HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (16) (17)
Hari sudah beranjak petang. Matahari sudah mulai condong ke Barat. Aku melihat tamu yang datang seperti tak berkurang. Tidak lama telpon rumah berdering. Bapak segera mengangkatnya. Ternyata telpon dari kak Yudikat yang mengatakan urusan di kepolisian sudah selesai, beliau minta maaf tidak singgah ke rumah lagi tetapi langsung pulang ke batalyon Karang Dale.
Bapak melanjutkan bercengkrama dengan para tamu. Kali ini Bibi Sum mengantarkan juadah basah beberapa piring selingan ngopi siang. Dalam sekejap, isi piring ludes. Bahkan diantar beberapa piring lagi pun sama, ludes juga. Mungkin karena Pagaralam kota yang dingin sehingga membuat orang selalu merasa lapar. Padahal jarak antara makan siang dengan kudapan petang ini sangat dekat.
“Mari silakan dimakan, adeng, kakang, mamak” Ujar Mang Sam mempersilakan tamu. “Kalau di rumah mang Hasan, kami berani, mang Sam. Jangankan dihidangkan kalau merasa lapar kami berani minta makan kok dengan beliau. Apalagi kalau dihidangkan seperti ini. Pantang ditolak” Ujar Kak Saimin pemilik apotik di seberang ruko Bapakku.
“Mang Hasan memang pemurah, baik hati pula. Pergaulannya luas. Meski sedikit rada bengis tapi beliau tetap saja seperti gula yang selalu didekati banyak orang.” Timpal Koh Cunen tetangga sebelah rumahku.
Apa yang diceritakan orang-orang itu benar adanya. Bapakku dikenal bijak dan disegani di kota ini. Tidak sedikit orang minta saran apabila menemukan masalah sulit pada Bapakku. Apalagi kalau ada urusan besak (besar). Misalnya perkara pembunuhan, berkelahian, sengketa tanah, kebun dan urusan lainnya, Bapak kerap kali diminta untuk menjadi perentara menyelesaikannya secara adat sampai nepung. Maka bukan suatu yang aneh jika akhirnya orang-orang yang didamaikan semua anggap Bapak menjadi bagian keluarganya. Tak heran jika setiap orang yang dibantu Bapak, pada akhirnya menjadi saudara angkatnya. Nyaris se-kota ini tahu dan kenal baik dengan Bapakku dan mengatakan “gi kawan.” Artinya masih ada hubungan darah atau keluarga. Tak heran jika aku sering mendengar orang dari keturunan Tionghoa atau orang asal Jawa, Padang, mengatakan gi kawan dengan Bapak. Rupanya bukan karena kenal baik tetapi angkan-angkanan itulah yang menyebabkan keluarga kami semakin besar.
Obrolan masih saja seputar orang hilang. Beberapa tetanggaku keturunan Tionghoa datang berbisik-bisik dengan Bapak. Di antaranya ada Koh Anton, Koh Aboy, Koh Aming. Demikian aku memanggil mereka. Bapak terlihat menganguk-angguk, saling tatap sejenak lalu mengganguk-angguk kembali. Entah apa yang mereka bicarakan. Tak lama kemudian beliau juga ikut duduk berbaur dengan tamu lainnya dan terlibat obrolan dengan menggunakan bahasa Besemah. Menuangkan kopi, makan juadah basah lalu ngobrol kembali. “Apa yang harus kita lakukan, Mang. Kemungkinan besar keluarga Ayung akan tiba malam ini dari Palembang. Ketika tahu Ayung hilang, mereka langsung berangkat menuju Pagaralam. Tapi karena badan jalan yang menghubungkan Palembang dan Pagaralam dalam kondisi rusak parah, kemungkinan tidak bisa cepat.” Ujar Koh Asin membuka pertanyaan. “Apalagi musin hujan seperti sekarang. Banyak sekali mobil yang terbenam, akibatnya macet” Koh Aboi menambahkan.
Oh, rupanya warga keturunan yang hilang itu namanya Ayung? Aku membatin. Semua yang hadir diam. Semua seperti dikomando mengunci mulut dan memandang serius pada Bapakku. Nampak sekali mereka ingin tahu solusi apa untuk mencari keturunan Tionghoa itu. Bapak diam sejenak seperti berpikir. Bagaimanapun, Bapak tetap mempertimbangkan baik buruknya dalam perkara ini. Cukup rumit juga untuk menjelaskannya mengapa Ayung bisa hilang tiba-tiba hingga saat ini tidak ada tanda-tanda akan kembali. “Sebaiknya kita tunggu saja dulu sampai keluarga Ayung datang. Bagaimana pun kita belum bisa memberikan keputusan apa-apa, dan solusi apa-apa. Karena kita sedang berurusan dengan masalah di luar nalar kita.” Ujar Bapak sedikit tegas.
