat dadak merak, yaitu bulu-bulu merak asli, begitu pula rambut kepala singa maupun topeng ganong yang pada umumnya terbuat dari rambut di ujung ekor sapi.
Peraturan di beberapa negara sangat ketat untuk memasukkan barang-barang berbahan dasar dari hewan, tanaman dan lainnya. Untunglah akhirnya seni pertunjukan reog Ponorogo bisa hadir juga di Paris.
Impian menyaksikan pertunjukan reog yang spektakuler itu di Paris terkabul. Kabar lawatan tim reog Ponorogo pemerintah kabupaten Ponorogo ke Eropa untuk mempromosikan pariwisata dan budaya Ponorogo merupakan kabar yang menggembirakan. Reog Ponorogo harus bisa mampir Paris. Terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja. Kapan lagi kalau tidak sekarang? Ini kesempatan emas! Apalagi semua berharap dua tahun lagi reog Ponorogo bisa diajukan ke UNESCO agar tercatat dalam warisan dunia bukan benda.
Kampanye harus dimulai dari sekarang! Agar dunia internasional mengenal reog dan tahu bahwa reog benar-benar berasal dari Indonesia, bukan dari negara lain.
Dengan antusias beberapa asosiasi seni budaya franco-Indonesia di Paris seperti Asosiasi Khatulistiwa, Pantcha Indra, Pasar Malam dan IDN (Indonesian Network) France bergotong royong dan menggalang dana. Semua ingin pertunjukan seni asal Ponorogo ini bisa hadir dan tampil di Paris dan ikut mengkampanyekan reog goes to UNESCO.
Masyarakat Indonesia baik yang tinggal di Prancis maupun di negara lain, termasuk yang di Indonesia sangat solider. Dengan sukarela masyarakat Indonesai membantu, baik tenaga maupun dana. Semuanya demi reog bisa tampil di Paris. Terus terang sangat mengharukan.
Kabar gembira itu ternyata tak berhenti di situ. Pemerintah kabupaten Ponorogo menghadiahkan seperangkat perangkat musik reog dan dadak merak pada asosiasi Pantcha Indra Paris. Asosiasi budaya yang berkecimpung di dunia gamelan Jawa dan Bali ini dinilai mumpuni untuk merawat dadak merak, memperkenalkan dan melestarikan reog di luar negeri, khususnya Prancis.
Acara penyerahan seperangkat reog itu dilaksanakan di ruang Garuda KBRI Paris oleh Bapak Thridy dari bagian promosi dinas pariwisata Ponorogo pada Kadek Puspasari Moure yang mewakili asosiasi Pantcha Indra, dan disaksikan oleh perwakilan dari KBRI Paris.
Sebelum tampil di Paris, rombongan reog pentas di Belanda (acara Tong Tong Fair di Den Haag), Belgia (di kota Bruxelles dan Oostende). Bahkan para seniman gamelan Pantcha Indra dan penari Joged Nusantara, Khatulistiwa dan asosiasi Sekar Jagat Paris mendapat kesempatan belajar dari para seniman reog terbaik Ponorogo.
Di Paris, pentas reog digelar di gymnasium Maison d’accueil Adèle Picot di distrik 6 Paris. Beberapa musisi dan penari yang ikut workshop selama 3 hari sebelumnya ikut tampil memamerkan hasil mereka menimba ilmu pada para maestro.
Pertunjukan reog Ponorogo pada jumat 16 Septembre 2022, dibuka oleh bapak Muhammad Oemar, Dubes KBRI, Prancis.
“Kedatangan reog Ponorogo di Paris ini merupakan hal yang penting dan besar karena menambah salah satu program untuk mempromosikan Indonesia, apalagi dengan diserahkannya beberapa peralatan dan juga dadak merak kepada para seniman di Paris ini yaitu sahabat kita dari Pantcha Indra dan juga nantinya para pelajar di Nanterre yang mempelajari musiketnologi dan tarian Indonesia akan semakin bertambah ilmunya tentang seni budaya Indonesia”, tutur Dubes RI Paris.
Tidak hanya penonton disuguhkan pertunjukan yang membuat mereka kagum, Wisnu HP, ketua tim reog yang berperan sebagai warok juga mengundang penonton yang ingin mencoba memainkan pecut. Ajakan itu membuat suasana hangat.
