HARIMAU-SUMATERA-HEWAN-BERADAT IV (50B)

Karya RD. Kedum

Sukamakmur perbatasan Indragiri dan lintasan ke jalan gunung dekat rumah kontrakan kami ramai. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Mobil yang membawaku dari Palembang baru tiba di Pagaralam. Rupanya mengetahui aku akan pulang hari ini banyak tetangga dan sanak keluarga menunggu. Mungkin mereka penasaran ingin tahu bagaimana kondisiku setelah berbulan-bulan di rawat di Palembang pasca kecelakaan itu. Atau hanya sekadar penasaran bagaimana kaki yang gips itu.

Sekarang sudah masuk bulan Desember. Pagaralam sudah mulai diguyur hujan. Hal ini nampak terlihat parit limbah di seberang jalan meluap hingga ke jalan. Air tergenang di lubang-lubang. Tanah becek dan licin.
“Alhamdulilah…Allahu Akbar…cucungku dah sampai.” Suara yang sangat kukenal ketika mobil yang kami tumpangi berhenti persis di depan rumah. Suara kakek Haji Majani! Oh! Beliau sengaja datang dari dusun untuk bertemu denganku.

Gemuruh suara orang ramai seperti menyambut pesta petasan saja. Mereka berdesak-desakan hendak melihat aku turun. Banyak sekali yang hendak membantu. Sementara aku sulit bergerak saking padatnya. Masya allah, berbagai perasaan berkecamuk dalam dada. Satu sisi terharu karena banyak orang yang memberikan perhatian padaku, sisi lain lagi ada rasa malu karena aku harus bertumpu pada tongkat dengan kaki di gips seperti tontonan. Ketika aku sudah duduk di kursi baru yang hadir tua muda semua bergiliran menyalami. Nyaris semua mengucapkan selamat, cepat sehat, semangat, sabar, dan lain-lain. Aku hanya mengangguk dan mengucapkan terimakasih.

“Kapan kita bisa naik turun sekip lagi, Cung?” Ujar kakek Haji Majani menggodaku sembari mengelus-ngelus gips kakiku. Aku hanya tertawa mendengar candaannya. Kakekku satu ini pandai sekali menyembunyikan perasaannya. Padahal hatinya sedih atau mungkin juga terharu melihat kakiku terbujur kaku dan dengan tongkat penopang yang tak lepas di tangan. Meski nadanya bercanda, tapi di matanya menggenang air hendak tumpah.
“Kalau sudah lepas gips, bisa berjalan lagi, kita kembali naik tebing sekip, ke Seberang Endikat, ya Cung.” Kali ini Kakek berusaha menghiburku. Aku mengangguk dan tersenyum. Kuraih tangannya. Kurasakan hangatnya. Ada getar haru berkecamuk di dadanya. Aku berusaha meredakannya. Diam-diam kusalurkan energi agar kakek tenang kembali.

Kadang aku merenung, pada orang lain aku bisa melakukan apa saja. Menolong orang lain diam-diam bisa. Seperti sekarang, aku redakan rasa haru yang mendalam di dada kakek Haji Majani. Aku tidak ingin melihat lelaki yang kusanyangi ini menangis. Akhirnya setelah agak normal, baru kuajak lagi berbicara. Sementara melihat kondisiku seperti sekarang, dengan kaki terpasung, semua harus dilayani, bahkan sekadar mengambil sisir yang jatuh di lantai saja harus ada yang membantuku. Sebagai manusia biasa aku tidak bisa melakukan apa-apa. Ingin mencoba mengobati diri sendiri, tapi takut ditegur kakek Pekik Nyaring, nanti aku dikatakan melawan takdir. Berulang kali beliau mengingatkan aku agar jalani hidup normal sebagai manusia, menikmati takdir sebagai manusia biasa. Oh! Tapi kini semua jadi serba terbalik. Ketika musibah datang menimpa ke dua orang tuaku, aku dilarang menggunakan kemampuankupun. Dikatakan biarlah Bapak dan Ibu menjalani takdirnya. Aku anaknya merasa berdosa karena tidak berbuat apa-apa. Bahkan bertahun aku tidak mau menggunakan kemampuanku karena kecewa. Kuabaikan semua hal yang berbau gaib, hingga terakhir baru kuketahui jika aku telah lama jadi incaran dua peri dari Banyuwangi, dan di alam sana leluhurku menghalangi, membelaku mati-matian hingga melibatkan nenek-nenek gunung sepanjang Bukit Barisan. Pada akhirnya sukmaku diculik dua peri dari Banyuwangi. Para nenek gunung dari Uluan merahasiakan peristiwa besar di dimensinya padaku. Lalu jasadku jatuh, kakiku patah tertimpa, ketika mereka mengambil sukmaku.