Yang mendengarkan ada yang menganguk-angguk. Entah apa yang mereka pikirkan. “Salah satu yang bisa kita lakukan adalah meminta bantuan orang yang paham dengan dunia ghaib. Kalau kita yang biasa-biasa ini saja, mentok sampai di sini. Sebenarnya apa yang Asin tanyakan, ini pula yang ditanyakan oleh anak angkat saya Yudikat, komandan kompi Karang Dale.” Lanjut Bapakku lagi.
“Dek, mana Dedek? Sini” Bapak memanggilku. Aku mendekat pada Bapak.
“Coba Nak, ceritakan apa yang Dedek lihat siang tadi di mobil pasukan Kak Yudikat” Kata Bapak. Padahal perasaan aku sudah berulang kali menjelaskan ini. Tetapi mengapa minta penjelasan lagi?
“Tentang kokoh yang diambil oleh Datuk-datuk, inyiak dari Gunung Talang itu?” Tanyaku. Bapak menggangguk. Aku melihat semua mata tertuju padaku. Wajah mereka tak kalah seriusnya dengan wajah tiga tamu Tionghoa Bapakku. Padahal dari tadi yang mereka bicarakan juga hal-hal ini juga. Akhirnya aku kembali cerita ketika melihat banyak sekali datuk-datuk yang berpakaian hitam layaknya seperti pendekar, mereka naik ke atas mobil terus menutup tubuh Kokoh itu dengan selembar kain. Lalu aku lihat si Kokoh mereka panggul, pergi lalu hilang” Ujarku menjelaskan.
“Siapa mereka yang berbaju hitam itu, Dek? Terus Koh Ayung mereka bawa kemana?” Koh Asin penasaran.
“Mereka Datuk, inyiak atau setue gunung dari Gunung Talang Sumatera Barat. Koh Ayung mereka bawa ke sana.” Ujarku kembali. Usai menyampaikan itu aku melihat ada kakek Haji Majani, aku berlari mendekatinya. Seperti biasa, aku mau minta gendong padanya.
“Tunggu Dek” Kata Koh Asin meraih tanganku.
“Bagaimana caranya menjemput Ayung kembali, Dek? Kamu tahu caranya?” Kata Koh Asin lagi. Aku menggeleng.
Entahlah, aku malas memikirkan Koh Ayung yang jahat itu. Biarlah dia menjadi tawanan Inyiak Gunung Talang. Salahnya sendiri, mengapa dia makan daging nenek gunung? Bahkan sesumbar dengan kawan-kawannya katanya daging nenek gunung itu enak sekali, berbeda dengan daging sapi, kerbau, bahkan rusa sekalipun. Seratnya lebih halus dan merah. Kalau kita memakan daging harimau maka tubuh kita akan menjadi sehat dan kuat. Apalagi di daerah dingin seperti kota Pagaralam ini, memakan daging harimau membuat badan kita hangat. Tidak gampang masuk angin atau kena penyakit lain.
Sejenak semua diam ketika melihat aku menggeleng. Tiba-tiba “Breeeet..breet..breeet…breet..breeet” Beberapa orang terkesima mendengar suara karung seperti dikoyak. Beberapa mata mencari-cari sumber suara. Satu sama lain berpandangan. Suara itu sangat jelas. Tapi dari mana sumbernya tidak tahu.
“Kok di rumah Mang Hasan serem ya. Siapa yang mengoyak-ngoyakan karung. .Apa ada hantunya? Iiih” Ujar salah satu tamu perempuan sembari mengepit tangan diikuti yang lain dengan wajah kecut.
“Kok ada suara karung di koyak?” Koh Asin melempar pandangan ke seluruh ruangan. Sebab dilihatnya dari tadi semua orang duduk manis, tidak ada aktivitas memegang karung apalagi mengoyaknya.
Tidak lama kemudian kembali terdengar. Kali ini lebih keras dan lebih lama. Hampir semua orang mendengarnya. Beberapa orang lelaki kulihat bergeser tempat duduk saling merapat. Sebagian lagi ada yang memegang dan mengelus-ngelusnya bulu kuduk yang meremang. Hanya rombongan kerbai saja yang berisik bahkan ada yang menjerit.
Kakek Haji Majani ikut-ikutan mempertajam pendengaran.
“Coba diam semua, suara apa tadi. Di ruangan ini tidak ada yang mengoyak karung. Kita cermati semua. Dari mana asalnya.” Ujar Bapak menenangkan. Mendengar suasana sedikit gaduh, nenek Kam keluar dari dalam. Dilihatnya banyak yang meringkuk ketakutan.
