Kartika Affandi yang Tiada Duanya
Penulis: Dr. Victor A.Pogadaev/Moskow
Kartika Affandi (lahir 27 November 1934) adalah seniman terkenal Indonesia, kurator museum ayahnya Affandi (1910-1990). Seperti ayahnya, dia tidak pernah menggunakan kuas atau palet – dia melukis dengan jari-jarinya dan memeras cat dari tabung langsung ke kanvas atau menggosokkannya ke punggung tangannya. Oleh karena itu, guratannya kasar, namun energik dan sangat ekspresif.
Saya bertemu dengan beliau pertama Kali pada tanggal 20 Januari 2009 di Kuala Lumpur, saat ia memamerkan lukisannya di galeri RA Fine Arts milik teman lama saya Raja Ahmad Aminullah. Pada waktu itu saya tidak menyangka bahwa perkenalan kita akan berkelanjutan.
Hampir lima tahun kemudian, pada bulan Desember 2013, beliau kembali ke Kuala Lumpur bersama menantu perempuannya Anna Koon Herdiana. Kali itu beliau mengikuti pameran di Galeri bergengsi kepunyaan Bank Negara Malaysia bersama seniman Indonesia lainnya. Namun peristiwa yang paling menarik terjadi pada tanggal 23 Desember, ketika beliau memutuskan untuk memberikan pelajaran terbuka tentang metodenya di galeri RA Fine Arts yang dulu itu.
Banyak orang berkumpul, kebanyakan seniman lokal. Dan beliau melukis potret diri dengan jari satu tangan sambil memegang cermin di tangan lainnya yang mana beliau memandang dari waktu ke waktu. Adalah menarik untuk menyimak bagaimana sesuatu yang mirip potret berangsur-angsur muncul dari garis-garis yang awalnya semrawut. Saya tahu bahwa genre potret diri adalah salah satu favoritnya. Namun di lukisannya juga ada potert nelayan, petani, pekerja, pengemis, dan pemandangan alam Jawa.
Saya yakin kalau beliau mungkin tidak mengingat saya sesudah perjumpaan pertama, beliau pasti mengingat saya sesudah perjumpaan kedua, karena tak lama kemudian saya tiba-tiba menerima undangan darinya datang ke Yogyakarta untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-80 pada tanggal 27 November 2014. Perayaannya itu ternyata sangat meriah dan mencakup dua pertunjukan wayang: pada siang hari tentang “sukerti” dan “sukerto”, dan pada malam hari di teater “Wahyu Tirta Wijaya Jati” tentang pembebasan Sita oleh Rama dari kongkongan Rawana.
Pada tahun 2016, saya kembali ke Moskow, tetapi tidak kehilangan kontak dengan Kartika. Kita berkorespondensi melalui email. Dalam salah satu suratnya, beliau mengaku kepada saya bahwa mimpinya adalah mengunjungi Moskow dan membuat suatu lukisan di Lapangan Merah. Pada tahun 2022 saya sekali lagi menghadiri perayaan ulang tahun Kartika di Yogyakarta. Pada tahun yang sama, saya menerbitkan artikel tentang beliau dalam kumpulan esei “Tokoh Elite Dunia Timur”, yang diterbitkan oleh Institut Studi Oriental dari Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia.
Beberapa hari yang lalu beliau menginjak usia 90 tahun, namun karena kesibukan di Akademi Diplomatik, tempat saya mengajar bahasa Indonesia, saya tidak bisa datang ke Yogyakarta dan mengucapkan selamat secara bersemuka. Tentu saja, saya mengucapkan selamat kepadanya melalui surat enail, dan murid-murid saya yang mendengar banyak cerita saya tentang pelukis yang luar biasa ini. juga ikut mengucapkan selamat dengan merekamkan video.
Saya menggunakan kesempatan ini sekali lagi mengucapkan selamat hari ulang tahun kepada Kartika dan mengharapkan beliau sehat dan sukses selalu. Semoga mimpinya dating ke Moskow dan membuat lukisan di Lapangan Merah akan terkabul juga.