Kuliner Prancis & Indonesia saling Bergelayut Mesra di Restoran Djakarta Bali
Meski belum memasuki malam akhir pekan restoran Djakarta Bali yang berada di tengah jantung Paris dipenuhi tamu. Semua meja penuh. Selasa malam, 6 Desember itu restoran Djakarta Bali menggelar acara bertajuk “La Soirée Fusion Franco-Indonésienne avec le chef Indonesia” atau malam bersama chef William Wongso, paduan gastronomi Prancis dan keragaman kuliner Indonesia. Rupanya para pelanggan setia restoran yang telah eksis sejak 37 tahun lalu ini ingin mencicipi masakan franco-Indonesia kreasi sang chef.
Daftar menunya saja sudah bikin penasaran. Sulit menahan air liur saat membayangkan paduan keduanya. Tiga jenis entree atau makanan pembuka yang disajikan benar-benar menggambarkan paduan dua budaya kuliner. Ada foie gras atau hati angsa, makanan khas Prancis yang gurih dipadu dengan asinan Jakarta. Foie grasnya pun digoreng kilat, tidak seperti pada sajian umumnya dalam menu Prancis asli. Begitu pula suwiran daging bebek ala Prancis yg digoreng krispi ditimpali salad Bangka. Ada juga ada sate ikan lotte (burbot) yang ditimpa sambal matah yang dibuat tidak sepedas di Indonesia. Paduan rasa gurih, asam manis dan sedikit pedas yang pas.
Setelah makanan pembuka, disajikan laksa sari laut. Dingin-dingin begini, makan masakan berkuah memang enak. Kali ini kuahnya tidak memakai santan, tapi bubuk fiber creme krimer serba guna.
Santapan utamanya adalah mini tumpeng nasi kuning dengan lauk rendang, salah satu makanan terenak di dunia, kering kentang dan beberapa batang asparagus hijau sebagai sentuhan Prancisnya.
Rendang dimasak tidak terlalu kering, sesuai selera kebanyakan orang Prancis. Rendang yang disajikan tidak menggunakan daging jenis yang agak keras seperti umumnya. Di Prancis, jika kita memasak rendang, biasanya kita menggunakan daging yang biasa digunakan untuk memasak boeuf bourguignon, bisa sandung lamur, bisa juga sengkel. Kali ini daging yang digunakan adalah bagian pipi sapi. Khas William Wongso. Rendang yang dihasilkan empuk & lembut. Pada masa krisis energi yang sedang melanda daratan Eropa seperti saat ini pilihan daging jenis ini tepat sekali. Tak perlu lagi memasak selama 4 jam. Hemat waktu yang berarti hemat energi. Biaya membuat rendang bisa ditekan tapi tetap sedap. Nyatanya semua tamu yang datang malam itu memberi acungan jempol.
Kolak menjadi dessert atau makanan penutup. Isinya tak sekedar pisang. Pisangnya pun dikaramelisasi. Di dalamnya selain pisang, ada kue lumpur mini, ubi dan cendol. Kuahnya juga tidak menggunakan santan tapi fiber creme serba guna. Enak, rasanya tidak terlalu berat.
Saat ini fiber creme serba guna sedang digadang sebagai bahan makanan pengganti santan. William Wongso salah satu penggiatnya. Menurut pria kelahiran kota Malang ini mengatakan bahwa fiber creme mempunyai banyak keunggulan dibandingkan santan. Krimer ini cocok untuk para vegan (mereka yang tak memakan apa pun yang berunsur hewani) dan yang alergi pada gluten. Alasannya karena krimer berserat tinggi ini dibuat dari ekstrasi singkong yang kandungan gulanya rendah.
Tujuan William Wongso dan tim kali ini di Prancis, salah satunya adalah untuk memperkenalkan krimer serba guna produksi Indonesia pada masyarakat internasional sebagai bahan pengganti crème fraiche atau dairy cream yang terbuat dari susu.
Kesuksesan malam itu menjadi salah satu bukti bahwa masakan
Indonesia sudah mulai digemari. Banyak masakan Indonesia yang sebenarnya mudah diterima lidah semua orang. Kalau belum sepopuler masakan Thailand atau pun Vietnam, itu hanya karena kurang dikenal
saja.
Dari obrolan dengan beberapa tamu ternyata tak semuanya pernah ke Indonesia. Bisa dikatakan mereka mengenal Indonesia melalui restoran
Djakarta Bali. Salah satu pasangan Prancis yang datang mengatakan bahwa perkenalannya dengan masakan Indonesia dimulai dua puluh tahun. Saat itu mereka penasaran rasa masakan Indonesia ketika mereka lewat di depan restoran pimpinan Nin Hanafi ini. Sejak itu mereka selalu setia datang.