Aku menyusut air mata. Kakek Haji Majani menghapusnya dengan jarinya. Sekarang gantian aku yang mengharu biru. Dadaku terasa sangat perih. Tapi aku tak bisa menyalurkan energi ke jantung dan hatiku agar berdamai, agar tidak ada kesedihan dan lain-lain. Aku memang hanya bisa menerima.
“Hussssttt..cup..cup…jangan sentimentil. Apapun perasaanmu hatimu tetap harus berzikir.” Aku tersentak. Kakek Andun kembali mengingatkan aku. Aku benahi kembali batinku. Iya..toh semuanya sudah terjadi. Aku harus jalani semuanya. Secara fisik aku memang tidak bisa kemana-mana. Tapi secara batin, bukankah aku tidak dilarang untuk berinteraksi dengan leluluhurku di Uluan? Bahkan aku masih bisa melakukan hal yang bermanfaat untuk kehidupan di dimensi itu? Akhirnya aku meluruskan zikirku kembali. Mungkin juga ini cara lain aku menghibur diri sendiri. Biarlah, hanya Allah yang tahu.

Rumahku sudah kembali sepi. Di atas meja masih bertumpuk makanan, kue, roti dan buah-buahan. Tetangga yang berkunjung, membawa segala macam. Kali ini aku tidak tidur di kamar. Padahal aku sangat rindu ingin berbaring di kamarku. Tapi ibu membentangkan kasur di lantai ruang tamu. Alasannya mempermudah orang-orang yang hendak berkunjung melihat kondisiku. Malam ini aku tidur ditemani kakek Haji Majani dan beberapa saudara Bapak sengaja bermalam di rumahku.

Benar saja, baru tadi malam aku pulang, siang ini silih berganti yang datang. Kawan sekolah, guru, kerabat, semuanya datang memberi semangat dan doa. Rumah menjadi ramai penuh canda dan tawa. Jika seperti ini, sejenak aku lupa dengan diriku sendiri kalau aku tak bisa apa-apa. Namun ketika mereka pulang satu-satu, aku mulai merasakan sepi yang paling sepi.

Dari guruku kuketahui jika sekolah memberhentikan aku sementara. Ketika mendapatkan informasi itu aku berusaha tegar. Aku tetap menerima dengan lapang dada. Alasannya tidak ada toleransi karena lebih tiga bulan aku tidak sekolah. Beliau membujukku dengan tetap memberi semangat. Tahun depan masih bisa kembali sekolah.
“Sekarang, fokus dengan kesembuhanmu ya, Dek.” Ujar Bapak Tarzan, yang ditemani Pak Sahidin dan Ibu Seni Ria. Aku hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Kucoba menunjukkan ketegaranku pada mereka. Ketika mereka pulang, aku tak mampu menahan diri. Aku menangis diam-diam. Artinya tahun ini aku gagal menamatkan sekolahku. Ini adalah frustasi keduaku. Aku merasa percuma memiliki sederet penghargaan dengan embel-embel berprestasi. Aku juga merasa percuma memiliki kemampuan ini itu. Semuanya terasa perih.