“Mengapa semua seperti ketakutan? Ada apa?” Tanya nenek Kam sambil mencari-cari sesuatu. Rupanya beliau mengambil kotak sirihnya yang tertinggal di atas karung kopi.
“Ada suara karung dikoyak, Nek. Tapi tidak ada wujudnya” Ujar salah satu orang tamu.
“Oh, itu urusan Dedek. Tanyalah sama dia’’ Kata Nenek Kam masuk kembali. Semua menarik nafas. Belum lega menarik nafas, kembali terdengar Breet! Bret! Kali ini tidak saja suaranya terdengar kencang, namun temponya makin cepat. Lebih mirip suara cakaran. Semua kembali tegang dan saling pandang.
Bapak bangkit dari tempat duduknya lalu melihat-lihat ke atas tumpukan kopi keringnya. Kakek Haji Majani dan beberapa orang ikut-ikutan memperhatikan seisi ruangan.
“Suara apa itu tadi Dek?” Tanya Bapak.
“Suara macan Kumbang. Dia mengasah kukunya di karung” Jawabku sederhana.
“Apa? Macan kumbang mengasah kuku? Dimana?” Tanya ayahku kaget. Aku hanya menggangguk lalu menunjuk ke atas tumpukan karung kopi. Semua mata tertuju ke sana. Semula tamu rame-rame bersandar di karung kopi yang tersusun rapi, akhirnya bergeser ke tengah-tengah ruangan semua. Dalam hati aku heran. Apa yang harus ditakutkan? Toh hanya sekadar suara saja. Macan kumbangnya tidak mengganggu.
“Ah, Dek. Jangan nakut-nakutin. Lihat itu kasihan tamu kita pada takut” Ujar Bapak melihat ada beberapa orang yang berlari ke luar. Bapak tertawa terpingkal-pingkal melihat Koh Aboi mengepit kaki seperti menahan pipis.
“Kok Bapak tertawa?” Tanyaku
“Iya, kaget iya, lucu iya. Apa kamu tidak melihat bagaimana ekspresi tamu-tamu kita? Yang semula serius bertanya, bercerita tentang inyiak Gunung Talang, tiba-tiba muncul suara karung dikoyak tapi tidak ada wujudnya. Ternyata kerjaannya macan kumbangnya nenek Kam. Mana dia, Dek? Coba sesekali suruh dia menampakan diri.” Ujar Bapak lagi.
“Eiiit Jangan..jangan…nanti kami mati terkencing-kencing di sini” Ujar bik Ayana sembari melambai-lambaikan tangan. Sebagian tamu yang tidak paham maksud tunggangannya nenek Kam, melotot bengong, bingung dengan apa yang dibicarakan. Termasuk tamu Bapak yang keturunan Tioghoa ini. Wajahnya yang putih semakin putih karena pucat.
Aku menutup mulut memberi kode pada macan kumbang agar jangan berisik. Kuku kakinya masih menancap di karung. Pelan-pelan ditariknya. Sepertinya dia paham kalau suara garutannya membuat semua takut. Macan kumbang mengedip-ngedipkan mata pertanda setuju. Pelan-pelan aku melihat macan Kumbang turun. Aku berlari mendekatinya. Kurangkul lehernya, kuelus-elus. Matanya yang berkilat biru, nampak semakin biru. Bapak dan para tamu kembali duduk. Suara berbisik-bisik membicarakan si macan kumbang sesekali terdengar. Macan kumbang tersenyum padaku.
“Aku kasih tahu nenek Kam, kamu nakal! Suka nakut-nakutin orang!” Ancamku.
“Ogghhrrg..!!” Macan kumbang merangkul tubuhku hingga aku terguling. Disungkur-sungkurnya aku dengan ujung hidungnya yang dingin. Rupanya macan kumbang mengajakku bercanda. Kaki depannya seperti menggelitikiku. Aku bangkit dan berhasil melompat ke atas punggungnya. Aku tertawa gembira sembari memeluk lehernya.
Kutepuk-tepuk perutnya yang kencang. Dan “Hup!! “ Tiba-tiba aku sudah berada di atas puncak tumpukan kopi. Bibik Ayana terpekik kaget melihat aku di puncak karung kopi yang paling tinggi.
“Kak, Dedek di atas. Kok tiba-tiba dia ada di sana” Jerit bik Ayana. Semua mata tertuju padaku. Aku melambai-lambaikan tangan bahagia. Kuelus-elus leher macan kumbang. Terasa licin. Bapak menarik nafas panjang. Nenek Majani segera mengangkat tangga jembatan menyuruhku untuk turun. Pelan-pelan aku turun dari punggung macan kumbang.