Beberapa di antara penonton maju mencobanya. Terbukti memainkan pecut ternyata tak mudah. Pertunjukan reog sendiri berasal dari legenda rakyat Ponorogo. Walaupun ada beberapa versi yang berbeda, kisah yang umum dikenal adalah legenda yang menceritakan pertarungan antara prabu Kelono Sewandonodari dari kerajaan Bantarngin dengan raja Singo Barong dari kerajaan Lodaya.
Keduanya memperebutkan putri Songgolangit dari kerajaan Kediri. Putri rupawan ini hanya akan menerima laki-laki yang bisa memenuhi syarat berat yang diajukannya, yaitu mempersembahkan pertunjukan yang belum pernah ada sebelumnya dan membawa seekor binatang dengan dua kepala yang berbeda. Dalam pertempuran, prabu Kelono Sewandono yang tampan berhasil menaklukkan raja Singo Barong yang berkepala singa yang selalu ditemani burung merak yang mencari kutu di kepalanya.
Akhirnya raja Singo Barong yang penampilannya bagai seekor binatang berkepala dua menjadi bagian pertunjukan unik yang dipersembahkan prabu Kelono Sewandono pada putri Songgolangit.
Walaupun tak tampil di ruang terbuka seperti pada umumnya sebuah pertunjukan reog, penampilan mereka sangat mempesona.
Para penonton yang memenuhi ruang berkapasitas 200 orang itu berdecak kagum menyaksikan pertunjukan reog yang terdiri dari dua pengaruh singa barong, satu penari prabu Kelono Sewandono, satu warok, dua penari bujang ganong dan enam penari jathil itu.
Lebih-lebih mereka terpana melihat penampilan pembarong yang tetap bergerak lincah walaupun dibebani dadak merak yang tingginya sekitar 2 meter dan beratnya tak kurang dari 50 kg. Apalagi saat diberi tahu bahwa cara memakainya pun lain dari pada yang lain. Topeng raksasa itu tak hanya dipasangkan di kepala tapi harus dicengkeram dengan gigi pemain. Kok bisa, ya? Begitu komentar banyak penonton. Jangan dibayangkan mereka memakai mantera dan kekuatan magis seperti kesan yang sering muncul dalam kesenian reog.
Menurut Wismu HP, semua orang bisa belajar mengenakan dadak merak, topeng terbesar di dunia. ‘Hanya’ membutuhkan teknik tersendiri dan latihan bertahun-tahun untuk menguatkan rahang dan gigi seniman yang memainkannya. Caranya? Menggigit bambu yang diberi beban di kiri kanannya, menjadi seperti barbel, selama beberapa menit. Dari waktu ke waktu beratnya ditambah. Waah! Pasti cocok untuk menjadi bintang iklan pasta gigi! Hahaha.
Sebelum acara berakhir hadirin mendapat sajian parade batik Jawa Timur yang didahului tampilnya reog cilik, Fandra, 10 tahun dan penari jathil cilik, Cleodi, 11 tahun. Penonton rupanya menyukai tampilnya reog dan jathil cilik yang menggemaskan ini.
Di penghujung acara, seperti pada umumnya dalam pertunjukan reog, kedua pembarong mengangkat dubes RI untuk Prancis dan ketua delegasi permanen Indonesia untuk UNESCO, bapak Ismunandar, duduk di atas topeng singa yang mereka pakai.
Banyak penonton Prancis menyatakan apresiasi mereka dan berterima kasih berkesempatan menyaksikan pertunjukan seni unik ini. Pertunjukan reog selama 40 menit itu terasa amat sangat singkat. Banyak penonton mengharapkan pertunjukan reog yang lebih lama.
Walaupun acara sudah bubar, penonton masih bertahan di ruangan untuk berfoto-foto dengan reog dan berdiskusi dengan para seniman sebelum rombongan harus berangkat melanjutkan perjalanan mereka ke Frankfurt untuk mengikuti Festival Indonesia di Frankfurt, Jerman.
Semoga tahun-tahun mendatang rombongan reog bisa hadir kembali di Paris maupun di kota-kota lain di Prancis. Agar reog makin dikenal luas oleh masyarakat internasional dan lestari memang perlu upaya terus menerus. Idealnya, reog bisa tampil secara berkala di berbagai negara dan menyelenggarakan pelatihan-pelatihan di kantung-kantung seni gamelan yang ada di luar negeri. Semoga reog berhasil masuk dalam daftar warisan budaya dunia bukan benda UNESCO.
Wuih ikut bangga 👏