Petang ini aku duduk di kamarku. Aku menatap dinding kamar. Masih penuh dengan lukisan, mataku terbentur pada lukisan yang kuberi judul “Jalan Berliku”. Mengapa lukisan itu seakan bercerita tentang diriku? Jalan yang kulukis semakin jauh semakin mengerucut dan semakin terjal pula. Mengapa di dalam lukisan itu ada sosok perempuan berjalan sendiri lalu kiri kanan jalan diawasi oleh beberapa harimau seakan mengintainya di balik semak-semak. Meski lukisan itu kulukis dengan media dinding papan dan kapur tulis, namun tetap nampak jelas. Lama aku merenung menatapnya dalam-dalam. Lalu kulempar pandang ke kanan. Dua lukisan vignet. Tiap garis memiliki makna rasa, lalu di antara liak-liuk garis itu menyembul seraut wajah. Wajah Guntoro. Oh! Dadaku makin terkoyak . Apa kabar lelaki yang pertama kali mendebarkan jantungku itu? Benarkah cerita beberapa kawanku kalau Gungoro tidak naik kelas, dan sekarang sekolah atu tidak, tidak ada yang tahu. Kabarnya dia sering pergi dari rumahnya. “Yaa Rabb…bantu aku.” Aku menengadah ke langit sembari memegang dadaku yang bergetar. Aku tak mampu menahan ini semua. Banyak sekali rasanya yang membebani batinku.

Aku terperanjat ketika tiba-tiba bahuku ditepuk pelan dari samping. Ah, Macan Kumbang! Tanpa suara rupanya dia sudah berdiri di sampingku. Aku berusaha menyembunyikan rasa piluku.
“Tak baik sedih mendalam seperti itu, Dek,” ujarnya mengelus bahuku. Mendapat sentuhan itu malah membuat perihku makin kental.
“Macan Kumbang, apakah di alammu ada yang merasakan perih dan sakit seperti di dadaku? Apakah di alammu ada yang merasakan benturan hidup sepertiku? Jika aku menuruti kata hati, sebagai manusia biasa sungguh aku tidak sanggup menghadapi cobaan yang bertubi ini.” Ujarku menahan tangis. Macan Kumbang jongkok di hadapanku.
“Dedek, sebagai makhluk hidup, kita sama. Ada kalanya medapatkan rasa senang, namun ada kalanya merasakan kesedihan persis seperti yang kamu alami. Namun kembali pada pribadi kita masing-masing. Mampukah kita menghadapi segala sesuatu yang terasa pahit dengan tegar dan lapang dada. Lolos dan tidak bergantung kita.” Macan Kumbang mengusap air mataku. Akhirnya aku mencoba meredakan derai hujan itu. Aku jadi gampang menangis sekarang.
“Aku harus lolos!” Tekadku dalam hati. Macan kumbang memelukku.
“Nah begitu dong. Masak nenek gunung cantik sepertimu kalah dengan keadaan? Bangkit! Bangkit!” Macan Kumbang menyemangati. Aku tersenyum menatap adik gaib nek Kam satu ini. Selalu saja dia hadir menjadi penghiburku.

Selanjutnya aku bercerita dengan Macam Kumbang. Suatu hari ada kerabat Bapak singgah ke rumah. Tujuannya tidak lain untuk melihat kondisiku. Beliau bercerita ketika beberapa hari peristiwa kecelakaan yang mematahkan kakiku itu, warga Nendagung Ulu bercerita bahwa ketika beliau petang-petang mencari kambingnya yang belum pulang, beliau melihat sosok Dedek berdiri di bawah pohon kopi tak seberapa jauh dengan pemakaman. Persis tempatku terjatuh. Lama katanya orang tersebut mengamati. Mengapa Dedek yang kecelakaan ada di kebun dekat kuburan sore-sore begini masih menggunakan pakaian sekolah. Sebenarnya beliau ingin menegur, namun teringat kalau Dede dirawat di Palembang akhirnya batal. Keesokan harinya orang itu mencari info yang pasti tentang keberadaanku. Apakah aku masih hidup atau sudah mati. Lalu siapa yang berdiri memakai baju sekolah petang hari itu? Hantu? Dan ternyata tidak sekali dua kali orang lain pun pernah menceritakan hal yang sama. Melihat sosok Dede di Nendagung Ulu itu. Pun dekat kuburan.
Muncul rumor, “Dedek belum mati tapi hantunya sudah gentayangan.” Mendengar itu aku kaget. Muncul keinginanku untuk mengetahui siapa yang iseng mengubah diri menjadi sosokku itu? Akibatnya penduduk kampung takut tiap kali lewat sana. Apalagi petang hari.
“Ada hantu Dedek!”
Mendengar ceritaku Macan Kumbang tertawa. “Iya juga ya..kamu masih hidup aja dah gentayangan.” Ujarnya. Aku ikut tertawa sambil menepuk tangannya. Lama kami tertawa berdua. Namun aku tidak sampaikan pada Macan Kumbang kalau aku akan mencari tahu siapa yang sudah berani menyerupai aku. Malam itu Macan Kumbang pamit hendak ke Seberang Endikat menemui nenek Kam.