“Turunlah Dek, kasihan mereka. Mereka takut dan sebagian lagi terheran-heran melihat sosokmu seperti melayang. Jangan buat pikiran mereka setengah gila” Ujar macan kumbang. Akhirnya aku melompat turun mendekati kakek Haji Majani. Kakek Haji Majani mengembangkan tangan siap menggendongku. Hup!!
Hari sudah mulai petang. Berangsur-angsur gudang kopi Bapakku sepi. Sanak keluarga, handai tolan dan sebagian besar anak buah Bapakku sudah pulang. Hanya beberapa orang saja terlihat masih menggulung tikar dan melipat karung-karung goni lalu menyusunnya menjadi tumpukan setinggi dua orang dewasa berdiri. Beberapa orang terlihat menyapu lantai hingga bersih. Dalam waktu singkat, gudang yang semula seperti pasar berangsur sepi. Hanya suara kami saja yang menggema ketika berbicara. Tapi jika dicermati maka siapapun akan mendengar dengkur halus turun naik. Dengkur macan kumbang yang tengah tidur pulas.
HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (17)
Langit nampak gelap seperti hendak turun hujan. Pemandangan seperti ini biasa di langit kotaku. Jarang sekali menemukan langit cerah. Kadang-kadang jelang tengah malam langit berubah bersih, bisa menikmati bintang. Apalagi ketika bulan purnama maka teras rumah akan terang benderang. Jika seperti ini, biasanya orang tua, anak-anak akan ke luar rumah sejenak menikmati cahaya bulan meski tidak pernah lama, selebihnya kotaku turun hujan dan berkabut kembali.
Menjelang magrib, saudara ibuku Bibik Ayana dibantu Bik Sahrum dan beberapa perempuan lainnya menyiapkan hidangan panjang untuk makan malam. Nasi dua jambangan besar diletakan terpisah. Piring gulai berisi lauk pauk dan sambal pun terhidang. Biasanya satu piring untuk berdua, ditata sedemikain rupa beselang-seling. Gubokan untuk cuci tangan, berderet di dalam hidangan. Tak lupa cangkir kecil dan cangkir paok berisi air putih. Biasanya di atara perempuan ada yang bertugas menambahkan gulai. Meski pun tugas itu bukan diminta tapi kesadaran pribadi para perempuan yang menganggap itu suatu kewajiban. Perempuan-perempuan ini dengan cekatan mengatur lauk atau tambahan agar semua yang makan merasa nyaman.
Aku menelan ludah ketika melihat ikan gabus masak kuning ibuku, kuah kentalnya mengundang selera. Bumbu kemiri, kunyit, serai, laos, bawang putih dan cabai keriting yang digiling halus, ditambahkan cungkedire sebagai pemasamnya. Benar-benar menghasilkan warna cerah memesona. Aromanya memancing selera. Kurasakan segar kuahnya yang kaya rempah-rempah. Ada pula terhidang petai cina untuk lalapan yang dibawa salah satu tamu, sambal cungkedire matah, labu siam dan sayur lumai rebus, ikan asin sepat yang digoreng garing. Hmmm…beberapa kali aku menelan ludah.
Aku tidak berani meminta makan lebih dulu. Aku takut dengan Bapakku. Bapak selalu bilang, pantang tuan rumah makan lebih dulu kalau di rumah ada tamu. Dahulukanlah tamu. Lalu jangan pernah merengek-rengek, apalagi minta perhatian kedua orang tua di hadapan tamu dan jangan pernah mengambil makanan yang dihidangkan untuk tamu kecuali tamunya sudah pulang, mau dimakan dengan tempatnya pun boleh, katanya. Sungguh aku tidak berani melanggarnya. Kata Bapak, kalau dilanggar maka akan Bapak kurung di gudang gelap. Sebenarnya itu hanya ancaman Bapak. Buktinya sampai sekarang meski Bapak terkenal bengis, tegas dan ditakuti oleh anak dan kemenakannya, belum pernah kami mendapatkan hukuman seperti itu.
Berhubung tamu di rumahku masih ramai, bisa dipastikan makam malam kali ini akan dibuat dua rounde. Pertama pasukan bapak-bapak, kalau sudah selesai baru dilanjutkan dengan Ibu-ibu dan anak-anak. Ya demikianlah, lelaki memang sangat diutamakan dalam segala hal dalam budaya kami sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan.