Dari situ makin kuat keyakinan bahwa masakan Indonesia bisa menjadi duta Indonesia yang andal. Dari makanan, sedikit demi sedikit masyarakat internasional mengenal Indonesia. Soft power yang powerfull! Dari sebuah makanan, banyak aspek dari sebuah negeri bisa diceritakan. Apakah itu tradisi, budaya, kebiasaan maupun bahasanya. Misalnya dari tumpeng mini dan rendang yang disajikan malam itu, kita bisa menceritakan tradisi tumpengan. Mengapa bentuknya contong? Atau, bagaimana awalnya rendang dari Sumatera barat tercipta? Mengapa daerah tertentu suka masakan-masakan yang manis? Dari makanan juga, sangat mungkin pada akhirnya mereka ingin mengunjungi Indonesia.
Sita bersama Chef William Wongso
Dalam perbincangan, chef William Wongso mengatakan bahwa masakan Thailand begitu popular di luar negeri seperti saat ini adalah buah campur tangan pemerintah Thailand beberapa dekade lalu. Pemerintah Thailand pimpinan PM Thaksin Sinawatra saat itu melihat potensi besar devisa yang bisa digali dari diaspora Thailand di luar negeri melalui restoran Thailand. Targetnya adalah meningkatkan jumlah restoran Thailand di luar negeri secara signifikan. Diaspora Thailand di luar negeri yang membuka restoran restoran mendapat semacam hibah. Dengan berkembangnya restoran Thailand di luar negeri, diharapkan ekpor pertanian Thailand juga ikut terdongkrak. Terutama ekpor bahan-bahan dasar masakan Thailand yang tak ditemukan di negara adoptif diaspora Thailand. Kini setelah restoran Thailand berkembang pesat, pemerintah Thailand tak lagi merasa perlu memberi bantuan. Kini hasil pertanian dan bumbu-jadi Thailand mudah ditemukan, terutama di supermarket Asia. Harus kita akui, pemerintah kerajaan Thailand sangat peduli dalam pengembangan pertaniannya.
Rupanya kebijakan Thailand tersebut mneginspirasi pemerintah Indonesia. Sejak tahun lalu dicanagkan program “Indonesia Spice Up the World”, sebuah program bersama lintas kementrian/lembaga yang targetnya meningkatkan pertumbuhan ekspor bumbu dan rempah sekaligus mencapai angka 4000 restoran Indonesia di mancanegara pada 2024.
Program ini dikomandani oleh menteri koordinator maritim dan investasi, Luhut Pandjaitan. Misi ini juga salah satunya yang diemban oleh William Wongso dan tim selama melawat ke Prancis dan beberapa negara di
Eropa. Diharapkan bumbu-bumbu dan rempah-rempah Indonesia digunakan oleh restoran-restoran Indonesia begitu pula oleh masyarakat awam Indonesia di luar negeri sekaligus memperkenalkannya pada masyarakat non Indonesia. Hal ini penting supaya autentisitas masakan Indonesia terjaga meskipun diolah di luar negeri. Menurutnya bahan yang digunakan tentu akan mempengaruhi rasa. Jenis tanaman yang sama rasanya akan berbeda jika ditanam di Indonesia dan di luar negeri apalagi jika varietasnya berbeda. Contohnya, bawang merah di Eropa berbeda varietas dengan bawang merah di Indonesia. Rasa yang dihasilkan pasti akan berbeda.
Wiliiam Wongso tidak sepakat dengan konsep mengadaptasi masakan asing dengan lidah setempat. Dia mencontohkan masakan Vietnam di luar negeri. Pada awalnya masyrakat Vietnam di luar negeri memasak dan membuat restoran untuk diasporanya yang rindu masakan tanah airnya. Lama-lama masyarakat setempat nimbrung, ikut makan di restoran Vietnam. Dan rupanya cocok dengan lidah mereka, maka makin berkembanglah restoran Vietnam. Kini restoran Vietnam bukan lagi monopoli warga Vietnam. Kini banyak juga warga non Vietnam yang membuka restoran Vietnam. Jadi, bagi Wongso masakan Indonesia di luar negeri tidak perlu mengadaptasi dengan lidah lokal. Apalagi kebanyakan orang Prancis lidahnya sangat terbuka dengan aneka masakan dunia.
Restoran Indonesia, artikel yang menarik sekali.