Bapak sudah pulang ke Seberang Endikat. Besok Kakek Haji Yasir akan pulang ke Pagaralam. Di rumah ada Ibu yang rajin merawatku. Ketika semua sudah tidur, aku mulai ancang-ancang untuk berpetualang sendiri malam ini. Aku akan datangi makhluk yang mengubah diri menjadi sosokku itu. Aku duduk bersandar. Meluruskan kedua kaki. Tongkat penyanggahku kuletakkan di samping tempat tidur. Tak lama kemudian aku telah berjalan di Nendagung Ulu. Dari penciumanku kutelusuri dimana sosok iseng itu. Aku mundur waktu mencari sosok-sosok itu di sini. Aku sudah masuk area pemakaman hingga tembus ke kebun kopi penduduk. Berbagai macam bentuk makhluk asral berkeliaran dengan macam bentuk. Nyaris aku bentrok dengan siluman harimau gegara dia membentak dan melarangku masuk area pemakaman. Kulihatkan cakarku sambil menyeringai, rupanya dia mundur setengah takut. Aku kembali berjalan mencari sosok yang sudah tercium olehku.

Hmmm… dua makhluk asral, kuntilanak dan gondorowo. Rupanya keduanya ingin unjuk gigi, dan menakuti bangsa manusia. Aku singkirkan makhluk yang lainnya, kuseret genderowo dan kuntilanak berbarengan. Lalu kubanting persis di hadapanku. Melihat aku menyeret dua makhluk ini rupanya yang lain marah.
“Diam kalian! Jangan coba-coba ikut campur urusanku kalau tidak mau mati!” Ancamku. Wajah mereka kutunjuk satu-satu. Ternyata banyak juga yang bernyali. Mereka nekat menyerangku. Kuhantam mereka dengan satu pukulan. Semua terjerengkang menahan sakit. Aku menunggu serangan berikutnya. Ternyata tidak ada yang berani. Seringai mereka saja menampakkan kemarahan. Aku menoleh pada Kuntilanak dan Genderowo.
“Ayo berdiri!! Mengapa kalian mengubah diri menjadi aku? Kunti jawab!” Bentakku pada Kuntilanak terlebih dahulu.
“Lepaskan aku dulu baru kujawab” Katanya sambil menggerak-gerakkan tubuhnya. Kutatap wajahnya dengan geram. Makhluk laknat ini seringkali menyesatkan manusia yang kebetulan melintas di area sini. Isengnya terlalu. Bahkan kadang mencelakakan orang. Kusentil wajahnya. Kupaksa dia mengaku.
“Iya..ii…iyaa..aku. Aku hanya ingin menakuti warga saja. Biar mereka sangka kamu dah mati… ” Jawabnya.
“Ooo…kumu mengharapkan aku mati rupanya!” Kutekankan telunjukku ke keningnya. Dia menjerit kesakitan sembari minta ampun. Kekuatannya kuambil. Setelah itu kulepaskan ikatan gaibku. Si kunti sujud-sujud minta ampun dan minta dikembalikan lagi kekuatannya. Kuhantamkan kakiku ke bumi lalu kudorong tubuh Kunti. Dalam sekejap Kunti terlempar jauh.