Suara mengaji terdengar dari toa masjid Agung. Sebentar lagi waktu magrib tiba. Karena di rumahku masih banyak tamu, kakek Haji majani memilih salat magrib di rumah. Kakek mengerahkan seisi rumah agar segera wudhu. Maksudnya agar bisa melaksanakan salat berjamaah tepat waktu, baru dilanjutkan makan malam bersama. Termasuk juga aku ikut-ikutan berebutan ke kamar mandi. Entah mengapa, muncul niat di hatiku mengintai Macan Kumbang. Apakah dia mengubah wujud menjadi manusia lalu ikut salat berjamaah? Atau serupa manusia namun kasat mata? Dan yang penting adalah apakah dia ikut solat berjamah juga apa tidak. Ramdhani saudara sepupuku yang tinggal di sebelah rumah, mengumandangkan azan, lalu melanjutkan dengan komat. Sampai pada takbir yang diimami kekekku, aku belum melihat ada lelaki asing yang berdiri menjadi makmum. Aku masih terus mencari. Tidak ada. Semuanya kukenal.
Akhirnya aku duduk diam. Sengaja aku duduk di barisan syaf paling belakang. Aku pejamkan mata. Aku mulai mencari posisi Macan Kumbang. Hidungku mengendus-ngendus mencari aromanya namun tidak kutemukan. Aku tidak mencium bau Macan Kumbang ada di ruang ini. Sementara nenek Kam ikut salat berjamaah bersama ibu dan bibik-bibikku di barisan agak depan. Hmmm…Tiba-tiba mataku tertuju pada lelaki muda paras tampan bertubuh besar tinggi, rambut ikal sebahu berwarna hitam. Berjalan mengenakan gamis, berpeci haji, menuju masjid Agung yang tidak jauh dari rumahku. Langkahnya cepat sekali. Dialah Macan Kumbang. Beberapa orang yang beriringan dengannya sama-sama bergegas. Ada yang memakai kain sarung, ada juga yang bergamis. Dalam hati aku heran, mengapa banyak sekali orang yang berduyun-duyun ke masjid? Mirip seperti ada acara keagamaan.
Masya Allah, ternyata mereka adalah nenek gunung-nenek gunung yang hendak melaksanakan salat magrib berjamaah di masjid Agung. Aku melihat lelaki perempuan banyak sekali. Langkah mereka sangat ringan. Aku kaget ketika salah satu dari mereka menatapku. Dari bahasa tatapannya, dia memerintahakan agar aku pulang dan segeralah salat. Aku terperanjat. Konsentrasiku buyar. Ketika aku membuka mata salat berjamaah baru saja dimulai. Aku berusaha menyimak lantunan surat pendek yang ke luar dari mulut kakek Haji Majani. Sambil mengatur degup jantung yang berpacu kencang, aku berusaha berdiri mengikuti setiap gerakan salat. Sungguh, aku tidak khusuk sama sekali. Pikiranku masih terbayang dengan Macan Kumbang dan orang yang berduyun-duyun ke masjid Agung.
Usai salat, dan bersalam-salaman, maksud hati ingin bercerita dengan nenek Kam sekaligus ingin bertanya. Aku menghampirinya.
“Nakal! Orang salat kamu asyik memperhatikan orang ke masjid Agung. Untung kamu ditegur Panglime Kumbang, Bapakku. Kalau tidak kamu keasyikan berdiri di pingir jalan itu. Magrib-magrib tidak boleh berdiri di luar rumah. Kalau kamu ditangkap sama orang nakal? Lalu dibawanya pergi, disembunyikannya, mau?” Suara nenek Kam setengah berbisik. Nenek Kam ternyata tahu apa yang aku lakukan.
“Ii,,iya Nek” Jawabku gagap. Entah mengapa aku menjadi takut setelah mendengar kata nenek Kam, Panglima Kumbang, Bapakku. Jadi yang menegurku tadi bapak gaibnya nenek Kam? Lelaki besar tinggi, berhidung mancung. Meski nampak sudah berumur namun terlihat gagah dan berwibawa. Berkain sarung berwarna hijau kotak-kotak, baju koko katun berwarna putih. Memegang tongkat, bersorban, kepalanya memakai kopiah haji diikat rapi, persis seperti Pangeran Di Poenegoro. Di pipinya ada cabang dan jenggot yang terpelihara rapi. Angin yang berhembus, membawa aroma dari tubuh beliau, segar sekali. Sampai sekarang baunya masih melekat di benakku. Sejenak aku kembali membayangkan pertemuan singkat dengan beliau. Pantas banyak sekali yang mengiring di belakangnya. Tapi alangkah jauhnya beliau salat ke masjid Agung Pagaralam? Bukankah di puncak Dempu ada masjidnya yang luar biasa megah? Semua berlapis emas?
Aku terperanjat ketika nenek Kam menggamitku.
“Tidak usah heran! Di masjid Agung banyak jamaah dari Padang” Ujar nenek Kam.
