Sumbu Filosofis Axis Yogyakarta Resmi Diakui sebagai Warisan Dunia UNESCO
Pada pertemuan Komite Warisan Dunia UNESCO ke-45 yang berlangsung di Riyadh, Arab Saudi (18/9), Sumbu Filosofis Axis Yogyakarta membanggakan Indonesia sebagai salah satu warisan budaya dunia yang diakui secara resmi.
Situs Axis Yogyakarta berhasil mendapatkan pengakuan berdasarkan rekomendasi dari ICOMOS, lembaga penasehat UNESCO, dengan berlandaskan pada kriteria (ii) dan (iii) UNESCO. Kriteria (ii) mengacu pada pertukaran nilai-nilai kemanusiaan dalam perkembangan arsitektur, seni monumental, perencanaan kota, atau desain lanskap. Sementara kriteria (iii) menyoroti testimoni unik dan luar biasa terhadap tradisi budaya atau peradaban yang masih hidup atau telah hilang.
Abdul Aziz Ahmad, Duta Besar RI untuk Arab Saudi dan Ketua Delegasi RI untuk Sidang WHC-45, menyampaikan apresiasi kepada 21 negara anggota Komite Warisan Dunia UNESCO yang telah menerima dan menyetujui nominasi Axis Yogyakarta untuk dimasukkan dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO.
Situs Axis Yogyakarta terkenal dengan perpaduan kekayaan elemen budaya benda dan tidak benda, termasuk Keris, Batik, Wayang, dan Gamelan, yang semuanya telah diakui UNESCO dan tercantum dalam Daftar Representatif Budaya Tak Benda UNESCO.
Dalam pernyataan nasional Indonesia, Wakil Gubernur DIY Yogyakarta, KGPAA Pakualam X, mengundang seluruh delegasi negara anggota komite untuk merasakan keajaiban Sumbu Axis Yogyakarta secara langsung. Situs ini menjadi bukti nyata pusat peradaban Jawa dan warisan budaya yang telah hidup dan berkembang sejak abad ke-16 melalui beragam tradisi dan praktik budaya, mulai dari pemerintahan, hukum adat, seni, sastra, festival, hingga ritual upacara.
Makna Sumbu Filosofi Yogyakarta
Secara simbolis filosofis, poros Sumbu Filosofi Yogyakarta ini melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablun min Allah), manusia dengan manusia (Hablun min Annas) maupun manusia dengan alam termasuk lima anasir pembentuknya yakni api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta dan air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta) dan akasa (ether).
Demikian juga tiga unsur yang menjadikan kehidupan (fisik, tenaga dan jiwa) telah tercakup di dalam filosofis Sumbu Filosofi Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwana yang menyandang gelar Sayidin Panatagama Kalifatullah konsep filosofi sumbu imajiner yang Hinduistis ini kemudian mengubahnya menjadi konsep filosofi Islam Jawa “Hamêmayu Hayuning Bawana” dan “Manunggaling Kawula lan Gusti”
Pembentukan Sumbu Filosofi
YogyakartaPembangunan Yogyakarta dirancang oleh Sultan Hamengku Buwana I dengan landasan filosofi yang sangat tinggi. Sultan Hamengku Buwana I menata Kota Yogyakarta membentang arah utara-selatan dengan membangun Keraton Yogyakarta sebagai titik pusatnya.
Sultan Hamengku Buwana I juga mendirikan Tugu Golong-Gilig (Pal Putih) di sisi utara keraton, dan Panggung Krapyak di sisi selatannya. Dari ketiga titik tersebut, apabila ditarik suatu garis lurus akan membentuk sumbu imajiner yang dikenal sebagai Sumbu Filosofi Yogyakarta.
Tugu Golong-Gilig/Pal Putih dan PanggungKrapyak merupakan simbol Lingga danYoni yang melambangkan kesuburan. Tugu Golong-Gilig pada bagian atasnya berbentuk bulatan (golong) dan pada bagian bawahnya berbentuk silindris (gilig) serta berwarna putih sehingga disebut juga Pal Putih.
Tugu Golong Gilig melambangkan keberadaan sultan dalam melaksanakan proses kehidupannya. Hal tersebut ditunjukkan dengan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa secara tulus yang disertai satu tekad menuju kesejahteraan rakyat (golong-gilig) dan didasari hati yang suci (warna putih).
Tugu Golong Gilig melambangkan keberadaan sultan dalam melaksanakan proses kehidupannya. Hal tersebut ditunjukkan dengan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa secara tulus yang disertai satu tekad menuju kesejahteraan rakyat (golong-gilig) dan didasari hati yang suci (warna putih).Oleh karena itu, Tugu Golong-Gilig ini juga sebagai titik pandang utama (point of view) sultan pada saat melaksanakan meditasi di Bangsal Manguntur Tangkil di Sitihinggil Utara. Hubungan filosofi antara Tugu, Kraton dan Panggung Krapyak dan sebaliknya yang bersifat Hinduistis ini oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I diubah menjadi konsep filosofi Islam Jawa “Sangkan Paraning Dumadi”
Panggung Krapyak merupakan awal dari tiga titik susunan sumbu filosofis (Panggung Krapyak-Keraton-Tugu) Sangkan Paraning Dumadi. Pertemuan antara wiji (benih) yang digambarkan antara Panggung Krapyak (yoni) dengan Tugu Pal Putih (lingga), melambangkan proses kelahiran manusia (sangkaning dumadi) yang tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa, berumah tangga, mengandung, dan melahirkan anak.
Sebaliknya, dari Tugu Golong-Gilig/Tugu Pal Putih menuju Keraton Yogyakarta melambangkan perjalanan hidup manusia kembali menuju Sang Penciptanya (paraning dumadi).
Golong gilig melambangkan bersatunya cipta, rasa dan karsa yang dilandasi kesucian hati (warna putih) melalui Margatama (jalan menuju keutamaan) ke arah selatan melalui Malioboro (memakai obor/pedoman ilmu yang diajarkan para wali), terus ke selatan melalui Margamulya, kemudian melalui Pangurakan (mengusir nafsu yang negatif).
Dengan penetapan Axis Yogyakarta sebagai warisan dunia, Indonesia kini memiliki sepuluh situs yang diakui UNESCO sebagai Warisan Dunia. Enam di antaranya termasuk dalam kategori warisan budaya, seperti Borobudur, Prambanan, Situs Warisan Purba Sangiran, Subak Bali, Tambang Batu Bara Ombilin, dan Sumbu Axis Yogyakarta. Sedangkan empat lainnya tergolong dalam kategori warisan alam, termasuk Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Lorentz, Hutan Hujan Tropis Sumatra, dan Taman Nasional Ujung Kulon.
Yogya memang istimewa