Sekarang aku berhadapan dengan genderowo. Taring dan tanduknya menyeramkan sekali. Matanya yang merah seperti bara. Dia makhluk ganas yang memiliki kesaktian lebih tinggi dari kuntilanak tadi. Melihat aku mendekatinya, matanya tajam makin membara.
“Suka-suka saya. mau menjadi apa. Itu urusanku.” Katanya sebelum kutanya. Cerdas juga makhluk satu ini. Belum kutanya tapi dia sudah jawab. Kebetulan dibenakku memang ingin bertanya soal itu.
“Oh itu urusanku genderowo jelek! Apalagi kamu sudah berani meniru sosokku. Katakan mengapa kamu menyerupai aku?. Apa kamu malu karena wajahmu jelek?” Ujarku sambil menatap matanya yang berhawa panas itu.
“Itu memang pekerjaanku. Bangsamu yang bodoh, mengapa penakut.” Ujarnya membela diri.
“Hallah banyak bacot!” Aku mengarahkan jariku untuk mengambil energinya. Genderowo berusaha memberontak. Aku memang tak ingin lama-lama berada di sini. Sudah ketemu biang keroknya membuatku agak lega. Usai kuambil energinya, Genderowo kulepas. Dia menangis minta ampun sujud-sujud padaku. Sama dengan Kunti, kuhentak tanah lalu kutendang. Tubuh besarnya melesat jauh. Aku sengaja membuatnya begitu. Tidak membunuhnya. Ratusan mata nanar menatapku. Aku balik membalas menatapnya. Semuanya menatap penuh ancaman. Kali ini aku santai-santai saja. Aku berbalik pulang tanpa ada yang berani menentangku.

Seiring berjalannya waktu, semakin lama, rumahku semakin sepi. Kawan-kawan semakin jarang menjumpai aku. Untung aku punya adik yang gemar membaca. Andy adikku sering kali membawakan aku buku. Lalu Bapak memberikan aku Tape recording yang bisa kuputar dan kupeluk sambil tidur setiap waktu. Rasa bosan membuatku berpikir mencari solusi. Aku tidak mungkin makan, bangun, dan tidur setiap hari. Aku harus mengisi hari-hariku yang membosankan ini dengan sesuatu yang lebih manfaatkan. Kulanjutkan kegemaranku mengoleksi prangko, mendengarkan radio baik radio amatir maupun RRI, memutar lagu-lagu pilihan, terutama lagu-lagu balada dengan arasemen yang berbeda. Ebiet G Ade, Frenky dan Jane, Titik Puspa, Muchsin dan Titik Sandora dan lain-lain menjadi pilihan. Selanjutnya aku mulai menulis-nulis puisi.

Malam ini aku berjaga di depan radio. Kebetulan RRI Tanjungkarang ada siaran sastra bertajuk ‘Bianglala Sastra’. Aku kerap mendengarkan penyiarnya membaca puisi kiriman pemirsa, lalu mengkritis tiap puisi yang beliau baca. Lama-lama muncul keberanianku untuk mengirimkan puisi-puisiku. Betapa bahagianya ketika puisiku dibaca dan diulas penyiarnya. Selebihnya acara itu menjadi acara favoritku. Aku semakin rajin menulis dan mengirimkannya. Karena seringnya namaku muncul di radio ini banyak yang minta alamatku pada penyiar. Mereka berkirim surat untuk berkenalan. Tak sedikit para penggemar acara itu menjadi sahabat-sahabat penaku. Bahkan aku pernah iseng menulis surat pada Ebiet G Ade, karena kagum dengan puisi-puisinya yang dirilis menjadi lagu. Beliau membalas suratku berulang kali sembari mengirimkan photo-photonya dan album barunya. Betapa bangganya aku ketika itu. Begitulah salah satu cara aku mengusir rasa sepiku.