“Padang? Dimana Padang itu” aku membatin. Aku jadi ingat dengan saudara angkat Bapakku dan tetangga-tetanggaku yang berasal dari Padang. Umumnya mereka salat di masjid Raya. Siapa pula yang dimaksud nenek Kam banyak jamaah dari Padang? Dalam rangka apa? Muncul keinginanku untuk ke masjid Agung membuktikan kata nenek Kam dan sekaligus melihat jamaah dari Padang. Manusiakah atau manusia jadi-jadian serupa nenek gunung?
“Eiit…tidak boleh pergi. Di rumah saja.” Nenek Kam menjewer telingaku. Aku tersenyum kecut. Aku menggerutu dalam hati. Nenek Kam selalu membaca pikiranku. Lalu kapan aku bisa berpikir bebas? Tiba-tiba muncul kecuriagaanku, jangan-jangan yang dihadapanku ini bukan nenek Kam? Aku penasaran. Kuraih tangannya, kucium. Lalu aku berusaha menatap wajahnya. Aku heran mengapa dia buang muka. Ini bukan nenek Kam batinku. Nenek kam sangat sayang padaku. Nenek Kam akan selalu tersenyum meski aku melakukan kesalahan sekalipun. Nenek Kam tidak pernah ketus apalagi menyakitiku. Nenek satu ini nada bicaranya sinis.
“Nek, kalau Nenek mau ke masjid Agung bersama nenek Kam silakan. Pergilah. Saya tidak akan ikut. Nenek bukan nenekku kan?” Ujarku mencoba menatap wajahnya. Selintas aku melihat mata coklatnya berkilat-kilat. Semakin yakinlah aku jika di hadapanku bukan Nenek Kam. Sebab cahaya mata nenek Kam tidak seperti itu. Dia adalah orang gunung yang menyerupai Nenek Kam. Mengapa Nenek Kam menyuruh dia?
“Iya, aku diminta nenek menggantikan beliau agar semua tidak kehilangan dan heran. Di Masjid Agung sekarang ada rapat besar” Ujarnya menjelaskan. Dalam hati aku menggerutu. Tadi beliau ini berani menjewer dan mengancamku. Padahal aku bukan apa-apanya.
Nenek Kam palsu melipat kain dan mukena lalu membawanya ke dalam. Entahlah aku enggan mengikutinya. Terserah dia. Aku sudah tidak simpati dengan caranya. Dari depan aku mendengar beliau terlibat obrolan dengan seisi rumah. Para lelaki disuruh makan terlebih dahulu. Sementara yang perempuan menunggu sembari ngobrol ngalur ngidul. Aku memilih duduk di pojokan. Dalam hati aku sedih, karena tidak bisa melihat aktivitas di masjid Agung gegera di larang nenek Kam palsu itu.
Akhirnya tiba giliran perempuan dan anak-anak yang makan. Aku ikut duduk melingkar. Seleraku hilang. Padahal petang tadi gulai ikan gabus masak kuning benar-benar mengundang seleraku. Ibu sengaja menyiapkan piring untukku berisi telur ikan gabus sebesar jempol kaki. Aku langsung melahapnya tanpa nasi.
“Kenapa tidak duduk dekat nenek Kam? Biasanya selalu mau dekat Nenek?” Tanya ibuku. Aku terkejut. Sekilas kutatap nenek Kam palsu. Dari ekor matanya beliau melihatku sembari tersenyum. Beliau tahu kalau aku merasa tidak suka. Aku hanya menjawab pertanyaan ibuku dengan gelengan kepala. Dengan cepat kuselesaikan makan malamku. Aku ingin segera menemui kakek Haji Majani di kamarnya. Membawa buku, membaca majalah yang baru dibelikan Bapak atau belajar doa dan surat pendeknya. Itu lebih penting daripada mendekati nenek Kam palsu!
“Dek, kele tiduk ngah nenek wai? (Dek, nanti tidur dengan Nenek, ya?” Ujar nenek Kam palsu. Suaranya persis suara nenek Kam asli. Tapi tetap saja aku tahu. Aku menggeleng segera.
“Nggak, aku mau tidur sama Kakek Haji Majani” Jawabku. Lagi-lagi ibuku heran. Sejenak beliau menatapaku. Aku tidak peduli. Aku langsung mengambil majalah dan beberapa buku di rak, lalu lari ke atas menyusul kakek Haji Majani.