“Ha!!” Pundakku di tepuk dari belakang. Aku tersentak. Hari-hari ini Macan Kumbang seringkali datang tiba-tiba tanpa tanda.
“Ih! Kebiasaan banget sih datang tiba-tiba. Buat aku kaget saja. Bagaimana kalau sekiranya aku sedang mandi atau sedang pipis, atau sedang buang air besar. Tiba-tiba ada Kumbang?” Ujarku agak kesel. Macan Kumbang cuek saja, malah menjatuhkan diri di sampingku menelentang sembari berbantal tangan. Dalam hati aku bertanya-tanya. Tumben mulutnya tidak nyerocos seperti biasanya. “Ada apa tiba-tiba datang terus baring? Kok diam saja? Sedang galau ya?” Tanyaku sambil mencolek bahunya. Macam Kumbang tetap diam. Matanya lurus ke langit-langit kamar. Aku merapatkan selimutku. Sebab meski belum tengah malam, tapi udara sudah sangat dingin.

Di luar terdengar suara air menetes jatuh dari atap seng. Nampaknya gerimis. Tapi Macan Kumbang yang baru saja datang nampak kering. Kupegang rambutnya. Iya, tidak basah. Melihat Macan Kumbang diam saja, volume radio kukecilkan. Kupandangi makhluk satu ini. Dalam hati aku masih bertanya-tanya, mengapa Macan Kumbang jadi pendiam? Terus pertanyaanku tidak dijawabnya. Akhirnya aku juga memilih diam menunggu dia berbicara sambil menyimak radio pelan-pelan.

Siaran Bianglala Sastra sudah dimulai. Volume radio kembali kukencangkan. Macan Kumbang masih memandang ke langit-langit kamar. Akhirnya kubiarkan. Biarlah dia asyik dengan pikirannya, aku juga asyik dengan pikiranku. Terkadang memang harus belajar menyikapi situasi. Meski sedang berdua, tapi apa bedanya dengan sendiri?

Aku bergetar ketika mendengar penyiar RRI Tanjungkarang di acara Bianglala Sastra itu memilih puisiku menjadi pilihan utama dibaca lebih awal. Kuhayati penuh perasaan ketika satu-satu diksi puisi beliau baca. Kadang pelan, kadang menghentak, kadang datar, persis irama lagu dengan tempo mengasyikan. Selanjutnya beliau ulas, tanpa ada kritikan. Aku menarik nafas lega. Ini suksesku yang pertama selama sering mengirimkan puisi ke radio itu. Tanpa kritikan. Terakhir pangasuh acara Bianglala Sastra itu minta biodataku lengkap. Mulai dari nama asli atau nama pena, tempat tanggal lahir, pendidikan dan lain-lain. Aku sedikit panik, apa yang harus kutulis pada bagian pendidikan? Aku tidak sekolah, SMP juga belum tamat? Sementara penyiarnya mengatakan jika melihat diksi-diksi R.Mana Pasma Dewi (nama samaranku), kemungkinan besar beliau ini kalau bukan guru, dia mahasiswa. Bueeah! Guru atau mahasiswa? Jauh sekali. Ingin aku tertawa saat itu. Bagaimana jika penyiar itu tahu ternyata yang rajin mengirim puisi di acara itu anak SMP yang gagal?
“Kamu tidak gagal, hanya ditunda saja tunggu sampai sembuh.” Mulut Macan Kumbang bergerak tapi matanya terpejam dengan lengan menutup jidatnya. Aku menoleh. Rupanya Macan Kumbang ikut menyimak?
“Andai aku bisa menulis puisi, akan kutulis langit, awan, angin, dan hujan. Akan kucurahkan segala badai, yang bergemuruh dalam dada. Agar ia menjadi ombak, terus bergejolak, atau pelan mendesir, seperti ketika air menjilat pasir.” Macan Kumbang berbicara seperti membaca puisi. Tapi masih dalam posisi telentang di sampingku. Kuraih lengannya. Apa benar Macan Kumbang yang berpuisi barusan. Aku tertawa sambil menarik brewoknya yang mulai panjang.
“Hei! Belajar dimana bisa baca puisi bagus kayak tadi?” Ujarku.
Sekilas Macan kumbang tersenyum. Aku baru ingat, dulu pernah juga Macan Kumbang berpantun. Artinya Macan Kumbang ini punya bakat penyair juga.
“Ajari aku ya buat puisi yang bagus.” Ujarku. Sebab diksi yang baru diucapkannya tadi menurutku sangat indah. Meski maknanya belum bisa kutafsirkan sepenuhnya namun aku merasakan gejolaknya.
“Hala…cuma kayak gitu aja dibilang bagus. Buat puisi itu perlu keseriusan, dan jujur. Maksudnya jujur dengan menuliskannya apa adanya. Jangan mencari-cari seperti mencari kutu. Akibatnya tidak jelas tujuan mengapa dan apa yang kita tulis,” kata Macan Kumbang lagi. Aku terperanga dibuatnya. Mulut Macam Kumbang kembali nyerocos dan yang membuatku kagum pandangannya tentang menulis puisi. “Wah! Ini dia sang penyair manusia harimau. Keren!” Ujarku menimpali. Macan Kumbang langsung duduk lalu menghadap padaku.

“Jangan pernah memaksakan diri tulisan kita harus indah berumbai-rumbai kayak ordeng. Tapi tulislah apa yang hendak ditulis. Biarkan dia mengalir. Lama-lama kamu menemukan jalannya sendiri” kata Macan Kumbang lagi. Aku mengangguk setuju. Malam ini aku seperti mendapatkan palajaran dari guru sastraku. Tidak kusangka Macan Kumbang cerdas dan paham dengan masalah menulis. Motivasi tuturnya bagus.
“Sudah ah! Jalan yok..” Macan Kumbang turun dari tempat tidur lalu menggamitku.
“Kemana?” Jawabku.
“Tidak usah tanya, kalau mau ikut ayo. Kalau tidak biar aku sendiri.” Ujarnya memperbaiki posisi rambutnya. Sejenak aku berpikir antara ikut atau tidak. Di luar hujan makin lebat. Akhirnya aku diam sejenak. Jasadku dalam posisi tidur. Aku ke luar rumah bersama Macan Kumbang.

Kami berdua memasuki area persawahan Ayek Samek. Aku tersenyum sendiri kala teringat di sawah ini aku pernah menghajar kawanan copet dari Tebat Baru yang kupatahkan tangannya. Waktu itu rupanyan Macan Kumbang menonton ketika aku menghajar kawan copet itu dengan sabuk pemberian ular Air Laga. Sampai sekarang sabuk ini tetap kupakai dan kupelihara.

Aku masih diam berjalan di sisi Macan Kumbang. Aku tidak tahu akan diajak ke mana. Di hulu Gunung Dempu nampak suram di balut awan. Di alam manusia, hujan turun, tapi di dimensi ini tidak. Kami tidak merasakan hujan atau pun terik matahari. Langit selalu terlihat temaram, meski di bawah sini terang benderang.

Beberapa kali aku berdehem-dehem memancing agar Macan Kumbang berbicara. Tapi tak terpancing juga. Dia tetap diam. Sekarang di hadapan kami ada hutan dan bukit kecil. Macan Kumbang meraih tanganku, lalu sedikit melayang kami berjalan di atas bukit terus menuju selatan. Aku tidak bisa perkiraan ini daerah mana. Ingin bertanya, melihat wajah Macan Kumbang sedikit masam, akhirnya kubatalkan. Sebenarnya sudah tidak betah berjalan tidak jelas tujuan, lalu sama-sama diam. Seperti orang sedang bermusuhan saja. Bedanya aku digandeng, kami berpegangan tangan meski saling diam. Tidak biasanya Macan Kumbang bersikap seperti ini. Motivator sedang berduka!