Ternyata aku tidak jadi membaca majalah. Kakek Haji Majani mengajariku menghafal doa-doa pendek dengan berirama. Aku ikut melantunkannya seperti bernyanyi, berulang-ulang sampai aku hafal. Suara kakek merdu sekali. Bahasa arabnya sangat fasih. Aku jadi ingat dengan guru kesenianku Bapak Muslimi dan Bapak Heri Bertus K. Keduanya mempunyai vokal yang bagus. Sama seperti kakek. Apalagi pak Muslimi, jika beliau mengajarkan not lagu dan kami belum bisa membacanya dengan tepat, maka jangan harap kami bisa pulang cepat. Kami akan digilir satu-satu dengan rotan panjang di genggamnnya siap mendarat di telapak tangan kalau kami salah. Tapi kali ini yang mengajarkan doa berirama kakekku tanpa penggaris dan rotan panjang, penuh semangat sampai urat lehernya keluar. Dua doa kuhafal dengan cepat. Aku melihat senyum bahagia kakek Haji Majani. Baru mau diajarkan doa ke tiga, tiba-tiba ada yang memanggilku. Suara Nenek Kam. Aku ke luar kamar. Kulihat sosok Nenek Kam melambai. Dahiku berkerut mencoba mengamatinya dengan mata batin. Nenek Kam tersenyum melihatku. Mata kecilnya sangat kupaham.
“Sini, nenek sudah pulang” Suaranya sedikit berbisik. Beliau tahu kalau ekspresiku belum percaya. Aku kembali mencoba membatin. Ah, benar di hadapanku nenek Kam. Kemana nenek Kam palsu tadi? Aku mencari-cari.
“Itu tadi, adik nenek dari gunung Dempu. Dia sengaja nenek suruh ke sini” Ujar nenek Kam seakan paham dengan keraguanku.
“Aku nggak suka sama adik Nenek yang itu. Bengis” Ujarku.
“Ah, sudahlah. Abaikan saja. Dia itu gadis tue. Makanya sampai sekarang belum dapat jodoh. Karena mulutnya ceripit (yinyir).” Kata Nenek Kam. Aku serasa ingin tertawa mendengar perkataan nenek Kam. Kami berjalan beriringan menuju teras atas. Aku akan menemani nenek Kam makan sirih seperti biasanya. Tentu saja sekalian bertanya tentang pertemuannya di masjid Agung.
Setelah duduk, aku bercerita dengan nenek Kam, perihal melihat banyak orang yang berduyun-duyun ke masjid. Dan ternyata orang yang berduyun-duyun itu adalah nenek gunung.
“Tadi adikku bercerita katanya kamu nakal meperhatikan orang-orang berjalan menuju masjid. Kanapa?” Tanya Nenek Kam.
“Iya, aku mencari Macan Kumbang. Tidak tahunya dia pergi ke masjid Agung. Di jalan aku melihat banyak sekali orang berduyun-duyun. Lalu aku ditegur Panglima Kumbang Bapak nenek Kam, kata nenek palsu itu.”
“Sttt…bukan nenek palsu. Dia itu adikku. Jadi nenekmu juga” Kata Nenek Kam tertawa. Selintas nenek Kam bercerita perihal bayak tamu dari Ranah Minang berkumpul di masjid Agung. Untuk itu Panglima Kumbang turun dari Gunung Dempu. Rupanya mereka membicarakan tentang beberapa orang gunung yaitu harimau sumatera dari Gunung Talang hilang diperangkap oleh bangsa manusia. Konon harimau sumatera itu dibawa ke Pagaralam. Yang mereka tangkap siang tadi adalah salah satu orang yang menampung harimau hidup-hidup ataupun sudah mati lalu menjualnya ke Jakarta.” Pahamlah aku mengapa di kotaku banyak didatangi oleh orang gunung, iyiak dari Gunung Talang. Rupanya mereka tengah mengejar buronan.
“Mereka minta izin pada Panglima Kumbang untuk mencari beberapa orang lagi yang sedang mereka intai. Semuanya tidak hanya pemakan daging harimau tapi juga mereka yang telah menjual semua bagian tubuh harimau itu. Sebab di antara harimau yang mereka jerat, ada inyiak anak panglima Gunung Talang. Nah, yang kamu lihat pasukan berbaju hitam siang tadi adalah pandeka-pandeka dari sana.” Tutur nenek Kam sambil menguyah sirihnya.
Mendengar itu, aku tercengang. Sebegitu riuhkah di alam mereka? Sama halnya dengan di alam nyata rupanya. Satu orang manusia hilang satu kota hebo membicarakannya. Ternyata, kehidupan di alam sana dengan alam nyata sama sibuknya. Aku pusing memikirkannya. Bagaimana menjelaskan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh bangsa manusia terhadap mereka. Lalu hukum apa yang akan dipakai? Apakah bisa diterima laporan orang hilang yang dilakukan kak Yudikat di kantor Polisi siang tadi? Atau seperti cerita Kakek Haji Yasir dulu perihal orang Besemah yang mati di Tebing Sekip gegara membunuh anak setue gunung? Lalu secara adat pula harus ditebus dan melakukan berbagai macam ritual meski yang membunuh telah mati? Entahlah. Aku merenung sendiri. Jauh aku berpikir namun tidak menemukan jalannya.
Obrolanku bersama nenek Kam terputus karena ada tamu yang datang mencari nenek Kam. Oh, rupanya perempuan yang bertemu dengan nenek Kam waktu di pasar pagi tadi datang ke rumah bersama suami dan anaknya yang bernama Rani. Bocah kecil kira-kira berumur enam tahun, berperawakan kurus sedikit ayu, nampak pemalu. Dia tidak berhenti memegang ujung baju Ibunya dari belakang. Ketika Mang Sam, anak buah Bapakku yang berotot itu membukakan pintu saja, Rani takut. Nyaris menangis tidak mau masuk.
“Oh, ini anakmu dulu? Alhamdulilah sudah besar” Ujar Nenek Kam menggamit pipi Rani. Rani hanya merespon dengan wajah polos sedikit takut. Kedua orang tua Rani duduk bersebelahan. Beberapa sanak kelurgaku yang sengaja menginap di rumah, ada Bibik Sahrum, Bibik Ayanah, dan Nenek Lintang, ikut bergabung menggelar tikar duduk melingkar.
“Benar Nek, kalau tidak Nenek temukan, mungkin kami tidak akan melihat Rani tumbuh sebesar ini” Ujar perempuan muda itu sambil memangku Rani yang menatap heran pada semua orang.
“Oh, anak ini yang hilang di kebun lalu diantarkan oleh kawannya nenek Kam?” Ujar Bik Sahrum yang diiyakan nenek Kam.
“Masih ingat tidak kamu Rani? Naik apa kita ketika bertemu?” Tanya nenek Kam. Dijawab Rani dengan menyembunyikan wajah ke dada ibunya. Sang Ibu berulang kali bertanya hal yang sama. Namun Rani tetap saja bersikukuh menyembunyikan wajahnya. Bahkan lebih ketat lagi.
“Naik kuda besar tinggi hitam, ya” Ibunya menjawab. Demi mendengar itu semua tertawa.
“Sebenarnya bukan kuda yang kalian tunggangi, Rani. Tapi Macan
Kumbang adik bujang nenek Kam” Ujar ayah menimpali. Aku yang semula hanya menyimak menjadi tertarik dengan pembicaan terakhir mereka.
Kudekati Bapakku. Lalu kutanyakan apa Rani pernah naik punggung kumbang tunggangan nenek Kam? Aku serasa tidak percaya. Kok Bisa? Demi mendengar pertanyaanku, ibu langsung bercerita.
“Beberapa tahun lalu, Paman dan bibimu ini kehilangan Rani di kebunnya. Ceritanya waktu itu mereka bermalam di kebun kopi yang letaknya jauh di bukit hijau hulu dusun kita. Karena terlalu asyik besiang di kebun mereka yang tengah berbuah lebat, waktu itu mukul agung. Mereka tidak menyadari jika hari itu sudah jelang petang. Bahkan sudah mendekati magrib. Bayangkan tinggal di kebun yang dikelilingi hutan rimba, sudah petang masih asyik bekerja. Nah, biasanya pulang dari kebun mereka akan membersihkan tubuh di sungai. Sementara antara pondok dengan sungai tempat mereka mandi dan mengambil air agak jauh dan curam. Hari itu, mereka kemalaman” Ujar Ibu menjelaskan yang diaminkan nenek Kam.
Akhirnya setelah berbincang-bincang malam itu, baru dilanjutkan persoalan sebenarnya. Kembali Marsop menjadi jubir warga. Kata Marsop, “Nek, minta maaf, mbalek’i kateku tadi. Lukmane kamu pacak nemu Rani. Padahal badah kamu ade di ulu ade di iligh (Nek, mohon maaf, kembali kepersoalan awal, bagaimana Nenek bisa bertemu dengan Rani. Sementara kebun kalian berbeda ada yang di hulu ada yang di hilir)”. Ujar Wak Marsop langsung ke pokok permasalahan. Akhirnya kesempatan nenek Kam untuk becelatu malam itu.
“Dengar semua, manusia, dan semua makhluk di muka bumi ini, hidup ini punya aturan baik tertulis maupun tidak. Hidup harus beradab. Jangan dikira air, pohon, batu, tanah, hewan dan lain sebagainya bahkan debu sekali pun tidak paham tentang adab” nenek Kam melanjutkan ceritanya dini hari itu. Semua orang asyik menyimak. Jarang-jarang nenek Kam mau berbagi cerita sepanjang ini.
Bersambung…