Tak lama kami sampai di sebuah perkampungan. Sepi. Aku baru ingat, wajar saja kampung ini sepi, lah ini memang malam hari. Bagaimana mau ramai perkampungan manusia. Bukan perkampungan bangsa gaib. Bangsa manusianya masih lelap.
“Selasih, kau lihat rumah bercat kuning itu?” Kumbang menunjuk sebuah rumah yang agak temaram. Kami beridiri atas bubungan rumah orang. Aku mengangguk pertanda aku melihat rumahnya.
“Kau lihatlah di dalamnya?” Ujar Macan Kumbang lagi. Lalu aku mengikuti apa yang Macan Kumbang katakan. Ternyata di dalam rumah itu ada seorang nenek sedang tidur lelap di sebelah cucu, seorang gadis belia yang cantik. Jika ditaksir usianya, mungkin di atas dua tahun dariku. Kulitnya putih langsat, beralis tebal, bulu matanya tebal dan hitam. Bibirnya bentuknya melengkung indah. Dia gadis sempurna.
“Seorang gadis cantik dan nenek-nenek.” Ujarku cepat.
“Iya seorang gadis dan neneknya. Mereka hanya berdua. Gadis itu anak yatim piatu. Aku disuruh meminangnya. Tapi aku berat sekali untuk meminangnya, Selasih. Aku kasihan dengan nenek yang sudah tua itu. Jika dia kupinang dengan siapa nenek itu, siapa yang akan merawatnya?” Ujar Macan Kumbang. Makanya sampai sekarang aku belum memutuskan permintaan keluarga dan kerabat di Uluan. Aku ingin bertanya padamu. Pantas tidak?” Lanjut Macan Kumbang.
“Bukan soal pantas atau tidak, tapi aku sepakat denganmu, kasihan nenek tua itu jika cucunya kita ambil menjadi istrimu. Kasihan, meski keduanya soleha. Tapi bagaimana nasib nenek itu jika dia kehilangan cucunya. Tidak terbayang olehku Macam Kumbang. Alangkah berdukanya si nenek.” Ujarku. Jadi ini yang membuat Macan Kumbang diam sepanjang jalan.

Kutatap Macam Kumbang. Belum terjadi peristiwa pahit ini namun hatiku sudah terasa sangat pedih. Aku menggeleng-nggeleng tak mampu berkata-kata. Macan Kumbang meraih kepalaku. Didekapnya ke dadanya sembari dielus-elusnya.
“Baiklah, kita sepakat. Aku akan tolak untuk memyunting gadis itu. Hati kita sama. Sungguh tidak tega merampas kebahagian nenek tua itu. Biarlah aku akan hadapi kemarahan sanak keluarga karena jelas aku akan dianggap tidak patuh. Aku tidak akan pulang beberapa waktu ke Uluan. Aku akan pulang ke tempat nenek Kam.” Ujar Macam Kumbang kembali sembari menggandengku pulang.

Di luar masih hujan. Bahkan semakin deras. Aku dan Macan Kumbang sudah berada di rumahku. Aku kembali menyatu dengan jasadku. Baru saja sampai, Macan Kumbang langsung wudu, salat, kemudian baring di atas sajadah. Matanya jauh menatap langit-langit. Aku tahu, pikirannya berat menghadapi keluarga besar di Uluan. Mereka pasti sudah siap- siap untuk mengadakan pesta besar-besaran untuk “Depatkah Bunting”, lalu menikahkan dan hajatan. Konon sepuluh kerbau sudah disiapkan. Wow! Pesta besar!

Tak lama terdengar dekurnya. Macan Kumbang terlelap di sisa lelah batinnya. Aku jadi berpikir, mana yang lebih berat masalah Kumbang dan beban yang pernah aku rasakan ya? Aku menarik selimut, membalut tubuhku hingga batas leher. Lama belum bisa terlelap. Pikiranku pergi kemana-mana. Di luar hujan semakin lebat. Suara gemuruhnya seakan melubangi seng, atap rumah yang sudah berkarat. Aku mengatur nafas, menyenergikan zikir yang terus melafas sendiri di rongga dada. Aku juga lelah. Ingin tidur sejenak sebelum bermimpi bersama diksi yang akan kuraut jadi puisi. Esok.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *